KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK.01.07/MENKES/1128/2022

TENTANG

STANDAR AKREDITASI RUMAH SAKIT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang    :  a.    bahwa dalam rangka upaya peningkatan mutu pelayanan rumah sakit dan keselamatan pasien sehingga tercapai tata kelola rumah sakit dan tata kelola klinis yang baik, serta  sebagai   pelaksanaan   program   pembangunan kesehatan nasional, perlu dilakukan akreditasi sesuai dengan standar akreditasi;

  1. Bahwa  berdasarkan      pertimbangan      sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Keputusan Menteri Kesehatan tentang Standar Akreditasi Rumah Sakit;

Mengingat      :  1.    Undang-Undang    Nomor    36    Tahun    2009    tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063);

  1. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (Lembaran Negara  Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor   153,   Tambahan   Lembaran   Negara   Republik Indonesia  Nomor 5072);
  1. Undang-Undang  Nomor  11  Tahun  2020  tentang  Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor   245,  Tambahan   Lembaran   Negara   Republik Indonesia Nomor 6573);
  1. Peraturan Pemerintah  Nomor  47  Tahun  2021  tentang Penyelenggaraan   Bidang   Perumahsakitan   (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6659);
  1. Peraturan Presiden  Nomor  18  Tahun  2020  tentang Rencana                 Pembangunan   Jangka   Menengah   Nasional Tahun 2020-2024 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 10);
  2. Peraturan Presiden  Nomor  18  Tahun  2021  tentang Kementerian   Kesehatan   (Lembaran   Negara   Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 83);
  3. Peraturan Menteri  Kesehatan  Nomor  5  Tahun  2022 tentang                Organisasi    dan    Tata    Kerja    Kementerian Kesehatan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 156);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan   :  KEPUTUSAN  MENTERI  KESEHATAN  TENTANG  STANDAR AKREDITASI RUMAH SAKIT.

KESATU         :  Menetapkan  standar  akreditasi  rumah  sakit  sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Keputusan Menteri ini.

KEDUA          :  Standar akreditasi rumah sakit sebagaimana dimaksud dalam Diktum KESATU digunakan sebagai acuan bagi lembaga independen                     penyelenggara  akreditasi  rumah  sakit  dalam menyelenggarakan   akreditasi  rumah  sakit  sesuai  dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

KETIGA          :  Standar akreditasi rumah sakit sebagaimana dimaksud dalam Diktum KESATU terdiri atas standar yang dikelompokkan ke dalam:

    1. kelompok manajemen rumah sakit;
    1. kelompok pelayanan berfokus pada pasien; c.    kelompok sasaran keselamatan pasien; dan d.    kelompok program nasional.

KEEMPAT       :  Pemerintah    pusat,    pemerintah    daerah    provinsi,    dan pemerintah daerah kabupaten/kota melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan standar akreditasi rumah sakit berdasarkan kewenangan masing-masing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

KELIMA         :  Keputusan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 13 April 2022

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

BUDI G. SADIKIN

LAMPIRAN

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

NOMOR HK.01.07/MENKES/1128/2022

TENTANG

STANDAR AKREDITASI RUMAH SAKIT STANDAR AKREDITASI RUMAH SAKIT

BAB I PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang

Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan  pelayanan  kesehatan  perorangan  secara  paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat. Dalam memberikan pelayanan, rumah sakit harus memperhatikan mutu dan keselamatan pasien. Pelayanan kesehatan yang bermutu adalah pelayanan yang memiliki karakter aman, tepat waktu, efisien, efektif, berorientasi   pada   pasien,   adil   dan   terintegrasi.   Pemenuhan   mutu pelayanan di rumah sakit dilakukan dengan dua cara yaitu peningkatan mutu secara internal dan peningkatan mutu secara eksternal.

Peningkatan Mutu Internal (Internal Continous Quality Improvement) yaitu rumah sakit melakukan upaya peningkatan mutu secara berkala antara  lain  penetapan,  pengukuran,  pelaporan  dan  evaluasi  indikator mutu serta pelaporan insiden keselamatan pasien. Peningkatan mutu secara internal ini menjadi hal terpenting bagi rumah sakit untuk menjamin mutu pelayanan. Peningkatan Mutu Eksternal (External Continous  Quality  Improvement)  merupakan  bagian  dari  upaya peningkatan   mutu   pelayanan   di  rumah   sakit   secara   keseluruhan. Beberapa kegiatan yang termasuk peningkatan mutu eksternal adalah perizinan, sertifikasi, dan akreditasi. Rumah sakit melakukan peningkatan mutu internal dan eksternal secara berkesinambungan (continuous quality improvement).

Akreditasi adalah pengakuan terhadap mutu pelayanan rumah sakit setelah dilakukan penilaian bahwa rumah sakit telah memenuhi standar akreditasi yang disetujui oleh Pemerintah. Pada bulan Desember 2021 Kementerian Kesehatan mencatat 3.120 rumah sakit telah teregistrasi. Sebanyak  2.482  atau  78,8%  rumah  sakit  telah  terakreditasi  dan  638 rumah sakit atau 21,2% belum terakreditasi.

Upaya  percepatan  akreditasi  rumah  sakit  mengalami  beberapa kendala antara lain adanya isu atau keluhan terkait lembaga penilai akreditasi yang juga melakukan workshop atau bimbingan, penilaian akreditasi dianggap mahal, masih kurangnya peran pemerintah daerah dan   pemilik   rumah   sakit   dalam   pemenuhan   syarat   akreditasi, akuntabilitas lembaga, dan lain-lain. Pemerintah mengharapkan pada tahun 2024 seluruh rumah sakit di Indonesia telah terakreditasi sesuai dengan target RPJMN tahun 2020 – 2024. Dalam upaya meningkatkan cakupan akreditasi rumah sakit, Pemerintah mendorong terbentuknya lembaga-lembaga independen penyelenggara akreditasi serta transformasi sistem akreditasi rumah sakit. Sejalan dengan terbentuknya lembaga-lembaga independen penyelenggara akreditasi maka perlu ditetapkan standar akreditasi rumah sakit yang akan dipergunakan oleh seluruh lembaga independen penyelenggara akreditasi rumah sakit dalam melaksanakan penilaian akreditasi.

Proses penyusunan standar akreditasi rumah sakit diawali dengan pembentukan tim yang melakukan sandingan dan benchmarking standar akreditasi dengan menggunakan referensi Standar Nasional Akreditasi Rumah Sakit Edisi 1.1 dari Komisi Akreditasi Rumah Sakit, Joint Commission International Standards for Hospital edisi 7, regulasi perumahsakitan serta panduan prinsip-prinsip standar akreditasi edisi 5 yang dikeluarkan oleh The International Society for Quality in Health Care (ISQua).  Selanjutnya  dilakukan  pembahasan  dengan  melibatkan perwakilan  dari  lembaga  independen  penyelenggara  akreditasi  rumah sakit, organisasi profesi, asosiasi perumahsakitan, rumah sakit dan akademisi. Selanjutnya hasil diskusi tersebut dibahas lebih lanjut oleh panelis penyusunan standar akreditasi rumah sakit dengan mendapat masukan   secara   tertulis   dari   lembaga   independen   penyelenggara akreditasi rumah sakit. Penyusunan standar akreditasi rumah sakit mempertimbangkan penyederhanaan standar akreditasi agar lebih mudah dipahami dan dapat dilaksanakan oleh rumah sakit.

  1. Tujuan
    1. Untuk meningkatkan mutu dan keselamatan pasien di rumah sakit.
    1. Menjadi acuan  bagi  lembaga  independen penyelenggara akreditasi rumah sakit dan rumah sakit dalam penyelenggaraan akreditasi rumah sakit.
    2. Menjadi acuan bagi Kementerian Kesehatan, dinas kesehatan daerah provinsi, dan   dinas   kesehatan   daerah   kabupaten/kota   dalam pembinaan dan evaluasi mutu dan keselamatan pasien di rumah sakit.
  1. Ruang Lingkup
    1. Penyelenggaraan  akreditasi     rumah     sakit     yaitu     persiapan, pelaksanaan penilaian akreditasi, dan pasca akreditasi.
    2. Standar akreditasi rumah sakit meliputi gambaran umum, maksud dan tujuan, serta elemen penilaian pada setiap kelompok standar akreditasi rumah sakit.
  1. Kelompok Standar Akreditasi Rumah Sakit

Standar Akreditasi Rumah Sakit dikelompokkan menurut fungsi- fungsi penting yang umum dalam organisasi perumahsakitan. Standar dikelompokkan   menurut   fungsi   yang   terkait   dengan   penyediaan pelayanan bagi pasien (good clinical governance) dan upaya menciptakan organisasi rumah sakit yang aman, efektif, dan dikelola dengan baik (good corporate governance).

Standar Akreditasi Rumah Sakit dikelompokkan sebagai berikut:

      1. Kelompok Manajemen Rumah Sakit terdiri atas: Tata Kelola Rumah Sakit (TKRS), Kualifikasi dan Pendidikan Staf (KPS), Manajemen Fasilitas dan  Keselamatan  (MFK),  Peningkatan  Mutu  dan Keselamatan Pasien (PMKP), Manajemen Rekam Medik dan Informasi Kesehatan (MRMIK), Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI), dan Pendidikan dalam Pelayanan Kesehatan (PPK).
      2. Kelompok Pelayanan Berfokus pada Pasien terdiri atas: Akses dan Kontinuitas Pelayanan  (AKP),  Hak  Pasien  dan  Keluarga  (HPK), Pengkajian   Pasien   (PP),   Pelayanan   dan   Asuhan   Pasien   (PAP), Pelayanan Anestesi dan Bedah (PAB), Pelayanan Kefarmasian dan Penggunaan Obat (PKPO), dan Komunikasi dan Edukasi (KE).
      3. Kelompok Sasaran Keselamatan Pasien (SKP).
      1. Kelompok Program Nasional (PROGNAS).

BAB II

PENYELENGGARAAN AKREDITASI RUMAH SAKIT

  1. Persiapan Akreditasi

Persiapan dilakukan sepenuhnya oleh rumah sakit secara mandiri atau dengan pembinaan dari Kementerian Kesehatan, dinas kesehatan daerah provinsi, dan dinas kesehatan daerah kabupaten/kota maupun lembaga lain yang kompeten. Kegiatan persiapan akreditasi antara lain pemenuhan syarat untuk dapat diakreditasi dengan pemenuhan kelengkapan dokumen pelayanan dan perizinan, peningkatan kompetensi staf melalui pelatihan, dan kesiapan fasilitas pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Rumah Sakit dapat melakukan penilaian mandiri secara periodik tentang pemenuhan standar akreditasi rumah sakit sehingga tergambar kemampuan rumah sakit dalam memenuhi standar akreditasi yang ditetapkan. Setelah dinilai mampu oleh pimpinan rumah sakit, maka rumah sakit dapat mengajukan permohonan survei kepada lembaga independen penyelenggara akreditasi yang dipilih oleh rumah sakit. Pemilihan lembaga dilaksanakan secara sukarela oleh rumah sakit dan tidak atas paksaan pihak manapun.

Rumah sakit yang mengajukan permohonan survei akreditasi paling sedikit harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

      1. Rumah sakit memiliki perizinan berusaha yang masih berlaku dan teregistrasi di Kementerian Kesehatan;
      2. Kepala atau direktur rumah sakit harus seorang tenaga medis yang mempunyai kemampuan dan keahlian di bidang perumahsakitan;
      3. Rumah sakit  memiliki  Izin  Pengelolaan  Limbah  Cair  (IPLC)  yang masih berlaku;
      4. Rumah sakit  memiliki  kerja  sama  dengan  pihak  ketiga  yang mempunyai izin sebagai pengolah dan/atau sebagai transporter limbah B3 yang masih berlaku atau izin alat pengolah limbah B3;
      5. Seluruh tenaga  medis  di  rumah  sakit  yang  menyelenggarakan pelayanan            kesehatan   (pemberi   asuhan)   memiliki   Surat   Tanda Registrasi (STR) dan Surat Izin Praktik (SIP) yang masih berlaku atau surat      tugas   sesuai   dengan   ketentuan   peraturan   perundang- undangan;
      1. Rumah sakit bersedia melaksanakan kewajiban dalam meningkatkan mutu dan keselamatan pasien; dan
      2. Pemenuhan  Sarana  Prasarana  dan  Alat  Kesehatan  (SPA)  minimal 60%   berdasarkan   ASPAK   dan   telah   tervalidasi   100%   oleh Kementerian  Kesehatan  atau  dinas  kesehatan  daerah  setempat sesuai dengan kewenangannya.
    1. Pelaksanaan Penilaian Akreditasi

Lembaga independen penyelenggara akreditasi melaksanakan penilaian persyaratan rumah sakit yang mengajukan permohonan kemudian  Lembaga  menetapkan  waktu  pelaksanaan akreditasi setelah persyaratan dipenuhi rumah sakit. Penilaian akreditasi dilakukan dengan metode daring dan/atau luring sesuai tahapan pelaksanaan akreditasi. Adapun tahapan pelaksanaan penilaian akreditasi adalah sebagai berikut:

    1. Persiapan dan penjelasan survei

Pada tahap ini lembaga penyelenggara akreditasi menyampaikan seluruh rangkaian kegiatan akreditasi dimulai dari persiapan survei, pelaksanaan survei dan setelah survei. Penjelasan dapat dilakukan dengan metode daring menggunakan media informasi yang tersedia dan dapat diakses oleh rumah sakit.

    1. Penyampaian dan pemeriksaan dokumen

Rumah Sakit menyampaikan dokumen kepada lembaga independen penyelenggara akreditasi melalui sistem informasi yang telah disediakan oleh lembaga independen penyelenggara akreditasi yang bersangkutan. Jenis dokumen yang akan disampaikan oleh rumah sakit mengikuti permintaan dari surveior lembaga independen penyelenggara  akreditasi  yang  disesuaikan  dengan  standar akreditasi. Lembaga independen penyelenggara akreditasi melakukan evaluasi  dan  analisis  dokumen  dan  melakukan klarifikasi kepada rumah sakit terhadap dokumen-dokumen tersebut. Kegiatan ini dilakukan secara daring menggunakan sistem informasi yang dapat diakses oleh rumah sakit.

    1. Telusur dan kunjungan lapangan

Telusur  dan  kunjungan  lapangan  dilakukan  oleh  lembaga independen penyelenggara akreditasi setelah melakukan klarifikasi dokumen   yang   disampaikan   oleh   rumah   sakit.   Telusur   dan kunjungan lapangan bertujuan untuk memastikan kondisi lapangan sesuai    dengan    dokumen    yang disampaikan,    serta    untuk mendapatkan hal-hal yang masih perlu pembuktian lapangan oleh surveior.  Pada  saat  telusur,  surveior  akan  melakukan observasi, wawancara staf, pasien, keluarga, dan pengunjung serta simulasi. Lembaga independen penyelenggara akreditasi menentukan jadwal pelaksanaan  telusur  dan  kunjungan  lapangan.  Jumlah  hari  dan jumlah surveior yang melaksanakan telusur dan kunjungan lapangan sesuai dengan ketentuan sebagai berikut:

Klasifikasi RSKelas RSJumlah HariJumlah Surveior
RS UmumA34
B23
C22
D22
RS KhususA23
B22
C22
    1. Penilaian

Lembaga independen penyelenggara akreditasi menetapkan tata cara dan tahapan penilaian akreditasi dengan berpedoman pada standar akreditasi yang   dipergunakan   saat   survei   akreditasi.   Tahapan penilaian ditentukan lembaga independen penyelenggara akreditasi dengan menerapkan prinsip-prinsip keadilan, profesionalisme, dan menghindari terjadinya konflik kepentingan. Lembaga independen penyelenggara akreditasi membuat instrumen, daftar tilik dan alat bantu untuk surveior dalam melakukan penilaian agar hasil yang diperoleh objektif dan dapat dipertanggungjawabkan.

Penentuan skor dari elemen penilaian dilakukan dengan memperhatikan kelengkapan dokumen, hasil telusur, kunjungan lapangan, simulasi kepada petugas, wawancara, dan klarifikasi yang ada di standar akreditasi mengikuti ketentuan sebagai berikut:

NoKriteriaSkor 10 (TL)Skor 5 (TS)Skor 0 (TT)TDD
1.Pemenuhan elemen penilaian≥80%20% s.d <80%<20%Tidak dapat diterap- kan
2.Bukti kepatuhan

Bukti kepatuhan ditemukan secara

konsisten  pada semua

Bukti kepatuhan ditemukan tidak konsisten/ hanya pada sebagian unit di mana persyaratan-

Bukti

kepatuhan tidak ditemukan pada semua bagian/unit   di mana

 
NoKriteriaSkor 10 (TL)Skor 5 (TS)Skor 0 (TT)TDD
  

bagian/unit   di mana persyaratan- persyaratan tersebut

berlaku. Catatan: Hasil pengamatan

tidak        dapat dianggap

sebagai  temuan apabila    hanya terjadi   pada   1 (satu) pengamatan (observasi).

persyaratan tersebut   berlaku (misalnya ditemukan kepatuhan di IRI, namun  tidak  di IRJ,  patuh  pada ruang       operasi namun        tidak patuh    di    unit rawat sehari (day surgery),     patuh pada     area-area yang menggunakan sedasi       namun tidak   patuh   di klinik gigi).persyaratan- persyaratan tersebut berlaku 
3.

Hasil wawancara dari pemenuhan persyaratan

yang ada di EP

Hasil wawancara menjelaskan sesuai   standar dan  dibuktikan dengan

dokumen     dan pengamatan

Hasil  wawancara menjelaskan sebagian    sesuai standar         dan dibuktikan

dengan dokumen dan pengamatan

Hasil wawancara

tidak       sesuai standar       dan dibuktikan dengan

dokumen     dan pengamatan

 
4.

Regulasi

sesuai dengan yang

dijelaskan di maksud dan tujuan pada standar

Regulasi     yang meliputi Kebijakan    dan SPO      lengkap sesuai    dengan maksud       dan tujuan       pada standar

Regulasi       yang meliputi

Kebijakan      dan SPO           sesuai dengan   maksud dan tujuan pada standar      hanya sebagian/tidak lengkap

Regulasi     yang meliputi Kebijakan    dan SPO         sesuai dengan maksud dan         tujuan pada      standar tidak ada 
5.Dokumen rapat/pertemu an:        seperti undangan, materi    rapat, absensi/daftar hadir,  notulen rapat.

Kelengkapan bukti  dokumen rapat  80%  s.d

100% (cross check dengan wawancara)

Kelengkapan

bukti     dokumen rapat

50% s.d <80%

Kelengkapan bukti  dokumen rapat <50% 

jdih.kemkes.go.id

NoKriteriaSkor 10 (TL)Skor 5 (TS)Skor 0 (TT)TDD
6.

Dokumen pelatihan seperti kerangka

acuan (TOR) pelatihan yang dilampiri

jadwal   acara, undangan, materi/bahan pelatihan, absensi/daftar hadir,  laporan pelatihan

Kelengkapan bukti  dokumen pelatihan    80% s.d 100%

Kelengkapan

bukti     dokumen pelatihan 50% s.d

<80%

Kelengkapan bukti  dokumen pelatihan <50% 
7.

Dokumen orientasi    staf seperti kerangka

acuan (TOR) orientasi yang dilampiri

jadwal   acara, undangan, absensi/daftar hadir, laporan, penilaian hasil orientasi   dari kepala     SDM (orientasi umum)     atau kepala      unit (orientasi khusus)

Kelengkapan bukti  dokumen orientasi     80% s.d 100%

Kelengkapan

bukti     dokumen orientasi 50% s.d

<80%

Kelengkapan bukti  dokumen orientasi <50% 
8.Hasil observasi pelaksanaan kegiatan/ pelayanan sesuai regulasi dan standar

Pelaksanaan kegiatan/ pelayanan

sesuai   regulasi dan       standar

80% s.d 100% Contoh:  9  dari

10 kegiatan/ pelayanan yang diobservasi

Pelaksanaan kegiatan/ pelayanan sesuai regulasi         dan standar  50%  s.d

<80% Contoh: 5 dari 10 kegiatan/ pelayanan yang diobservasi

sudah memenuhi

Pelaksanaan kegiatan/ pelayanan

sesuai   regulasi dan       standar

<50%

Contoh:   hanya

4      dari      10 kegiatan/ pelayanan  yang

 

jdih.kemkes.go.id

NoKriteriaSkor 10 (TL)Skor 5 (TS)Skor 0 (TT)TDD
  sudah memenuhi EPEPdiobservasi memenuhi EP 
9.Hasil  simulasi staf       sesuai regulasi/ standar

Staf            dapat memperagakan/ mensimulasikan sesuai   regulasi/ standar: 80% s.d

100%

Contoh: 9 dari 10 staf yang diminta simulasi    sudah memenuhi regulasi/standar

Staf              dapat memperagakan/ mensimulasikan sesuai     regulasi/ standar   50%   s.d

<80%

Contoh: 5 dari 10 staf yang diminta simulasi     sudah memenuhi regulasi/standar

Staf            dapat memperagakan/ mensimulasikan sesuai   regulasi/ standar <50% Contoh: hanya 4 dari 10 staf yang diminta  simulasi sudah memenuhi regulasi/standar 
10.

Kelengkapan rekam    medik (Telaah  rekam medik tertutup), pada survei  awal  4 bulan sebelum survei,     pada survei     ulang

12          bulan sebelum survei

Rekam     medik lengkap 80% s.d

100%   saat   di lakukan telaah. Contoh      hasil telaah: 9 dari 10 rekam      medik yang lengkap

Rekam       medik lengkap  50%  s.d

<80%    saat    di lakukan telaah. Contoh         hasil telaah: 5 dari 10 rekam        medik yang lengkap

Rekam     medik lengkap  kurang dari 50% saat di lakukan telaah. Contoh      hasil telaah: hanya 4 dari  10  rekam medik        yang lengkap 

Keterangan:

TL    :   Terpenuhi Lengkap TS    :   Terpenuhi Sebagian TT    :   Tidak Terpenuhi

TDD :   Tidak Dapat Diterapkan

    1. Penutupan

Setelah dilakukan telusur dan kunjungan lapangan termasuk klarifikasi kepada rumah sakit, maka surveior dapat menyampaikan hal-hal  penting  yang  berkaitan  dengan  pelaksanaan  akreditasi kepada rumah sakit secara langsung/luring. Tujuan tahapan ini adalah untuk memberi gambaran kepada rumah sakit bagaimana proses akreditasi yang telah dilaksanakan dan hal-hal yang perlu mendapat perbaikan untuk meningkatkan mutu pelayanan.

    1. Pasca Akreditasi
    1. Hasil Akreditasi dan Akreditasi Ulang

Lembaga independen penyelenggara akreditasi menyampaikan hasil akreditasi kepada Kementerian Kesehatan melalui Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah dilakukan survei. Hasil akreditasi berdasarkan pemenuhan standar akreditasi dalam Keputusan Menteri ini, dilaksanakan dengan mengikuti ketentuan sebagai berikut:

Hasil AkreditasiKriteria
ParipurnaSeluruh Bab mendapat nilai minimal 80%
Utama12 – 15 Bab mendapatkan nilai 80% dan Bab SKP mendapat nilai minimal 80%. Untuk rumah sakit selain rumah sakit pendidikan/wahana pendidikan maka kelulusan adalah 12 – 14 bab dan bab SKP minimal 80 %
Madya

8 sampai 11 Bab mendapat nilai minimal 80% dan Bab

SKP mendapat nilai minimal 70%

Tidak terakreditasi

a.   Kurang dari 8 Bab yang mendapat nilai minimal 80%;

dan/atau

b.   Bab SKP mendapat nilai kurang dari 70%

Rumah sakit diberikan kesempatan mengulang pada standar yang pemenuhannya kurang dari 80%. Akreditasi ulang dapat dilakukan paling cepat 3 (tiga) bulan dan paling lambat 6 (enam) bulan sejak survei terakhir dilaksanakan.

    1. Penyampaian Sertifikat Akreditasi

Penyampaian sertifikat akreditasi rumah sakit dilakukan paling lambat 14 (empat  belas) hari setelah  survei akreditasi dilakukan. Sertifikat akreditasi mencantumkan masa berlaku akreditasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    1. Penyampaian Rekomendasi

Rekomendasi hasil penilaian akreditasi disampaikan oleh lembaga independen penyelenggara akreditasi kepada rumah sakit berisikan hal-hal yang harus ditindaklanjuti atau diperbaiki oleh rumah sakit. Penyampaian rekomendasi dilakukan bersamaan dengan penyerahan sertifikat akreditasi.

    1. Penyampaian Rencana perbaikan

Rumah sakit membuat Perencanaan Perbaikan Strategi (PPS) berdasarkan rekomendasi yang disampaikan oleh lembaga penyelenggara akreditasi. Penyampaian rencana perbaikan dilakukan dalam   waktu   45   (empat   puluh   lima)   hari   sejak   menerima rekomendasi dari lembaga penyelenggara akreditasi. Strategi rencana

perbaikan disampaikan kepada lembaga yang melakukan akreditasi, dinas kesehatan setempat untuk rumah sakit kelas B, kelas C dan Kelas D, dan untuk rumah sakit kelas A disampaikan ke Kementerian Kesehatan.

    1. Penyampaian Laporan Akreditasi

Lembaga menyampaikan pelaporan kegiatan akreditasi kepada Kementerian Kesehatan melalui sistem informasi akreditasi rumah sakit. Laporan berisi rekomendasi perbaikan yang harus dilakukan oleh rumah sakit, dan tingkat akreditasi yang dicapai oleh rumah sakit. Laporan kegiatan akreditasi dalam sistem informasi tersebut dapat diakses oleh pemerintah daerah provinsi dan dinas kesehatan daerah kabupaten/kota.

    1. Umpan Balik Pelaksanaan Survei Akreditasi Oleh Rumah Sakit

Untuk  menjamin  akuntabilitas  dan  kualitas  pelaksanaan  survei, maka setiap survei harus diikuti dengan permintaan umpan balik kepada rumah sakit terkait penyelenggaraan survei akreditasi dan kinerja dan perilaku surveior. Umpan balik disampaikan kepada lembaga          independen   penyelenggara   akreditasi   di   rumah   sakit tersebut dan Kementerian Kesehatan melalui sistem informasi akreditasi rumah sakit. Umpan balik digunakan sebagai dasar untuk upaya      peningkatan   kualitas   penyelenggaraan   survei   akreditasi. Kementerian Kesehatan dapat memanfaatkan informasi dari umpan balik         tersebut   untuk   melakukan   pembinaan   dan   pengawasan penyelenggaraan survei akreditasi kepada lembaga independen penyelenggara akreditasi rumah sakit.

BAB III

STANDAR AKREDITASI RUMAH SAKIT

  1. Kelompok Manajemen Rumah Sakit
  2. Tata Kelola Rumah Sakit (TKRS) Gambaran Umum

Rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan  pelayanan  kesehatan  perorangan  secara paripurna yang menyediakan pelayanan medis bagi rawat inap, rawat jalan, gawat darurat serta pelayanan penunjang seperti laboratorium, radiologi serta layanan lainnya. Untuk dapat memberikan pelayanan prima kepada pasien, rumah sakit dituntut memiliki kepemimpinan yang efektif. Kepemimpinan efektif ini ditentukan oleh sinergi yang positif antara Pemilik Rumah Sakit/Representasi Pemilik/Dewan Pengawas, Direktur Rumah Sakit, para pimpinan di rumah sakit, dan kepala unit kerja unit pelayanan. Direktur rumah sakit secara kolaboratif mengoperasionalkan rumah sakit bersama dengan para pimpinan, kepala unit kerja, dan unit pelayanan untuk mencapai visi misi yang ditetapkan serta memiliki tanggung jawab dalam pengelolaan pengelolaan peningkatan mutu dan keselamatan pasien, pengelolaan kontrak, serta pengelolaan sumber daya. Operasional rumah sakit berhubungan dengan seluruh pemangku kepentingan yang ada mulai dari pemilik, jajaran direksi, pengelolaan secara keseluruhan sampai dengan unit fungsional yang ada. Setiap pemangku kepentingan memiliki tugas dan tanggung jawab sesuai ketentuan peraturan dan perundangan yang berlaku.

Fokus pada Bab TKRS mencakup:

  1. Representasi Pemilik/Dewan Pengawas
    1. Akuntabilitas Direktur Utama/Direktur/Kepala Rumah Sakit c.    Akuntabilitas Pimpinan Rumah Sakit
    2. Kepemimpinan  Rumah  Sakit  Untuk  Mutu  dan  Keselamatan Pasien
  1. Kepemimpinan Rumah Sakit Terkait Kontrak
    1. Kepemimpinan   Rumah   Sakit   Terkait   Keputusan   Mengenai

Sumber Daya

    1. Pengorganisasian   dan   Akuntabilitas   Komite   Medik,   Komite

Keperawatan, dan Komite Tenaga Kesehatan Lain

    1. Akuntabilitas Kepala unit klinis/non klinis i.     Etika Rumah Sakit
    2. Kepemimpinan Untuk Budaya Keselamatan di Rumah Sakit k.    Manajemen risiko
    3. Program Penelitian Bersubjek Manusia di Rumah Sakit

Catatan: Semua standar Tata Kelola rumah sakit mengatur peran dan tanggung jawab Pemilik atau Representasi Pemilik, Direktur, Pimpinan rumah sakit dan Kepala Instalasi/Kepala Unit. Hierarki kepemimpinan dalam Standar ini terdiri dari:

    1. Pemilik/Representasi Pemilik:  satu  atau  sekelompok  orang sebagai Pemilik atau sebagai Representasi Pemilik, misalnya Dewan Pengawas.
    2. Direktur/Direktur Utama/Kepala rumah sakit: satu orang yang dipilih oleh Pemilik untuk bertanggung jawab mengelola rumah sakit
    3. Para Wakil  direktur  (Pimpinan  rumah  sakit):  beberapa  orang yang  dipilih  untuk  membantu  Direktur  Apabila  rumah  sakit tidak mempunyai Wakil direktur, maka kepala bidang/manajer dapat dianggap sebagai pimpinan rumah sakit.
    4. Kepala Unit klinis/Unit non klinis: beberapa orang yang dipilih untuk memberikan pelayanan termasuk Kepala IGD, Kepala Radiologi, Kepala Laboratorium, Kepala Keuangan, dan lainnya.

Rumah sakit yang menerapkan tata kelola yang baik memberikan kualitas pelayanan yang baik yang secara kasat mata, terlihat dari penampilan keramahan staf dan penerapan budaya 5 R (rapi, resik, rawat, rajin, ringkas) secara konsisten pada seluruh bagian rumah sakit, serta pelayanan yang mengutamakan mutu dan keselamatan pasien.

  1. Representasi Pemilik/Dewan Pengawas

1)    Standar TKRS 1

Struktur organisasi serta wewenang pemilik/representasi pemilik dijelaskan di dalam aturan internal rumah sakit (Hospital  by  Laws)  yang  ditetapkan  oleh  pemilik  rumah sakit.

2)    Maksud dan Tujuan TKRS 1

Pemilik dan representasi pemilik memiliki tugas pokok dan fungsi secara khusus dalam pengolaan rumah sakit. Regulasi yang mengatur hal tersebut dapat berbentuk peraturan internal rumah sakit atau Hospital by Laws atau dokumen lainnya yang serupa. Struktur organisasi pemilik termasuk representasi pemilik terpisah dengan struktur organisasi   rumah   sakit   sesuai   dengan   bentuk   badan hukum   pemilik   dan   peraturan   perundang-undangan. Pemilik rumah sakit tidak diperbolehkan menjadi Direktur/Direktur   Utama/Kepala   Rumah   Sakit,   tetapi posisinya  berada  di  atas  representasi  pemilik.  Pemilik rumah sakit mengembangkan sebuah proses untuk melakukan komunikasi dan kerja sama dengan Direktur/Direktur Utama/Kepala Rumah Sakit dalam rangka mencapai misi dan perencanaan rumah sakit. Representasi pemilik, sesuai dengan bentuk badan hukum kepemilikan rumah sakit memiliki wewenang dan tanggung jawab untuk memberi persetujuan, dan pengawasan agar rumah sakit mempunyai kepemimpinan yang jelas, dijalankan secara efisien, dan memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu dan aman.

Berdasarkan   hal   tersebut   maka   pemilik/representasi pemilik perlu menetapkan Hospital by Laws/peraturan internal rumah sakit yang mengatur:

    1. a) Pengorganisasian pemilik  atau  representasi  pemilik sesuai dengan bentuk badan hukum kepemilikan rumah   sakit  serta  peraturan  perundang-undangan yang berlaku.
    2. b) Peran,  tugas    dan    kewenangan    pemilik    atau representasi pemilik
    3. c) Peran, tugas dan kewenangan Direktur rumah sakit d)    Pengorganisasian tenaga medis
    4. e) Peran, tugas dan kewenangan tenaga medis.

Tanggung jawab representasi pemilik harus dilakukan agar rumah sakit mempunyai kepemimpinan yang jelas, dapat beroperasi secara efisien, dan menyediakan pelayanan kesehatan bermutu tinggi. Tanggung jawabnya mencakup namun tidak terbatas pada:

a) Menyetujui dan mengkaji visi misi rumah sakit secara periodik dan     memastikan     bahwa     masyarakat mengetahui misi rumah sakit.

b) Menyetujui berbagai strategi dan rencana operasional rumah sakit   yang   diperlukan   untuk   berjalannya rumah sakit sehari-hari.

c) Menyetujui partisipasi rumah sakit dalam pendidikan profesional kesehatan   dan   dalam   penelitian  serta mengawasi mutu dari program-program tersebut.

d) Menyetujui  dan   menyediakan   modal   serta   dana operasional dan sumber daya lain yang diperlukan untuk menjalankan rumah sakit dan memenuhi misi serta rencana strategis rumah sakit.

e) Melakukan evaluasi  tahunan  kinerja  Direksi dengan menggunakan    proses    dan    kriteria    yang    telah ditetapkan.

f) Mendukung  peningkatan   mutu   dan   keselamatan pasien dengan menyetujui program peningkatan mutu dan keselamatan pasien.

g) Melakukan  pengkajian   laporan   hasil   pelaksanaan program Peningkatan Mutu dan Keselamatan Pasien (PMKP) setiap 3 (tiga) bulan sekali serta memberikan umpan balik perbaikan yang harus dilaksanakan dan hasilnya di    evaluasi    kembali    pada    pertemuan berikutnya secara tertulis.

h) Melakukan  pengkajian   laporan   Manajemen   Risiko setiap 6 (enam) bulan sekali dan memberikan umpan balik perbaikan yang harus dilaksanakan dan hasilnya di evaluasi kembali pada pertemuan berikutnya secara tertulis.

Khusus mengenai struktur organisasi rumah sakit, hal ini sangat bergantung pada kebutuhan dalam pelayanan dan ketentuan peraturan perundangan yang ada.

3)    Elemen Penilaian TKRS 1

a) Representasi pemilik/Dewan  Pengawas  dipilih  dan ditetapkan oleh Pemilik.

b) Tanggung jawab  dan  wewenang  representasi pemilik meliputi  poin  a)  sampai  dengan  h)  yang  tertera  di dalam maksud dan tujuan serta dijelaskan di dalam peraturan internal rumah sakit.

c) Representasi pemilik/Dewan Pengawas di evaluasi oleh pemilik setiap    tahun    dan    hasil    evaluasinya didokumentasikan.

d) Representasi pemilik/Dewan  Pengawas  menetapkan visi misi rumah sakit yang diarahkan oleh pemilik.

Akuntabilitas Direktur Utama/Direktur/Kepala Rumah Sakit

1)    Standar TKRS 2

Direktur  rumah  sakit  bertanggung  jawab  untuk menjalankan rumah sakit dan mematuhi peraturan dan perundang- undangan.

2)    Maksud dan Tujuan TKRS 2

Pimpinan tertinggi organisasi Rumah Sakit adalah kepala atau Direktur Rumah Sakit dengan nama jabatan kepala, direktur utama atau direktur, dalam standar akreditasi ini disebut Direktur Rumah Sakit. Dalam menjalankan operasional Rumah Sakit, direktur dapat dibantu oleh wakil direktur atau direktur (bila pimpinan tertinggi disebut direktur utama) sesuai kebutuhan, kelompok ini disebut direksi.

Persyaratan untuk direktur Rumah Sakit sesuai dengan peraturan perundangan adalah tenaga medis yang mempunyai kemampuan dan keahlian di bidang perumahsakitan.

Pendidikan dan pengalaman Direktur tersebut telah memenuhi persyaratan untuk melaksanakan tugas yang termuat dalam uraian tugas serta peraturan dan perundangan.

Tanggung jawab Direktur dalam menjalankan rumah sakit termasuk namun tidak terbatas pada:

a) Mematuhi perundang-undangan yang berlaku.

b) Menjalankan visi  dan  misi  rumah  sakit  yang  telah ditetapkan.

c) Menetapkan kebijakan rumah sakit.

d) Memberikan  tanggapan   terhadap   setiap   laporan pemeriksaan yang dilakukan oleh regulator.

e) Mengelola dan mengendalikan sumber daya manusia, keuangan dan sumber daya lainnya.

f) Merekomendasikan  sejumlah    kebijakan,    rencana strategis, dan anggaran kepada Representatif pemilik/Dewan Pengawas     untuk     mendapatkan persetujuan.

g) Menetapkan prioritas perbaikan tingkat rumah sakit yaitu perbaikan       yang       akan       berdampak luas/menyeluruh di rumah sakit yang akan dilakukan pengukuran sebagai indikator mutu prioritas rumah sakit.

h) Melaporkan hasil  pelaksanaan  program  mutu  dan keselamatan pasien meliputi pengukuran data dan laporan         semua  insiden  keselamatan  pasien  secara berkala    setiap  3  (tiga)  bulan  kepada  Representasi pemilik/Dewan Pengawas.

i) Melaporkan hasil  pelaksanaan  program  manajemen risiko kepada Representasi pemilik/Dewan Pengawas setiap 6 (enam) bulan.

3)    Elemen Penilaian TKRS 2

a) Telah  menetapkan    regulasi    tentang    kualifikasi Direktur, uraian tugas, tanggung jawab dan wewenang sesuai dengan persyaratan dan peraturan perundang- undangan yang berlaku.

b) Direktur menjalankan operasional rumah sakit sesuai tanggung jawabnya   yang   meliputi   namun   tidak terbatas pada poin a) sampai dengan i) dalam maksud dan tujuan yang dituangkan dalam uraian tugasnya.

e) Memiliki bukti tertulis tanggung jawab Direktur telah dilaksanakan dan dievaluasi oleh pemilik/representasi pemilik setiap    tahun    dan    hasil    evaluasinya didokumentasikan.

Akuntabilitas Pimpinan Rumah Sakit

1)    Standar TKRS 3

Pimpinan rumah sakit menyusun misi, rencana kerja dan kebijakan untuk memenuhi misi rumah sakit serta merencanakan dan menentukan jenis pelayanan klinis untuk memenuhi kebutuhan pasien yang dilayani rumah sakit.

2)    Maksud dan Tujuan TKRS 3

Direktur melibatkan wakil direktur rumah sakit dan kepala- kepala unit dalam proses menyusun misi dan nilai yang dianut rumah sakit. Apabila rumah sakit tidak mempunyai wakil   direktur,   maka   kepala   bidang/manajer   dapat dianggap sebagai pimpinan rumah sakit. Berdasarkan misi tersebut, pimpinan bekerja sama untuk menyusun rencana kerja dan kebijakan yang dibutuhkan. Apabila misi dan rencana kerja dan kebijakan telah ditetapkan oleh pemilik atau Dewan Pengawas, maka pimpinan bekerja sama untuk melaksanakan misi dan kebijakan yang telah dibuat.

Jenis pelayanan yang akan diberikan harus konsisten dengan misi rumah sakit. Pimpinan rumah sakit menentukan pimpinan setiap unit klinis dan unit layanan penting lainnya.

Pimpinan rumah sakit bersama dengan para pimpinan tersebut:

a) Merencanakan cakupan dan intensitas pelayanan yang akan  disediakan   oleh   rumah   sakit,   baik   secara langsung maupun tidak langsung.

b) Meminta masukan dan partisipasi masyarakat, rumah sakit jejaring, fasilitas pelayanan kesehatan dan pihak- pihak lain untuk memenuhi kebutuhan kesehatan masyarakat. Bentuk pelayanan ini akan dimasukkan dalam penyusunan rencana strategis rumah sakit dan perspektif pasien yang akan dilayani rumah saki

c) Menentukan  komunitas     dan     populasi     pasien, mengidentifikasi pelayanan yang dibutuhkan oleh komunitas, dan merencanakan komunikasi berkelanjutan  dengan  kelompok pemangku kepentingan utama dalam komunitas. Komunikasi dapat  secara  langsung  ditujukan  kepada  individu, melalui    media    massa,    melalui    lembaga    dalam komunitas atau pihak ketiga.

Jenis informasi yang disampaikan meliputi:

a) informasi tentang  layanan,  jam  kegiatan  kerja,  dan proses untuk mendapatkan pelayanan; dan

b) informasi tentang  mutu  layanan,  yang  disediakan kepada masyarakat dan sumber rujukan.

3)    Elemen Penilaian TKRS 3

a) Direktur menunjuk pimpinan rumah sakit dan kepala unit sesuai kualifikasi dalam persyaratan jabatan yang telah ditetapkan beserta uraian tugasnya.

b) Pimpinan  rumah   sakit   bertanggung   jawab   untuk melaksanakan    misi   yang   telah   ditetapkan   dan memastikan kebijakan serta prosedur dilaksanakan.

c) Pimpinan rumah sakit bersama dengan pimpinan unit merencanakan dan menentukan jenis pelayanan klinis untuk memenuhi  kebutuhan  pasien  yang  dilayani rumah sakit.

d) Rumah sakit memberikan informasi tentang pelayanan yang disediakan   kepada   tokoh   masyarakat,   para pemangku kepentingan, fasilitas pelayanan kesehatan di sekitar rumah sakit, dan terdapat proses untuk menerima masukan bagi peningkatan pelayanannya.

4)    Standar TKRS 3.1

Pimpinan rumah sakit memastikan komunikasi yang efektif telah dilaksanakan secara menyeluruh di rumah sakit.

5)    Maksud dan Tujuan TKRS 3.1

Komunikasi yang efektif baik antara para profesional pemberi asuhan (PPA); antara unit dengan unit baik pelayanan   maupun   penunjang,   antara   PPA   dengan kelompok nonprofesional; antara PPA dengan manajemen, antara PPA dengan pasien dan keluarga; serta antara PPA dengan organisasi di luar rumah sakit merupakan tanggung jawab pimpinan rumah sakit. Pimpinan rumah sakit tidak hanya mengatur parameter komunikasi yang efektif, tetapi juga memberikan teladan dalam melakukan komunikasi efektif tentang misi, rencana strategi dan informasi terkait lainnya.  Para  pimpinan  memperhatikan  keakuratan  dan ketepatan    waktu    dalam    pemberian    informasi    dan pelaksanaan komunikasi dalam lingkungan rumah sakit. Untuk mengoordinasikan dan mengintegrasikan pelayanan kepada   pasien,   pimpinan   menetapkan   Tim/Unit   yang menerapkan    mekanisme    pemberian    informasi    dan komunikasi   misalnya   melalui   pembentukan   Tim/Unit PKRS. Metode komunikasi antar layanan dan staf dapat berupa buletin, poster, story board, dan lain-lainnya.

6)    Elemen Penilaian TKRS 3.1

a) Pimpinan rumah  sakit  memastikan  bahwa  terdapat proses               untuk    menyampaikan    informasi    dalam lingkungan  rumah  sakit  secara  akurat  dan  tepat waktu.

b) Pimpinan rumah sakit memastikan bahwa komunikasi yang efektif antara unit klinis dan nonklinis, antara PPA dengan manajemen, antar PPA dengan pasien dan keluarga serta antar staf telah dilaksanakan.

c) Pimpinan rumah sakit telah mengkomunikasikan visi, misi, tujuan, rencana strategis dan kebijakan, rumah sakit kepada semua staf.

Kepemimpinan Rumah Sakit Untuk Mutu dan Keselamatan Pasien.

1)    Standar TKRS 4

Pimpinan  rumah  sakit  merencanakan,  mengembangkan, dan menerapkan program peningkatan mutu dan keselamatan pasien.

2)    Maksud dan Tujuan TKRS 4

Peran para pimpinan rumah sakit termasuk dalam mengembangkan program mutu dan keselamatan pasien sangat  penting.  Diharapkan  pelaksanaan  program  mutu dan keselamatan dapat membangun budaya mutu di rumah sakit.

Pimpinan  rumah  sakit  memilih  mekanisme  pengukuran data untuk meningkatkan mutu dan keselamatan pasien. Di samping itu, pimpinan rumah sakit juga memberikan arahan  dan  dukungan  terhadap  pelaksanaan  program misalnya menyediakan sumber daya yang cukup agar Komite/Tim Penyelenggara Mutu dapat bekerja secara efektif.

Pimpinan rumah sakit juga menerapkan mekanisme dan proses untuk memantau dan melakukan koordinasi secara menyeluruh terhadap penerapan program di rumah sakit. Koordinasi ini dapat tercapai melalui pemantauan dari Komite/Tim Penyelenggara Mutu, atau struktur lainnya. Koordinasi menggunakan pendekatan sistem untuk pemantauan mutu dan aktivitas perbaikan sehingga mengurangi duplikasi; misalnya terdapat dua unit yang secara  independen  mengukur  suatu  proses  atau  luaran yang sama.

Komunikasi dan pemberian informasi tentang hasil program peningkatan mutu dan keselamatan pasien secara berkala setiap triwulan kepada Direktur dan staf merupakan hal yang penting. Informasi yang diberikan mencakup hasil pengukuran data, proyek perbaikan mutu yang baru akan dilaksanakan atau proyek perbaikan mutu yang sudah diselesaikan, hasil pencapaian Sasaran Keselamatan Pasien,penelitian terkini dan program kaji banding.

Saluran komunikasi ditetapkan oleh pimpinan rumah sakit menggunakan jalur yang efektif serta mudah dipahami, meliputi:

a) Informasi hasil  pengukuran  data  kepada  Direktur, misalnya Dashboard.

b) Informasi hasil pengukuran data kepada staf misalnya buletin, papan cerita (story board), pertemuan staf, dan proses lainnya.

3)    Elemen Penilaian TKRS 4

a) Direktur dan  Pimpinan  rumah  sakit  berpartisipasi dalam                 merencanakan       mengembangkan       dan menerapkan                 program     peningkatan     mutu     dan keselamatan pasien di lingkungan rumah sakit.

b) Pimpinan  rumah   sakit   memilih   dan   menetapkan proses               pengukuran,    pengkajian    data,    rencana perbaikan  dan  mempertahankan  peningkatan  mutu dan keselamatan pasien di lingkungan rumah sakit

c) Pimpinan  rumah   sakit   memastikan   terlaksananya program                 PMKP   termasuk   memberikan   dukungan teknologi dan sumber daya yang adekuat serta menyediakan pendidikan  staf  tentang  peningkatan mutu dan keselamatan pasien di rumah sakit agar dapat berjalan secara efektif.

d) Pimpinan  rumah    sakit    menetapkan    mekanisme pemantauan                       dan   koordinasi   program   peningkatan mutu dan keselamatan pasien.

4)    Standar TKRS 5

Direktur dan Pimpinan rumah sakit berpartisipasi dalam menetapkan  prioritas  perbaikan  di  tingkat  rumah  sakit yang merupakan proses yang berdampak luas/menyeluruh di rumah sakit termasuk di dalamnya kegiatan keselamatan pasien serta analisis dampak dari perbaikan yang telah dilakukan.

5)    Maksud dan Tujuan TKRS 5

Tanggung jawab direktur dan pimpinan rumah sakit adalah menetapkan  Prioritas  perbaikan  di  tingkat  rumah  sakit yaitu  perbaikan  yang  akan  berdampak  luas/menyeluruh dan dapat dilakukan di berbagai unit klinis maupun non klinis. Prioritas perbaikan tersebut harus dilakukan pengukuran dalam bentuk indikator mutu prioritas rumah sakit (IMP-RS).

Pengukuran prioritas perbaikan tingkat rumah sakit mencakup:

a) Sasaran  keselamatan  pasien  meliputi enam Sasaran Keselamatan Pasien (SKP)

b) Pelayanan klinis prioritas untuk dilakukan perbaikan misalnya pada   pelayanannya   berisiko   tinggi   dan terdapat masalah dalam pelayanan tersebut, seperti pada     pelayanan     hemodialisa     serta     pelayanan kemoterapi. Pemilihan pelayanan klinis prioritas dapat menggunakan kriteria pemilihan prioritas pengukuran dan perbaikan.

c) Tujuan strategis  rumah  sakit  misalnya  rumah sakit ingin          menjadi  rumah  sakit  rujukan  untuk  pasien kanker.          Maka  prioritas  perbaikannya  dapat  dalam bentuk Key Performance indicator (KPI) dapat berupa peningkatkan efisiensi, mengurangi angka readmisi, mengurangi       masalah   alur   pasien   di   IGD   atau memantau mutu layanan yang diberikan oleh pihak lain yang dikontrak.

d) Perbaikan  sistem    adalah    perbaikan    yang    jika dilakukan                    akan   berdampak   luas/menyeluruh   di rumah sakit yang dapat diterapkan di beberapa unit misalnya sistem pengelolaan obat, komunikasi serah terima dan lain-lainnya.

e) Manajemen risiko untuk melakukan perbaikan secara proaktif terhadap proses berisiko tinggi misalnya yang telah dilakukan analisis FMEA atau dapat diambil dari profil risiko

f) Penelitian  klinis  dan  program  pendidikan  kesehatan (apabila ada). Untuk   memilih   prioritas   pengukuran   dan   perbaikan menggunakan kriteria prioritas mencakup:

a) Masalah yang paling banyak di rumah sakit. b)    Jumlah yang banyak (High volume).

c) Proses berisiko tinggi (High process).

d) Ketidakpuasan pasien dan staf.

e) Kemudahan dalam pengukuran.

f) Ketentuan Pemerintah / Persyaratan Eksternal.

g) Sesuai dengan tujuan strategis rumah sakit.

h) Memberikan pengalaman  pasien  lebih  baik  (patient experience).

Direktur dan Pimpinan rumah sakit berpartisipasi dalam penentuan pengukuran perbaikan. Penentuan prioritas terukur dapat menggunakan skoring prioritas.

Direktur dan pimpinan rumah sakit akan menilai dampak perbaikan dapat berupa:

a) Dampak primer adalah hasil capaian setelah dilakukan perbaikan misalnya  target  kepuasan  pasien  tercapai 90%,  atau  hasil  kepatuhan  terhadap  proses  yang ditetapkan misalnya, kepatuhan pelaporan hasil kritis < 30 menit tercapai 100%.

b) Dampak sekunder adalah dampak terhadap efisiensi setelah dilakukan  perbaikan  misalnya  efisiensi pada proses  klinis  yang  kompleks,  perubahan  alur pelayanan yang    kompleks,    penghematan    biaya pengurangan sumber daya, perubahan ruangan yang dibutuhkan yang digunakan dalam proses pelayanan tersebut.

Penilaian dampak perbaikan akan memberikan pemahaman tentang biaya yang dikeluarkan untuk investasi mutu, sumber daya manusia, keuangan, dan keuntungan lain dari investasi  tersebut.  Direktur  dan  pimpinan  rumah  sakit akan menetapkan cara/tools sederhana untuk membandingkan sumber daya yang digunakan pada proses yang lama dibandingkan proses yang baru dengan membandingkan dampak perbaikan pada hasil keluaran pasien dan atau biaya yang menyebabkan efisiensi. Hal ini akan menjadi pertimbangan dalam penentuan prioritas perbaikan pada periode berikutnya, baik di tingkat rumah sakit maupun di tingkat unit klinis/non klinis. Apabila semua informasi ini digabungkan secara menyeluruh, maka direktur dan pimpinan rumah sakit dapat lebih memahami bagaimana mengalokasikan sumber daya mutu dan keselamatan pasien yang tersedia.

6)    Elemen Penilaian TKRS 5

a) Direktur dan pimpinan rumah sakit menggunakan data yang tersedia (data based) dalam menetapkan indikator prioritas rumah   sakit   yang   perbaikannya   akan berdampak  luas/menyeluruh  meliputi  poin  a)  –  f) dalam maksud dan tujuan.

b) Dalam memilih prioritas perbaikan di tingkat rumah sakit maka Direktur dan pimpinan mengggunakan kriteria prioritas meliputi poin a) – h) dalam maksud dan tujuan.

c) Direktur dan pimpinan rumah sakit mengkaji dampak perbaikan primer  dan  dampak  perbaikan  sekunder pada indikator prioritas rumah sakit yang ditetapkan di tingkat rumah sakit maupun tingkat unit.

e). Kepemimpinan Rumah Sakit Terkait Kontrak

1)    Standar TKRS 6

Pimpinan Rumah Sakit bertanggung jawab untuk mengkaji, memilih, dan memantau kontrak klinis dan nonklinis serta melakukan evaluasi termasuk inspeksi kepatuhan layanan sesuai kontrak yang disepakati.

2)    Maksud dan Tujuan TKRS 6

Rumah sakit dapat memilih pelayanan yang akan diberikan kepada pasien apakah akan memberikan pelayanan secara langsung atau tidak langsung misalnya rujukan, konsultasi atau perjanjian kontrak lainnya. Pimpinan rumah sakit menetapkan jenis dan ruang lingkup layanan yang akan di kontrakkan baik kontrak klinis maupun kontrak manajemen. Jenis dan ruang lingkup layanan tersebut kemudian dituangkan dalam kontrak/perjanjian untuk memastikan bahwa pelayanan yang diberikan memenuhi kebutuhan pasien.

Kontrak  pelayanan  klinis  disebut  kontrak  klinis  adalah perjanjian pelayanan klinis yang diberikan oleh pihak ketiga kepada  pasien  misalnya  layanan  laboratorium,  layanan radiologi   dan   pencitraan   diagnostik   dan   lain-lainnya. Kontrak pelayanan manajemen disebut kontrak manajemen adalah perjanjian yang menunjang kegiatan rumah sakit dalam  memberikan  pelayanan  kepada  pasien  misalnya: layanan    kebersihan,    kemanan,    rumah    tangga/tata graha/housekeeping, makanan, linen, dan lain-lainnya. Kontrak   klinis   bisa   juga   berhubungan   dengan   staf profesional  kesehatan.  misalnya,  kontrak  perawat  untuk pelayanan intensif, dokter tamu/dokter paruh waktu, dan lain-lainnya. Dalam kontrak tersebut harus menyebutkan bahwa    staf    profesional    tersebut    telah    memenuhi persyaratan  yang  ditetapkan  Rumah  Sakit.  Manajemen rumah  sakit  menetapkan  kriteria  dan  isi  kontrak  agar

kerjasama  dapat  berjalan  dengan  baik  dan  rumah  sakit memperoleh manfaat dan pelayanan yang bermutu. Pimpinan unit berpartisipasi dalam mengkaji dan memilih semua  kontrak  klinis  dan  nonklinis  serta  bertanggung jawab untuk memantau kontrak tersebut.

Kontrak  dan  perjanjian-  perjanjian  merupakan  bagian dalam program mutu dan keselamatan pasien. Untuk memastikan mutu dan keselamatan pasien, perlu dilakukan evaluasi untuk semua layanan yang diberikan baik secara langsung oleh rumah sakit

maupun melalui kontrak. Karena itu, rumah sakit perlu meminta informasi mutu (misalnya quality control), menganalisis, kemudian mengambil tindakan terhadap informasi mutu yang diberikan pihak yang di kontrak. Isi kontrak  dengan  pihak  yang  dikontrak  harus mencantumkan  apa  yang  diharapkan  untuk  menjamin mutu dan keselamatan pasien, data apa yang harus diserahkan  kepada  rumah  sakit,  frekuensi  penyerahan data, serta formatnya. Pimpinan unit layanan menerima laporan mutu dari pihak yang dikontrak tersebut, untuk kemudian ditindaklanjuti dan memastikan bahwa laporan- laporan tersebut diintegrasikan ke dalam proses penilaian mutu rumah sakit.

3)    Elemen Penilaian TKRS 6

a) Pimpinan rumah  sakit  bertanggung  jawab  terhadap kontrak               untuk   memenuhi   kebutuhan   pasien  dan manajemen               termasuk    ruang    lingkup    pelayanan tersebut                     yang    dicantumkan    dalam    persetujuan kontrak.

b) Tenaga kesehatan  yang  dikontrak  perlu  dilakukan kredensial sesuai ketentuan di rumah sakit.

c) Pimpinan  rumah   sakit   menginspeksi   kepatuhan layanan kontrak sesuai kebutuhan

d) Apabila kontrak dinegosiasikan ulang atau dihentikan, rumah sakit tetap mempertahankan kelanjutan dari pelayanan pasien

e) Semua kontrak  menetapkan  data  mutu  yang  harus dilaporkan kepada rumah sakit, disertai frekuensi dan mekanisme pelaporan, serta bagaimana rumah sakit akan       merespons  jika  persyaratan  atau  ekspektasi mutu tidak terpenuhi.

f) Pimpinan klinis dan non klinis yang terkait layanan yang dikontrak melakukan analisis dan memantau informasi mutu yang dilaporkan pihak yang dikontrak yang merupakan bagian dalam program penigkatan mutu dan keselamatan pasien rumah sakit.

Kepemimpinan Rumah  Sakit  Terkait  Keputusan Mengenai Sumber Daya

1)    Standar TKRS 7

Pimpinan rumah sakit membuat keputusan tentang pengadaan dan pembelian. Penggunaan sumber daya manusia dan sumber daya lainnya harus berdasarkan pertimbangan mutu dan dampaknya pada keselamatan.

2)    Maksud dan Tujuan TKRS 7

Pimpinan rumah sakit akan mengutamakan mutu dan keselamatan pasien daripada biaya pada saat akan mengambil keputusan terkait pembelian dan keputusan terhadap sumber daya lainnya seperti pengurangan atau pemindahan staf keperawatan. Misalnya pada saat diputuskan untuk membeli pompa infus baru, maka informasi   tingkat   kegagalan   dan   insiden   keselamatan pasien terkait alat yang akan dibeli, preferensi dari staf, catatan terkait adanya masalah dengan alarm dari pompa infus, pemeliharaan alat, pelatihan yang diperlukan dan hal lain terkait mutu dan keselamatan pasien di pakai sebagai dasar untuk membuat keputusan pembelian.

Pimpinan rumah sakit mengembangkan proses untuk mengumpulkan data dan informasi untuk pembelian ataupun keputusan mengenai sumber daya untuk memastikan bahwa keputusannya sudah berdasarkan pertimbangan mutu dan keselamatan.

Data terkait keputusan mengenai sumber daya adalah memahami kebutuhan dan rekomendasi peralatan medis, perbekalan dan obat-obatan yang dibutuhkan untuk pelayanan. Rekomendasi dapat diperoleh dari pemerintah, organisasi profesional nasional dan internasional serta sumber berwenang lainnya.

Investasi untuk teknologi informasi kesehatan (TIK) merupakan sumber daya yang penting bagi rumah sakit. TIK meliputi berbagai teknologi yang mencakup metode pendokumentasian   dan   penyebaran   informasi   pasien, seperti rekam medis elektronik. Selain itu, TIK juga meliputi metode untuk menyimpan dan menganalisis data, mengomunikasikan informasi antarpraktisi kesehatan agar dapat mengoordinasikan pelayanan lebih baik, serta untuk menerima informasi yang dapat membantu menegakkan diagnosis dan memberikan pelayanan yang aman bagi pasien. Implementasi sumber daya TIK membutuhkan arahan, dukungan, dan pengawasan dari pimpinan rumah sakit. Ketika keputusan mengenai pengadaan sumber daya dibuat oleh pihak ketiga misalnya Kementerian Kesehatan, maka pimpinan rumah sakit menginformasikan kepada Kementerian Kesehatan pengalaman dan preferensi sumber daya tersebut sebagai dasar untuk membuat keputusan.

3)    Elemen Penilaian TKRS 7

a) Pimpinan  rumah   sakit   menggunakan   data   dan informasi mutu serta dampak terhadap keselamatan untuk    membuat     keputusan     pembelian     dan penggunaan peralatan baru.

b) Pimpinan  rumah   sakit   menggunakan   data   dan informasi mutu serta dampak terhadap keselamatan dalam pemilihan, penambahan, pengurangan dan melakukan rotasi staf.

c) Pimpinan rumah sakit menggunakan rekomendasi dari organisasi profesional dan sumber berwenang lainnya dalam mengambil  keputusan  mengenai  pengadaan sumber daya.

d) Pimpinan rumah sakit memberikan arahan, dukungan, dan pengawasan terhadap penggunaan sumber daya Teknologi informasi Kesehatan (TIK)

e) Pimpinan rumah sakit memberikan arahan, dukungan, dan pengawasan   terhadap   pelaksanaan   program penanggulangan kedaruratan dan bencana.

f) Pimpinan rumah sakit memantau hasil keputusannya dan menggunakan data tersebut untuk mengevaluasi dan memperbaiki  mutu  keputusan  pembelian  dan pengalokasian sumber daya.

4)    Standar TKRS 7.1

Pimpinan  rumah  sakit  mencari  dan  menggunakan  data serta informasi tentang keamanan dalam rantai perbekalan untuk melindungi pasien dan staf terhadap produk yang tidak stabil, terkontaminasi, rusak, dan palsu.

5)    Maksud dan Tujuan TKRS.7.1

Pengelolaan  rantai  perbekalan  merupakan  hal  penting untuk memastikan keamanan dan mutu perbekalan rumah sakit. Rantai perbekalan meliputi serangkaian proses dimulai dari produsen hingga pengantaran perbekalan ke rumah sakit. Jenis dan jumlah perbekalan yang digunakan rumah sakit sangat bervariasi, oleh karena itu rumah sakit harus mengelola begitu banyak rantai perbekalan. Karena staf dan sumber daya yang terbatas, tidak semua rantai perbekalan dapat dilacak dan dievaluasi di saat yang sama. Oleh karena itu, rumah sakit harus menentukan obat- obatan,  perbekalan  medis,  serta  peralatan  medis  yang paling berisiko tidak stabil, mengalami kontaminasi, rusak, atau ditukar dengan produk palsu atau imitasi.

Untuk   perbekalan-perbekalan   yang   berisiko   tersebut, rumah sakit menentukan langkah-langkah untuk mengelola rantai  perbekalannya.  Meskipun  informasi  ini  mungkin tidak lengkap dan sulit untuk dirangkaikan menjadi satu, minimal rumah sakit harus memutuskan di manakah terdapat   risiko   yang   paling   tinggi,   misalnya   dengan membuat bagan alur/flow chart untuk memetakan setiap langkah, atau titik dalam rantai perbekalan dengan mencantumkan produsen, fasilitas gudang, vendor, distributor, dan lain-lainnya.

Rumah  sakit  dapat  menunjukkan  titik  mana  di  dalam bagan alur tersebut yang memiliki risiko paling signifikan. misalnya, rumah  sakit  menentukan  obat insulin sebagai obat yang paling berisiko di rumah sakit, kemudian membuat bagan alur yang menunjukkan setiap langkah dalam rantai perbekalan obat insulin. Rumah sakit kemudian   menentukan   titik-titik   mana   yang   berisiko, seperti  titik  produsen,  vendor,  gudang,  dan  pengiriman, serta dapat menentukan elemen-elemen penting lainnya yang harus dipertimbangkan seperti kepatuhan produsen terhadap regulasi, pengendalian dan pemantauan suhu di gudang, serta pembatasan jarak tempuh antar satu titik ke titik yang lain dalam rantai perbekalan. Pada saat meninjau risiko potensial dalam suatu rantai perbekalan, rumah sakit mengetahui bahwa ternyata vendor baru saja menandatangani kontrak dengan perusahaan pengiriman logistik yang layanannya kurang memuaskan, termasuk pengiriman yang terlambat dan pencatatan pemantauan suhu yang tidak konsisten selama pengiriman. Setelah mengkaji situasi ini, rumah sakit dapat menggolongkan hal ini sebagai risiko yang signifikan dalam rantai perbekalan. Pimpinan rumah sakit harus mengambil keputusan untuk membuat perubahan terhadap rantai perbekalan dan menentukan prioritas pengambilan keputusan terkait pembelian berdasarkan informasi titik risiko dalam rantai perbekalan tersebut.

Pengelolaan rantai perbekalan bukan hanya mengenai evaluasi  prospektif   terhadap   perbekalan  yang  berisiko tinggi, proses ini juga meliputi pelacakan retrospektif terhadap perbekalan yang ada setelah perbekalan tersebut diantarkan ke rumah sakit. Rumah sakit harus memiliki proses untuk mengidentifikasi obat-obatan, perbekalan medis, serta peralatan medis yang tidak stabil, terkontaminasi, rusak atau palsu dan melacak kembali perbekalan-perbekalan tersebut untuk menentukan sumber atau penyebab masalah yang ada, jika memungkinkan. Rumah sakit harus memberitahu produsen dan/atau distributor apabila ditemukan perbekalan yang tidak stabil, terkontaminasi, rusak atau palsu dalam pelacakan retrospektif.

Ketika perbekalan rumah sakit dibeli, disimpan dan didistribusikan oleh pemerintah, rumah sakit dapat berpartisipasi untuk mendeteksi dan melaporkan jika menemukan perbekalan yang diduga tidak stabil, terkontaminasi,   rusak,   atau   palsu   serta   melakukan tindakan   untuk   mencegah   kemungkinan   bahaya   bagi pasien. Meskipun rumah sakit pemerintah mungkin tidak tahu   integritas   dari   setiap   pemasok   dalam   rantai perbekalan, rumah sakit perlu ikut memantau perbekalan yang dibeli dan dikelola oleh pemerintah ataupun nonpemerintah.

6)    Elemen Penilaian TKRS 7.1

a) Pimpinan  rumah   sakit   menentukan   obat-obatan, perbekalan medis, serta peralatan medis yang paling berisiko  dan  membuat  bagan  alur  rantai perbekalannya.

b) Pimpinan  rumah   sakit   menentukan   titik   paling berisiko               dalam  bagan  alur  rantai  perbekalan  dan membuat keputusan berdasarkan risiko dalam rantai perbekalan tersebut.

c) Rumah  sakit   memiliki   proses   untuk   melakukan pelacakan   retrospektif   terhadap   perbekalan   yang diduga tidak stabil, terkontaminasi, rusak, atau palsu.

d) Rumah  sakit    memberitahu    produsen    dan/atau distributor bila menemukan perbekalan yang tidak stabil, terkontaminasi, rusak, atau palsu.

Pengorganisasian dan Akuntabilitas Komite Medik, Komite Keperawatan, dan Komite Tenaga Kesehatan Lain

1)    Standar TKRS 8

Komite Medik, Komite Keperawatan dan Komite Tenaga Kesehatan Lain menerapkan pengorganisasisannya sesuai peraturan perundang-undangan untuk mendukung tanggung jawab serta wewenang mereka.

2)    Maksud dan Tujuan TKRS 8

Struktur  organisasi  Komite  Medik,  Komite  Keperawatan, dan   Komite   Tenaga   Kesehatan   Lain   ditetapkan   oleh Direktur sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam menjalankan fungsinya, Komite Medik, Komite Keperawatan dan Komite Tenaga Kesehatan Lain mempunyai  tanggung  jawab kepada  pasien  dan  kepada rumah sakit yaitu:

a) Mendukung komunikasi  yang  efektif  antar  tenaga profesional;

b) Menyusun  kebijakan,    pedoman,    prosedur    serta protokol,   tata   hubungan   kerja,   alur   klinis,   dan dokumen lain yang mengatur layanan klinis;

c) Menyusun kode etik profesi; dan

d) Memantau mutu pelayanan pasien lainnya.

3)    Elemen Penilaian TKRS 8

a) Terdapat struktur  organisasi  Komite  Medik,  Komite Keperawatan, dan Komite Tenaga Kesehatan Lain yang ditetapkan Direktur sesuai peraturan perundang- undangan yang berlaku.

b) Komite Medik, Komite Keperawatan dan Komite Tenaga Kesehatan Lain  melaksanakan  tanggung  jawabnya mencakup (a-d) dalam maksud dan tujuan.

c) Untuk  melaksanakan   tanggung   jawabnya   Komite Medik,              Komite   Keperawatan,   dan   Komite   Tenaga Kesehatan Lain menyusun Program kerja setiap tahun dan ditetapkan oleh Direktur.

Akuntabilitas Kepala Unit Klinis/Non Klinis

1)    Standar TKRS 9

Unit layanan di rumah sakit dipimpin oleh kepala unit yang ditetapkan oleh Direktur sesuai dengan kompetensinya untuk mengarahkan kegiatan di unitnya.

2)    Maksud dan Tujuan TKRS 9

Kinerja    yang    baik    di    unit    layanan    membutuhkan kepemimpinan    yang    kompeten    dalam    melaksanakan tanggung jawabnya yang dituangkan dalam urain tugas. Setiap    kepala    unit    merencanakan    dan    melaporkan kebutuhan   staf   dan   sumber   daya   misalnya  ruangan, peralatan  dan  sumber  daya  lainnya  kepada  pimpinan rumah sakit untuk memenuhi pelayanan sesuai kebutuhan pasien. Meskipun para kepala unit layanan telah membuat rencana  kebutuhan  sumber  daya  manusia  dan  sumber daya   lainnya,   namun   terkadang   terdapat   perubahan prioritas di dalam rumah sakit yang mengakibatkan tidak terpenuhinya sumber daya yang dibutuhkan. Oleh karena itu, kepala unit harus memiliki proses untuk merespon kekurangan sumber daya agar memastikan pemberian pelayanan yang aman dan efektif bagi semua pasien.

Kepala unit layanan menyusun kriteria berdasarkan pendidikan, keahlian, pengetahuan, dan pengalaman yang diperlukan professional pemberi asuhan (PPA) dalam memberikan  pelayanan  di  unit  layanan  tersebut.  Kepala unit layanan juga bekerja sama dengan Unit SDM dan unit lainnya dalam melakukan proses seleksi staf.

Kepala unit layanan memastikan bahwa semua staf dalam unitnya memahami tanggung jawabnya dan mengadakan kegiatan orientasi dan pelatihan bagi staf baru. Kegiatan orientasi mencakup misi rumah sakit, lingkup pelayanan yang diberikan, serta kebijakan dan prosedur yang terkait pelayanan yang diberikan di unit tersebut, misalnya semua staf telah memahami prosedur pencegahan dan pengendalian infeksi rumah sakit dan di unit layanan tersebut. Bila terdapat revisi kebijakan atau prosedur baru, staf akan diberikan pelatihan ulang.

Para kepala unit kerja menyusun program kerja di masing- masing unit setiap tahun, menggunakan format yang seragam yang telah ditetapkan rumah sakit. Kepala unit kerja melakukan koordinasi dan integrasi dalam unitnya dan antar unit layanan untuk mencegah duplikasi pelayanan, misalnya koordinasi dan integrasi antara pelayanan medik dan pelayanan keperawatan.

3)    Elemen Penilaian TKRS 9

a) Kepala unit  kerja  diangkat  sesuai  kualifikasi  dalam persyaratan jabatan yang ditetapkan.

b) Kepala  unit       kerja       menyusun       pedoman pengorganisasian, pedoman pelayanan dan prosedur sesuai proses bisnis di unit kerja.

c) Kepala unit  kerja  menyusun  program  kerja  yang termasuk di dalamnya kegiatan peningkatan mutu dan keselamatan pasien serta manajemen risiko setiap tahun.

d) Kepala unit  kerja  mengusulkan  kebutuhan  sumber daya mencakup ruangan, peralatan medis, teknologi informasi dan sumber daya lain yang diperlukan unit layanan serta terdapat mekanisme untuk menanggapi kondisi jika terjadi kekurangan tenaga.

e) Kepala unit  kerja  telah  melakukan  koordinasi  dan integrasi                baik  dalam  unitnya  maupun  antar  unit layanan.

4)    Standar TKRS 10

Kepala unit layanan berpartisipasi dalam meningkatkan mutu dan keselamatan pasien dengan melakukan pengukuran indikator mutu rumah sakit yang dapat diterapkan di unitnya dan memantau serta memperbaiki pelayanan pasien di unit layanannya.

5)    Maksud dan Tujuan TKRS 10

Kepala unit layanan melibatkan semua stafnya dalam kegiatan pengukuran indikator prioritas rumah sakit yang perbaikan  akan  berdampak  luas/menyeluruh  di  rumah sakit baik kegiatan klinis maupun non klinis yang khusus untuk unit layanan tersebut. Misalnya indikator prioritas rumah sakit adalah komunikasi saat serah terima yang perbaikannya akan berdampak luas/menyeluruh di semua unit klinis maupun non klinis. Hal yang sama juga dapat dilakukan pada unit non klinis untuk memperbaiki komunikasi serah terima dengan menerapkan proyek otomatisasi untuk memonitor tingkat keakurasian saat pembayaran pasien.

Kepala unit klinis memilih indikator mutu yang akan dilakukan pengukuran sesuai dengan pelayanan di unitnya mencakup hal-hal sebagai berikut:

a) Pengukuran indikator nasional mutu (INM).

b) Pengukuran indikator  mutu  prioritas  rumah  sakit (IMP-RS) yang berdampak luas dan menyeluruh di rumah sakit.

c) Pengukuran indikator  mutu  prioritas unit (IMP-unit) untuk mengurangi variasi, meningkatkan keselamatan pada             prosedur/tindakan     berisiko     tinggi     dan meningkatkan kepuasan pasien serta efisiensi sumber daya.

Pemilihan pengukuran berdasarkan pelayanan dan bisnis proses   yang   membutuhkan   perbaikan   di   setiap   unit layanan. Setiap pengukuran harus ditetapkan target yang diukur dan dianalisis capaian dan dapat dipertahankan dalam waktu 1 (satu) tahun. Jika target telah tercapai dan dapat dipertahankan untuk dalam waktu 1 (satu) tahun maka dapat diganti dengan indikator yang baru.

Kepala  unit  layanan  klinis  dan  non  klinis  bertanggung jawab memberikan penilaian kinerja staf yang bekerja di unitnya. Karena itu penilaian kinerja staf harus mencakup kepatuhan terhadap prioritas perbaikan mutu di unit yaitu indikator mutu prioritas unit (IMP-unit) sebagai upaya perbaikan di setiap unit untuk meningkatkan mutu dan keselamatan pasien tingkat unit.

6)    Elemen Penilaian TKRS 10

a) Kepala unit klinis/non klinis melakukan pengukuran INM yang sesuai dengan pelayanan yang diberikan oleh unitnya

b) Kepala unit klinis/non klinis melakukan pengukuran IMP-RS yang sesuai dengan pelayanan yang diberikan oleh unitnya, termasuk semua layanan kontrak yang menjadi tanggung jawabnya.

c) Kepala unit klinis/non klinis menerapkan pengukuran IMP-Unit untuk mengurangi variasi dan memperbaiki proses dalam unitnya,

d) Kepala  unit   klinis/non   klinis   memilih   prioritas perbaikan yang baru bila perbaikan sebelumnya sudah dapat dipertahankan dalam waktu 1 (satu) tahun.

7)    Standar TKRS 11

Kepala   unit   klinis   mengevaluasi   kinerja   para   dokter, perawat dan tenaga kesehatan profesional lainnya menggunakan indikator mutu yang diukur di unitnya.

8)    Maksud dan Tujuan TKRS 11

Kepala unit klinis bertanggung jawab untuk memastikan bahwa mutu pelayanan yang diberikan oleh stafnya dilakukan secara konsisten dengan melakukan evaluasi kinerja terhadap stafnya. Kepala unit klinis juga terlibat dalam memberikan rekomendasi tentang penunjukan, delineasi kewenangan, evaluasi praktik profesional berkelanjutan (On going Professional Practice Evaluation), serta penugasan kembali dokter/perawat/tenaga kesehatan lain yang bertugas dalam unitnya.

9)    Elemen Penilaian TKRS 11

a) Penilaian praktik profesional berkelanjutan (On going Professional Practice Evaluation) para dokter dalam memberikan pelayanan untuk  meningkatkan  mutu dan keselamatan pasien menggunakan indikator mutu yang diukur di unit tersebut.

b) Penilaian kinerja  para  perawat  dalam  memberikan pelayanan                      untuk      meningkatkan      mutu      dan keselamatan   pasien   menggunakan   indikator  mutu yang diukur di unit tersebut.

c) Penilaian  kinerja     tenaga     kesehatan     lainnya memberikan  pelayanan  untuk  meningkatkan  mutu dan keselamatan pasien menggunakan indikator mutu yang diukur di unit tersebut.

Etika Rumah Sakit

1)    Standar TKRS 12

Pimpinan rumah sakit menetapkan kerangka kerja pengelolaan etik rumah sakit untuk menangani masalah etik rumah sakit meliputi finansial, pemasaran, penerimaan pasien,  transfer  pasien,  pemulangan  pasien  dan  yang lainnya  termasuk  konflik  etik  antar  profesi serta konflik kepentingan staf yang mungkin bertentangan dengan hak dan kepentingan pasien.

2)    Maksud dan Tujuan TKRS 12

Rumah sakit menghadapi banyak tantangan untuk memberikan pelayanan yang aman dan bermutu. Dengan kemajuan dalam teknologi medis, pengaturan finansial, dan harapan yang terus meningkat, dilema etik dan kontroversi telah menjadi suatu hal yang lazim terjadi.

Pimpinan  rumah  sakit  bertanggung  jawab  secara profesional  dan  hukum  untuk  menciptakan  dan mendukung lingkungan dan budaya etik dan dan memastikan bahwa pelayanan pasien diberikan dengan mengindahkan norma bisnis, keuangan, etika dan hukum, serta melindungi pasien dan hak-hak pasien serta harus menunjukkan teladan perilaku etik bagi stafnya.

Untuk melaksanakan hal tersebut Direktur menetapkan Komite Etik rumah sakit untuk menangani masalah dan dilema etik dalam dalam pelayanan klinis (misalnya perselisihan  antar  profesional  dan   perselisihan  antara pasien dan dokter mengenai keputusan dalam pelayanan pasien)   dan   kegiatan   bisnis   rumah   sakit   (misalnya kelebihan  input  pada  pembayaran  tagihan  pasien  yang harus dikembalikan oleh rumah sakit).

Dalam melaksanakan tugasnya Komite Etik:

a) Menyusun kode etik rumah sakit yang mengacu pada kode etik rumah sakit Indonesia (KODERSI)

b) Menyusun kerangka  kerja  pengelolaan  etik  rumah sakit mencakup tapi tidak terbatas pada:

(1)    Menjelaskan   pelayanan   yang   diberikan   pada pasien secara jujur;

(2)   Melindungi kerahasiaan informasi pasien;

(3)    Mengurangi   kesenjangan   dalam   akses   untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dan dampak klinis.

(4)    Menetapkan    kebijakan    tentang    pendaftaran pasien, transfer, dan pemulangan pasien;

(5)    Mendukung    transparansi    dalam    melaporkan pengukuran hasil kinerja klinis dan kinerja non klinis

(6)    Keterbukaan   kepemilikan   agar   tidak   terjadi konflik                 kepentingan      misalnya      hubungan kepemilikan                 antara   dokter   yang   memberikan instruksi pemeriksaan penunjang dengan fasilitas laboratorium atau fasilitas radiologi di luar rumah sakit yang akan melakukan pemeriksaan.

(7)    Menetapkan mekanisme bahwa praktisi kesehatan dan  staf  lainnya  dapat  melaporkan  kesalahan klinis   (clinical      error)      atau      mengajukan kekhawatiran         etik    tanpa    takut    dihukum, termasuk    melaporkan    perilaku    staf    yang merugikan   terkait    masalah    klinis    ataupun operasional;

(8)    Mendukung keterbukaan dalam sistem pelaporan mengenai masalah/isu etik tanpa takut diberikan sanksi;

(9)    Memberikan solusi yang efektif dan tepat waktu untuk masalah etik yang terjadi;

(10) Memastikan    praktik    nondiskriminasi    dalam pelayanan                    pasien   dengan   mengingat   norma hukum dan budaya negara; dan

(11) Tagihan   biaya   pelayanan   harus   akurat   dan dipastikan bahwa insentif dan pengelolaan pembayaran tidak menghambat pelayanan pasien.

(12) Pengelolaan  kasus  etik  pada  konflik  etik  antar profesi di rumah sakit, serta penetapan Code of Conduct   bagi   staf   sebagai   pedoman   perilaku sesuai dengan standar etik di rumah sakit.

Komite Etik mempertimbangkan norma-norma nasional dan internasional terkait dengan hak asasi manusia dan etika profesional dalam menyusun etika dan dokumen pedoman lainnya.

Pimpinan rumah sakit mendukung pelaksanaan kerangka kerja pengeloaan etik rumah sakit seperti pelatihan untuk praktisi kesehatan dan staf lainnya.

3)    Elemen Penilaian TKRS 12

a) Direktur rumah sakit menetapkan Komite Etik rumah sakit.

b) Komite Etik  telah menyusun  kode  etik  rumah sakit yang mengacu pada Kode Etik Rumah Sakit Indonesia (KODERSI) dan ditetapkan Direktur.

c) Komite Etik telah menyusun kerangka kerja pelaporan dan pengelolaan  etik  rumah  sakit  serta  pedoman pengelolaan kode etik rumah sakit meliputi poin (1) sampai dengan (12) dalam maksud dan tujuan sesuai dengan visi, misi, dan nilai-nilai yang dianut rumah sakit.

d) Rumah  sakit    menyediakan    sumber    daya    serta pelatihan kerangka pengelolaan etik rumah sakit bagi praktisi kesehatan dan staf lainnya dan memberikan solusi  yang  efektif  dan  tepat  waktu  untuk  masalah etik.

Kepemimpinan Untuk Budaya Keselamatan di Rumah Sakit

1)    Standar TKRS 13

Pimpinan rumah sakit menerapkan, memantau dan mengambil  tindakan  serta  mendukung  Budaya Keselamatan di seluruh area rumah sakit.

2)    Maksud dan Tujuan TKRS 13

Budaya keselamatan di rumah sakit merupakan suatu lingkungan kolaboratif di mana para dokter saling menghargai  satu  sama  lain,  para  pimpinan  mendorong kerja sama tim yang efektif dan menciptakan rasa aman secara  psikologis  serta  anggota  tim  dapat  belajar  dari insiden keselamatan pasien, para pemberi layanan menyadari bahwa ada keterbatasan manusia yang bekerja dalam suatu sistem yang kompleks dan terdapat suatu proses pembelajaran serta upaya untuk mendorong perbaikan.

Budaya keselamatan juga merupakan hasil dari nilai-nilai, sikap, persepsi, kompetensi, dan pola perilaku individu maupun kelompok yang menentukan komitmen terhadap, serta kemampuan mengelola pelayanan kesehatan maupun

keselamatan.

Keselamatan    dan    mutu    berkembang    dalam    suatu lingkungan  yang  membutuhkan  kerja  sama  dan  rasa hormat satu sama lain, tanpa memandang jabatannya. Pimpinan     rumah    sakit    menunjukkan    komitmennya mendorong          terciptanya     budaya     keselamatan     tidak mengintimidasi                 dan   atau   mempengaruhi   staf   dalam memberikan     pelayanan     kepada     pasien.     Direktur menetapkan Program Budaya Keselamatan di rumah sakit yang mencakup:

a) Perilaku memberikan  pelayanan  yang  aman  secara konsisten untuk mencegah terjadinya kesalahan pada pelayanan berisiko tinggi.

b) Perilaku di  mana  para  individu  dapat  melaporkan kesalahan dan insiden tanpa takut dikenakan sanksi atau teguran dan diperlakuan secara adil (just culture)

c) Kerja sama tim dan koordinasi untuk menyelesaikan masalah keselamatan pasien.

d) Komitmen pimpinan rumah sakit dalam mendukung staf seperti waktu kerja para staf, pendidikan, metode yang aman untuk melaporkan masalah dan hal lainnya untuk menyelesaikan masalah keselamatan.

e) Identifikasi dan  mengenali  masalah  akibat  perilaku yang tidak diinginkan (perilaku sembrono).

f) Evaluasi budaya secara berkala dengan metode seperti kelompok fokus diskusi (FGD), wawancara dengan staf, dan analisis data.

g) Mendorong kerja sama dan membangun sistem, dalam mengembangkan budaya perilaku yang aman.

h) Menanggapi  perilaku   yang   tidak   diinginkan   pada semua  staf  pada  semua  jenjang  di  rumah  sakit, termasuk manajemen, staf administrasi, staf klinis dan nonklinis, dokter praktisi mandiri, representasi pemilik dan anggota Dewan pengawas.

Perilaku yang tidak mendukung budaya keselamatan di antaranya adalah: perilaku yang tidak layak seperti kata- kata   atau   bahasa   tubuh   yang   merendahkan   atau

menyinggung perasaan sesama staf, misalnya mengumpat dan memaki, perilaku yang mengganggu, bentuk tindakan verbal atau nonverbal yang membahayakan atau mengintimidasi staf lain, perilaku yang melecehkan (harassment)   terkait   dengan   ras,   agama,   dan   suku termasuk gender serta pelecehan seksual.

Seluruh pemangku kepentingan di rumah sakit bertanggungjawab  mewujudkan  budaya  keselamatan dengan berbagai cara.

Saat ini di rumah sakit masih  terdapat budaya menyalahkan orang lain ketika terjadi suatu kesalahan (blaming culture), yang akhirnya menghambat budaya keselamatan sehingga pimpinan rumah sakit harus menerapkan perlakuan yang adil (just culture) ketika terjadi kesalahan, dimana ada saatnya staf tidak disalahkan ketika terjadi kesalahan, misalnya pada kondisi:

a) Komunikasi yang kurang baik antara pasien dan staf. b)    Perlu pengambilan keputusan secara cepat.

c) Kekurangan staf dalam pelayanan pasien.

Di sisi lain terdapat kesalahan yang dapat diminta pertanggungjawabannya ketika staf dengan sengaja melakukan perilaku yang tidak diinginkan (perilaku sembrono) misalnya:

a) Tidak mau melakukan kebersihan tangan.

b) Tidak mau melakukan time-out (jeda) sebelum operasi. c)    Tidak mau memberi tanda pada lokasi pembedahan. Rumah sakit harus meminta pertanggungjawaban perilaku yang   tidak   diinginkan   (perilaku   sembrono)   dan   tidak mentoleransinya. Pertanggungjawaban dibedakan atas:

a) Kesalahan manusia  (human  error)  adalah  tindakan yang tidak disengaja yaitu melakukan kegiatan tidak sesuai dengan apa yang seharusnya dilakukan.

b) Perilaku berisiko (risk behaviour) adalah perilaku yang dapat meningkatkan   risiko   (misalnya,   mengambil langkah  pada  suatu  proses  layanan  tanpa berkonsultasi dengan atasan atau tim kerja lainnya yang dapat menimbulkan risiko).

c) Perilaku sembrono (reckless behavior) adalah perilaku yang secara    sengaja    mengabaikan    risiko    yang substansial dan tidak dapat dibenarkan.

3)    Elemen Penilaian TKRS 13

a) Pimpinan rumah sakit menetapkan Program Budaya Keselamatan yang mencakup poin a) sampai dengan h) dalam maksud    dan    tujuan    serta    mendukung penerapannya secara akuntabel dan transparan.

b) Pimpinan rumah sakit menyelenggarakan pendidikan dan menyediakan informasi (kepustakaan dan laporan) terkait budaya keselamatan bagi semua staf yang bekerja di rumah sakit.

c) Pimpinan rumah  sakit  menyediakan  sumber  daya untuk                mendukung     dan     mendorong     budaya keselamatan di rumah sakit.

d) Pimpinan rumah sakit mengembangkan sistem yang rahasia, sederhana dan mudah diakses bagi staf untuk mengidentifikasi dan melaporkan perilaku yang tidak diinginkan dan menindaklanjutinya.

e) Pimpinan rumah sakit melakukan pengukuran untuk mengevaluasi dan memantau budaya keselamatan di rumah sakit serta hasil yang diperoleh dipergunakan untuk perbaikan penerapannya di rumah sakit.

f) Pimpinan rumah sakit menerapkan budaya adil (just culture) terhadap staf yang terkait laporan budaya keselamatan tersebut.

Manajemen Risiko

1)    Standar TKRS 14

Program manajemen risiko yang terintegrasi digunakan untuk mencegah terjadinya cedera dan kerugian di rumah sakit.

2)    Maksud dan Tujuan TKRS 14

Manajemen risiko adalah proses yang proaktif dan berkesinambungan meliputi identifikasi, analisis, evaluasi, pengendalian, informasi komunikasi, pemantauan, dan pelaporan     risiko,    termasuk    berbagai    strategi    yang dijalankan untuk mengelola risiko dan potensinya. Tujuan

penerapan  manajemen  risiko  untuk  mencegah terjadinya cedera dan kerugian di rumah sakit. Rumah sakit perlu menerapkan manajemen risiko dan rencana penanganan risiko untuk memitigasi dan mengurangi risiko bahaya yang ada atau mungkin terjadi.

Beberapa kategori risiko yang harus diidentifikasi meliputi namun tidak terbatas pada risiko:

a) Operasional adalah  risiko  yang  terjadi  saat  rumah sakit memberikan pelayanan kepada pasien baik klinis maupun non klinis.

Risiko klinis yaitu risiko operasional yang terkait dengan pelayanan kepada pasien (keselamatan pasien) meliputi risiko yang berhubungan dengan perawatan klinis dan pelayanan penunjang seperti kesalahan diagnostik, bedah atau pengobatan.

Risiko non klinis yang juga termasuk risiko operasional adalah risiko PPI (terkait pengendalian dan pencegahan infeksi   misalnya   sterilisasi,   laundry,   gizi,   kamar jenazah dan lain-lainnya), risiko MFK (terkait dengan fasilitas  dan  lingkungan,  seperti  kondisi  bangunan yang membahayakan, risiko yang terkait dengan ketersediaan sumber air dan listrik, dan lain lain. Unit klinis maupun non klinis dapat memiliki risiko yang lain sesuai dengan proses bisnis/kegiatan yang dilakukan di unitnya. Misalnya unit humas dapat mengidentifikasi risiko reputasi dan risiko keuangan;

b) Risiko keuangan; risiko kepatuhan (terhadap hukum dan peraturan yang berlaku);

c) Risiko reputasi (citra rumah sakit yang dirasakan oleh masyarakat);

d) Risiko  strategis   (terkait   dengan   rencana   strategis termasuk tujuan strategis rumah sakit); dan

e) Risiko kepatuhan terhadap hukum dan regulasi.

Proses manajemen risiko yang diterapkan di rumah sakit meliputi:

a) Komunikasi dan konsultasi.

b)    Menetapkan konteks.

c) Identifikasi risiko sesuai kategori risiko pada poin a) – e)

d) Analisis risiko.

e)    Evaluasi risiko.

f) Penanganan risiko.

g)    Pemantauan risiko.

Program manajemen risiko rumah sakit harus disusun setiap tahun berdasarkan daftar risiko yang diprioritaskan dalam profil risiko meliputi:

a) Proses manajemen risiko (poin a)-g)).

b) Integrasi manajemen risiko di rumah sakit.

c) Pelaporan kegiatan program manajemen risiko.

d) Pengelolaan klaim tuntunan yang dapat menyebabkan tuntutan.

3)    Elemen Penilaian TKRS 14

a) Direktur dan pimpinan rumah sakit berpartisipasi dan menetapkan program manajemen risiko tingkat rumah sakit meliputi poin a) sampai dengan d) dalam maksud dan tujuan.

b) Direktur memantau  penyusunan  daftar  risiko  yang diprioritaskan menjadi profil risiko di tingkat rumah sakit.

Program Penelitian Bersubjek Manusia Di Rumah Sakit

1)    Standar TKRS 15

Pimpinan rumah sakit bertanggung jawab terhadap mutu dan keamanan dalam program penelitian bersubjek manusia.

2)    Maksud dan Tujuan TKRS 15

Penelitian bersubjek manusia merupakan sebuah proses yang kompleks dan signifikan bagi rumah sakit. Direktur menetapkan penanggung jawab penelitian di rumah sakit untuk melakukan pemantauan proses penelitian di rumah sakit (mis. Komite penelitian). Pimpinan rumah sakit harus memiliki komitmen yang diperlukan untuk menjalankan penelitian  dan  pada  saat  yang  bersamaan  melindungi pasien   yang   telah   setuju   untuk   mengikuti   proses pengobatan dan atau diagnostik dalam penelitian.

Komitmen   pemimpin   unit   terhadap   penelitian   dengan subjek manusia tidak terpisah dari komitmen mereka terhadap perawatan pasien-komitmen terintegrasi di semua tingkatan.  Dengan  demikian,  pertimbangan  etis, komunikasi yang baik, pemimpin unit dan layanan yang bertanggung jawab, kepatuhan terhadap peraturan, dan sumber daya keuangan dan non-keuangan merupakan komponen dari komitmen ini. Pimpinan rumah sakit mengakui kewajiban untuk melindungi pasien terlepas dari sponsor penelitian.

3)    Elemen Penilaian TKRS 15

a) Pimpinan rumah sakit menetapkan penanggung jawab program penelitian   di   dalam   rumah   sakit   yang memastikan semua proses telah sesuai dengan kode etik   penelitian   dan   persyaratan   lainnya   sesuai peraturan perundang-undangan.

b) Terdapat  proses     untuk     menyelesaian     konflik kepentingan (finansial dan non finansial) yang terjadi akibat penelitian di rumah sakit.

c) Pimpinan rumah sakit telah mengidentifikasi fasilitas dan sumber daya yang diperlukan untuk melakukan penelitian, termasuk di dalam nya kompetensi sumber daya yang akan berpartisipasi di dalam penelitian sebagai pimpinan dan anggota tim peneliti.

d) Terdapat proses  yang  memastikan  bahwa  seluruh pasien yang ikut di dalam penelitian telah melalui proses persetujuan tertulis (informed consent) untuk melakukan penelitian, tanpa adanya  paksaan untuk mengikuti penelitian dan telah mendapatkan informasi mengenai lamanya penelitian, prosedur yang harus dilalui, siapa yang dapat dikontak selama penelitian berlangsung, manfaat, potensial risiko serta alternatif pengobatan lainnya.

e) Apabila  penelitian   dilakukan   oleh   pihak   ketiga (kontrak), maka pimpinan rumah sakit memastikan bahwa pihak ketiga tersebut bertanggung jawab dalam pemantauan dan evaluasi dari mutu, keamanan dan etika dalam penelitian.

f) Penanggung jawab  penelitian  melakukan  kajian  dan evaluasi terhadap seluruh penelitian yang dilakukan di rumah sakit setidaknya 1 (satu) tahun sekali.

g) Seluruh kegiatan  penelitian  merupakan  bagian  dari program                  mutu     rumah     sakit     dan     dilakukan pemantauan serta evaluasinya secara berkala sesuai ketetapan rumah sakit.

    1. Kualifikasi dan Pendidikan Staf (KPS) Gambaran Umum

Rumah  sakit  membutuhkan  staf  yang  memiliki  keterampilan  dan kualifikasi  untuk  mencapai  misinya  dan  memenuhi  kebutuhan pasien. Para pimpinan rumah sakit mengidentifikasi jumlah dan jenis staf yang dibutuhkan berdasarkan rekomendasi dari unit.

Perekrutan,  evaluasi,  dan  pengangkatan  staf  dilakukan  melalui proses yang efisien, dan seragam. Di samping itu perlu dilakukan kredensial kepada tenaga medis, tenaga perawat, dan tenaga kesehatan lainnya, karena mereka secara langsung terlibat dalam proses pelayanan klinis.

Orientasi terhadap rumah sakit, dan orientasi terhadap tugas pekerjaan staf merupakan suatu proses yang penting. Rumah sakit menyelenggarakan program kesehatan dan keselamatan staf untuk memastikan kondisi kerja yang aman, kesehatan fisik dan mental, produktivitas, kepuasan kerja.

Program ini bersifat dinamis, proaktif, dan mencakup hal-hal yang mempengaruhi  kesehatan  dan  kesejahteraan  staf  seperti pemeriksaan kesehatan kerja saat rekrutmen, pengendalian pajanan kerja yang berbahaya, vaksinasi/imunisasi, cara penanganan pasien yang aman, staf dan kondisi-kondisi umum terkait kerja.

Fokus pada standar ini adalah:

    1. Perencanaan dan pengelolaan staf;
    2. Pendidikan dan pelatihan;
    3. Kesehatan dan keselamatan kerja staf;
    4. Tenaga medis;
    5. Tenaga keperawatan; dan
    6. Tenaga kesehatan lain.
    7. Perencanaan dan Pengelolaan Staf

1)    Standar KPS 1

Kepala unit merencanakan dan menetapkan persyaratan pendidikan, keterampilan, pengetahuan, dan persyaratan lainnya  bagi  semua  staf  di  unitnya  sesuai  kebutuhan pasien.

2)    Maksud dan Tujuan KPS 1

Kepala unit menetapkan persyaratan pendidikan, kompetensi dan pengalaman setiap staf di unitnya untuk memberikan asuhan kepada pasien. Kepala unit mempertimbangkan faktor berikut ini untuk menghitung kebutuhan staf:

a) Misi rumah sakit.

b) Populasi pasien yang dilayani dan kompleksitas serta kebutuhan pasien.

c) Layanan diagnostik dan klinis yang disediakan rumah sakit.

d) Jumlah pasien rawat inap dan rawat jalan.

e) Peralatan medis  yang  digunakan  untuk  pelayanan pasien.

Rumah sakit mematuhi peraturan dan perundang- undangan tentang syarat pendidikan, keterampilan atau persyaratan lainnya yang dibutuhkan staf.

Perencanaan  kebutuhan  staf  disusun  secara  kolaboratif oleh kepala unit dengan mengidentifikasi jumlah, jenis, dan kualifikasi staf yang dibutuhkan. Perencanaan tersebut ditinjau secara berkelanjutan dan diperbarui sesuai kebutuhan.

Proses perencanaan menggunakan metode-metode yang diakui sesuai  peraturan  perundang-undangan. Perencanaan kebutuhan mempertimbangkan hal-hal dibawah ini:

a) Terjadi peningkatan jumlah pasien atau kekurangan stad di satu unit sehingga dibutuhkan rotasi staf dari satu unit ke unit lain.

b) Pertimbangan permintaan  staf  untuk  rotasi  tugas berdasarkan                       nilai-nilai   budaya   atau   agama   dan kepercayaan.

c) kepatuhan  terhadap    peraturan    dan    perundang- undangan.

Perencanaan staf, dipantau secara berkala dan diperbarui sesuai kebutuhan.

3)    Elemen Penilaian KPS 1

a) Direktur telah menetapkan regulasi terkait Kualifikasi Pendidikan dan staf meliputi poin a – f pada gambaran umum.

b) Kepala unit  telah  merencanakan  dan  menetapkan persyaratan pendidikan, kompetensi dan pengalaman staf di  unitnya  sesuai  peraturan  dan  perundang- undangan.

c) Kebutuhan staf telah direncanakan sesuai poin a)-e) dalam maksud dan tujuan.

d) Perencanaan staf meliputi penghitungan jumlah, jenis, dan kualifikasi staf menggunakan metode yang diakui sesuai peraturan perundang-undangan.

e) Perencanaan staf termasuk membahas penugasan dan rotasi/alih fungsi staf.

f) Efektivitas  perencanaan     staf     dipantau     secara berkelanjutan dan diperbarui sesuai kebutuhan.

4)    Standar KPS 2

Tanggung jawab tiap staf dituangkan dalam uraian tugas

5)    Maksud dan Tujuan KPS 2

Setiap staf yang bekerja di rumah sakit harus mempunyai uraian tugas. Pelaksanaan tugas, orientasi, dan evaluasi kinerja staf didasarkan pada uraian tugasnya.

Uraian tugas juga dibutuhkan untuk tenaga kesehatan jika:

a) Tenaga kesehatan  ditugaskan  di  bidang  manajerial, misalnya kepala bidang, kepala unit.

b) Tenaga kesehatan  melakukan  dua  tugas  yaitu  di bidang             manajerial  dan  di  bidang  klinis,  misalnya dokter spesialis bedah melakukan tugas manajerialnya sebagai kepala kamar operasi maka harus mempunyai uraian tugas sedangkan tugas klinisnya sebagai dokter spesialis bedah harus mempunyai Surat Penugasan Klinis (SPK) dan Rincian Kewenangan Klinis (RKK).

c) Tenaga kesehatan yang sedang mengikuti pendidikan dan bekerja   dibawah   supervisi,   maka   program pendidikan   menentukan   batasan   kewenangan  apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dikerjakan sesuai dengan tingkat pendidikannya.

d) Tenaga kesehatan yang diizinkan untuk memberikan pelayanan sementara dirumah sakit; misalnya, perawat paruhwaktu yang membantu dokter di poliklinik.

Uraian tugas untuk standar ini berlaku bagi semua staf baik staf purnawaktu, staf paruhwaktu, tenaga sukarela, atau sementara yang membutuhkan

6)    Elemen Penilaian KPS 2

a) Setiap staf telah memiliki uraian tugas sesuai dengan tugas yang diberikan.

b) Tenaga kesehatan yang diidentifikasi dalam a) hingga d) dalam maksud dan tujuan, memiliki uraian tugas yang sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya.

7)    Standar KPS 3

Rumah  sakit  menyusun  dan  menerapkan  proses rekrutmen, evaluasi, dan pengangkatan staf serta prosedur- prosedur terkait lainnya.

8)    Maksud dan Tujuan KPS 3

Rumah sakit menetapkan proses yang terpusat, efisien dan terkoordinasi, agar terlaksana proses yang seragam mencakup:

a) Rekrutmen staf sesuai kebutuhan rumah sakit. b)    Evaluasi kompetensi kandidat calon staf.

c) Pengangkatan staf baru.

Kepala unit berpartisipasi merekomendasikan jumlah dan kualifikasi staf serta jabatan nonklinis yang dibutuhkan untuk memberikan pelayanan pada pasien, pendidikan, penelitian ataupun tanggung jawab lainnya.

9)    Elemen Penilaian KPS 3

a) Rumah sakit telah menetapkan regulasi terkait proses rekrutmen, evaluasi  kompetensi  kandidat  calon  staf dan mekanisme pengangkatan staf di rumah sakit.

b) Rumah sakit telah menerapkan proses meliputi poin a) – c) di maksud dan tujuan secara seragam.

10)  Standar KPS 4

Rumah sakit menetapkan proses untuk memastikan bahwa kompetensi   Profesional   Pemberi   Asuhan   (PPA)   sesuai dengan persyaratan jabatan atau tanggung jawabnya untuk memenuhi kebutuhan rumah sakit

11)  Maksud dan Tujuan KPS 4

a) Staf yang direkrut rumah sakit melalui proses untuk menyesuaikan dengan persyaratan jabatan/posisi staf. Untuk para PPA, proses tersebut meliputi penilaian kompetensi awal untuk memastikan apakah PPA dapat melakukan tanggung jawab sesuai uraian tugasnya. Penilaian dilakukan sebelum atau saat mulai bertugas. Rumah sakit dapat menetapkan kontrak kerja sebagai masa percobaan untuk mengawasi dan mengevaluasi PPA Ada proses untuk memastikan bahwa PPA yang memberikan pelayanan berisiko tinggi atau perawatan bagi pasien berisiko tinggi dievaluasi pada saat mereka mulai  memberikan  perawatan, sebelum masa percobaan   atau   orientasi   selesai.   Penilaian kompetensi awal dilakukan oleh unit di mana PPA tersebut ditugaskan

b) Penilaian kompetensi yang diinginkan juga mencakup penilaian kemampuan PPA untuk mengoperasikan alat medis, alarm klinis, dan mengawasi pengelolaan obat- obatan yang  sesuai  dengan  area  tempat  ia  akan bekerja (misalnya, PPA yang bekerja di unit perawatan intensif harus dapat mengoperasikan ventilator pompa infus,   dan  lain-lainnya,  dan  sedangkan  PPA  yang bekerja di unit obstetri harus dapat menggunakan alat pemantauan janin).

c) Rumah sakit menetapkan proses evaluasi kemampuan PPA dan frekuensi evaluasi secara berkesinambungan. Penilaian yang berkesinambungan dapat digunakan untuk menentukan    rencana    pelatihan    sesuai    kebutuhan, kemampuan staf untuk memikul tanggung jawab baru atau untuk  melakukan  perubahan  tanggung  jawab  dari  PPA tersebut.   Sekurang-kurangnya   terdapat   satu   penilaian terkait uraian tugas tiap PPA yang didokumentasikan setiap tahunnya.

12)  Elemen Penilaian KPS 4

a) Rumah  sakit   telah   menetapkan   dan   menerapkan proses untuk menyesuaikan kompetensi PPA dengan kebutuhan pasien.

b) Para PPA baru dievaluasi pada saat mulai bekerja oleh kepala unit di mana PPA tersebut ditugaskan

c) Terdapat setidaknya  satu  atau  lebih  evaluasi  yang didokumentasikan untuk tiap PPA sesuai uraian tugas setiap tahunnya atau sesuai ketentuan rumah sakit.

13)  Standar KPS 5

Rumah sakit menetapkan proses untuk memastikan bahwa kompetensi staf nonklinis sesuai dengan persyaratan jabatan/posisinya   untuk   memenuhi   kebutuhan   rumah sakit.

14)  Maksud dan Tujuan KPS 5

Rumah sakit mengidentifikasi dan mencari staf yang memenuhi persyaratan jabatan/posisi nonklinis. Staf nonklinis diberikan orientasiuntuk memastikan bahwa staf tersebut  melakukan  tanggung  jawabnya  sesuai  uraian tugasnya.   Rumah   Sakit   melakukan   pengawasan   dan evaluasi secara berkala untuk memastikan kompetensi secara terus menerus pada jabatan/posisi tersebut.

15)  Elemen Penilaian KPS 5

a) Rumah  sakit   telah   menetapkan   dan   menerapkan proses untuk menyesuaikan kompetensi staf non klinis dengan persyaratan jabatan/posisi.

b) Staf non klinis yang baru dinilai kinerjanya pada saat akan memulai pekerjaannya oleh kepala unit di mana staf tersebut ditugaskan.

c) Terdapat setidaknya  satu  atau  lebih  evaluasi  yang didokumentasikan  untuk  tiap  staf  non  klinis sesuai uraian tugas setiap tahunnya atau sesuai ketentuan rumah sakit.

16)  Standar KPS 6

Terdapat   informasi   kepegawaian   yang   terdokumentasi dalam file kepegawaian setiap staf.

17)  Maksud dan Tujuan KPS 6

File kepegawaian yang terkini berisikan dokumentasi setiap staf rumah sakit yang mengandung informasi sensitif yang harus dijaga kerahasiaannya. File kepegawaian memuat:

a) Pendidikan, kualifikasi, keterampilan, dan kompetensi staf.

b) Bukti orientasi.

c) Uraian tugas staf.

d) Riwayat pekerjaan staf.

e) Penilaian kinerja staf.

f) Salinan sertifikat pelatihan di dalam maupun di luar rumah sakit yang telah diikuti.

g) Informasi  kesehatan   yang   dipersyaratkan,   seperti vaksinasi/imunisasi, hasil medical check up.

File kepegawaian tersebut distandardisasi dan terus diperbarui sesuai dengan kebijakan rumah sakit.

18)  Elemen Penilaian KPS 6

a) File kepegawaian staf  distandardisasi  dan dipelihara serta dijaga kerahasiaannya sesuai dengan kebijakan rumah sakit.

b) File kepegawaian mencakup poin a) – g) sesuai maksud dan tujuan.

19)  Standar KPS 7

Semua staf diberikan orientasi mengenai rumah sakit dan unit tempat mereka ditugaskan dan tanggung jawab pekerjaannya pada saat pengangkatan staf.

20)  Maksud dan Tujuan KPS 7

Keputusan pengangkatan staf melalui sejumlah tahapan. Pemahaman terhadap rumah sakit secara keseluruhan dan tanggung jawab klinis maupun nonklinis berperan dalam tercapainya misi rumah sakit. Hal ini dapat dicapai melalui orientasi kepada staf.

Orientasi umum meliputi informasi tentang rumah sakit, program mutu dan keselamatan pasien, serta program pencegahan dan pengendalian infeksi.

Orientasi khusus meliputi tugas dan tanggung jawab dalam melakukan pekerjaannya. Hasil orientasi ini dicatat dalam file kepegawaian. Staf paruh waktu, sukarelawan, dan mahasiswa atau trainee juga diberikan orientasi umum dan orientasi khusus

21)  Elemen Penilaian KPS 7

a) Rumah  sakit   telah   menetapkan   regulasi   tentang orientasi bagi staf baru di rumah sakit.

b) Tenaga  kesehatan   baru   telah   diberikan   orientasi umum dan orientasi khusus sesuai.

c) Staf nonklinis  baru  telah  diberikan  orientasi  umum dan orientasi khusus.

d) Tenaga kontrak, paruh waktu, mahasiswa atau trainee dan sukarelawan telah diberikan orientasi umum dan orientasi khusus (jika ada).

Pendidikan dan Pelatihan

1)    Standar KPS 8

Tiap staf diberikan pendidikan dan pelatihan yang berkelanjutan untuk mendukung atau meningkatkan keterampilan dan pengetahuannya.

2)    Maksud dan Tujuan KPS 8

Rumah sakit mengumpulkan data dari berbagai sumber dalam  penyusunan  Program  pendidikan  dan  pelatihan untuk memenuhi kebutuhan pasien dan/atau memenuhi persyaratan pendidikan berkelanjutan. Sumber informasi untuk menentukan kebutuhan pendidikan staf mencakup:

a) Hasil  kegiatan     pengukuran     data     mutu     dan keselamatan pasien.

b) Hasil analisislaporan insiden keselamatan pasien. c)    Hasil survei budaya keselamatan pasien.

d) Hasil pemantauan  program  manajemen  fasilitas dan keselamatan.

e) Pengenalan teknologi termasuk penambahan peralatan medis baru, keterampilan dan pengetahuan baru yang diperoleh dari penilaian kinerja.

f) Prosedur klinis baru.

g) Rencana untuk  menyediakan  layanan  baru di masa yang akan datang.

h) Kebutuhan dan usulan dari setiap unit.

Rumah sakit memiliki suatu proses untuk mengumpulkan dan mengintegrasikan data dari berbagai sumber untuk merencanakan program pendidikan dan pelatihan staf. Selain itu, rumah sakit menentukan staf mana yang diharuskan untuk mendapatkan pendidikan berkelanjutan untuk menjaga kemampuan mereka dan bagaimana pendidikan staf tersebut akan dipantau dan didokumentasikan.

Pimpinan rumah sakit meningkatkan dan mempertahankan kinerja staf dengan mendukung program pendidikan dan pelatihan             termasuk    menyediakan    sarana    prasarana termasuk peralatan, ruangan, tenaga pengajar, dan waktu. Program  pendidikan  dan  pelatihan  dibuat  setiap  tahun untuk memenuhi kebutuhan pasien dan/atau memenuhi persyaratan              pendidikan   berkelanjutan   misalnya  tenaga medis       diberikan   pelatihan   PPI,   perkembangan  praktik medis, atau peralatan medis baru. Hasil pendidikan dan pelatihan staf didokumentasikan dalam file kepegawaian. Ketersediaan  teknologi  dan  informasi  ilmiah  yang  aktual tersedia        untuk   mendukung   pendidikan   dan   pelatihan disediakan di satu atau beberapa lokasi yang yang tersebar di rumah sakit. Pelatihan diatur sedemikian rupa agar tidak mengganggu pelayanan pasien.

3)    Elemen Penilaian KPS 8

a) Rumah  sakit    telah    mengidentifikasi    kebutuhan pendidikan                      staf    berdasarkan    sumber    berbagai informasi,  mencakup  a)  –  h)  dalam  maksud  dan tujuan.

b) Program  pendidikan   dan   pelatihan   telah   disusun berdasarkan hasil identifikasi sumber informasi pada EP 1.

c) Pendidikan  dan   pelatihan   berkelanjutan   diberikan kepada staf   rumah   sakit   baik   internal   maupun eksternal.

d) Rumah sakit  telah  menyediakan  waktu,  anggaran, sarana dan prasarana yang memadai bagi semua staf untuk  mendapat  kesempatan  mengikuti  pendidikan dan pelatihan yang dibutuhkan.

4)    Standar KPS 8.1

Staf yang memberikan asuhan pasien dan staf yang ditentukan rumah sakit dilatih dan dapat mendemonstrasikan teknik resusitasi jantung paru dengan benar.

5)    Maksud dan Tujuan KPS 8.1

Semua staf yang merawat pasien, termasuk dokter dan staf lain yang ditentukan rumah sakit telah diberikan pelatihan teknik resusitasi dasar. Rumah sakit menentukan pelatihan Bantuan Hidup Dasar (BHD) atau bantuan hidup tingkat lanjut untuk setiap staf, sesuai dengan tugas dan perannya di rumah sakit. Misalnya rumah sakit menentukan semua staf yang merawat pasien di unit gawat darurat, di unit perawatan intensif, semua staf yang akan melaksanakan dan memantau prosedur sedasi prosedural serta tim kode biru (code blue) harus mendapatkan pelatihan sampai bantuan hidup tingkat lanjut. Rumah sakit juga menentukan bahwa staf lain yang tidak merawat pasien, seperti pekarya atau staf registrasi, harus mendapatkan pelatihan bantuan hidup dasar.

Tingkat pelatihan bagi staf tersebut harus diulang berdasarkan persyaratan dan/atau jangka waktu yang diidentifikasi  oleh  program  pelatihan  yang  diakui,  atau setiap 2 (dua) tahun jika tidak menggunakan program pelatihan yang diakui. Terdapat bukti yang menunjukkan bahwa tiap anggota staf yang menghadiri pelatihan benar- benar memenuhi tingkat kompetensi yang diinginkan.

6)    Elemen Penilaian KPS 8.1

a) Rumah  sakit   telah   menetapkan   pelatihan   teknik resusitasi jantung paru tingkat dasar (BHD) pada seluruh staf dan bantuan hidup tingkat lanjut bagi staf yang ditentukan oleh rumah sakit.

b) Terdapat bukti  yang  menunjukkan  bahwa staf yang mengikuti pelatihan BHD atau bantuan hidup tingkat lanjut telah lulus pelatihan tersebut.

c) Tingkat pelatihan  yang  ditentukan  untuk  tiap  staf harus            diulang   berdasarkan   persyaratan   dan/atau jangka waktu yang ditetapkan oleh program pelatihan yang diakui, atau setiap 2 (dua) tahun jika tidak menggunakan program pelatihan yang diakui.

Kesehatan dan Keselamatan Kerja Staf

1)    Standar KPS 9

Rumah sakit menyelenggarakan pelayanan kesehatan dan keselamatan staf.

2)    Maksud dan Tujuan KPS 9

Staf rumah sakit mempunyai risiko terpapar infeksi karena pekerjaannya yang berhubungan baik secara langsung dan maupun  tidak  langsung  dengan  pasien.  Pelayanan kesehatan dan keselamatan staf merupakan hal penting untuk menjaga kesehatan fisik, kesehatan mental, kepuasan, produktivitas, dan keselamatan staf dalam bekerja. Karena hubungan staf dengan pasien dan kontak dengan bahan infeksius maka banyak petugas kesehatan berisiko terpapar penularan infeksi. Identifikasi sumber infeksi berdasar atas epidemiologi sangat penting untuk menemukan  staf  yang  berisiko  terpapar  infeksi. Pelaksanaan program pencegahan serta skrining seperti imunisasi, vaksinasi, dan profilaksis dapat menurunkan insiden infeksi penyakit menular secara signifikan.

Staf  rumah  sakit  juga  dapat  mengalami  kekerasan  di tempat kerja. Anggapan bahwa kekerasan tidak terjadi di rumah  sakit  tidak  sepenuhnya  benar  mengingat  jumlah tindak  kekerasan  di  rumah  sakit  semakin  meningkat. Untuk itu rumah sakit diminta menyusun program pencegahan kekerasan.

Cara rumah sakit melakukan orientasi dan pelatihan staf, penyediaan lingkungan kerja yang aman, pemeliharaan peralatan dan teknologi medis, pencegahan atau pengendalian infeksi terkait perawatan kesehatan (Health care-Associated Infections), serta beberapa faktor lainnya menentukan kesehatan dan kesejahteraan staf.

Dalam pelaksanaan program kesehatan dan keselamatan staf rumah sakit, maka staf harus memahami:

a) Cara  pelaporan    dan    mendapatkan    pengobatan, menerima                  konseling,  dan  menangani  cedera  yang mungkin terjadi akibat tertusuk jarum suntik, terpapar penyakit menular, atau mendapat kekerasan di tempat kerja;

b) Identifikasi risiko  dan  kondisi  berbahaya  di  rumah sakit; dan

c) Masalah kesehatan dan keselamatan lainnya.

Program kesehatan dan keselamatan staf rumah sakit tersebut mencakup hal-hal sebagai berikut:

a) Skrining kesehatan awal

b) Tindakan-tindakan  untuk   mengendalikan   pajanan kerja yang berbahaya, seperti pajanan terhadap obat- obatan  beracun    dan    tingkat    kebisingan    yang berbahaya

c) Pendidikan, pelatihan,  dan  intervensi  terkait  cara pemberian asuhan pasien yang aman

d) Pendidikan,  pelatihan,     dan     intervensi     terkait pengelolaan kekerasan di tempat kerja

e) Pendidikan, pelatihan,  dan  intervensi  terhadap  staf yang berpotensi melakukan kejadian tidak diharapkan (KTD) atau kejadian sentinel

f) Tata laksana  kondisi  terkait  pekerjaan  yang  umum dijumpai  seperti  cedera  punggung  atau  cedera  lain yang lebih darurat.

g) Vaksinasi/Imunisasi pencegahan,  dan  pemeriksaan kesehatan berkala.

h) Pengelolaan kesehatan mental staf, seperti pada saat kondisi kedaruratan penyakit infeksi/pandemi.

Penyusunan  program  mempertimbangkan  masukan  dari staf  serta  penggunaan  sumber  daya  klinis  yang  ada  di rumah sakit dan di masyarakat.

3)    Elemen Penilaian KPS 9

a) Rumah sakit  telah  menetapkan  program  kesehatan dan keselamatan staf.

b) Program kesehatan  dan  keselamatan  staf mencakup setidaknya a) hingga h) yang tercantum dalam maksud dan tujuan.

c) Rumah  sakit   mengidentifikasi   penularan   penyakit infeksi atau paparan yang dapat terjadi pada staf serta melakukan upaya pencegahan dengan vaksinasi.

d) Berdasar  atas   epidemologi   penyakit   infeksi   maka rumah sakit mengidentifikasi risiko staf terpapar atau tertular serta melaksanakan pemeriksaan kesehatan dan vaksinasi.

e) Rumah sakit telah melaksanakan evaluasi, konseling, dan tata laksana lebih lanjut untuk staf yang terpapar penyakit infeksi serta dikoordinasikan dengan program pencegahan dan pengendalian infeksi.

f) Rumah  sakit    telah    mengidentifikasi    area    yang berpotensi untuk terjadi tindakan kekerasan di tempat kerja    (workplace  violence)  dan  menerapkan  upaya untuk mengurangi risiko tersebut.

g) Rumah sakit telah melaksanakan evaluasi, konseling, dan tata   laksana   lebih   lanjut   untuk   staf   yang mengalami cedera akibat tindakan kekerasan di tempat kerja.

Tenaga medis

1)    Standar KPS 10

Rumah sakit menyelenggarakan proses kredensial yang seragam dan transparan bagi tenaga medis yang diberi izin memberikan asuhan kepada pasien secara mandiri.

2)    Standar KPS 10.1

Rumah sakit melaksanakan verifikasi terkini terhadap pendidikan, registrasi/izin, pengalaman, dan lainnya dalam proses kredensialing tenaga medis.

3)    Maksud dan Tujuan KPS 10 sampai KPS 10.1

Penjelasan mengenai istilah dan ekspektasi yang ditemukan dalam standar-standar ini adalah sebagai berikut:

a) Kredensial  adalah    proses    evaluasi    (memeriksa dokumen  dari  pelamar),  wawancara,  dan  ketentuan lain   sesuai  dengan  kebutuhan  rumah  sakit  yang dilakukan rumah sakit terhadap seorang tenaga medis untuk menentukan apakah yang bersangkutan layak diberi penugasan klinis dan kewenangan klinis untuk menjalankan            asuhan/tindakan   medis   tertentu   di lingkungan   rumah   sakit   tersebut   untuk   periode tertentu. Dokumen kredensial adalah dokumen yang dikeluarkan oleh badan resmi untuk menunjukkan bukti telah dipenuhinya persyaratan seperti ijazah dari fakultas kedokteran,   surat   tanda   registrasi,   izin praktik,  fellowship,   atau   bukti   pendidikan   dan pelatihan               yang   telah   mendapat   pengakuan   dari organisasi profesi k Dokumen dokumen ini harus    diverifikasi     ke     sumber     utama     yang mengeluarkan  dokumen  tersebut  atau  website verifikasi ijazah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi.

Dokumen kredensial dapat juga diperoleh dari rumah sakit, perorangan, badan hukum yang terkait dengan riwayat profesional, atau riwayat kompetensi dari pelamar seperti surat rekomendasi, semua riwayat pekerjaan sebagai tenaga medis di tempat kerja yang lalu,catatan  asuhan  klinis  yang  lalu,  riwayat kesehatan, dan foto. Dokumen ini akan diminta rumah sakit sebagai bagian dari proses kredensial dan ijazah serta STR harus diverifikasi ke sumber utamanya. Syarat untuk verifikasi kredensial disesuaikan dengan posisi   pelamar.   Sebagai   contoh,   pelamar   untuk kedudukan kepala departemen/unit layanan di rumah sakit dapat diminta verifikasi terkait jabatan dan pengalaman administrasi di masa lalu. Juga untuk posisi tenaga medis di rumah sakit dapat diminta verifikasi riwayat pengalaman kerja beberapa tahun yang lalu.

b) Tenaga medis adalah semua dokter dan dokter gigi yang memberikan layanan promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, bedah,   atau   layanan   medis/gigi   lain kepada pasien, atau yang memberikan layanan interpretatif terkait pasien seperti patologi, radiologi, laboratorium,  serta  memiliki  surat  tanda  registrasi (STR) dan surat izin praktik (SIP).

c) Verifikasi adalah proses  untuk  memeriksa  validitas dan          kelengkapan   kredensial   dari   sumber   yang mengeluarkan kredensial. Proses dapat dilakukan ke fakultas/rumah sakit/perhimpunan di dalam maupun di                 luar         negeri         melalui         email/surat konvensional/pertanyaan on line/atau melalui telepon. Jika verifikasi dilakukan melalui email maka alamat email harus sesuai dengan alamat email yang ada pada website resmi universitas/rumah sakit/perhimpunan profesi tersebut dan bila melalui surat konvensional harus dengan pos tercatat. Jika verifikasi dilakukan pada website verifikasi ijazah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi maka akan ada bukti ijazah tersebut terverifikasi.

d) Rekredensial adalah proses kredensial ulang setiap 3 (tiga) tahun.

Dokumen kredensial dan rekredensial meliputi:

(1)   STR, SIP yang masih berlaku;

(2)    File   pelanggaran   etik   atau   disiplin   termasuk infomasi dari sumber luar seperti dari MKEK dan MKDKI;

(3)    Rekomendasi mampu secara fisik maupun mental memberikan  asuhan  kepada  pasien  tanpa supervisi dari profesi dokter yang ditentukan;

(4)    Bila     tenaga     medis     mengalami     gangguan kesehatan,            kecacatan   tertentu,   atau   proses penuaan yang menghambat pelaksanaan kerja maka    kepada   yang   bersangkutan   dilakukan penugasan klinis ulang;

(5)    Jika seorang anggota tenaga medis mengajukan kewenangan baru terkait pelatihan spesialisasi canggih       atau   subspesialisasi   maka   dokumen kredensial harus segera diverifikasi dari sumber yang         mengeluarkan       sertifikat       tersebut. Keanggotaan tenaga medis mungkin tidak dapat diberikan   jika  rumah  sakit  tidak  mempunyai teknologi,                  peralatan    medis    khusus    untuk mendukung kewenangan klinis tertentu. Sebagai contoh,      seorang    nefrolog    melamar    untuk memberikan layanan dialisis di rumah sakit bila rumah sakit tidak memiliki pelayanan ini maka kewenangan klinis untuk melakukan haemodialisis tidak dapat diberikan.

Pengecualian  untuk  KPS  10.1  EP  1,  hanya  untuk survei awal. Pada saat survei akreditasi awal rumah sakit diwajibkan telah menyelesaikan verifikasi untuk tenaga  medis  baru  yang  bergabung  dalam  12  (dua belas) bulan menjelang survei awal. Selama 12 (dua belas) bulan setelah survei awal, rumah sakit diwajibkan untuk menyelesaikan verifikasi sumber primer untuk seluruh anggota tenaga medis lainnya. Proses ini dicapai dalam kurun waktu 12 (dua belas) bulan setelah survei sesuai dengan rencana yang memprioritaskan   verifikasi   kredensial   bagi   tenaga medis   aktif   yang   memberikan   pelayanan   berisiko tinggi.

Catatan: Pengecualian ini hanya untuk verifikasi kredensial  saja.  Semua  kredensial  anggota  tenaga medis harus dikumpulkan dan ditinjau, dan kewenangan mereka diberikan.

      1. e) Pengangkatan/penugasan  merupakan        proses peninjauan          kredensial     awal     pelamar     untuk memutuskan apakah orang tersebut memenuhi syarat untuk memberikan pelayanan yang dibutuhkan pasien rumah sakit dan dapat didukung rumah sakit dengan staf yang kompeten  dan  dengan  kemampuan teknis rumah sakit. Untuk pelamar pertama, informasi yang ditinjau kebanyakan berasal dari sumber Individu atau          mekanisme  yang  berperan  pada  peninjauan, kriteria yang digunakan untuk membuat keputusan, dan            bagaimana     keputusan     didokumentasikan diidentifikasi dalam kebijakan rumah sakit. Kebijakan rumah    sakit  mengidentifikasi  proses  pengangkatan praktisi kesehatan mandiri untuk keperluan gawat darurat atau untuk sementara waktu.

Pengangkatan dan identifikasi kewenangan untuk praktisi kesehatan tersebut tidak dibuat sampai setidaknya verifikasi izin telah dilakukan.

      1. f) Pengangkatan/penugasan kembali merupakan proses peninjauan dokumen  anggota  tenaga  medis  untuk verifikasi:

(1)   Perpanjangan izin;

(2)    Bahwa anggota tenaga medis tidak dikenai sanksi disipliner oleh badan perizinan dan sertifikasi;

(3)    Bahwa  berkas  berisi  dokumentasi  yang  cukup untuk              pencarian    kewenangan    atau    tugas baru/perluasan di rumah sakit; dan

(4)    Anggota  tenaga  medis  mampu  secara  fisik  dan mental untuk memberikan perawatan dan tata laksana terhadap pasien tanpa supervisi.

Informasi   untuk   peninjauan   ini   berasal   dari   sumber internal maupun eksternal. Jika suatu departemen/unit layanan klinis (misalnya, pelayanan subspesialis) tidak memiliki kepala/pimpinan, rumah sakit mempunyai kebijakan untuk mengidentifikasi siapa yang melakukan peninjauan untuk para tenaga profesional di departemen/unit   layanan   tersebut.   Berkas   kredensial

anggota tenaga medis harus merupakan sumber informasi yang dinamis dan ditinjau secara konstan. Sebagai contoh, ketika            anggota   tenaga   medis   mendapatkan   sertifikat pencapaian yang berhubungan dengan peningkatan gelar atau      pelatihan  khusus  lanjutan,  kredensial  yang  baru harus segera diverifikasi dari sumber yang mengeluarkan. Demikian  pula  jika  ada  badan  luar  yang  melakukan investigasi tentang kejadian sentinel yang berkaitan dengan anggota tenaga medis dan mengeluarkan sanksi, informasi ini  harus  segera  digunakan  untuk  mengevaluasi  ulang kewenangan  klinis  dari  anggota  tenaga  medis  tersebut. Untuk  memastikan  bahwa  berkas  tenaga  medis  lengkap dan terkini, berkas ditinjau sedikitnya setiap 3 (tiga) tahun, dan terdapat catatan pada berkas tentang tindakan yang telah  dilakukan  atau  tidak  diperlukannya  tindak  lanjut sehingga pengangkatan tenaga medis dilanjutkan. Keanggotaan tenaga  medis  dapat  tidak  diberikan  jika rumah sakit tidak memiliki peralatan medis khusus atau staf  untuk  mendukung  praktik  profesi  tersebut.  Sebagai contoh,  ahli  nefrologi  yang  ingin  melakukan  pelayanan dialisis di rumah sakit, dapat tidak diberikan  kewenangan (privilege)   bila   rumah   sakit   tidak   menyelenggarakan pelayanan dialisis.

Akhirnya, jika izin/registrasi pelamar telah diverifikasi dengan sumber yang mengeluarkan, tetapi dokumen lain seperti edukasi dan pelatihan belum diverifikasi, staf tersebut dapat diangkat menjadi anggota tenaga medis dan kewenangan klinis dapat diberikan untuk orang tersebut untuk  kurun  waktu  yang  tidak  melebihi  90  (sembilan puluh)  hari.  Pada  kondisi  di  atas,  orang-orang  tersebut tidak boleh melakukan praktik secara mandiri dan memerlukan supervisi hingga seluruh kredensial telah diverifikasi. Supervisi secara jelas didefinisikan dalam kebijakan rumah sakit, dan berlangsung tidak lebih dari 90 (sembilan puluh) hari.

4)    Elemen Penilaian KPS 10

a) Rumah sakit  telah  menetapkan  peraturan  internal tenaga medis (medical staf bylaws) yang mengatur proses penerimaan, kredensial, penilaian kinerja, dan rekredensial tenaga medis

b) Rumah sakit  telah  melaksanakan  proses  kredensial dan pemberian kewenangan klinis untuk pelayanan diagnostik, konsultasi, dan tata laksana yang diberikan oleh dokter praktik mandiri di rumah sakit secara seragam

c) Rumah sakit  telah  melaksanakan  proses  kredensial dan         pemberian   kewenangan   klinis   kepada  dokter praktik   mandiri   dari   luar   rumah   sakit   seperti konsultasi         kedokteran    jarak    jauh    (telemedicine), radiologi jarak jauh (teleradiology), dan interpretasi untuk pemeriksaan diagnostik lain: elektrokardiogram (EKG),   elektroensefalogram   (EEG),   elektromiogram (EMG), serta pemeriksaan lain yang serupa.

d) Setiap tenaga medis yang memberikan pelayanan di rumah sakit wajib menandatangani perjanjian sesuai dengan regulasi rumah sakit.

e) Rumah  sakit   telah   melaksanakan   verifikasi   ke Lembaga/Badan/Instansi pendidikan atau organisasi profesional                       yang     diakui     yang     mengeluarkan izin/sertifikat, dan kredensial lain dalam proses kredensial  sesuai   dengan   peraturan   perundang- undangan atau yang

f) Ada  bukti   dilaksanakan   kredensial   tambahan   ke sumber yang mengeluarkan apabila tenaga medis yang meminta kewenangan klinis tambahan yang canggih atau subspesialisasi.

5)    Elemen Penilaian KPS 10.1

a) Pengangkatan tenaga  medis  dibuat  berdasar  atas kebijakan rumah sakit dan konsisten dengan populasi pasien rumah   sakit,   misi,   dan   pelayanan   yang diberikan untuk memenuhi kebutuhan pasien.

b) Pengangkatan  tidak   dilakukan   sampai   setidaknya izin/surat                   tanda  registrasi  sudah  diverifikasi  dari sumber utama yang mengeluarkan surat tersebut dan tenaga medis dapat memberikan pelayanan kepada pasien di bawah supervisi sampai semua kredensial yang   disyaratkan   undang-undang   dan   peraturan sudah diverifikasi dari sumbernya.

c) Untuk  tenaga   medis   yang   belum   mendapatkan kewenangan mandiri, dilakukan supervisi dengan mengatur       frekuensi  supervisi  dan  supervisor  yang ditunjuk serta didokumentasikan di file kredensial staf tersebut.

6)    Standar KPS 11

Rumah sakit menetapkan proses yang  seragam, objektif, dan berdasar bukti (evidence based) untuk memberikan wewenang kepada tenaga medis untuk memberikan layanan klinis kepada pasien sesuai dengan kualifikasinya

7)    Maksud dan Tujuan KPS 11

Pemberian kewenangan (privileging) adalah penentuan kompetensi  klinis  terkini  tenaga  medis  dan pengambilan keputusan tentang pelayanan klinis yang diizinkan kepada tenaga medis. Pemberian kewenangan (privileging) ini merupakan penentuan paling penting yang harus dibuat rumah sakit untuk melindungi keselamatan pasien dan meningkatkan mutu pelayanan klinis.

Pertimbangan untuk pemberian kewenangan klinis pada pengangkatan awal termasuk hal-hal berikut:

a) Keputusan tentang  kewenangan  klinis  yang  akan diberikan kepada seorang tenaga medis didasarkan terutama atas   informasi   dan   dokumentasi   yang diterima dari sumber luar rumah saki Sumber luar ini dapat berasal dari program pendidikan spesialis, surat rekomendasi dari penempatan sebagai tenaga medis yang lalu, atau dari organisasi profesi, kolega dekat, dan setiap data informasi yang mungkin diberikan kepada rumah sakit. Secara umum, sumber informasi ini terpisah dari yang diberikan oleh institusi pendidikan seperti program dokter spesialis, tidak diverifikasi dari sumber kecuali ditentukan lain oleh kebijakan rumah sakit, paling sedikit area kompetensi sudah dapat dianggap benar.

Evaluasi praktik profesional berkelanjutan (ongoing professional practice evaluation/OPPE) untuk anggota tenaga medis memberikan informasi penting untuk proses pemeliharaan keanggotaan tenaga medis dan terhadap proses pemberian kewenangan klinis.

b) Program  pendidikan    spesialis    menentukan    dan membuat daftar secara umum tentang kompetensinya di area diagnosis dan tindakan profesi dan Konsil kedokteran Indonesia   (KKI)   mengeluarkan   standar kompetensi     atau  kewenangan    Perhimpunan profesi lain membuat daftar secara detail jenis/tindak medis yang dapat dipakai sebagai acuan dalam proses pemberian kewenangan klinis;

c) Di dalam setiap area spesialisasi proses untuk merinci kewenangan ini seragam;

d) Seorang  dokter   dengan   spesialisasi   yang   sama dimungkinkan memiliki kewenangan klinis berbeda yang      disebabkan   oleh   perbedaan   pendidikan   dan pelatihan tambahan, pengalaman, atau hasil kinerja yang bersangkutan selama bekerja, serta kemampuan motoriknya;

e) Keputusan  kewenangan   klinis   dirinci   dan   akan direkomendasikan kepada pimpinan rumah sakit di area spesialisasi terkait dengan mempertimbangkan proses lain, diantaranya:

(1)    Pemilihan   proses   apa   yang   akan   dimonitor menggunakan data oleh pimpinan unit pelayanan klinis;

(2)    Penggunaan   data   tersebut   dalam   OPPE   dari tenaga medis tersebut di unit pelayanan klinis; dan

(3)    Penggunaan data yang dimonitor tersebut untuk proses              penugasan   ulang   dan   pembaharuan kewenangan klinis.

f) Penilaian kinerja  tenaga  medis  berkelanjutan  setiap tahun yang dikeluarkan oleh rumah sakit yang berisi jumlah pasien per penyakit/tindakan yang ditangani per tahun,    rerata    lama    dirawat,    serta    angka kematiannya. Angka Infeksi Luka Operasi (ILO) dan kepatuhan terhadap  Panduan  Praktik  Klinis  (PPK) meliputi penggunaan obat, penunjang diagnostik, darah, produk darah, dan lainnya;

g) Hasil   evaluasi   praktik   professional   berkelanjutan (OPPE) dan terfokus (FPPE);

h) Hasil pendidikan dan pelatihan tambahan dari pusat pendidikan, kolegium,   perhimpunan   profesi,   dan rumah sakit yang kompeten mengeluarkan sertifikat;

i) Untuk kewenangan tambahan pada pelayanan risiko tinggi maka rumah sakit menentukan area pelayanan risiko tinggi  seperti  prosedur  cathlab,  penggantian sendi lutut dan panggul, pemberian obat kemoterapi, obat radioaktif, obat anestesi, dan lain Prosedur dengan risiko tinggi tersebut maka tenaga medis dapat diberikan kewenangan klinis secara khusus. Prosedur risiko tinggi,   obat-obat,   atau   layanan   yang   lain ditentukan  di   kelompok   spesialisasi   dan   dirinci kewenangannya  secara   jelas.   Beberapa   prosedur mungkin digolongkan berisiko tinggi disebabkan oleh peralatan       yang   digunakan   seperti   dalam   kasus penggunaan    robot  atau  penggunaan  tindakan  dari jarak jauh melalui komputer. Juga pemasangan implan yang memerlukan kaliberasi, presisi, dan monitor jelas membutuhkan kewenangan klinis secara spesifik.

j) Kewenangan klinis tidak dapat diberikan jika rumah sakit tidak mempunyai peralatan medis khusus atau staf khusus     untuk     mendukung     pelaksanaan kewenangan klinis. Sebagai contoh, seorang nefrolog kompeten melakukan dialisis atau kardiolog kompeten memasang sten tidak dapat diberi kewenangan klinis jika rumah sakit tidak memiliki peralatannya.

Catatan: jika anggota tenaga medis juga mempunyai tanggung jawab administrasi seperti ketua kelompok tenaga medis (KSM), administrator rumah sakit, atau posisi lain maka tanggung jawab peran ini diuraikan di uraian tugas atau job description. Rumah sakit menetapkan sumber utama untuk memverifikasi peran administrasi ini.

Proses pemberian rincian kewenangan klinis:

a) Terstandar, objektif,  berdasar  atas  bukti  (evidence based).

b) Terdokumentasi di kebijakan rumah sakit.

c) Aktif  dan    berkelanjutan    mengikuti    perubahan kredensial tenaga medis.

d) Diikuti semua anggota tenaga medis.

e) Dapat dibuktikan  bahwa  prosedur  yang  digunakan efektif.

Surat  penugasan  klinis  (SPK)  dan  rincian  kewenangan klinis (RKK) tersedia dalam bentuk salinan cetak, salinan elektronik, atau cara lainnya sesuai lokasi/tempat tenaga medis memberikan pelayanan (misalnya, di kamar operasi, unit gawat darurat). Tenaga medis juga diberikan salinan kewenangan klinisnya. Pembaruan informasi dikomunikasikan jika kewenangan klinis anggota tenaga medis berubah.

8)    Elemen Penilaian KPS 11

a) Direktur  menetapkan   kewenangan   klinis   setelah mendapat  rekomendasi  dari  Komite  Medik termasuk kewenangan tambahan dengan mempertimbangan poin a) – j) dalam maksud dan tujuan.

b) Ada bukti pemberian kewenangan klinis berdasar atas rekomendasi kewenangan klinis dari Komite Medik.

c) Ada  bukti    pelaksanaan    pemberian    kewenangan tambahan setelah melakukan verifikasi dari sumber utama yang mengeluarkan ijazah/sertifikat.

d) Surat penugasan klinis dan rincian kewenangan klinis anggota tenaga   medis   dalam   bentuk   cetak   atau elektronik (softcopy) atau media lain tersedia di semua unit pelayanan.

e) Setiap tenaga  medis  hanya  memberikan  pelayanan klinis            sesuai   kewenangan   klinis   yang   diberikan kepadanya.

9)    Standar KPS 12

Rumah sakit menerapkan evaluasi praktik profesional berkelanjutan (OPPE) tenaga medis secara seragam untuk menilai mutu dan keselamatan serta pelayanan pasien yang diberikan oleh setiap tenaga medis.

10)  Maksud dan Tujuan KPS 12

Penjelasan istilah dan ekspektasi yang terdapat dalam standar ini adalah sebagai berikut:

    1. a) Evaluasi  praktik   profesional   berkelanjutan   (OPPE) adalah proses pengumpulan data dan informasi secara berkesinambungan  untuk  menilai  kompetensi  klinis dan perilaku profesional tenaga medis.

Informasi tersebut akan dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan untuk mempertahankan, merevisi, atau mencabut kewenangan klinis sebelum berakhirnya  siklus  3  (tiga)  tahun  untuk pembaruan kewenangan klinis.

Pimpinan medik, kepala unit, Subkomite Mutu Profesi Komite Medik dan Ketua Kelompok Staf Medik (KSM) bertanggung jawab mengintegrasikan data dan informasi tenaga medis dan pengambilan kesimpulan dalam memberikan penilaian.

Jika terjadi kejadian insiden keselamatan pasien atau pelanggaran perilaku etik maka dilakukan tindakan terhadap  tenaga   medis  tersebut  secara  adil  (just culture) berdasarkan hasil analisis terkait kejadian tersebut.

Tindakan  jangka  pendek  dapat  dalam  bentuk konseling,   menempatkan kewenangan tertentu di bawah supervisi, pembatasan kewenangan, atau tindakan lain untuk membatasi risiko terhadap pasien, dan  untuk  meningkatkan  mutu  serta  keselamatan

pasien. Tindakan jangka panjang dalam bentuk membuat rekomendasi terkait kelanjutan keanggotaan tenaga medis dan kewenangan klinis.

Proses ini dilakukan sedikitnya setiap 3 (tiga) tahun. Monitor  dan  evaluasi  berkelanjutan  tenaga  medis menghasilkan informasi kritikal dan penting terhadap proses  mempertahankan  tenaga  medis  dan  proses pemberian kewenangan klinis. Walaupun dibutuhkan

3 (tiga) tahun untuk memperpanjang keanggotaan tenaga medis dan kewenangan kliniknya, prosesnya dimaksudkan  berlangsung  sebagai proses berkelanjutan dan dinamis.

Masalah mutu dan insiden keselamatan pasien dapat terjadi jika kinerja klinis tenaga medis tidak dikomunikasikan dan dilakukan tindak lanjut.

Proses monitor penilaian OPPE tenaga medis untuk:

(1)    Meningkatkan praktik individual terkait mutu dan asuhan pasien yang aman;

(2)    Digunakan  sebagai  dasar  mengurangi variasi di dalam kelompok tenaga medis (KSM) dengan cara membandingkan                  antara    kolega,    penyusunan panduan praktik   klinis   (PPK),   dan   clinical pathway; dan

(3)    Digunakan  sebagai  dasar  memperbaiki  kinerja kelompok                    tenaga    medis/unit    dengan    cara membandingkan acuan praktik di luar rumah sakit, publikasi riset, dan indikator kinerja klinis nasional bila tersedia.

Penilaian OPPE tenaga medis memuat 3 (tiga) area umum yaitu:

(1)   Perilaku;

(2)   Pengembangan professional; dan

(3)   Kinerja klinis.

    1. b) Perilaku tenaga  medis  adalah  sebagai  model  atau mentor              dalam  menumbuhkan  budaya  keselamatan (safety  culture)  di rumah Budaya keselamatan ditandai dengan partisipasi penuh semua staf untuk

melaporkan bila ada insiden keselamatan pasien tanpa ada rasa takut untuk melaporkan dan disalahkan (no blame culture).

Budaya keselamatan juga sangat menghormati satu sama  lain,  antar  kelompok  profesional,  dan  tidak terjadi sikap saling mengganggu. Umpan balik staf dalam dapat membentuk sikap dan perilaku yang diharapkan dapat mendukung staf medik menjadi model untuk menumbuhkan budaya aman. Evaluasi perilaku memuat:

(1)    Evaluasi apakah seorang tenaga medis mengerti dan mendukung kode etik dan disiplin profesi dan rumah sakit serta dilakukan identifikasi perilaku yang dapat atau tidak dapat diterima maupun perilaku yang mengganggu;

(2)    Tidak  ada  laporan  dari  anggota  tenaga  medis tentang               perilaku   yang   dianggap   tidak   dapat diterima atau mengganggu; dan

(3)    Mengumpulkan, analisis, serta menggunakan data dan informasi berasal dari survei staf serta survei lainnya tentang budaya aman di rumah sakit.

Proses pemantauan OPPE harus dapat mengenali hasil pencapaian, pengembangan potensial terkait kewenangan klinis dari anggota tenaga medis, dan layanan  yang  diberikan.  Evaluasi perilaku dilaksanakan secara kolaboratif antara Subkomite Etik dan Disiplin, manajer SDM, manajer pelayanan, dan kepala unit kerja.

Pengembangan profesional anggota tenaga medis berkembang dengan menerapkan teknologi baru dan pengetahuan klinis baru. Setiap anggota tenaga medis dari segala  tingkatan  akan  merefleksikan perkembangan  dan  perbaikan  pelayanan  kesehatan dan praktik profesional sebagai berikut:

(1)    Asuhan pasien, penyediaan asuhan penuh kasih, tepat    dan   efektif   dalam   promosi   kesehatan, pencegahan penyakit, pengobatan penyakit, dan

asuhan di akhir hidup. Alat ukurnya adalah layanan preventif dan laporan dari pasien serta keluarga

(2)    Pengetahuan medik/klinik termasuk pengetahuan biomedik, klinis, epidemiologi, ilmu pengetahuan sosial budaya, dan pendidikan kepada pasien. Alat ukurnya adalah penerapan panduan praktik klinis (clinical practice guidelines) termasuk revisi pedoman  hasil    pertemuan    profesional    dan publikasi.

(3)    Praktik   belajar   berdasar   bukti   (practice-bases learning) dan  pengembangan, penggunaan bukti ilmiah dan metode pemeriksaan, evaluasi, serta perbaikan asuhan pasien berkelanjutan berdasar atas evaluasi dan belajar terus menerus (contoh alat ukur survei klinis, memperoleh kewenangan berdasar atas studi dan keterampilan klinis baru, dan partisipasi penuh pada pertemuan ilmiah).

(4)    Kepandaian       berkomunikasi       antarpersonal termasuk menjaga dan meningkatkan pertukaran informasi dengan pasien, keluarga pasien, dan anggota tim layanan kesehatan yang lain (contoh, partisipasi aktif di ronde ilmiah, konsultasi tim, dan kepemimpinan tim).

(5)    Profesionalisme,          janji          mengembangkan profesionalitas                       terus   menerus,   praktik   etik, pengertian                  terhadap  perbedaan,  serta  perilaku bertanggung jawab terhadap pasien, profesi, dan masyarakat        (contoh,    alat    ukur:    pendapat pimpinan di tenaga medis terkait isu klinis dan isu profesi, aktif membantu diskusi panel tentang etik,  ketepatan  waktu  pelayanan  di  rawat jalan maupun     rawat    inap,    dan    partisipasi    di masyarakat).

(6)    Praktik berbasis sistem, serta sadar dan tanggap terhadap jangkauan sistem pelayanan kesehatan yang  lebih  luas  (contoh  alat  ukur:  pemahaman terhadap   regulasi   rumah   sakit   yang   terkait dengan tugasnya seperti sistem asuransi medis, asuransi kesehatan (JKN), sistem kendali mutu, dan biaya. Peduli pada masalah resistensi antimikrob).

(7)    Mengelola  sumber  daya,  memahami  pentingnya sumber daya dan berpartisipasi melaksanakan asuhan yang efisien, serta menghindari penyalahgunaan pemeriksaan untuk diagnostik dan terapi yang tidak ada manfaatnya bagi pasien serta meningkatkan biaya pelayanan kesehatan (contoh alat ukur: berpartisipasi dalam kendali mutu dan biaya, kepedulian terhadap biaya yang ditanggung    pasien,   serta   berpatisipasi   dalam proses seleksi pengadaan)

(8)    Sebagai   bagian   dari   proses   penilaian,  proses pemantauan dan evaluasi berkelanjutan, serta harus mengetahui kinerja anggota tenaga medis yang  relevan   dengan   potensi   pengembangan kemampuan profesional tenaga medis.

Proses pemantauan OPPE tenaga medis harus dapat menjadi bagian dari proses peninjauan kinerja tenaga medis  terkait   dengan   upaya   mendukung   budaya keselamatan.

Penilaian atas informasi bersifat umum berlaku bagi semua   anggota   tenaga   medis   dan   juga   tentang informasi spesifik terkait kewenangan anggota tenaga medis dalam memberikan pelayanannya. Rumah sakit mengumpulkan berbagai data untuk keperluan manajemen, misalnya membuat laporan ke pimpinan rumah sakit tentang alokasi sumber daya atau sistem pembiayaan   rumah   sakit.   Agar   bermanfaat   bagi evaluasi berkelanjutan seorang tenaga medis maka sumber data rumah sakit:

(1)    Harus    dikumpulkan    sedemikian    rupa    agar teridentifikasi tenaga medis yang berperan. Harus

terkait  dengan  praktik  klinis  seorang  anggota tenaga medis; dan

(2)    Dapat  menjadi  rujukan  (kaji  banding)  di dalam KSM/Unit                    layanan   atau   di   luarnya   untuk mengetahui pola individu tenaga medis.

Sumber  data  potensial  seperti  itu  misalnya  adalah lama hari rawat (length of stay), frekuensi (jumlah pasien yang ditangani), angka kematian, pemeriksaan diagnostik, pemakaian darah, pemakaian obat-obat tertentu, angka ILO, dan lain sebagainya.

Pemantauan dan evaluasi anggota tenaga medis berdasar atas berbagai sumber data termasuk data cetak, data elektronik, observasi dan, interaksi teman sejawat. Simpulan proses monitor dan evaluasi anggota tenaga medis:

(1)    Jenis anggota tenaga medis, jenis KSM, jenis unit layanan terstandar;

(2)    Data  pemantauan  dan  informasi  dipergunakan untuk perbandingan internal, mengurangi variasi perilaku,  serta  pengembangan  profesional  dan hasil klinis;

(3)    Data monitor dan informasi dipergunakan untuk melakukan                      perbandingan    eksternal    dengan praktik berdasar bukti (evidence  based practice) atau sumber rujukan tentang data dan informasi hasil klinis;

(4)    Dipimpin oleh ketua KSM/unit layanan, manajer medis, atau unit kajian tenaga medis; dan

(5)    Pemantauan dan evaluasi terhadap kepala bidang pelayanan dan kepala KSM oleh profesional yang kompeten.

Kebijakan rumah sakit mengharuskan ada tinjauan (review)  paling  sedikit  selama  12  (dua  belas) bulan. Review dilakukan secara kolaborasi di antaranya oleh kepala KSM/unit layanan, kepala bidang pelayanan medis, Subkomite Mutu Profesi Komite Medik, dan bagian  IT.  Temuan,  simpulan,  dan  tindakan  yang

dijatuhkan atau yang direkomendasikan dicatat di file praktisi serta tercermin di kewenangan kliniknya. Pemberitahuan diberikan kepada tempat di tempat praktisi memberikan layanan.

Informasi yang dibutuhkan untuk tinjauan ini dikumpulkan dari internal dan dari pemantauan serta evaluasi berkelanjutan setiap anggota staf termasuk juga dari sumber luar seperti organisasi profesi atau sumber instansi resmi.

File  kredensial  dari  seorang  anggota  tenaga  medis harus menjadi sumber informasi yang dinamis dan selalu ditinjau secara teratur. Contohnya, jika seorang anggota staf menyerahkan sertifikat kelulusan sebagai hasil  dari  pelatihan  spesialisasi  khusus  maka kredensial  baru  ini  harus  diverifikasi  segera  dari sumber  yang  mengeluarkan  sertifikat.  Sama halnya, jika instansi dari luar (MKEK/MKDKI) menyelidiki kejadian sentinel terkait seorang anggota tenaga medis dan memberi sanksi maka informasi ini harus digunakan untuk evaluasi muatan kewenangan klinis anggota tenaga medis. Untuk menjamin bahwa file tenaga medis lengkap dan akurat, file diperiksa paling sedikit 3 (tiga) tahun sekali dan ada catatan di file tindakan yang diberikan atau tindakan yang tidak diperlukan sehingga penempatan tenaga medis dapat berlanjut.

Pertimbangan untuk merinci kewenangan klinis waktu penempatan kembali sebagai berikut:

(1)    Anggota     tenaga     medis     dapat     diberikan kewenangan                       klinis   tambahan   berdasar   atas pendidikan  dan  pelatihan  lanjutan.  Pendidikan dan pelatihan diverifikasi dari sumber utamanya. Pemberian penuh kewenangan klinis tambahan mungkin ditunda sampai proses verifikasi lengkap atau jika dibutuhkan waktu harus dilakukan supervisi  sebelum  kewenangan  klinis  diberikan.

Contoh, jumlah kasus yang harus disupervisi dari kardiologi intervensi;

(2)    Kewenangan  klinis  anggota  tenaga  medis  dapat dilanjutkan, dibatasi, atau dihentikan berdasar: hasil dari  proses  tinjauan  praktik  profesional berkelanjutan;

(3)    Pembatasan  kewenangan  klinik  dari  organisasi profesi, KKI, MKEK, MKDKI, atau badan resmi lainnya;

(4)    Temuan rumah sakit dari hasil evaluasi kejadian sentinel               atau  kejadian  lain;  kesehatan  tenaga medis; dan/atau

(5)   Permintaan tenaga medis.

11)  Elemen Penilaian KPS 12

a) Rumah  sakit   telah   menetapkan   dan   menerapkan proses penilaian kinerja untuk evaluasi mutu praktik profesional berkelanjutan, etik, dan disiplin (OPPE) tenaga medis

b) Penilaian OPPE  tenaga  medis  memuat  3  (tiga)  area umum 1) – 3) dalam maksud dan tujuan.

c) Penilaian OPPE  juga  meliputi  peran  tenaga  medis dalam pencapaian target indikator mutu yang diukur di unit tempatnya bekerja.

d) Data dan informasi hasil pelayanan klinis dari tenaga medis dikaji secara objektif dan berdasar atas bukti, jika memungkinkan dilakukan benchmarking dengan pihak eksternal rumah sakit.

e) Data dan informasi hasil pemantauan kinerja tenaga medis sekurang-kurangnya setiap 12 (dua belas) bulan dilakukan oleh kepala unit, kepala kelompok tenaga medis, Subkomite Mutu Profesi Komite Medik dan pimpinan pelayanan      Hasil,   simpulan,   dan tindakan didokumentasikan di dalam file kredensial tenaga medis tersebut

f) Jika terjadi kejadian insiden keselamatan pasien atau pelanggaran perilaku etik maka dilakukan tindakan terhadap tenaga   medis  tersebut  secara  adil  (just culture) berdasarkan hasil analisisterkait kejadian tersebut.

g) Bila ada  temuan  yang  berdampak  pada  pemberian kewenangan                         tenaga     medis,     temuan     tersebut didokumentasi   ke   dalam   file   tenaga   medis   dan diinformasikan serta disimpan di unit tempat tenaga medis memberikan pelayanan

12)  Standar KPS 13

Rumah sakit paling sedikit setiap 3 (tiga) tahun melakukan rekredensial berdasarkan hasil penilaian praktik profesional berkelanjutan (OPPE) terhadap setiap semua tenaga medis rumah sakit untuk menentukan apabila tenaga medis dan kewenangan klinisnya dapat dilanjutkan dengan atau tanpa modifikasi.

13)  Maksud dan Tujuan KPS 13

Penjelasan istilah dan ekspektasi yang ditemukan dalam standar-standar ini adalah sebagai berikut:

a) Rekredensial/penugasan kembali merupakan proses peninjauan, sedikitnya dilakukan setiap 3 (tiga) tahun, terhadap file tenaga medis untuk verifikasi:

(1)   Kelanjutan izin (license);

(2)    Apakah   anggota   tenaga   medis   tidak   terkena tindakan etik dan disiplin dari MKEK dan MKDKI;

(3)    Apakah   tersedia   dokumen   untuk   mendukung penambahan kewenangan klinis atau tanggung jawab di rumah sakit; dan

(4)    Apakah anggota tenaga medis mampu secara fisik dan mental memberikan asuhan dan pengobatan tanpa supervisi.

Informasi untuk peninjauan ini dikumpulkan dari sumber internal, penilaian praktik profesional berkelanjutan tenaga medis (OPPE), dan juga dari sumber   eksternal   seperti   organisasi   profesi   atau sumber instansi resmi.

File  kredensial  dari  seorang  anggota  tenaga  medis harus menjadi sumber informasi yang dinamis dan selalu ditinjau secara teratur. Sebagai contoh, ketika

anggota tenaga medis mendapatkan sertifikat pencapaian berkaitan dengan peningkatan gelar atau pelatihan  spesialistis  lanjutan,  kredensial yang baru segera diverifikasi dari sumber yang mengeluarkan. Demikian  pula  ketika  badan  luar  melakukan investigasi tentang kejadian sentinel yang berkaitan dengan anggota tenaga medis dan mengenakan sanksi, informasi ini harus segera digunakan untuk evaluasi ulang   kewenangan   klinis   anggota   tenaga   medis tersebut. Untuk memastikan berkas tenaga medis lengkap dan akurat, berkas ditinjau sedikitnya setiap 3 (tiga)  tahun, dan terdapat catatan dalam berkas yang menunjukkan tindakan yang telah dilakukan atau bahwa tidak diperlukan tindakan apa pun dan pengangkatan tenaga medis dilanjutkan.

Misalnya, jika seorang tenaga medis menyerahkan sertifikat kelulusan sebagai hasil dari pelatihan spesialisasi khusus, kredensial baru ini harus diverifikasi segera dari sumber yang mengeluarkan sertifikat. Sama halnya, jika instansi dari luar (MKEK/MKDKI) menyelidiki kejadian sentinel pada seorang tenaga medis dan memberi sanksi maka informasi ini harus digunakan untuk penilaian kewenangan klinis tenaga medis tersebut. Untuk menjamin bahwa file tenaga medis lengkap dan akurat, file diperiksa paling sedikit 3 (tiga) tahun sekali dan ada   kesimpulan   hasil   peninjauan   di   file   berupa tindakan yang akan dilakukan atau tindakan tidak diperlukan sehingga penempatan tenaga medis dapat dilanjutkan.

Pertimbangan  untuk  memberikan  kewenangan klinis saat rekredensial/penugasan kembali mencakup hal- hal berikut:

(1)    Tenaga   medis   dapat   diberikan   kewenangan tambahan berdasarkan pendidikan dan pelatihan lanjutan. Pendidikan dan pelatihan telah diverifikasi      dari       Badan/Lembaga/Institusi

penyelenggara pendidikan atau pelatihan. Pelaksanaan  kewenangan  tambahan  dapat ditunda  sampai  proses  verifikasi  selesai  atau sesuai ketentuan rumah sakit terdapat periode waktu persyaratan untuk praktik di bawah supervisi sebelum pemberian kewenangan baru diberikan secara mandiri; misalnya jumlah kasus yang harus disupervisi dari kardiologi intervensi;

(2)    Kewenangan   tenaga   medis   dapat   dilanjutkan, dibatasi, dikurangi, atau dihentikan berdasarkan: a)      Hasil       evaluasi       praktik        profesional

berkelanjutan (OPPE);

b) Batasan kewenangan yang dikenakan kepada staf oleh  organisasi  profesi,  KKI,  MKEK, MKDKI, atau badan resmi lainnya;

c) Temuan rumah sakit dari analisis terhadap kejadian sentinel atau kejadian lainnya;

d) Status kesehatan tenaga medis; dan/atau e)    Permintaan dari tenaga medis.

14)  Elemen Penilaian KPS 13

a) Berdasarkan  penilaian       praktik       profesional berkelanjutan tenaga medis, rumah sakit menentukan sedikitnya setiap 3 (tiga) tahun, apakah kewenangan klinis tenaga medis dapat dilanjutkan dengan atau tanpa modifikasi (berkurang atau bertambah).

b) Terdapat bukti  terkini  dalam  berkas  setiap  tenaga medis untuk semua kredensial yang perlu diperbarui secara periodik.

c) Ada bukti  pemberian  kewenangan  klinis  tambahan didasarkan atas kredensial yang telah diverifikasi dari sumber Badan/Lembaga/Institusi     penyelenggara pendidikan atau pelatihan. sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Tenaga Keperawatan

1)    Standar KPS 14

Rumah   sakit   mempunyai   proses   yang   efektif   untuk melakukan      kredensial      tenaga      perawat      dengan

mengumpulkan, verifikasi pendidikan, registrasi, izin, kewenangan, pelatihan, dan pengalamannya.

2)    Maksud dan Tujuan KPS 14

Rumah sakit perlu memastikan untuk mempunyai tenaga perawat yang kompeten sesuai dengan misi, sumber daya, dan kebutuhan pasien. Tenaga perawat bertanggungjawab untuk memberikan asuhan keperawatan pasien secara langsung. Sebagai tambahan, asuhan keperawatan memberikan kontribusi terhadap outcome pasien secara keseluruhan. Rumah sakit harus memastikan bahwa perawat yang kompeten untuk memberikan asuhan keperawatan dan harus spesifik terhadap jenis asuhan keperawatan sesuai dengan peraturan perundang- undangan.

Rumah sakit memastikan bahwa setiap perawat yang kompeten untuk memberikan asuhan keperawatan, baik mandiri, kolaborasi, delegasi, serta mandat kepada pasien secara aman dan efektif dengan cara:

a) Memahami  peraturan    dan    perundang-undangan terkait perawat dan praktik keperawatan;

b) Melakukan  kredensial     terhadap     semua     bukti pendidikan, pelatihan, pengalaman, informasi yang ada pada setiap perawat, sekurang-kurangnya meliputi:

(1)    Bukti  pendidikan,  registrasi,  izin,  kewenangan, pelatihan,                    serta    pengalaman    terbaru    dan diverifikasi dari sumber aslinya;

(2)    Bukti kompetensi terbaru melalui informasi dari sumber lain di tempat perawat pernah bekerja sebelumnya; dan

(3)    Surat rekomendasi dan/atau informasi lain yang mungkin                 diperlukan   rumahsakit,   antara   lain riwayat kesehatan dan sebagainya.

    1. c) Rumah sakit  perlu  melakukan  setiap  upaya  untuk memverifikasi informasi penting dari berbagai sumber utama        dengan   jalan   mengecek   ke   website   resmi institusi pendidikan pelatihan melalui email dan surat tercatat.

Pemenuhan standar mensyaratkan verifikasi sumber utama dilaksanakan   untuk   perawat   yang   akan   dan   sedang bekerja. Bila verifikasi tidak mungkin dilakukan seperti hilang karena bencana atau sekolahnya tutup maka hal ini didapatkan dari sumber resmi lain.

3)    Elemen Penilaian KPS 14

a) Rumah  sakit   telah   menetapkan   dan   menerapkan proses kredensial yang efektif terhadap tenaga perawat meliputi poin a) – c) dalam maksud dan tujuan.

b) Tersedia bukti  dokumentasi  pendidikan,  registrasi, sertifikasi,                    izin,   pelatihan,   dan   pengalaman   yang terbaharui di file tenaga perawat.

c) Terdapat  pelaksanaan     verifikasi     ke     sumber Badan/Lembaga/institusi penyelenggara pendidikan/ pelatihan yang seragam.

d) Terdapat bukti  dokumen  kredensial  yang  dipelihara pada setiap tenaga perawat.

e) Rumah sakit menerapkan proses untuk memastikan bahwa kredensial perawat kontrak lengkap sebelum penugasan.

4)    Standar KPS 15

Rumah sakit melakukan identifikasi tanggung jawab pekerjaan dan memberikan penugasan klinis berdasar atas hasil kredensial tenaga perawat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

5)    Maksud dan Tujuan KPS 15

Hasil kredensial perawat berupa rincian kewenangan klinis menjadi landasan untuk membuat surat penugasan klinis kepada tenaga perawat.

6)    Elemen Penilaian KPS 15

a) Rumah sakit  telah  menetapkan  rincian  kewenangan klinis            perawat  berdasar  hasil  kredensial  terhadap perawat.

b) Rumah sakit telah menetapkan Surat Penugasan Klinis tenaga perawat sesuai dengan peraturan perundang- undangan.

7)    Standar KPS 16

Rumah sakit telah melakukan penilaian kinerja tenaga perawat termasuk perannya dalam kegiatan peningkatan mutu dan keselamatan pasien serta program manajemen risiko rumah sakit.

8)    Maksud danTujuan KPS 16

Peran   klinis   tenaga   perawat   sangat   penting   dalam pelayanan  pasien  sehingga  mengharuskan  perawat berperan secara proaktif dalam program peningkatan mutu dan keselamatan pasien serta program manajemen risiko rumah sakit.

Rumah sakit melakukan penilaian kinerja tenaga perawat secara periodik menggunakan format dan metode sesuai ketentuan yang ditetapkan rumah sakit.

Bila   ada   temuan   dalam   kegiatan   peningkatan   mutu, laporan insiden keselamatan pasien atau manajemen risiko maka Pimpinan rumah sakit dan kepala unit akan mempertimbangkan secara adil (just culture) dengan melihat laporan mutu atau hasil Root Cause Analysis (RCA) sejauh mana peran perawat yang terkait kejadian tersebut.

Hasil kajian, tindakan yang diambil,  dan setiap dampak atas tanggung  jawab  pekerjaan  didokumentasikan dalam file kredensial perawat tersebut atau file lainnya.

9)    Elemen Penilaian KPS 16

a) Rumah sakit telah melakukan penilaian kinerja tenaga perawat secara  periodik  menggunakan  format  dan metode sesuai ketentuan yang ditetapkan rumah sakit.

b) Penilaian kinerja tenaga perawat meliputi pemenuhan uraian tugasnya  dan  perannya  dalam  pencapaian target indikator mutu yang diukur di unit tempatnya bekerja.

c) Pimpinan rumah sakit dan kepala unit telah berlaku adil (just culture) ketika ada temuan dalam kegiatan peningkatan mutu,   laporan   insiden   keselamatan pasien atau manajemen risiko.

d) Rumah sakit telah mendokumentasikan hasil kajian, tindakan yang   diambil,   dan   setiap   dampak   atas tanggung    jawab    pekerjaan    perawat    dalam    file kredensial perawat.

Tenaga Kesehatan Lainnya

1)    Standar KPS 17

Rumah sakit mempunyai proses yang efektif untuk melakukan kredensial tenaga kesehatan lain dengan mengumpulkan dan memverifikasi pendidikan, registrasi, izin, kewenangan, pelatihan, dan pengalamannya.

2)    Maksud dan tujuan KPS 17

Rumah sakit perlu memastikan bahwa tenaga kesehatan lainnya kompeten sesuai dengan misi, sumber daya, dan kebutuhan pasien. Profesional Pemberi Asuhan (PPA) yang bertanggungjawab memberikan asuhan pasien secara langsung termasuk bidan, nutrisionis, apoteker, fisioterapis, teknisi transfusi darah, penata anestesi, dan lainnya. sedangkan staf klinis adalah adalah staf yang menempuh pendidikan profesi maupun vokasi yang tidak memberikan pelayanan secara langsung kepada pasien.

Rumah sakit memastikan bahwa PPA dan staf klinis lainnya berkompeten dalam memberikan asuhan aman dan efektif kepada      pasien   sesuai   dengan   peraturan   perundang- undangan dengan:

a) Memahami  peraturan    dan    perundang-undangan terkait tenaga kesehatan lainnya.

b) Mengumpulkan semua  kredensial  yang  ada  untuk setiap profesional pemberi asuhan (PPA) lainnya dan staf klinis lainnya sekurang-kurangnya meliputi:

(1)    Bukti  pendidikan,  registrasi,  izin,  kewenangan, pelatihan, dan pengalaman terbaru serta diverifikasi        dari  sumber  asli/website  verifikasi ijazah        Kementerian   Pendidikan,   Kebudayaan, Riset dan Teknologi;

(2)    Bukti kompetensi terbaru melalui informasi dari sumber lain di tempat tenaga kesehatan lainnya pernah bekerja sebelumnya; dan

(3)    Surat rekomendasi dan/atau informasi lain yang mungkin                diperlukan  rumah  sakit,  antara  lain riwayat kesehatan dan sebagainya.

c) Melakukan  setiap   upaya   memverifikasi   informasi penting dari berbagai sumber dengan jalan mengecek ke website  resmi dari institusi pendidikan pelatihan melalui email dan surat tercatat. Pemenuhan standar mensyaratkan verifikasi sumber aslinya dilaksanakan untuk tenaga kesehatan lainnya yang akan dan sedang bekerja. Bila verifikasi tidak mungkin dilakukan seperti hilangnya dokumen karena bencana atau sekolahnya tutup maka hal ini dapat diperoleh dari sumber resmi lain. File kredensial setiap tenaga kesehatan lainnya harus  tersedia   dan   dipelihara   serta   diperbaharui secara berkala sesuai dengan peraturan perundang- undangan.

3)    Elemen Penilaian KPS 17

a) Rumah  sakit   telah   menetapkan   dan   menerapkan proses              kredensial   yang   efektif   terhadap   tenaga Kesehatan lainnya meliputi poin a) – c) dalam maksud dan tujuan.

b) Tersedia bukti  dokumentasi  pendidikan,  registrasi, sertifikasi, izin, pelatihan, dan pengalaman yang terbaharui di file tenaga Kesehatan lainnya.

c) Terdapat  pelaksanaan     verifikasi     ke     sumber Badan/Lembaga/institusi                        penyelenggara Pendidikan/pelatihan yang seragam.

d) Terdapat dokumen  kredensial  yang  dipelihara  dari setiap tenaga kesehatan lainnya.

4)    Standar KPS 18

Rumah sakit melakukan identifikasi tanggung jawab pekerjaan dan memberikan penugasan klinis berdasar atas hasil kredensial tenaga kesehatan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

5)    Maksud dan Tujuan KPS 18

Rumah sakit mempekerjakan atau dapat mengizinkan tenaga kesehatan lainnya untuk memberikan asuhan dan pelayanan kepada pasien atau berpartisipasi dalam proses asuhan pasien.

Bila Tenaga kesehatan lainnya tersebut yang diizinkan bekerja atau berpraktik di rumah sakit maka rumah sakit bertanggungjawab untuk melakukan proses kredensialing.

6)    Elemen Penilaian KPS 18

a) Rumah sakit  telah  menetapkan  rincian  kewenangan klinis profesional pemberi asuhan (PPA) lainnya dan staf       klinis  lainnya  berdasar  atas  hasil  kredensial tenaga Kesehatan lainnya.

b) Rumah sakit telah menetapkan surat penugasan klinis kepada tenaga   Kesehatan   lainnya   sesuai   dengan peraturan perundang-undangan.

7)    Standar KPS 19

Rumah sakit telah melakukan penilaian kinerja tenaga Kesehatan lainnya termasuk perannya dalam kegiatan peningkatan mutu dan keselamatan pasien serta program manajemen risiko rumah sakit.

8)    Maksud dan Tujuan KPS 19

Peran klinis tenaga Kesehatan lainnya sangat penting dalam pelayanan pasien sehingga mengharuskan mereka berperan secara proaktif dalam program peningkatan mutu dan keselamatan pasien serta program manajemen risiko rumah sakit.

Rumah sakit melakukan penilaian kinerja tenaga Kesehatan lainnya secara periodik menggunakan format dan metode sesuai ketentuan yang ditetapkan rumah sakit.

Bila   ada   temuan   dalam   kegiatan   peningkatan   mutu, laporan insiden keselamatan pasien atau manajemen risiko maka Pimpinan rumah sakit dan kepala unit akan mempertimbangkan secara adil (just culture) dengan melihat laporan mutu atau hasil root cause analysis (RCA) sejauh mana peran tenaga Kesehatan lainnya yang terkait kejadian tersebut.

Hasil kajian, tindakan yang diambil,  dan setiap dampak atas tanggung  jawab  pekerjaan  didokumentasikan dalam file kredensial tenaga Kesehatan lainnya tersebut atau file lainnya.

9)    Elemen Penilaian KPS 19

a) Rumah sakit telah melakukan penilaian kinerja tenaga Kesehatan lainnya   secara   periodik   menggunakan format dan metode sesuai ketentuan yang ditetapkan rumah sakit.

b) Penilain kinerja  tenaga  Kesehatan  lainnya  meliputi pemenuhan                     uraian  tugasnya  dan  perannya  dalam pencapaian target indikator mutu yang diukur di unit tempatnya bekerja.

c) Pimpinan rumah sakit dan kepala unit telah berlaku adil (just culture) ketika ada temuan dalam kegiatan peningkatan mutu,   laporan   insiden   keselamatan pasien atau manajemen risiko.

d) Rumah sakit telah mendokumentasikan hasil kajian, tindakan yang   diambil,   dan   setiap   dampak   atas tanggung jawab pekerjaan tenaga kesehatan dalam file kredensial tenaga kesehatan lainnya.

Manajemen Fasilitas dan Keselamatan (MFK) Gambaran Umum

Fasilitas dan lingkungan dalam rumah sakit harus aman, berfungsi baik, dan memberikan lingkungan perawatan yang aman bagi pasien, keluarga, staf, dan pengunjung. Untuk mencapai tujuan itu maka fasilitas fisik, bangunan, prasarana dan peralatan kesehatan serta sumber daya lainnya harus dikelola secara efektif untuk mengurangi dan mengendalikan bahaya, risiko, mencegah kecelakaan, cidera dan penyakit akibat kerja. Dalam pengelolaan fasilitas dan lingkungan serta  pemantauan  keselamatan,  rumah  sakit  menyusun  program pengelolaan fasilitas dan lingkungan serta program pengelolaan risiko untuk pemantauan keselamatan di seluruh lingkungan rumah sakit. Pengelolaan  yang  efektif  mencakup  perencanaan, pendidikan, dan pemantauan multidisiplin dimana pemimpin merencanakan ruang, peralatan,  dan  sumber  daya  yang  diperlukan  untuk  mendukung layanan klinis yang disediakan secara aman dan efektif serta semua staf  diedukasi  mengenai  fasilitas,  cara  mengurangi  risiko,  cara memantau   dan   melaporkan   situasi   yang   berisiko   termasuk melakukan penilaian risiko yang komprehensif di seluruh fasilitas yang dikembangkan dan dipantau berkala.

Bila di rumah sakit memiliki entitas non-rumah sakit atau tenant/penyewa lahan (seperti restoran, kantin, kafe, dan toko souvenir)  maka  rumah  sakit  wajib  memastikan  bahwa tenant/penyewa lahan tersebut mematuhi program pengelolaan fasilitas   dan   keselamatan,   yaitu   program   keselamatan   dan keamanan, program pengelolaan bahan berbahaya dan beracun, program penanganan bencana dan kedaruratan, serta proteksi kebakaran.

Rumah sakit perlu membentuk satuan kerja yang dapat mengelola, memantau dan memastikan fasilitas dan pengaturan keselamatan yang ada sehingga tidak menimbulkan potensi bahaya dan risiko yang akan berdampak buruk bagi pasien, staf dan pengunjung. Satuan kerja yang dibentuk dapat berupa Komite/Tim K3 RS yang disesuaikan  dengan  kebutuhan,  ketersediaan  sumber  daya  dan beban kerja rumah sakit. Rumah sakit harus memiliki program pengelolaan fasilitas dan keselamatan yang menjangkau seluruh fasilitas dan lingkungan rumah sakit.

Rumah sakit tanpa melihat ukuran dan sumber daya yang dimiliki harus   mematuhi   ketentuan   dan   peraturan   perundangan   yang berlaku sebagai bagian dari tanggung jawab mereka terhadap pasien, keluarga, staf, dan para pengunjung.

Fokus pada standar Manajemen Fasilitas dan Keamanan ini meliputi:

    1. Kepemimpinan dan perencanaan;
    2. Keselamatan;
    3. Keamanan;
    4. Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) dan Limbah B3;
    5. Proteksi kebakaran;
    6. Peralatan medis;
    7. Sistim utilitas;
    8. Penanganan kedaruratan dan bencana;
    9. Konstruksi dan renovasi; dan j.     Pelatihan.
    10. Kepemimpinan dan Perencanaan

1)    Standar MFK 1

Rumah sakit mematuhi persyaratan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan bangunan, prasarana dan peralatan medis rumah sakit.

2)    Maksud dan Tujuan MFK 1

Rumah sakit harus mematuhi peraturan perundang- undangan termasuk mengenai bangunan dan proteksi kebakaran. Rumah sakit selalu menjaga fasilitas fisik dan lingkungan yang dimiliki dengan melakukan inspeksi fasilitas secara berkala dan secara proaktif mengumpulkan data serta membuat strategi untuk mengurangi risiko dan meningkatkan  kualitas  fasilitas  keselamatan,  kesehatan dan keamanan lingkungan pelayanan dan perawatan serta seluruh area rumah sakit.

Pimpinan  rumah  sakit  dan  penanggung  jawab  fasilitas keselamatan   rumah   sakit   bertanggung   jawab   untuk mengetahui   dan   menerapkan   hukum   dan   peraturan perundangan,  keselamatan  gedung  dan  kebakaran,  dan persyaratan lainnya, seperti perizinan dan lisensi/sertifkat yang  masih  berlaku  untuk  fasilitas  rumah  sakit  dan mendokumentasikan semua buktinya secara lengkap. Perencanaan  dan  penganggaran  untuk  penggantian  atau peningkatan    fasilitas,    sistem,    dan    peralatan    yang diperlukan untuk memenuhi persyaratan yang berlaku atau seperti yang telah diidentifikasi berdasarkan pemantauan atau  untuk  memenuhi  persyaratan  yang  berlaku  dapat memberikan bukti pemeliharaan dan perbaikan.

3)    Elemen Penilaian MFK 1

a) Rumah sakit menetapkan regulasi terkait Manajemen Fasilitas dan Keselamatan (MFK) yang meliputi poin a) – j) pada gambaran umum.

b) Rumah sakit telah melengkapi izin-izin dan sertifikasi yang masih  berlaku  sesuai  persyaratan  peraturan perundang-undangan.

c) Pimpinan  rumah    sakit    memenuhi    perencanaan anggaran dan sumber daya serta memastikan rumah sakit memenuhi persyaratan perundang-undangan.

4)    Standar MFK 2

Rumah  Sakit  menetapkan  penanggungjawab  yang kompeten untuk mengawasi penerapan manajemen fasilitas dan keselamatan di rumah sakit.

5)    Maksud dan tujuan MFK 2

Untuk dapat mengelola fasilitas dan keselamatan di rumah sakit secara efektif, maka perlu di tetapkan penanggung jawab manajemen fasilitas dan keselamatan (MFK) yang bertanggungjawab langsung kepada Direktur. Penanggung jawab Manajemen Fasilitas dan Keselamatan (MFK) dapat berbentuk unit, tim, maupun komite sesuai dengan kondisi dan kompleksitas rumah sakit.

Penanggung jawab MFK harus memiliki kompetensi yang dibutuhkan serta berpengalaman untuk dapat melakukan pengelolaan dan pengawasan manajemen fasilitas dan keselamatan  (MFK)  seperti  kesehatan  dan  keselamatan kerja, kesehatan lingkungan, farmasi, pengelolaan alat kesehatan, pengelolaan utilitas, dan unsur-unsur terkait lainnya sesuai kebutuhan rumah sakit.

Ruang  lingkup  tugas  dan  tanggung  jawab  penanggung jawab MFK meliputi:

a) Keselamatan: meliputi bangunan, prasarana, fasilitas, area konstruksi,  lahan,  dan  peralatan  rumah  sakit tidak  menimbulkan  bahaya  atau  risiko  bagi  pasien, staf, atau pengunjung.

b) Keamanan: perlindungan dari kehilangan, kerusakan, gangguan, atau  akses  atau  penggunaan  yang  tidak sah.

c) Bahan  dan   limbah   berbahaya:   Pengelolaan   B3 termasuk                    penggunaan     radioaktif     serta     bahan berbahaya lainnya dikontrol, dan limbah berbahaya dibuang dengan aman.

d) Proteksi kebakaran: Melakukan penilaian risiko yang berkelanjutan untuk    meningkatkan    perlindungan seluruh aset, properti dan penghuni dari kebakaran dan asap.

e) Penanganan  kedaruratan    dan    bencana:    Risiko diidentifikasi dan respons terhadap epidemi, bencana, dan keadaan   darurat   direncanakan   dan   efektif, termasuk evaluasi   integritas   struktural   dan   non struktural   lingkungan   pelayanan   dan   perawatan pasien.

f) Peralatan medis:  Peralatan  dipilih,  dipelihara,  dan digunakan dengan cara yang aman dan benar untuk mengurangi risiko.

g) Sistem utilitas:  Listrik,  air,  gas  medik  dan  sistem utilitas lainnya dipelihara untuk meminimalkan risiko kegagalan pengoperasian.

h) Konstruksi dan renovasi: Risiko terhadap pasien, staf, dan pengunjung   diidentifikasi   dan   dinilai   selama konstruksi, renovasi, pembongkaran, dan aktivitas pemeliharaan lainnya.

i) Pelatihan: Seluruh  staf  di  rumah  sakit  dan  para tenant/penyewa lahan dilatih dan memiliki pengetahuan tentang K3, termasuk penanggulangan kebakaran.

j) Pengawasan pada  para  tenant/penyewa  lahan  yang melakukan kegiatan di dalam area lingkungan rumah sakit.

Penanggung jawab MFK menyusun Program Manajemen fasilitas dan keselamatan rumah sakit meliputi a) – j) setiap tahun. Dalam program tersebut termasuk melakukan pengkajian dan penanganan risiko pada keselamatan, keamanan,  pengelolaan  B3,  proteksi  kebakaran, penanganan  kedaruratan  dan  bencana,  peralatan  medis dan sistim utilitas.

Pengkajian  dan  penanganan  risiko  dimasukkan  dalam daftar risiko manajemen fasilitas keselamatan (MFK). Berdasarkan daftar risiko tersebut, dibuat profil risiko MFK yang akan menjadi prioritas dalam pemantauan risiko di fasilitas    dan    lingkungan    rumah    sakit.    Pengkajian,

penanganan  dan  pemantauan  risiko  MFK  tersebut  akan diintegrasikan ke dalam daftar risiko rumah sakit untuk penyusunan program manajemen risiko rumah sakit. Penanggung jawab MFK melakukan pengawasan terhadap manajemen fasilitas dan keselamatan yang meliputi:

a) Pengawasan semua aspek program manajemen fasilitas dan keselamatan seperti pengembangan rencana dan memberikan rekomendasi untuk ruangan, peralatan medis, teknologi, dan sumber daya;

b) Pengawasan pelaksanaan  program  secara  konsisten dan berkesinambungan;

c) Pelaksanaan edukasi staf;

d) Pengawasan  pelaksanaan    pengujian/testing    dan pemantauan program;

e) Penilaian ulang secara berkala dan merevisi program manajemen risiko   fasilitas   dan   lingkungan   jika dibutuhkan;

f) Penyerahan laporan tahunan kepada direktur rumah sakit;

g) Pengorganisasian  dan       pengelolaan       laporan kejadian/insiden dan melakukan analisis, dan upaya perbaikan.

6)    Elemen Penilaian MFK 2

a) Rumah sakit telah menetapkan Penanggungjawab MFK yang memiliki  kompetensi  dan  pengalaman  dalam melakukan pengelolaan pada fasilitas dan keselamatan di lingkungan rumah sakit.

b) Penanggungjawab  MFK   telah   menyusun   Program Manajemen                     Fasilitas  dan  Keselamatan  (MFK)  yang meliputi poin a) – j) dalam maksud dan tujuan.

c) Penanggungjawab MFK telah melakukan pengawasan dan evaluasi Manajemen Fasilitas dan Keselamatan (MFK) setiap tahunnya meliputi poin a) – g) dalam maksud dan tujuan serta melakukan penyesuaian program apabila diperlukan.

d) Penerapan     program     Manajemen     Fasilitas     dan Keselamatan (MFK) pada tenant/penyewa lahan yang berada di lingkungan rumah sakit meliputi poin a) – e) dalam maksud dan tujuan.

Keselamatan

1)    Standar MFK 3

Rumah  sakit  menerapkan  Program  Manajemen  Fasilitas dan Keselamatan (MFK) terkait keselamatan di rumah sakit.

2)    Maksud dan tujuan MFK 3

Keselamatan di dalam standar ini adalah memberikan jaminan bahwa bangunan, prasarana, lingkungan, properti, teknologi medis dan informasi, peralatan, dan sistem tidak menimbulkan risiko fisik bagi pasien, keluarga, staf, dan pengunjung.

Program keselamatan dan Kesehatan kerja staf diintegrasikan dalam Program Manajemen fasilitas dan keselamatan terkait keselamatan sesuai ruang lingkup keselamatan yang telah dijelaskan diatas.

Pencegahan dan perencanaan penting untuk menciptakan fasilitas perawatan pasien termasuk area kerja staf yang aman. Perencanaan yang efektif membutuhkan kesadaran rumah sakit terhadap semua risiko yang ada di fasilitas. Tujuannya adalah untuk mencegah kecelakaan dan cedera serta untuk menjaga kondisi yang aman, dan menjamin keselamatan   bagi   pasien,   staf,   dan   lainnya,   seperti keluarga, kontraktor, vendor, relawan, pengunjung, peserta pelatihan, dan peserta didik.

Rumah sakit mengembangkan dan menerapkan program keselamatan serta mendokumentasikan hasil inspeksi fisik yang dilakukan. Penilaian risiko mempertimbangkan tinjauan proses dan evaluasi layanan baru dan terencana yang   dapat   menimbulkan   risiko   keselamatan.   Penting untuk   melibatkan   tim   multidisiplin   saat   melakukan inspeksi keselamatan di rumah sakit.

Rumah sakit menerapkan proses untuk mengelola dan memantau keselamatan (merupakan bagian dari program Manajemen Fasilitas Keselamatan/MFK pada standar MFK 1 yang meliputi:

a) Pengelolaan risiko keselamatan di lingkungan rumah sakit secara komprehensif

b) Penyediaan fasilitas  pendukung  yang  aman  untuk mencegah              kecelakaan  dan  cedera,  penyakit  akibat kerja,              mengurangi    bahaya    dan    risiko,    serta mempertahankan kondisi aman bagi pasien, keluarga, staf, dan pengunjung; dan

c) Pemeriksaan fasilitas dan lingkungan (ronde fasilitas) secara berkala    dan    dilaporkan    sebagai    dasar perencanaan anggaran untuk perbaikan, penggantian atau “upgrading”.

3)    Elemen Penilaian MFK 3

a) Rumah  sakit    menerapkan    proses    pengelolaan keselamatan rumah sakit meliputi poin a) – c) pada maksud dan tujuan.

b) Rumah  sakit    telah    mengintegrasikan    program Kesehatan                   dan   keselamatan   kerja   staf   ke  dalam program manajemen fasilitas dan keselamatan.

c) Rumah sakit telah membuat pengkajian risiko secara proaktif terkait keselamatan di rumah sakit setiap tahun yang didokumentasikan dalam daftar risiko/risk register.

d) Rumah sakit  telah  melakukan  pemantauan  risiko keselamatan dan dilaporkan setiap 6 (enam) bulan kepada piminan rumah sakit.

Keamanan

1)    Standard MFK 4

Rumah  sakit  menerapkan  Program  Manajemen  Fasilitas dan Keselamatan (MFK) terkait keamanan di rumah sakit.

2)    Maksud dan tujuan MFK 4

Keamanan adalah perlindungan terhadap properti milik rumah sakit, pasien, staf, keluarga, dan pengunjung dari bahaya  kehilangan,  kerusakan,  atau  pengrusakan  oleh orang yang tidak berwenang. Contoh kerentanan dan ancaman yang terkait dengan risiko keamanan termasuk kekerasan di tempat kerja, penculikan bayi, pencurian, dan akses tidak terkunci/tidak aman ke area terlarang di rumah sakit. Insiden keamanan dapat disebabkan oleh individu baik dari luar maupun dalam rumah sakit.

Area yang berisiko seperti unit gawat darurat, ruangan neonatus/bayi, ruang operasi, farmasi, ruang rekam medik, ruangan IT harus diamankan dan dipantau. Anak-anak, orang dewasa, lanjut usia, dan pasien rentan yang tidak dapat melindungi diri mereka sendiri atau memberi isyarat untuk bantuan harus dilindungi dari bahaya. Area terpencil atau  terisolasi  dari  fasilitas  dan  lingkungan  misalnya tempat parkir, mungkin memerlukan kamera keamanan (CCTV).

Rumah sakit menerapkan proses untuk mengelola dan memantau keamanan (merupakan bagian dari program Manajemen Fasilitas dan Keselamatan (MFK) pada standar MFK 1 yang meliputi:

a) Menjamin lingkungan yang aman dengan memberikan identitas/tanda pengenal (badge nama sementara atau tetap) pada     pasien,     staf,     pekerja     kontrak, tenant/penyewa lahan, keluarga (penunggu pasien), atau pengunjung (pengunjung di luar jam besuk dan tamu  rumah  sakit)  sesuai  dengan  regulasi  rumah sakit;

b) Melakukan pemeriksaan dan pemantauan keamanan fasilitas dan lingkungan secara berkala dan membuat tindak lanjut perbaikan;

c) Pemantauan pada  daerah  berisiko  keamanan  sesuai penilaian risiko di rumah sakit. Pemantauan dapat dilakukan         dengan  penempatan  petugas  keamanan (sekuriti) dan atau memasang kamera sistem CCTV yang dapat dipantau oleh sekuriti;

d) Melindungi semua individu yang berada di lingkungan rumah sakit   terhadap   kekerasan,   kejahatan   dan ancaman; dan

e) Menghindari terjadinya  kehilangan,  kerusakan,  atau pengrusakan  barang  milik  pribadi  maupun  rumah sakit.

3)    Elemen Penilaian MFK 4

a) Rumah  sakit    menerapkan    proses    pengelolaan keamanan dilingkungan rumah sakit meliputi poin a) – e) pada maksud dan tujuan.

b) Rumah sakit telah membuat pengkajian risiko secara proaktif terkait keamanan di rumah sakit setiap tahun yang didokumentasikan   dalam   daftar   risiko/risk register.

c) Rumah sakit telah membuat pengkajian risiko secara proaktif terkait keselamatan di rumah (Daftar risiko/risk register).

d) Rumah sakit  telah  melakukan  pemantauan  risiko keamanan                   dan  dilaporkan  setiap  6  (enam)  bulan kepada Direktur rumah sakit.

Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) dan Limbah B3

1)    Standar MFK 5

Rumah sakit menetapkan dan menerapkan pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) serta limbah B3 sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

2)    Maksud dan tujuan MFK 5

Rumah sakit mengidentifikasi, menganalisis dan mengendalikan seluruh bahan berbahaya dan beracun dan limbahnya di rumah sakit sesuai dengan standar keamanan dan peraturan perundang-undangan.

Rumah sakit melakukan identifikasi menyeluruh untuk semua area di mana bahan berbahaya berada dan harus mencakup informasi tentang jenis setiap bahan berbahaya yang disimpan, jumlah (misalnya, perkiraan atau rata-rata) dan lokasinya di rumah sakit. Dokumentasi ini juga harus membahas jumlah maksimum yang diperbolehkan untuk menyimpan bahan berbahaya di area kerja (maximum quantity on hand). Misalnya, jika bahan sangat mudah terbakar atau beracun, ada batasan jumlah bahan yang dapat   disimpan   di   area   kerja.   Inventarisasi   bahan berbahaya dibuat dan diperbarui, setiap tahun, untuk memantau  perubahan  bahan  berbahaya  yang  digunakan dan disimpan.

Kategori Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) sesuai WHO meliputi:

a) Infeksius;

b) Patologis dan anatomi;

c) Farmasi;

d) Bahan kimia;

e) Logam berat;

f) Kontainer bertekanan;

g) Benda tajam;

h) Genotoksik/sitotoksik; dan

i) Proses  pengelolaan  bahan  berbahaya  beracun  dan limbahnya di rumah sakit (merupakan bagian dari program Manajemen Fasilitas dan Keselamatan (MFK) pada standar MFK 1 meliputi:

a) Inventarisasi B3 serta limbahnya yang meliputi jenis, jumlah, simbol dan lokasi;

b) Penanganan, penyimpanan, dan penggunaan B3 serta limbahnya;

c) Penggunaan alat  pelindung  diri  (APD)  dan  prosedur penggunaan, prosedur bila terjadi tumpahan, atau paparan/pajanan;

d) Pelatihan yang dibutuhkan oleh staf yang menangani B3;

e) Pemberian label/rambu-rambu  yang  tepat  pada  B3 serta limbahnya;

f) Pelaporan  dan  investigasi  dari  tumpahan,  eksposur (terpapar), dan insiden lainnya;

g) Dokumentasi, termasuk izin, lisensi, atau persyaratan peraturan lainnya; dan

h) Pengadaan/pembelian  B3   dan   pemasok   (supplier) wajib             melampirkan    Lembar    Data     Informasi yang tercantum di lembar data keselamatan diedukasi kepada staf rumah sakit, terutama kepada staf terdapat penyimpanan B3 di unitnya.

Informasi mengenai prosedur penanganan bahan berbahaya dan limbah dengan cara yang aman harus segera tersedia setiap saat termasuk prosedur penanganan tumpahan.

Jika terjadi tumpahan bahan berbahaya, rumah sakit memiliki prosedur untuk menanggapi dan mengelola tumpahan  dan  paparan  yang  termasuk  menyediakan kit tumpahan untuk jenis dan ukuran potensi tumpahan serta proses pelaporan tumpahan dan paparan.

Rumah sakit menerapkan prosedur untuk menanggapi paparan bahan berbahaya, termasuk pertolongan pertama seperti akses ke tempat pencuci mata (eye washer) mungkin diperlukan untuk pembilasan segera dan terus menerus untuk mencegah atau meminimalkan cedera. Rumah sakit harus melakukan penilaian risiko untuk mengidentifikasi di mana saja lokasi pencuci mata diperlukan, dengan mempertimbangkan sifat fisik bahan kimia berbahaya yang digunakan, bagaimana bahan kimia ini digunakan oleh staf untuk melakukan aktivitas kerja mereka, dan penggunaan peralatan pelindung diri oleh staf. Alternatif untuk lokasi pencuci mata sesuai pada jenis risiko dan potensi eksposur. Rumah  sakit  harus  memastikan  pemeliharaan  pencuci mata yang tepat, termasuk pembersihan mingguan dan pemeliharaan preventif.

3)    Elemen Penilaian MFK 5

a) Rumah sakit telah melaksanakan proses pengelolaan B3 meliputi poin a) – h) pada maksud dan tujuan.

b) Rumah sakit telah membuat pengkajian risiko secara proaktif terkait pengelolaan B3 di rumah sakit setiap tahun yang didokumentasikan dalam daftar risiko/risk regist

c) Di area tertentu yang rawan terhadap pajanan telah dilengkapi dengan  eye   washer/body   washer   yang berfungsi dan terpelihara baik dan tersedia kit tumpahan/spill kit sesuai ketentuan.

d) Staf  dapat   menjelaskan   dan   atau   memperagakan penanganan tumpahan B3.

e) Staf  dapat   menjelaskan   dan   atau   memperagakan tindakan,                  kewaspadaan,   prosedur   dan   partisipasi dalam penyimpanan, penanganan dan pembuangan limbah B3.

4)    Standar MFK 5.1

Rumah sakit mempunyai sistem pengelolaan limbah B3 cair dan padat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

5)    Maksud dan Tujuan MFK 5.1

Rumah sakit juga menetapkan jenis limbah berbahaya yang dihasilkan oleh rumah sakit dan mengidentifikasi pembuangannya (misalnya, kantong/tempat sampah yang diberi kode warna dan diberi label).

Sistem penyimpanan dan pengelolaan limbah B3 mengikuti ketentuan peraturan perundangan-undangan.

Untuk  pembuangan  sementara  limbah  B-3,  rumah  sakit agar  memenuhi  persyaratan  fasilitas  pembuangan sementara limbah B-3 sebagai berikut:

a) Lantai  kedap   (impermeable),   berlantai   beton   atau semen dengan sistem drainase yang baik, serta mudah dibersihkan dan dilakukan desinfeksi;

b) Tersedia sumber air atau kran air untuk pembersihan yang dilengkapi dengan sabun cair;

c) Mudah diakses untuk penyimpanan limbah;

d) Dapat dikunci  untuk  menghindari  akses  oleh  pihak yang tidak berkepentingan;

e) Mudah  diakses     oleh     kendaraan     yang     akan mengumpulkan atau mengangkut limbah;

f) Terlindungi dari sinar matahari, hujan, angin kencang, banjir, dan faktor lain yang berpotensi menimbulkan kecelakaan atau bencana kerja;

g) Terlindung dari hewan: kucing, serangga, burung, dan lain-lainnya;

h) Dilengkapi dengan  ventilasi  dan  pencahayaan  yang baik serta memadai;

i) Berjarak  jauh    dari    tempat    penyimpanan    atau penyiapan makanan;

j) Peralatan  pembersihan,   alat   pelindung   diri/APD (antara lain masker, sarung tangan, penutup kepala, goggle, sepatu boot, serta pakaian pelindung) dan wadah atau kantong limbah harus diletakkan sedekat- dekatnya dengan lokasi fasilitas penyimpanan; dan

k) Dinding,  lantai,   dan    juga    langit-langit    fasilitas penyimpanan senantiasa dalam keadaan bersih termasuk pembersihan lantai setiap hari.

Untuk limbah berwujud cair dapat dilakukan di Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) dari fasilitas pelayanan kesehatan.

Tujuan pengolahan limbah medis adalah mengubah karakteristik biologis dan/atau kimia limbah sehingga potensi bahayanya terhadap manusia berkurang atau tidak ada.

Bila rumah sakit mengolah limbah B-3 sendiri maka wajib mempunyai izin mengolah limbah B-3. Namun, bila pengolahan B-3 dilaksanakan oleh pihak ketiga maka pihak ketiga tersebut wajib mempunyai izin sebagai pengolah B-3. Pengangkut/transporter dan pengolah limbah B3 dapat dilakukan oleh institusi yang berbeda.

6)    Elemen Penilaian MFK 5.1

a) Rumah sakit  melakukan  penyimpanan  limbah  B3 sesuai poin a) – k) pada maksud dan tujuan.

b) Rumah  sakit   mengolah   limbah   B3   padat   secara mandiri atau menggunakan pihak ketiga yang berizin termasuk  untuk  pemusnahan  limbah  B3  cair  yang tidak bisa dibuang ke IPAL.

c) Rumah  sakit   mengelola   limbah   B3   cair   sesuai peraturan perundang-undangan.

Proteksi Kebakaran

1)    Standar MFK 6

Rumah   sakit   menerapkan   proses   untuk   pencegahan, penanggulangan bahaya kebakaran dan penyediaan sarana jalan          keluar  yang  aman  dari  fasilitas  sebagai  respons terhadap kebakaran dan keadaan darurat lainnya.

2)    Maksud dan tujuan MFK 6

Rumah sakit harus waspada terhadap risiko kebakaran, karena kebakaran merupakan risiko yang selalu ada dalam lingkungan perawatan dan pelayanan kesehatan sehingga setiap rumah sakit perlu memastikan agar semua yang ada di rumah sakit aman dan selamat apabila terjadi kebakaran termasuk bahaya dari asap.

Proteksi kebakaran juga termasuk keadaan darurat non- kebakaran misalnya kebocoran gas beracun yang dapat mengancam sehingga perlu dievakuasi. Rumah sakit perlu melakukan penilaian terus menerus untuk memenuhi regulasi keamanan dan proteksi kebakaran sehingga secara efektif dapat mengidentifikasi, analisis, pengendalian risiko sehingga dapat dan meminimalkan risiko. Pengkajian risiko kebakaran Fire Safety Risk Assessment (FSRA) merupakan salah satu upaya untuk menilai risiko keselamatan kebakaran.

Rumah sakit melakukan pengkajian risiko kebakaran meliputi:

a) Pemisah/kompartemen bangunan  untuk  mengisolasi asap/api.

b) Laundry/binatu,  ruang    linen,    area    berbahaya termasuk ruang di atas plafon.

c) Tempat pengelolaan sampah.

d) Pintu keluar darurat kebakaran (emergency exit).

e) Dapur  termasuk    peralatan    memasak    penghasil minyak.

f) Sistem dan  peralatan  listrik  darurat/alternatif  serta jalur kabel dan instalasi listrik.

g) Penyimpanan dan penanganan bahan yang berpotensi mudah terbakar (misalnya, cairan dan gas mudah terbakar, gas medis yang mengoksidasi seperti oksigen dan dinitrogen  oksida),  ruang  penyimpanan  oksigen dan komponennya dan vakum medis.

h) Prosedur dan tindakan untuk mencegah dan mengelola kebakaran akibat pembedahan.

i) Bahaya kebakaran terkait dengan proyek konstruksi, renovasi, atau pembongkaran.

Berdasarkan  hasil  pengkajian  risiko  kebakaran,  rumah sakit menerapkan proses proteksi kebakaran (yang merupakan bagian dari Manajemen Fasilitas dan Keamanan (MFK) pada standar MFK 1 untuk:

a) Pencegahan kebakaran  melalui  pengurangan  risiko seperti penyimpanan dan penanganan bahan-bahan mudah terbakar secara aman, termasuk gas-gas medis yang mudah terbakar seperti oksigen, penggunaan bahan yang non combustible, bahan yang waterbase dan lainnya  yang dapat  mengurangi potensi bahaya kebakaran;

b) Pengendalian potensi  bahaya  dan  risiko  kebakaran yang terkait dengan konstruksi apapun di atau yang berdekatan dengan bangunan yang ditempati pasien;

c) Penyediaan rambu  dan  jalan  keluar  (evakuasi) yang aman serta tidak terhalang apabila terjadi kebakaran;

d) Penyediaan  sistem   peringatan   dini   secara   pasif meliputi,   detektor   asap   (smoke   detector),  detektor panas (heat  detector),  alarm  kebakaran,  dan  lain- lainnya;

e) Penyediaan  fasilitas   pemadaman   api   secara   aktif meliputi APAR, hidran, sistem sprinkler, dan lain- lainnya; dan

f) Sistem pemisahan          (pengisolasian)         dan kompartemenisasi pengendalian api dan asap.

Risiko dapat mencakup peralatan, sistem, atau fitur lain untuk proteksi kebakaran yang rusak, terhalang, tidak berfungsi, atau perlu disingkirkan. Risiko juga dapat diidentifikasi dari proyek konstruksi, kondisi penyimpanan yang berbahaya, kerusakan peralatan dan sistem, atau pemeliharaan yang diperlukan yang berdampak pada sistem keselamatan kebakaran.

Rumah  sakit  harus  memastikan  bahwa  semua  yang  di dalam faslitas dan lingkungannya tetap aman jika terjadi kebakaran,  asap,  dan  keadaan  darurat  non-kebakaran.

Struktur dan desain fasilitas perawatan kesehatan dapat membantu mencegah, mendeteksi, dan memadamkan kebakaran serta menyediakan jalan keluar yang aman dari fasilitas tersebut.

3)    Elemen Penilaian MFK 6

a) Rumah  sakit   telah   melakukan   pengkajian   risiko kebakaran secara proaktif meliputi poin a) – i) dalam maksud  dan      tujuan      setiap      tahun      yang didokumentasikan dalam daftar risiko/risk regist

b) Rumah  sakit   telah   menerapkan   proses   proteksi kebakaran yang meliputi poin a) – f) pada maksud dan tujuan.

c) Rumah sakit menetapkan kebijakan dan melakukan pemantauan larangan merokok di seluruh area rumah sakit.

d) Rumah  sakit   telah   melakukan   pengkajian   risiko proteksi kebakaran.

e) Rumah  sakit   memastikan   semua   staf   memahami proses              proteksi   kebakaran   termasuk   melakukan pelatihan              penggunaan  APAR,  hidran  dan  simulasi kebakaran setiap tahun.

f) Peralatan pemadaman  kebakaran  aktif  dan  sistem peringatan dini serta proteksi kebakaran secara pasif telah       diinventarisasi,   diperiksa,   di   ujicoba   dan dipelihara       sesuai    dengan    peraturan    perundang- undangan dan didokumentasikan.

Peralatan Medis

1)    Standar MFK 7

Rumah sakit menetapkan dan menerapkan proses pengelolaan peralatan medik.

2)    Maksud dan tujuan MFK 7

Untuk menjamin peralatan medis dapat digunakan dan layak  pakai  maka  rumah  sakit  perlu  melakukan pengelolaan  peralatan  medis  dengan  baik  dan  sesuai standar serta peraturan perundangan yang berlaku.

Proses   pengelolaan   peralatan   medis   (yang   merupakan bagian     dari     progam     Manajemen     Fasilitas     dan

Keselamatan/MFK pada standar MFK 1 meliputi:

a) Identifikasi dan penilaian kebutuhan alat medik dan uji fungsi sesuai ketentuan penerimaan alat medik baru.

b) Inventarisasi seluruh  peralatan  medis  yang  dimiliki oleh rumah sakit dan peralatan medis kerja sama operasional (KSO) milik pihak ketiga; serta peralatan medik yang dimiliki oleh staf rumah sakit jika ada Inspeksi peralatan medis sebelum digunakan.

c) Pemeriksaan  peralatan     medis     sesuai     dengan penggunaan dan ketentuan pabrik secara berkala.

d) Pengujian yang dilakukan terhadap alat medis untuk memperoleh kepastian  tidak  adanya  bahaya  yang ditimbulkan sebagai akibat penggunaan alat.

e) Rumah sakit melakukan pemeliharaan preventif dan kalibrasi, dan seluruh prosesnya didokumentasikan.

Rumah  Sakit  menetapkan  staf  yang  kompeten  untuk melaksanakan kegiatan ini. Hasil pemeriksaan (inspeksi), uji      fungsi,      dan      pemeliharaan      serta      kalibrasi didokumentasikan. Hal ini menjadi dasar untuk menyusun perencanaan dan pengajuan anggaran untuk penggantian, perbaikan, peningkatan (upgrade), dan perubahan lain. Rumah   sakit   memiliki   sistem   untuk   memantau   dan bertindak  atas  pemberitahuan  bahaya  peralatan  medis, penarikan   kembali,   insiden   yang   dapat   dilaporkan, masalah, dan kegagalan yang dikirimkan oleh produsen, pemasok,   atau   badan   pengatur.   Rumah   sakit   harus mengidentifikasi dan mematuhi hukum dan peraturan yang berkaitan   dengan   pelaporan   insiden   terkait   peralatan medis.  Rumah  sakit  melakukan  analisis  akar  masalah dalam menanggapi setiap kejadian sentinel.

Rumah sakit mempunyai proses identifikasi, penarikan (recall) dan pengembalian, atau pemusnahan produk dan peralatan medis yang ditarik kembali oleh pabrik atau pemasok. Ada kebijakan atau prosedur yang mengatur penggunaan setiap produk atau peralatan yang ditarik kembali (under recall).

3)    Elemen Penilaian MFK 7

a) Rumah sakit  telah  menerapkan  proses  pengelolaan peralatan                  medik  yang  digunakan  di  rumah  sakit meliputi poin a) – e) pada maksud dan tujuan.

b) Rumah sakit  menetapkan  penanggung  jawab  yang kompeten                    dalam    pengelolaan    dan    pengawasan peralatan medik di rumah sakit.

c) Rumah  sakit   telah   melakukan   pengkajian   risiko peralatan medik secara proaktif setiap tahun yang didokumentasikan dalam daftar risiko/risk register.

d) Terdapat bukti perbaikan yang dilakukan oleh pihak yang berwenang dan kompeten.

e) Rumah  sakit    telah    menerapkan    pemantauan, pemberitahuan kerusakan (malfungsi) dan penarikan (recall) peralatan medis yang membahayakan pasien.

f) Rumah sakit  telah  melaporkan  insiden  keselamatan pasien              terkait    peralatan    medis    sesuai    dengan peraturan perundang-undangan.

Sistem Utilitas

1)    Standar MFK 8

Rumah sakit menetapkan dan melaksanakan proses untuk memastikan semua sistem utilitas (sistem pendukung) berfungsi efisien dan efektif yang meliputi pemeriksaan, pemeliharaan, dan perbaikan sistem utilitas.

2)    Maksud dan Tujuan MFK 8

Definisi utilitas adalah sistem dan peralatan untuk mendukung layanan penting bagi keselamatan pasien. Sistem utilitas disebut juga sistem penunjang yang mencakup jaringan listrik, air, ventilasi dan aliran udara, gas medik dan uap panas. Sistem utilitas yang berfungsi efektif akan menunjang lingkungan asuhan pasien yang aman.   Selain   sistim   utilitas   perlu   juga   dilakukan pengelolaan komponen kritikal terhadap listrik, air dan gas medis misalnya perpipaan, saklar, relay/penyambung, dan lain-lainnya.

Asuhan pasien rutin dan darurat berjalan selama 24 jam terus  menerus,  setiap  hari,  dalam  waktu  7  (tujuh)  hari dalam seminggu. Jadi, kesinambungan fungsi utilitas merupakan   hal   esensial   untuk   memenuhi   kebutuhan pasien. Termasuk listrik dan air harus tersedia selama 24 jam terus menerus, setiap hari, dalam waktu 7 (tujuh) hari dalam seminggu.

Pengelolaan sistim utilitas yang baik dapat mengurangi potensi risiko pada pasien maupun staf. Sebagai contoh, kontaminasi berasal dari sampah di area persiapan makanan,   kurangnya   ventilasi   di   laboratorium   klinik, tabung oksigen yang disimpan tidak terjaga dengan baik, kabel listrik bergelantungan, serta dapat menimbulkan bahaya. Untuk menghindari kejadian ini maka rumah sakit harus melakukan pemeriksaan berkala dan pemeliharan preventif.

Rumah sakit perlu menerapkan proses pengelolaan sistem utilitas dan komponen kritikal (yang merupakan bagian dari progam Manajemen Fasilitas dan Keselamatan (MFK) pada standar MFK 1 sekurang- kurangnya meliputi:

a) Ketersediaan air  dan  listrik  24  jam  setiap  hari  dan dalam waktu 7 (tujuh) hari dalam seminggu secara terus menerus;

b) Membuat  daftar    inventaris    komponen-komponen sistem utilitas, memetakan pendistribusiannya, dan melakukan update secara berkala;

c) Pemeriksaan, pemeliharaan,  serta  perbaikan  semua komponen utilitas yang ada di daftar inventaris;

d) Jadwal pemeriksaan,  uji  fungsi,  dan  pemeliharaan semua sistem utilitas berdasar atas kriteria seperti rekomendasi   dari    pabrik,    tingkat    risiko,    dan pengalaman rumah sakit; dan

e) Pelabelan pada tuas-tuas kontrol sistem utilitas untuk membantu pemadaman darurat secara keseluruhan atau sebagian saat terjadi kebakaran.

3)    Elemen Penilaian MFK 8

a) Rumah sakit  telah  menerapkan  proses  pengelolaan sistem utilitas yang meliputi poin a) – e) dalam maksud dan tujuan.

b) Rumah sakit telah melakukan pengkajian risiko sistim utilitas dan komponen  kritikalnya  secara  proaktif setiap tahun yang didokumentasikan dalam daftar risiko/risk regist

4)    Standar MFK 8.1

Dilakukan pemeriksaan, pemeliharaan, dan perbaikan sistem utilitas.

5)    Maksud dan Tujuan MFK 8.1

Rumah sakit harus mempunyai daftar inventaris lengkap sistem utilitas dan menentukan komponen yang berdampak pada bantuan hidup, pengendalian infeksi, pendukung lingkungan, dan komunikasi. Proses menajemen utilitas menetapkan pemeliharaan utilitas untuk memastikan utilitas pokok/penting seperti air, listrik, sampah, ventilasi, gas medik, lift agar dijaga, diperiksa berkala, dipelihara, dan diperbaiki.

6)    Elemen Penilaian MFK 8.1

a) Rumah sakit menerapkan proses inventarisasi sistim utilitas dan komponen kritikalnya setiap tahun.

b) Sistem  utilitas   dan   komponen   kritikalnya   telah diinspeksi   secara   berkala   berdasarkan   ketentuan rumah sakit.

c) Sistem utilitas dan komponen kritikalnya diuji secara berkala berdasar atas kriteria yang sudah ditetapkan.

d) Sistem utilitas  dan  komponen  kritikalnya  dipelihara berdasar atas kriteria yang sudah ditetapkan.

e) Sistem utilitas  dan  komponen  kritikalnya  diperbaiki bila diperlukan.

7)    Standar MFK 8.2

Sistem utilitas rumah sakit menjamin tersedianya air bersih dan listrik sepanjang waktu serta menyediakan sumber cadangan/alternatif persediaan air dan tenaga listrik jika terjadi terputusnya sistem, kontaminasi, atau kegagalan.

8)    Maksud dan Tujuan MFK 8.2

Pelayanan pasien dilakukan selama 24 jam terus menerus, setiap hari dalam seminggu di rumah sakit. Rumah sakit mempunyai kebutuhan sistem utilitas yang berbeda-beda

bergantung pada misi rumah sakit, kebutuhan pasien, dan sumber daya. Walaupun begitu, pasokan sumber air bersih dan listrik terus menerus sangat penting untuk memenuhi kebutuhan pasien. Rumah sakit harus melindungi pasien dan     staf   dalam   keadaan   darurat   seperti   jika   terjadi kegagalan sistem, pemutusan, dan kontaminasi.

Sistem  tenaga  listrik  darurat  dibutuhkan  oleh  semua rumah sakit yang ingin memberikan asuhan kepada pasien tanpa putus dalam keadaan darurat. Sistem darurat ini memberikan cukup tenaga listrik untuk mempertahankan fungsi yang esensial dalam keadaan darurat dan juga menurunkan risiko terkait terjadi kegagalan. Tenaga listrik cadangan dan darurat harus dites sesuai dengan rencana yang dapat membuktikan beban tenaga listrik memang seperti yang dibutuhkan. Perbaikan dilakukan jika dibutuhkan seperti menambah kapasitas listrik di area dengan peralatan baru.

Mutu air dapat berubah mendadak karena banyak sebab, tetapi sebagian besar karena terjadi di luar rumah sakit seperti ada kebocoran di jalur suplai ke rumah sakit. Jika terjadi suplai air ke rumah sakit terputus maka persediaan air bersih darurat harus tersedia segera.

Untuk   mempersiapkan   diri   terhadap   keadaan  darurat seperti ini, rumah sakit agar mempunyai proses meliputi:

a) Mengidentifikasi peralatan,  sistem,  serta  area  yang memiliki risiko paling tinggi terhadap pasien dan staf (sebagai  contoh,  rumah  sakit  mengidentifikasi  area yang membutuhkan penerangan, pendinginan (lemari es), bantuan hidup/ventilator, serta air bersih untuk membersihkan dan sterilisasi alat);

b) Menyediakan air bersih dan listrik 24 jam setiap hari dan 7 (tujuh) hari seminggu;

c) Menguji ketersediaan serta kehandalan sumber tenaga listrik dan air bersih darurat/pengganti/back-up;

d) Mendokumentasikan hasil-hasil pengujian;

e) Memastikan bahwa          pengujian         sumber cadangan/alternatif  air  bersih  dan  listrik  dilakukan

setidaknya setiap 6 (enam) bulan atau lebih sering jika dipersyaratkan oleh peraturan perundang-undangan di daerah, rekomendasi produsen, atau kondisi sumber listrik dan air. Kondisi sumber listrik dan air yang mungkin dapat meningkatkan frekuensi pengujian mencakup:

(1)    Perbaikan sistem air bersih yang terjadi berulang- ulang.

(2)   Sumber air bersih sering terkontaminasi.

(3)   Jaringan listrik yang tidak dapat diandalkan.

(4)    Pemadaman   listrik   yang   tidak   terduga   dan berulang-ulang.

9)    Elemen Penilaian MFK 8.2

a) Rumah  sakit   mempunyai   proses   sistem   utilitas terhadap  keadaan  darurat  yang  meliputi  poin  a)-c) pada maksud dan tujuan.

b) Air bersih harus tersedia selama 24 jam setiap hari, 7 (tujuh) hari dalam seminggu.

c) Listrik tersedia 24 jam setiap hari, 7 (tujuh) hari dalam seminggu.

d) Rumah sakit mengidentifikasi area dan pelayanan yang berisiko paling tinggi bila terjadi kegagalan listrik atau air bersih    terkontaminasi    atau    terganggu    dan melakukan penanganan untuk mengurangi risiko.

e) Rumah sakit mempunyai sumber listrik dan air bersih cadangan dalam keadaan darurat/emergensi.

10)  Standar MFK 8.2.1

Rumah sakit melakukan uji coba/uji beban sumber listrik dan sumber air cadangan/alternatif.

11)  Maksud dan Tujuan MFK 8.2.1

Rumah sakit melakukan pengkajian risiko dan meminimalisasi risiko kegagalan sistem utilitas di area-area berisiko terutama area pelayanan pasien.

Rumah   sakit   merencanakan   tenaga   listrik   cadangan darurat   (dengan   menyiapkan   genset)   dan   penyediaan sumber air bersih darurat untuk area-area yang membutuhkan. Untuk memastikan kapasitas beban yang

dapat dicapai oleh unit genset apakah benar-benar mampu mencapai beban tertinggi maka pada waktu pembelian unit genset, dilakukan test loading  dengan menggunakan alat yang bernama dummy load.

Selain  itu,  rumah  sakit  melaksanakan  uji  coba  sumber listrik cadangan/alternatif sekurangnya 6 (enam) bulan sekali atau lebih sering bila diharuskan oleh peraturan perundang-undangan atau oleh kondisi sumber listrik. Jika sistem listrik darurat membutuhkan sumber bahan bakar maka jumlah tempat penyimpanan bahan bakar perlu dipertimbangkan. Rumah sakit dapat menentukan jumlah bahan  bakar  yang  disimpan,  kecuali  ada ketentuan lain dari pihak berwenang.

12)  Elemen Penilaian MFK 8.2.1

a) Rumah sakit melaksanakan uji coba sumber air bersih dan listrik cadangan/alternatif sekurangnya 6 (enam) bulan sekali atau lebih sering bila diharuskan oleh peraturan perundang-undanganan yang berlaku atau oleh kondisi sumber air.

b) Rumah sakit mendokumentasi hasil uji coba sumber air bersih cadangan/alternatif tersebut.

c) Rumah sakit  mendokumentasikan  hasil  uji  sumber listrik/cadangan/alternatif tersebut.

d) Rumah sakit mempunyai tempat dan jumlah bahan bakar untuk sumber listrik cadangan/alternatif yang mencukupi.

13)  Standar MFK 8.3

Rumah sakit melakukan pemeriksaan air bersih dan air limbah secara berkala sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan.

14)  Maksud dan Tujuan MFK 8.3

Seperti dijelaskan di MFK 8.2 dan MFK 8.2.1, mutu air rentan terhadap perobahan yang mendadak, termasuk perobahan  di  luar  kontrol  rumah  sakit.  Mutu  air  juga kritikal di dalam proses asuhan klinik seperti pada dialisis ginjal. Jadi, rumah sakit menetapkan proses monitor mutu air termasuk tes (pemeriksaan) biologik air yang dipakai

untuk dialisis ginjal. Tindakan dilakukan jika mutu air ditemukan tidak aman.

Monitor dilakukan paling sedikit 3 (tiga) bulan sekali atau lebih cepat mengikuti peraturan perundang-undangan, kondisi sumber air, dan pengalaman yang lalu dengan masalah  mutu  air.  Monitor  dapat dilakukan  oleh perorangan yang ditetapkan rumah sakit seperti staf dari laboratorium klinik, atau oleh dinas kesehatan, atau pemeriksa air pemerintah di luar rumah sakit yang kompeten untuk melakukan pemeriksaan seperti itu. Apakah diperiksa oleh staf rumah sakit atau oleh otoritas di luar rumah sakit maka tanggung jawab rumah sakit adalah memastikan pemeriksaan (tes) dilakukan lengkap dan tercatat dalam dokumen.

Karena itu, rumah sakit perlu mempunyai proses meliputi:

a) Pelaksanaan  pemantauan   mutu   air   bersih   paling sedikit 1 (satu) tahun sekali. Untuk pemeriksaan kimia minimal     setiap  6  (enam)  bulan  atau  lebih  sering bergantung       pada  ketentuan  peraturan  perundang- undangan, kondisi sumber air, dan pengalaman sebelumnya                dengan    masalah    mutu        Hasil pemeriksaan didokumentasikan;

b) Pemeriksaan air limbah dilakukan setiap 3 (tiga) bulan atau lebih    sering    bergantung    pada    peraturan perundang-undangan,  kondisi  sumber  air, dan hasil pemeriksaan air     terakhir     berm     Hasil pemeriksaan didokumentasikan;

c) Pemeriksaan mutu air yang digunakan untuk dialisis ginjal setiap bulan untuk menilai pertumbuhan bakteri dan endotoksin. Pemeriksaan tahunan untuk menilai kontaminasi zat            Hasil      pemeriksaan didokumentasikan; dan

d) Melakukan pemantauan  hasil  pemeriksaan  air  dan perbaikan bila diperlukan.

15)  Elemen Penilaian MFK 8.3

a) Rumah sakit  telah  menerapkan  proses  sekurang- kurangnya meliputi poin a) – d) pada maksud dan tujuan.

b) Rumah  sakit   telah   melakukan   pemantauan   dan evaluasi proses pada EP 1.

c) Rumah sakit telah menindaklanjuti hasil pemantauan dan evaluasi pada EP 2 dan didokumentasikan.

Penanganan Kedaruratan dan Bencana

1)    Standar MFK 9

Rumah sakit menerapkan proses penanganan bencana untuk menanggapi bencana yang berpotensi terjadi di wilayah rumah sakitnya.

2)    Maksud dan Tujuan MFK 9

Keadaan darurat yang terjadi, epidemi, atau bencana alam akan berdampak pada rumah sakit. Proses penanganan bencana  dimulai  dengan  mengidentifikasi  jenis  bencana yang mungkin terjadi di wilayah rumah sakit berada dan dampaknya terhadap rumah sakit yang dapat berupa kerusakan fisik, peningkatan jumlah pasien/korban yang signifikan, morbiditas dan mortalitas tenaga Kesehatan, dan gangguan operasionalisasi rumah sakit. Untuk menanggapi secara efektif maka rumah sakit perlu menetapkan proses pengelolaan bencana yang merupakan bagian dari progam Manajemen Fasilitas dan Keselamatan (MFK) pada standar MFK 1 meliputi:

a) Menentukan jenis   yang   kemungkinan  terjadi   dan konsekuensi bahaya, ancaman, dan kejadian;

b) Menentukan integritas struktural dan non struktural di lingkungan   pelayanan   pasien   yang   ada   dan bagaimana bila terjadi bencana;

c) Menentukan  peran       rumah       sakit       dalam peristiwa/kejadian tersebut;

d) Menentukan strategi komunikasi pada waktu kejadian;

e) Mengelola sumber  daya  selama  kejadian  termasuk sumber-sumber alternatif;

f) Mengelola kegiatan  klinis  selama  kejadian  termasuk tempat pelayanan alternatif pada waktu kejadian;

g) Mengidentifikasi dan penetapan peran serta tanggung jawab staf selama kejadian dan; dan

h) Proses   mengelola   keadaan   darurat   ketika   terjadi konflik   antara   tanggung   jawab   pribadi   staf   dan tanggung jawab rumah sakit untuk tetap menyediakan pelayanan pasien termasuk kesehatan mental dari staf. Rumah sakit yang aman adalah rumah sakit yang fasilitas layanannya   tetap   dapat   diakses   dan   berfungsi   pada kapasitas  maksimum,  serta  dengan  infrastruktur  yang sama,   sebelum,   selama,   dan   segera   setelah   dampak keadaan darurat dan Fungsi rumah sakit yang terus berlanjut bergantung pada berbagai faktor termasuk keamanan   dan   keselamatan   bangunan,   sistem   dan peralatan   pentingnya,   ketersediaan   persediaan,   serta kapasitas penanganan darurat dan bencana di rumah sakit terutama  tanggapan  dan  pemulihan  dari  bahaya  atau kejadian yang mungkin terjadi.

Kunci pengembangan menuju keamanan dan keselamatan di rumah sakit adalah melakukan analisis kerentanan terhadap kemungkinan bencana (Hazard Vulnerability Analysis) yang dilakukan rumah sakit setiap tahun.

3)    Elemen Penilaian MFK 9

a) Rumah sakit menerapkan proses pengelolaan bencana yang meliputi poin a) – h) pada maksud dan tujuan di atas.

b) Rumah sakit  telah  mengidentifikasi  risiko  bencana internal dan eksternal dalam analisis kerentanan bahaya/Hazard Vulnerability Analysis (HVA) secara proaktif  setiap  tahun  dan  diintegrasikan  ke  dalam daftar risiko/risk register dan profil risiko.

c) Rumah sakit membuat program pengelolaan bencana di rumah sakit berdasarkan hasil analisis kerentanan bahaya/Hazard Vulnerability Analysis (HVA) setiap tahun.

d) Rumah  sakit       telah       melakukan       simulasi penanggulangan   bencana   (disaster   drill)   minimal setahun sekali termasuk debriefing.

e) Staf  dapat   menjelaskan   dan   atau   memperagakan prosedur                 dan   peran   mereka   dalam   penanganan kedaruratan serta bencana internal dan external

f) Rumah sakit  telah  menyiapkan  area  dekontaminasi sesuai ketentuan pada instalasi gawat darurat.

g) Konstruksi dan Renovasi

1)    Standar MFK 10

Rumah sakit melakukan penilaian risiko prakontruksi/Pre Contruction Risk Assessment (PCRA) pada waktu merencanakan pembangunan baru (proyek konstruksi), renovasi dan pembongkaran.

2)    Maksud dan tujuan MFK 10

Kegiatan konstruksi, renovasi, pembongkaran, dan pemeliharaan di rumah sakit dapat berdampak pada semua orang dalam area rumah sakit. Namun, pasien mungkin menderita dampak terbesar. Misalnya, kebisingan dan getaran  yang  terkait  dengan  aktivitas  ini  dapat memengaruhi tingkat kenyamanan pasien, dan debu serta bau dapat mengubah kualitas udara, yang dapat mengancam status pernapasan pasien. Risiko terhadap pasien, staf, pengunjung, badan usaha independen, dan lainnya  di  rumah sakit  akan  bervariasi  tergantung pada sejauh mana aktivitas konstruksi, renovasi, pembongkaran, atau pemeliharaan dan dampaknya terhadap perawatan pasien, infrastruktur, dan utilitas.

Untuk menilai risiko yang terkait dengan konstruksi, renovasi, atau proyek pembongkaran, atau aktivitas pemeliharaan yang memengaruhi perawatan pasien maka rumah sakit melakukan koordinasi antar satuan kerja terkait,   termasuk,   sesuai   kebutuhan,   perwakilan   dari desain proyek, pengelolaan proyek, teknik fasilitas, fasilitas keamanan/keselamatan, pencegahan dan pengendalian infeksi, keselamatan kebakaran, rumah tangga, layanan teknologi informasi, dan satuan kerja serta layanan klinis.

Penilaian   risiko   digunakan   untuk   mengevaluasi  risiko secara komprehensif untuk mengembangkan rencana dan menerapkan      tindakan      pencegahan      yang      akan meminimalkan    dampak    proyek    konstruksi    terhadap kualitas, keselamatan dan keamanan perawatan pasien. Proses penilaian risiko konstruksi meliputi:

a) Kualitas udara;

b) Pencegahan dan pengendalian infeksi;

c) Utilitas;

d) Kebisingan;

e) Getaran;

f) Bahan dan limbah berbahaya;

g) Keselamatan kebakaran;

h) Keamanan;

i) Prosedur darurat, termasuk jalur/keluar alternatif dan akses ke layanan darurat; dan

j) Bahaya  lain     yang     mempengaruhi     perawatan, pengobatan, dan layanan.

Selain itu, rumah sakit memastikan bahwa kepatuhan kontraktor dipantau, ditegakkan, dan didokumentasikan. Sebagai bagian dari penilaian risiko, risiko infeksi pasien dari konstruksi dievaluasi melalui penilaian risiko pengendalian infeksi, juga dikenal sebagai ICRA.

Setiap   ada   kontruksi,   renovasi   dan   demolisi   harus dilakukan penilaian risiko prakontruksi termasuk dengan rencana/pelaksanaan pengurangan risiko dampak keselamatan serta keamanan bagi pasien, keluarga, pengunjung, dan staf. Hal ini berdampak memerlukan biaya maka rumah sakit dan pihak kontraktor juga perlu menyediakan anggaran untuk penerapan Pra Contruction Risk Assessment (PCRA) dan Infection Control Risk Assessment (ICRA).

3)    Elemen Penilaian MFK 10

a) Rumah  sakit      menerapkan      penilaian      risiko prakonstruksi (PCRA) terkait rencana konstruksi, renovasi dan demolisi meliputi poin a) – j) seperti di maksud dan tujuan diatas.

b) Rumah sakit melakukan penilaian risiko prakontruksi (PCRA) bila ada  rencana  kontruksi,  renovasi  dan demolisi.

c) Rumah sakit melakukan tindakan berdasarkan hasil penilaian risiko untuk meminimalkan risiko selama pembongkaran, konstruksi, dan renovasi.

d) Rumah  sakit     memastikan     bahwa     kepatuhan kontraktor                          dipantau,         dilaksanakan,        dan didokumentasikan.

Pelatihan

1)    Standar MFK 11

Seluruh staf di rumah sakit dan yang lainnya telah dilatih dan memiliki pengetahuan tentang pengelolaan fasilitas rumah  sakit,  program  keselamatan  dan  peran  mereka dalam memastikan keamanan dan keselamatan fasilitas secara efektif.

2)    Maksud dan Tujuan MFK 11

Staf adalah sumber kontak utama rumah sakit dengan pasien, keluarga, dan pengunjung. Oleh karena itu, mereka perlu  dididik  dan  dilatih  untuk  menjalankan  perannya dalam mengidentifikasi dan mengurangi risiko, melindungi orang lain dan diri mereka sendiri, serta menciptakan fasilitas yang aman, selamat dan terjamin.

Setiap rumah sakit harus memutuskan jenis dan tingkat pelatihan untuk staf dan kemudian melaksanakan dan mendokumentasikan program pelatihan. Program pelatihan dapat mencakup instruksi kelompok, modul pendidikan online, materi pendidikan tertulis, komponen orientasi staf baru, dan/atau beberapa mekanisme lain yang memenuhi kebutuhan rumah sakit. Pelatihan diberikan kepada semua staf di semua shift setiap tahun dan membahas semua program pengelolaan fasilitas dan keselamatan. Pelatihan mencakup instruksi tentang proses pelaporan potensi risiko dan pelaporan insiden dan cedera. Program pelatihan melibatkan  pengujian  pengetahuan  staf.  Staf  dilatih  dan diuji tentang prosedur darurat, termasuk prosedur keselamatan kebakaran. Sebagaimana berlaku untuk peran dan tanggung jawab anggota staf, pelatihan dan pengujian membahas bahan berbahaya dan respons terhadap bahaya, seperti tumpahan bahan kimia berbahaya, dan penggunaan peralatan medis yang dapat menimbulkan risiko bagi pasien dan staf. Pengetahuan dapat diuji melalui berbagai cara, seperti demonstrasi individu atau kelompok, demonstrasi, peristiwa simulasi seperti epidemi di masyarakat, penggunaan tes tertulis atau komputer, atau cara lain yang sesuai dengan pengetahuan yang diuji. Dokumen rumah sakit yang diuji dan hasil pengujian.

3)    Elemen Penilaian MFK 11

a) Semua  staf    telah   diberikan    pelatihan    program manajemen fasilitas dan keselamatan (MFK) terkait keselamatan         setiap  tahun  dan  dapat  menjelaskan dan/atau menunjukkan peran dan tanggung jawabnya dan didokumentasikan.

b) Semua  staf    telah   diberikan    pelatihan    program manajemen fasilitas dan keselamatan (MFK) terkait keamanan  setiap   tahun   dan   dapat   menjelaskan dan/atau menunjukkan peran dan tanggung jawabnya dan didokumentasikan.

c) Semua  staf    telah   diberikan    pelatihan    program manajemen fasilitas dan keselamatan (MFK) terkait pengelolaan B3 dan limbahnya setiap tahun dan dapat menjelaskan      dan/atau   menunjukkan   peran   dan tanggung jawabnya dan didokumentasikan.

d) Semua  staf    telah   diberikan    pelatihan    program manajemen fasilitas dan keselamatan (MFK) terkait proteksi  kebakaran  setiap  tahun  dan  dapat menjelaskan   dan/atau   menunjukkan   peran   dan tanggung jawabnya dan didokumentasikan.

e) Semua  staf    telah   diberikan    pelatihan    program manajemen fasilitas dan keselamatan (MFK) terkait peralatan medis setiap tahun dan dapat menjelaskan dan/atau menunjukkan peran dan tanggung jawabnya dan didokumentasikan.

f) Semua  staf    telah   diberikan    pelatihan    program manajemen fasilitas dan keselamatan (MFK) terkait sistim utilitas setiap tahun dan dapat menjelaskan dan/atau menunjukkan peran dan tanggung jawabnya dan didokumentasikan.

g) Semua  staf    telah   diberikan    pelatihan    program manajemen fasilitas dan keselamatan (MFK) terkait penanganan         bencana    setiap    tahun    dan    dapat menjelaskan    dan/atau   menunjukkan   peran   dan tanggung jawabnya dan didokumentasikan.

h) Pelatihan tentang  pengelolaan  fasilitas  dan  program keselamatan                       mencakup   vendor,   pekerja   kontrak, relawan, pelajar, peserta didik, peserta pelatihan, dan lainnya, sebagaimana berlaku untuk peran dan tanggung jawab individu, dan sebagaimana ditentukan oleh rumah sakit.

Peningkatan Mutu dan Keselamatan Pasien (PMKP) Gambaran umum

Rumah sakit harus memiliki program peningkatan mutu dan keselamatan pasien (PMKP) yang menjangkau seluruh unit kerja dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan dan menjamin keselamatan  pasien.  Direktur  menetapkan Komite/Tim Penyelenggara  Mutu  untuk  mengelola  program  peningkatan  mutu dan keselamatan pasien, agar mekanisme koordinasi pelaksanaan program peningkatan mutu dan keselamatan pasien di rumah sakit dapat berjalan lebih baik.

Standar ini menjelaskan pendekatan yang komprehensif untuk peningkatan mutu dan keselamatan pasien yang berdampak pada semua aspek pelayanan, mencakup:

    1. Peran  serta   dan   keterlibatan   setiap   unit   dalam   program peningkatan mutu dan keselamatan pasien.
    2. Pengukuran data objektif yang tervalidasi.
    1. Penggunaan data yang objektif dan kaji banding untuk membuat program peningkatan mutu dan keselamatan pasien.

Standar PMKP membantu profesional pemberi asuhan (PPA) untuk memahami  bagaimana  melakukan  perbaikan  dalam  memberikan

asuhan pasien yang aman dan menurunkan risiko. Staf non klinis juga dapat melakukan perbaikan agar proses menjadi lebih efektif dan efisien dalam penggunaan sumber daya dan risiko dapat dikurangi.

Standar PMKP ditujukan pada semua kegiatan di rumah sakit secara menyeluruh dalam spektrum yang luas berupa kerangka kerja untuk perbaikan  kinerja  dan  menurunkan  risiko  akibat  variasi  dalam proses pelayanan. Kerangka kerja dalam standar PMKP ini juga dapat terintegrasi dengan kejadian yang tidak dapat dicegah (program manajemen risiko) dan pemanfaatan sumber daya (pengelolaan utilisasi).

Rumah sakit yang menerapkan kerangka kerja ini diharapkan akan:

    1. Mengembangkan dukungan pimpinan yang lebih besar untuk program peningkatan mutu dan keselamatan pasien secara menyeluruh di rumah sakit;
    2. Melatih semua staf tentang peningkatan mutu dan keselamatan pasien rumah sakit;
    3. Menetapkan prioritas pengukuran data dan prioritas perbaikan;
    4. Membuat keputusan berdasarkan pengukuran data; dan
    5. Melakukan perbaikan berdasarkan perbandingan dengan rumah sakit setara atau data berbasis bukti lainnya, baik nasional dan internasional.

Fokus standar peningkatan mutu dan keselamatan pasien adalah:

    1. Pengelolaan kegiatan  peningkatan  mutu,  keselamatan  pasien dan manajemen risiko.
    2. Pemilihan dan pengumpulan data indikator mutu. c.    Analisis dan validasi data indikator mutu.
    3. Pencapaian dan upaya mempertahankan perbaikan mutu.
    4. Sistem pelaporan dan pembelajaran keselamatan pasien rumah sakit (SP2KP-RS)
    5. Penerapan manajemen risiko.
    6. Pengelolaaan   Kegiatan   Peningkatan   Mutu,   Keselamatan Pasien, dan Manajemen Risiko

1)    Standar PMKP 1

Rumah sakit mempunyai Komite/Tim Penyelenggara Mutu yang  kompeten  untuk  mengelola  kegiatan  Peningkatan Mutu dan Keselamatan Pasien (PMKP) sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

2)    Maksud dan Tujuan PMKP 1

Peningkatan mutu dan keselamatan pasien merupakan proses kegiatan yang berkesinambungan (continuous improvement) yang dilaksanaan dengan koordinasi dan integrasi antara unit pelayanan dan komite-komite (Komite Medik, Komite Keperawatan, Komite/Tim PPI, Komite K3 dan fasilitas, Komite Etik, Komite PPRA, dan lain-lainnya). Oleh karena itu Direktur perlu menetapkan Komite/Tim Penyelenggara  Mutu  yang  bertugas  membantu  Direktur atau Kepala Rumah Sakit dalam mengelola kegiatan peningkatan mutu, keselamatan pasien, dan manajemen risiko di rumah sakit.

Dalam melaksanakan tugasnya, Komite/ Tim Penyelenggara Mutu memiliki fungsi sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku.

Dalam proses pengukuran data, Direktur menetapkan:

a) Kepala unit  sebagai  penanggung  jawab  peningkatan mutu dan keselamatan pasien (PMKP) di tingkat unit;

b) Staf pengumpul data; dan

c) Staf yang akan melakukan validasi data (validator).

Bagi  rumah  sakit  yang  memiliki  tenaga  cukup,  proses pengukuran  data  dilakukan  oleh  ketiga  tenaga  tersebut. Dalam hal keterbatasan tenaga, proses validasi data dapat dilakukan oleh penanggung jawab PMKP di unit kerja. Komite/Tim Penyelenggara Mutu, penanggung jawab mutu dan  keselamatan  pasien  di  unit,  staf  pengumpul  data, validator perlu mendapat pelatihan peningkatan mutu dan keselamatan pasien termasuk pengukuran data mencakup pengumpulan  data,  analisis  data,  validasi  data,  serta perbaikan mutu.

Komite/ Tim Penyelenggara Mutu akan melaporkan hasil pelaksanaan program PMKP kepada Direktur setiap 3 (tiga) bulan. Kemudian Direktur akan meneruskan laporan tersebut kepada Dewan Pengawas. Laporan tersebut mencakup:

a) Hasil pengukuran  data  meliputi:  Pencapaian  semua indikator mutu, analisis, validasi dan perbaikan yang telah dilakukan.

b) Laporan semua insiden keselamatan pasien meliputi jumlah, jenis  (kejadian  sentinel,  KTD,  KNC,  KTC, KPCS), tipe insiden dan tipe harm, tindak lanjut yang dilakukan, serta tindakan perbaikan tersebut dapat dipertahankan.

Di samping laporan hasil pelaksanaan program PMKP, Komite/ Tim Penyelenggara Mutu juga melaporkan hasil pelaksanaan  program  manajemen  risiko  berupa pemantauan penanganan risiko yang telah dilaksanakan setiap   6   (enam)   bulan   kepada   Direktur   yang   akan diteruskan kepada Dewan Pengawas.

Rumah sakit membuat program peningkatan mutu dan keselamatan pasien yang akan diterapkan pada semua unit setiap tahun. Program peningkatan mutu dan keselamatan pasien rumah sakit meliputi tapi tidak terbatas pada:

a) Pengukuran  mutu    indikator   termasuk   indikator nasional mutu (INM), indikator mutu prioritas rumah sakit (IMP RS) dan indikator mutu prioritas unit (IMP Unit).

b) Meningkatkan perbaikan mutu dan mempertahankan perbaikan berkelanjutan.

c) Mengurangi  varian   dalam   praktek   klinis   dengan menerapkan PPK/Algoritme/Protokol dan melakukan pengukuran dengan clinical pathway.

d) Mengukur dampak  efisiensi  dan  efektivitas  prioritas perbaikan                   terhadap   keuangan   dan   sumber   daya misalnya SDM.

e) Pelaporan dan analisis insiden keselamatan pasien. f)     Penerapan sasaran keselamatan pasien.

g) Evaluasi kontrak klinis dan kontrak manajemen.

h) Pelatihan semua staf sesuai perannya dalam program peningkatan mutu dan keselamatan pasien.

i) Mengkomunikasikan hasil pengukuran mutu meliputi masalah mutu dan capaian data kepada staf.

Hal-hal penting yang perlu dilakukan agar program peningkatan  mutu  dan  keselamatan  pasien  dapat diterapkan secara menyeluruh di unit pelayanan, meliputi:

a) Dukungan Direktur dan pimpinan di rumah sakit:

b) Upaya perubahan budaya menuju budaya keselamatan pasien;

c) Secara  proaktif     melakukan     identifikasi     dan menurunkan variasi dalam pelayanan klinis;

d) Menggunakan hasil  pengukuran  data  untuk  fokus pada isu pelayanan prioritas yang akan diperbaiki atau ditingkatkan; dan

e) Berupaya mencapai dan mempertahankan perbaikan yang berkelanjutan.

3)    Elemen Penilaian PMKP 1

a) Direktur  telah     menetapkan     regulasi     terkait peningkatan                      mutu   dan   keselamatan   pasien   serta manajemen risiko

b) Direktur rumah  sakit  telah  membentuk  Komite/Tim Penyelenggara Mutu untuk mengelola kegiatan PMKP serta           uraian   tugasnya   sesuai   dengan   peraturan perundang-undangan.

c) Komite/ Tim Penyelenggara Mutu menyusun program PMKP rumah sakit meliputi poin a) – i) yang telah ditetapkan Direktur rumah sakit dan disahkan oleh representatif pemilik/dewan pengawas.

d) Program PMKP  dievaluasi  dalam  rapat  koordinasi mellibatkan komite-komite, pimpinan rumah sakit dan kepala unit setiap triwulan untuk menjamin perbaikan mutu yang berkesinambungan.

e) Pemilihan dan Pengumpulan Data Indikator Mutu

1)   Standar PMKP 2

Komite/Tim Penyelenggara Mutu mendukung proses pemilihan indikator dan melaksanakan koordinasi serta integrasi kegiatan pengukuran data indikator mutu dan keselamatan pasien di rumah sakit

2)   Maksud dan tujuan PMKP 2

Pemilihan  indikator  mutu  prioritas  rumah  sakit  adalah tanggung jawab pimpinan dengan mempertimbangkan prioritas untuk pengukuran yang berdampak luas/ menyeluruh   di   rumah   sakit.   Sedangkan   kepala   unit memilih indikator mutu prioritas di unit kerjanya. Semua unit klinis dan non klinis memilih indikator terkait dengan prioritasnya. Di rumah sakit yang besar harus diantisipasi jika ada indikator yang sama yang diukur di lebih dari satu unit. Misalnya, Unit Farmasi dan Komite/Tim PPI memilih prioritas pengukurannya adalah penurunan angka penggunaan antibiotik di rumah sakit. Program mutu dan keselamatan  pasien  berperan  penting  dalam  membantu unit melakukan pengukuran indikator yang ditetapkan. Komite/Tim Penyelenggara Mutu juga bertugas untuk mengintegrasikan semua kegiatan pengukuran di rumah sakit,  termasuk  pengukuran  budaya  keselamatan  dan sistem pelaporan insiden keselamatan pasien. Integrasi semua pengukuran ini akan menghasilkan solusi dan perbaikan yang terintegrasi.

3)    Elemen Penilaian PMKP 2

a) Komite/Tim  Penyelenggara    Mutu    terlibat    dalam pemilihan                  indikator  mutu  prioritas  baik  ditingkat rumah sakit maupun tingkat unit layanan.

b) Komite/Tim  Penyelenggara    Mutu    melaksanakan koordinasi dan integrasi kegiatan pengukuran serta melakukan supervisi ke unit layanan.

c) Komite/Tim  Penyelenggara   Mutu   mengintegrasikan laporan               insiden   keselamatan   pasien,   pengukuran budaya keselamatan, dan lainnya untuk mendapatkan solusi dan perbaikan terintegrasi.

4)    Standar PMKP 3

Pengumpulan data indikator mutu dilakukan oleh staf pengumpul   data   yang   sudah   mendapatkan   pelatihan tentang pengukuran data indikator mutu.

5)    Maksud dan Tujuan PMKP 3

Pengumpulan data indikator mutu berdasarkan peraturan yang berlaku yaitu pengukuran indikator nasional mutu (INM) dan prioritas perbaikan tingkat rumah sakit meliputi:

a) Indikator nasional mutu  (INM)  yaitu  indikator mutu nasional yang wajib dilakukan pengukuran dan digunakan sebagai informasi mutu secara nasional.

b) Indikator mutu prioritas rumah sakit (IMP-RS) (TKRS 5) mencakup:

(1)    Indikator sasaran keselamatan pasien minimal 1 indikator setiap sasaran.

(2)    Indikator  pelayanan  klinis  prioritas  minimal  1 indikator.

(3)   Indikator sesuai tujuan strategis rumah sakit (KPI)

minimal 1 indikator.

(4)    Indikator  terkait  perbaikan  sistem  minimal  1 indikator.

(5)    Indikator  terkait  manajemen  risiko  minimal  1 indikator.

(6)    Indikator  terkait  penelitian  klinis  dan  program pendidikan kedokteran   minimal   1   indikator. (apabila ada)

c) Indikator  mutu   prioritas   unit   (IMP-Unit)   adalah indikator prioritas yang khusus dipilih kepala unit terdiri dari minimal 1 indikator.

Indikator mutu terpilih apabila sudah tercapai dan dapat dipertahankan selama 1 (satu) tahun, maka dapat diganti dengan indikator mutu yang baru. Setiap indikator mutu baik   indikator   mutu   prioritas   rumah   sakit   (IMP-RS) maupun indikator mutu prioritas unit (IMP-Unit) agar dilengkapi dengan profil indikator sebagai berikut:

a) Judul indikator.
b) Dasar pemikiran.

c)  Dimensi mutu.

d)

e) Definisi operasional.

f) Jenis indikator.

g) Satuan pengukuran.

h) Numerator (pembilang).

i) Denominator (penyebut). j)

k) Kriteria inklusi dan eksklusi. l)

m) Metode pengumpulan data.

n) Sumber data.

o) Instrumen pengambilan data.

p) Populasi/sampel (besar sampel dan cara pengambilan sampel).

q) Periode pengumpulan data.

r) Periode analisis dan pelaporan data.

s) Penyajian data.

t) Penanggung jawab.

6)    Elemen Penilaian PMKP 3

a) Rumah sakit melakukan pengumpulan data mencakup (poin a) – c)) dalam maksud dan tujuan.

b) Indikator mutu  prioritas  rumah  sakit  (IMP-RS)  dan indikator mutu prioritas unit (IMP- Unit) telah dibuat profil indikator mencakup (poin a-t) dalam maksud dan tujuan.

Analisis dan Validasi Data Indikator Mutu

1)    Standar PMKP 4

Agregasi dan analisis data dilakukan untuk mendukung program peningkatan mutu dan keselamatan pasien serta mendukung partisipasi dalam pengumpulan database eksternal.

2)    Maksud dan Tujuan PMKP 4

Data yang dikumpulkan akan diagregasi dan dianalisis menjadi  informasi  untuk  pengambilan  keputusan  yang tepat dan akan membantu rumah sakit melihat pola dan tren   capaian   kinerjanya.   Sekumpulan   data   tersebut misalnya data indikator mutu, data laporan insiden keselamatan pasien, data manajemen risiko dan data pencegahan dan pengendalian infeksi, Informasi ini penting untuk membantu rumah sakit memahami kinerjanya saat ini dan mengidentifikasi peluang-peluang untuk perbaikan kinerja rumah sakit.

Rumah    sakit    harus    melaporkan    data    mutu    dan keselamatan pasien ke eksternal sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan meliputi:

a) Pelaporan  indikator    nasional    mutu    (INM)    ke Kementrian Kesehatan melalui aplikasi mutu fasilitas pelayanan Kesehatan.

b) Pelaporan insiden keselamatan pasien (IKP) ke KNKP melalui aplikasi e-report.

Dengan berpartisipasi dalam pelaporan data mutu dan keselamatan pasien ke eksternal rumah sakit dapat membandingkan kinerjanya dengan kinerja rumah sakit setara baik di skala lokal maupun nasional. Perbandingan kinerja merupakan pendekatan yang efektif untuk mencari peluang-peluang perbaikan.

Proses  analisis  data  mencakup  setidaknya  satu  dampak dari prioritas perbaikan rumah sakit secara keseluruhan terhadap biaya dan efisiensi sumber daya setiap tahun. Program mutu dan keselamatan pasien mencakup analisis dampak prioritas perbaikan yang didukung oleh pimpinan. misalnya   terdapat   bukti   yang   mendukung  pernyataan bahwa    penggunaan    panduan    praktik    klinis    untuk mestandarkan   perawatan   memberikan   dampak   yang bermakna pada efisiensi perawatan dan pemendekan lama rawat,   yang   pada   akhirnya   menurunkan   biaya.   Staf program  mutu  dan  keselamatan  pasien  mengembangkan instrumen untuk mengevaluasi penggunaan sumber daya untuk proses yang berjalan, kemudian untuk mengevaluasi kembali penggunaan sumber daya untuk proses yang telah diperbaiki.   Sumber   daya   dapat   berupa   sumber   daya manusia  (misalnya,  waktu  yang  digunakan  untuk  setiap langkah dalam suatu proses) atau melibatkan penggunaan teknologi  dan  sumber  daya  lainnya.  Analisis  ini  akan memberikan informasi yang berguna terkait perbaikan yang memberikan dampak efisiensi dan biaya.

3)    Elemen Penilaian PMKP 4

a) Telah  dilakukan    agregasi    dan    analisis    data menggunakan metode dan teknik statistik terhadap semua indikator mutu yang telah diukur oleh staf yang kompeten

b) Hasil analisis digunakan untuk membuat rekomendasi tindakan perbaikan dan serta menghasilkan efisiensi penggunaan sumber daya.

c) Memiliki  bukti   analisis   data   dilaporkan   kepada Direktur                 dan   reprentasi   pemilik/dewan   pengawas sebagai bagian dari program peningkatan mutu dan keselamatan pasien.

d) Memiliki bukti hasil analisis berupa informasi INM dan e-report IKP diwajibkan lapor kepada Kementrian kesehatan sesuai peraturan yang berlaku.

e) Terdapat proses pembelajaran dari database eksternal untuk tujuan perbandingan internal dari waktu ke waktu, perbandingan dengan rumah sakit yang setara, dengan praktik terbaik (best practices), dan dengan sumber ilmiah profesional yang objektik.

f) Keamanan  dan    kerahasiaan    tetap    dijaga    saat berkontribusi pada database eksternal.

g) Telah menganalisis  efisiensi  berdasarkan  biaya  dan jenis          sumber  daya  yang  digunakan  (sebelum  dan sesudah perbaikan) terhadap satu proyek prioritas perbaikan yang dipilih setiap tahun.

4)    Standar PMKP 4.1

Staf dengan pengalaman, pengetahuan, dan keterampilan yang   bertugas   mengumpulkan   dan   menganalisis   data rumah sakit secara sistematis.

5)    Maksud dan Tujuan PMKP 4.1

Analisis data melibatkan staf yang memahami manajemen informasi, mempunyai keterampilan dalam metode-metode pengumpulan data, dan memahami teknik statistik. Hasil analisis data harus dilaporkan kepada Penanggung jawab indikator mutu (PIC) yang bertanggung jawab untuk menindaklanjuti hasil tersebut. Penanggung jawab tersebut bisa memiliki latar belakang klinis, non klinis, atau kombinasi keduanya. Hasil analisis data akan memberikan masukan untuk pengambilan keputusan dan memperbaiki proses klinis dan non klinis secara berkelanjutan. Run charts,  diagram  kontrol  (control  charts),  histogram,  dan diagram Pareto merupakan contoh dari alat-alat statistik yang sangat berguna dalam memahami tren dan variasi dalam pelayanan kesehatan.

Tujuan analisis data adalah untuk dapat membandingkan rumah sakit dengan empat cara. Perbandingan tersebut membantu rumah sakit dalam memahami sumber dan penyebab perubahan yang tidak diinginkan dan membantu memfokuskan upaya perbaikan.

a) Dengan rumah  sakit  sendiri  dari  waktu  ke  waktu, misalnya dari bulan ke bulan, dari tahun ke tahun.

b) Dengan rumah sakit setara, seperti melalui database referensi.

c) Dengan standar-standar, seperti yang ditentukan oleh badan akreditasi atau organisasi profesional ataupun standar-standar yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.

d) Dengan  praktik-praktik   terbaik   yang   diakui   dan menggolongkan praktik tersebut sebagai best practice (praktik terbaik) atau better practice (praktik yang lebih baik) atau practice guidelines (pedoman praktik).

6)    Elemen Penilaian PMKP 4.1

a) Data dikumpulkan,  dianalisis,  dan  diubah  menjadi informasi                 untuk   mengidentifikasi   peluang-peluang untuk perbaikan.

b) Staf yang  kompeten  melakukan  proses  pengukuran menggunakan alat dan teknik statistik.

c) Hasil analisis  data  dilaporkan  kepada  penanggung jawab             indikator    mutu    yang    akan    melakukan perbaikan.

7)    Standard PMKP 5

Rumah sakit melakukan proses validasi data terhadap indikator mutu yang diukur.

8)    Maksud dan Tujuan PMKP 5

Validasi data adalah alat penting untuk memahami mutu dari data dan untuk menetapkan tingkat kepercayaan (confidence level) para pengambil keputusan terhadap data itu  sendiri.  Ketika  rumah  sakit  mempublikasikan  data tentang hasil klinis, keselamatan pasien, atau area lain, atau  dengan  cara  lain  membuat  data  menjadi  publik, seperti di situs web rumah sakit, rumah sakit memiliki kewajiban etis untuk memberikan informasi yang akurat kepada publik. Pimpinan rumah sakit bertanggung jawab untuk   memastikan   bahwa   data   yang   dilaporkan   ke Direktur, Dewan Pengawas dan yang dipublikasikan ke masyarakat adalah valid. Keandalan dan validitas pengukuran dan kualitas data dapat ditetapkan melalui proses validasi data internal rumah sakit.

Kebijakan data yang harus divalidasi yaitu:

a) Pengukuran indikator mutu baru;

b) Bila data akan dipublikasi ke masyarakat baik melalui website rumah sakit atau media lain

c) Ada perubahan  pada  pengukuran  yang  selama  ini sudah dilakukan, misalnya perubahan profil indikator, instrumen pengumpulan data, proses agregasi data, atau perubahan staf pengumpul data atau validator

d) Bila  terdapat   perubahan   hasil   pengukuran  tanpa diketahui sebabnya

e) Bila  terdapat   perubahan   sumber   data,   misalnya terdapat perubahan sistem pencatatan pasien dari manual ke elektronik;

f) Bila  terdapat    perubahan    subjek    data    seperti perubahan umur rata rata pasien, perubahan protokol riset, panduan praktik klinik baru diberlakukan, serta adanya teknologi dan metodologi pengobatan baru.

9)    Elemen Penilaian PMKP 5

a) Rumah sakit telah melakukan validasi yang berbasis bukti meliputi poin a) – f) yang ada pada maksud dan tujuan.

b) Pimpinan  rumah   sakit   bertanggung   jawab   atas validitas                 dan    kualitas    data    serta    hasil    yang dipublikasikan.

c) Pencapaian dan Upaya Mempertahankan Perbaikan Mutu

1)    Standar PMKP 6

Rumah sakit mencapai perbaikan mutu dan dipertahankan.

2)    Maksud dan Tujuan PMKP 6

Hasil   analisis   data   digunakan   untuk   mengidentifkasi potensi perbaikan atau untuk mengurangi atau mencegah kejadian yang merugikan. Khususnya, perbaikan yang direncanakan  untuk  prioritas  perbaikan  tingkat  rumah sakit yang sudah ditetapkan Direktur rumah sakit.

Rencana perbaikan perlu dilakukan uji coba dan selama masa uji dan dilakukan evaluasi hasilnya untuk membuktikan bahwa perbaikan sudah sesuai dengan yang diharapkan. Proses uji perbaikan ini dapat menggunakan metode-metode perbaikan yang sudah teruji misalnya PDCA Plan-Do-Chek-Action  (PDCA)  atau  Plan-Do-Study-Action (PDSA) atau metode lain. Hal ini untuk memastikan bahwa terdapat perbaikan berkelanjutan untuk meningkatkan mutu dan keselamatan pasien. Perubahan yang efektif tersebut distandardisasi dengan cara membuat regulasi di rumah  sakit  misalnya  kebijakan,  SPO,  dan  lain-lainnya, dan harus di sosialisasikan kepada semua staf.

Perbaikan-perbaikan yang dicapai dan dipertahankan oleh rumah sakit didokumentasikan sebagai bagian dari pengelolaan peningkatan mutu dan keselamatan pasien di rumah sakit.

3)    Elemen Penilaian PMKP 6

a) Rumah sakit telah membuat rencana perbaikan dan melakukan uji coba menggunakan metode yang telah teruji dan menerapkannya untuk meningkatkan mutu dan keselamatan pasien.

b) Tersedia kesinambungan data mulai dari pengumpulan data sampai perbaikan yang dilakukan dan dapat dipertahankan.

c) Memiliki bukti  perubahan  regulasi  atau  perubahan proses              yang   diperlukan   untuk   mempertahankan perbaikan.

d) Keberhasilan telah  didokumentasikan  dan  dijadikan laporan PMKP.

4)    Standar PMKP 7

Dilakukan evaluasi proses pelaksanaan standar pelayanan kedokteran di rumah sakit untuk menunjang pengukuran mutu pelayanan klinis prioritas.

5)    Maksud dan Tujuan PMKP 7

Penerapan standar pelayanan kedokteran di rumah sakit berdasarkan panduan   praktik   klinis   (PPK)   dievaluasi menggunakan alur klinis/clinical pathway (CP).

Terkait dengan pengukuran prioritas perbaikan pelayanan klinis yang ditetapkan Direktur, maka Direktur bersama- sama dengan pimpinan medis, ketua Komite Medik dan Kelompok tenaga medis terkait menetapkan paling sedikit 5 (lima) evaluasi pelayanan prioritas standar pelayanan kedokteran. Evaluasi pelayanan prioritas standar pelayanan kedokteran dilakukan sampai terjadi pengurangan variasi dari data awal ke target yang ditentukan ketentuan rumah sakit.

Tujuan pemantauan pelaksanaan evaluasi perbaikan pelayanan klinis berupa standar pelayanan kedokteran sebagai berikut:

a) Mendorong tercapainya  standardisasi  proses  asuhan klinik.

b) Mengurangi risiko  dalam  proses  asuhan,  terutama yang berkaitan asuhan kritis.

c) Memanfaatkan sumber  daya  yang  tersedia  dengan efisien dalam memberikan asuhan klinik tepat waktu dan efektif.

d) Memanfaatkan indikator  prioritas  sebagai  indikator dalam penilaian kepatuhan penerapan alur klinis di area yang akan diperbaiki di tingkat rumah sakit.

e) Secara konsisten menggunakan praktik berbasis bukti (evidence based practices) dalam memberikan asuhan bermutu tinggi. Evaluasi prioritas standar pelayanan kedokteran tersebut dipergunakan untuk mengukur keberhasilan dan efisensi peningkatan mutu pelayanan klinis prioritas rumah sakit.

Evaluasi perbaikan pelayanan klinis berupa standar pelayanan kedokteran dapat dilakukan melalui audit medis dan atau audit klinis serta dapat menggunakan indikator mutu.

Tujuan evaluasi adalah untuk menilai efektivitas penerapan standar pelayanan kedokteran di rumah sakit sehingga standar pelayanan kedokteran di rumah sakit dapat mengurangi a variasi dari proses dan hasil serta berdampak terhadap efisiensi (kendali biaya). Misalnya:

a) Dalam PPK disebutkan bahwa tata laksana stroke non- hemoragik harus dilakukan secara multidisiplin dan dengan pemeriksaan serta intervensi dari hari ke hari dengan urutan tertentu. Karakteristik penyakit stroke non-hemoragik sesuai untuk dibuat alur klinis (clinical pathway/CP); sehingga perlu dibuat CP untuk stroke non-hemoragik.

b) Dalam PPK disebutkan bahwa pada pasien gagal ginjal kronik perlu  dilakukan    Uraian  rinci tentang              hemodialisis     dimuat     dalam     protokol hemodialisis pada dokumen terpisah.

c) Dalam PPK  disebutkan  bahwa  pada  anak  dengan kejang             demam   kompleks   perlu   dilakukan   pungsi lumbal.              Uraian   pelaksanaan   pungsi   lumbal   tidak dimuat dalam PPK melainkan dalam prosedur pungsi lumbal dalam dokumen terpisah.

d) Dalam  tata   laksana   kejang   demam   diperlukan pemberian diazepam rektal dengan dosis tertentu yang harus diberikan oleh perawat bila dokter tidak ada; ini diatur dalam “standing order”.

6)    Elemen Penilaian PMKP 7

a) Rumah  sakit  melakukan  evaluasi  clinical  pathway

sesuai yang tercantum dalam maksud dan tujuan.

b) Hasil evaluasi dapat menunjukkan adanya perbaikan terhadap kepatuhan dan mengurangi variasi dalam penerapan prioritas standar pelayanan kedokteran di rumah sakit.

c) Rumah sakit telah melaksanakan audit klinis dan atau audit medis    pada    penerapan    prioritas    standar pelayanan kedokteran di rumah sakit.

Sistem Pelaporan  dan  Pembelajaran  Keselamatan  Pasien rumah sakit (SP2KP-RS)

1)    Standar PMKP 8

Rumah sakit mengembangkan Sistem pelaporan dan pembelajaran keselamatan pasien di rumah sakit (SP2KP- RS).

2)    Maksud dan Tujuan PMKP 8

Sistem pelaporan dan pembelajaran keselamatan pasien di rumah sakit (SP2KP-RS). tersebut meliputi definisi kejadian sentinel, kejadian yang tidak diharapkan (KTD), kejadian tidak cedera (KTC), dan kejadian nyaris cedera (KNC atau near-miss) dan Kondisi potensial cedera signifikan (KPCS), mekanisme pelaporan insiden keselamatan pasien baik internal maupun eksternal, grading matriks risiko serta investigasi dan analisis insiden berdasarkan hasil grading tersebut.

Rumah sakit berpartisipasi untuk melaporkan insiden keselamatan pasien yang telah dilakukan investigasi dan analisis serta dilakukan pembelajaran ke KNKP sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Insiden  keselamatan  pasien  merupakan  suatu  kejadian yang tidak disengaja ketika memberikan asuhan kepada pasien (care management problem (CMP) atau kondisi yang berhubungan dengan lingkungan di rumah sakit termasuk infrastruktur, sarana prasarana (service delivery problem (SDP), yang dapat berpotensi atau telah menyebabkan bahaya bagi pasien.

Kejadian keselamatan pasien dapat namun tidak selalu merupakan   hasil   dari   kecacatan   pada   sistem   atau rancangan proses, kerusakan sistem, kegagalan alat, atau kesalahan manusia.

Definisi kejadian yang tidak diharapkan (KTD), kejadian tidak  cedera  (KTC),  kejadian  nyaris  cedera  (KNC),  dan kondisi  potensial  cedera  signifikan  (KPCS),  yang didefinisikan sebagai berikut:

a) Kejadian  tidak   diharapkan   (KTD)   adalah   insiden keselamatan  pasien  yang  menyebabkan  cedera pada pasien.

b) Kejadian  tidak    cedera    (KTC)    adalah    insiden keselamatan pasien yang sudah terpapar pada pasien namun tidak menyebabkan cedera.

c) Kejadian nyaris cedera (near-miss atau hampir cedera) atau KNC adanya insiden keselamatan pasien yang belum terpapar pada pasien.

d) Suatu  kondisi   potensial   cedera   signifikan   (KPCS) adalah suatu kondisi (selain dari proses penyakit atau kondisi     pasien     itu     sendiri)     yang     berpotensi menyebabkan kejadian sentinel

e) Kejadian Sentinel adalah suatu  kejadian  yang  tidak berhubungan dengan perjalanan penyakit pasien atau penyakit yang mendasarinya yang terjadi pada pasien.

Kejadian sentinel merupakan salah satu jenis insiden keselamatan pasien yang harus dilaporkan yang menyebabkan terjadinya hal-hal berikut ini:

a)

b) Cedera permanen.

c) Cedera berat yang bersifat sementara/reversible.

Cedera permanen adalah dampak yang dialami pasien yang bersifat ireversibel akibat insiden yang dialaminya misalnya kecacadan, kelumpuhan, kebutaan, tuli, dan lain-lainnya. Cedera berat yang bersifat sementara adalah cedera yang bersifat   kritis   dan   dapat   mengancam   nyawa   yang berlangsung dalam suatu kurun waktu tanpa terjadi cedera permanen/gejala      sisa,      namun      kondisi      tersebut mengharuskan  pemindahan  pasien  ke  tingkat  perawatan yang lebih tinggi /pengawasan pasien untuk jangka waktu yang lama, pemindahan pasien ke tingkat perawatan yang lebih tinggi karena adanya kondisi yang mengancam nyawa, atau  penambahan  operasi  besar,  tindakan,  atau  tata laksana untuk menanggulangi kondisi tersebut.

Kejadian juga dapat digolongkan sebagai kejadian sentinel jika terjadi salah satu dari berikut ini:

a) Bunuh  diri   oleh   pasien   yang   sedang   dirawat, ditatalaksana, menerima pelayanan di unit yang selalu memiliki staf sepanjang hari atau dalam waktu 72 jam setelah pemulangan pasien, termasuk dari Unit Gawat Darurat (UGD) rumah sakit;

b) Kematian bayi cukup bulan yang tidak diantisipasi;

c) Bayi dipulangkan kepada orang tua yang salah;

d) Penculikan pasien yang sedang menerima perawatan, tata laksana, dan pelayanan;

e) Kaburnya pasien  (atau  pulang  tanpa  izin)  dari  unit perawatan yang selalu dijaga oleh staf sepanjang hari (termasuk UGD), yang menyebabkan kematian, cedera permanen, atau cedera sementara derajat berat bagi pasien tersebut;

f) Reaksi transfusi hemolitik yang melibatkan pemberian darah atau produk darah dengan inkompatibilitas golongan darah mayor (ABO, Rh, kelompok darah lainnya);

g) Pemerkosaan,  kekerasan      (yang      menyebabkan kematian, cedera permanen, atau cedera sementara derajat berat) atau pembunuhan pasien yang sedang menerima perawatan, tata laksana, dan layanan ketika berada dalam lingkungan rumah sakit;

h) Pemerkosaan,  kekerasan      (yang      menyebabkan kematian, cedera permanen, atau cedera sementara derajat berat) atau pembunuhan anggota staf, praktisi mandiri   berizin,   pengunjung,   atau   vendor   ketika berada dalam lingkungan rumah sakit

i) Tindakan invasif,  termasuk  operasi  yang  dilakukan pada pasien yang salah, pada sisi yang salah, atau menggunakan       prosedur   yang   salah   (secara   tidak sengaja);

j) Tertinggalnya benda asing dalam tubuh pasien secara tidak sengaja setelah suatu tindakan invasif, termasuk operasi;

k) Hiperbilirubinemia  neonatal   berat   (bilirubin   >30 mg/dL);

l) Fluoroskopi  berkepanjangan  dengan  dosis  kumulatif >1.500 rad pada satu medan tunggal atau pemberian radioterapi ke area tubuh yang salah atau pemberian radioterapi >25% melebihi dosis radioterapi yang direncanakan;

m) Kebakaran, lidah  api,  atau  asap,  uap  panas,  atau pijaran yang tidak diantisipasi selama satu episode perawatan pasien;

n) Semua kematian  ibu  intrapartum  (terkait  dengan proses persalinan); atau

o) Morbiditas  ibu    derajat    berat    (terutama    tidak berhubungan dengan perjalanan alamiah penyakit pasien atau kondisi lain yang mendasari) terjadi pada pasien    dan   menyebabkan   cedera   permanen   atau cedera sementara derajat berat.

Definisi kejadian sentinel meliputi poin a) hingga o) di atas dan dapat meliputi kejadian-kejadian lainnya seperti yang disyaratkan dalam peraturan atau dianggap sesuai oleh rumah sakit untuk ditambahkan ke dalam daftar kejadian sentinel. Komite/ Tim Penyelenggara Mutu segera membentuk tim investigator segera setelah menerima laporan kejadian sentinel. Semua kejadian yang memenuhi definisi tersebut dianalisis akar masalahnya secara komprehensif (RCA) dengan waktu tidak melebihi 45 (empat puluh lima) hari.

Tidak  semua  kesalahan  menyebabkan  kejadian  sentinel, dan tidak semua kejadian sentinel terjadi akibat adanya suatu kesalahan. Mengidentifikasi suatu insiden sebagai kejadian  sentinel  tidak  mengindikasikan  adanya tanggungan hukum.

3)    Elemen Penilaian PMKP 8

a) Direktur  menetapkan     sistem     pelaporan     dan pembelajaran keselamatan pasien rumah sakit (SP2KP RS) termasuk   didalamnya   definisi,   jenis   insiden kselamatan pasien meliputi kejadian sentinel (poin a – o) dalam bagian maksud dan tujuan), KTD, KNC, KTC dan KPCS, mekanisme pelaporan dan analisisnya serta pembelajarannya,

b) Komite/ Tim  Penyelenggara  Mutu  membentuk  tim investigator                      sesegera   mungkin   untuk   melakukan investigasi komprehensif/analisis akar masalah (root cause analysis) pada semua kejadian sentinel dalam kurun  waktu  tidak  melebihi  45  (empat  puluh  lima) hari.

c) Pimpinan rumah sakit melakukan tindakan perbaikan korektif dan memantau efektivitasnya untuk mencegah atau mengurangi    berulangnya    kejadian    sentinel tersebut.

d) Pimpinan rumah  sakit  menetapkan  proses  untuk menganalisis                         KTD,    KNC,    KTC,    KPCS    dengan melakukan investigasi sederhana dengan kurun waktu yaitu grading biru tidak melebihi 7 (tujuh) hari, grading hijau tidak melebihi 14 (empat belas) hari.

e) Pimpinan rumah sakit melakukan tindakan perbaikan korektif dan memantau efektivitasnya untuk mencegah atau mengurangi berulangnya KTD, KNC, KTC, KPCS tersebut.

4)    Standar PMKP 9

Data laporan insiden keselamatan pasien selalu dianalisis setiap 3 (tiga) bulan untuk memantau ketika muncul tren atau variasi yang tidak diinginkan.

5)    Maksud dan Tujuan PMKP 9

Komite/ Tim Penyelenggara Mutu melakukan analisis dan memantau insiden keselamatan pasien yang dilaporkan setiap triwulan untuk mendeteksi pola, tren serta mungkin variasi berdasarkan frekuensi pelayanan dan/atau risiko terhadap pasien.

Laporan insiden dan hasil Investigasi baik investigasi komprehensif (RCA) maupun investigasi sederhana (simple RCA) harus dilakukan untuk setidaknya hal-hal berikut ini:

a)    Semua reaksi transfusi yang sudah dikonfirmasi,

b) Semua kejadian serius akibat reaksi obat (adverse drug reaction) yang  serius  sesuai  yang  ditetapkan  oleh rumah sakit

c) Semua kesalahan pengobatan (medication error) yang signifikan sesuai yang ditetapkan oleh rumah sakit

d) Semua perbedaan  besar  antara  diagnosis  pra-  dan diagnosis pascaoperasi; misalnya diagnosis praoperasi adalah obstruksi saluran pencernaan dan diagnosis pascaoperasi      adalah     ruptur     aneurisme     aorta abdominalis (AAA)

e) Kejadian tidsk  diharapkan  atau  pola  kejadian  tidak diharapkan                        selama     sedasi     prosedural     tanpa memandang cara pemberian

f) Kejadian tidak  diharapkan  atau  pola  kejadian  tidak diharapkan selama anestesi tanpa memandang cara pemberian

g) Kejadian tidak  diharapkan  yang  berkaitan  dengan identifikasi pasien

h) Kejadian-kejadian lain, misalnya infeksi yang berkaitan dengan perawatan kesehatan atau wabah penyakit menular

6)    Elemen Penilaian PMKP 9

a) Proses pengumpulan  data  sesuai  a)  sampai  h)  dari maksud                 dan    tujuan,    analisis,    dan    pelaporan diterapkan untuk memastikan akurasi data.

b) Analisis  data   mendalam   dilakukan   ketika   terjadi tingkat, pola atau tren yang tak diharapkan yang digunakan       untuk     meningkatkan     mutu     dan keselamatan pasien.

c) Data luaran (outcome) dilaporkan kepada direktur dan representatif pemilik/ dewan pengawas sebagai bagian dari program  peningkatan  mutu  dan  keselamatan pasien.

7)    Standar PMKP 10

Rumah sakit melakukan pengukuran dan evaluasi budaya keselamatan pasien.

8)    Maksud dan Tujuan PMKP 10

Pengukuran  budaya  keselamatan  pasien  perlu dilakukan oleh rumah sakit dengan melakukan survei budaya keselamatan pasien setiap tahun. Budaya keselamatan pasien juga dikenal sebagai budaya yang aman, yakni sebuah budaya organisasi yang mendorong setiap individu anggota staf (klinis atau administratif) melaporkan hal-hal yang menghawatirkan tentang keselamatan atau mutu pelayanan tanpa imbal jasa dari rumah sakit.

Direktur rumah sakit melakukan evaluasi rutin terhadap hasil survei budaya keselamatan pasien dengan melakukan analisis dan tindak lanjutnya.

9)    Elemen Penilaian PMKP 10

a) Rumah sakit telah melaksanakan pengukuran budaya keselamatan pasien      dengan      survei      budaya keselamatan                        pasien    setiap    tahun    menggunakan metode yang telah terbukti.

b) Hasil  pengukuran   budaya   sebagai   acuan   dalam menyusun program peningkatan budaya keselamatan di rumah sakit.

Penerapan Manejemen Risiko

1)    Standar PMKP 11

Komite/ Tim Penyelenggara Mutu memandu penerapan program manajemen risiko di rumah sakit

2)    Maksud dan Tujuan PMKP 11

Komite/  Tim  Penyelenggara  Mutu  membuat daftar risiko tingkat rumah sakit berdasarkan daftar risiko yang dibuat tiap unit setiap tahun. Berdasarkan daftar risiko tersebut ditentukan prioritas risiko yang dimasukkan dalam profil risiko  rumah  sakit.  Profil  risiko  tersebut  akan  menjadi bahan   dalam   penyusunan   Program   manajemen   risiko rumah sakit dan menjadi prioritas untuk dilakukan penanganan  dan  pemantauannya.  Direktur  rumah  sakit juga berperan dalam memilih selera risiko yaitu tingkat risiko yang bersedia diambil rumah sakit dalam upayanya mewujudkan tujuan dan sasaran yang dikehendakinya.

Ada  beberapa  metode  untuk  melakukan  analisis  risiko secara proaktif yaitu failure mode effect analysis (analisis modus kegagalan dan dampaknya /FMEA/ AMKD), analisis kerentanan terhadap bahaya/hazard vulnerability analysis (HVA)  dan  infection  control  risk  assessment  (pengkajian risiko pengendalian infeksi/ICRA). Rumah sakit mengintegrasikan hasil analisis metode-metode tersebut dalam     program     manajemen     risiko     rumah     sakit. Pimpinan  rumah  sakit  akan  mendesain  ulang  proses berisiko tinggi yang telah di analisis secara proaktif dengan melakukan tindakan untuk mengurangi risiko dalam proses tersebut. Proses analisis risiko proaktif ini dilaksanakan minimal sekali dalam setahun dan didokumentasikan pelaksanaannya.

Elemen penilaian PMKP 11

a) Komite/ Tim Penyelenggara Mutu memandu penerapan program manajemen risiko yang di tetapkan oleh Direktur

b) Komite/ Tim  Penyelenggara  Mutu  telah  membuat daftar  risiko  rumah  sakit  berdasarkan  daftar  risiko unit-unit di rumah sakit

c) Komite/ Tim Penyelenggara Mutu telah membuat profil risiko dan rencana penanganan

d) Komite/ Tim  Penyelenggara  Mutu  telah  membuat pemantauan terhadap rencana penanganan dan melaporkan kepada direktur dan representatif pemilik/dewan pengawas setiap 6 (enam) bulan

e) Komite/ Tim  Penyelenggara  Mutu  telah  menyusun Program manajemen risiko tingkat rumah sakit untuk ditetapkan Direktur

f) Komite/ Tim  Penyelenggara  Mutu  telah  memandu pemilihan minimal satu analisis secara proaktif proses berisiko tinggi yang diprioritaskan untuk dilakukan analisis FMEA setiap tahun.

g) Manajemen Rekam Medis dan Informasi Kesehatan (MRMIK) Gambaran Umum

Setiap rumah sakit memiliki, mengelola, dan menggunakan informasi untuk meningkatkan luaran ( outcome ) bagi pasien, kinerja staf dan kinerja rumah sakit secara umum.

Dalam melakukan proses manajemen informasi, rumah sakit menggunakan metode pengembangan yang sesuai dengan sumber daya rumah sakit, dengan memperhatikan perkembangan teknologi informasi. Proses manajemen informasi tersebut juga mencakup:

    1. Misi rumah sakit,
    2. Layanan yang diberikan, c.    Sumber daya,
    3. Akses ke teknologi informasi kesehatan, dan
    4. Dukungan   untuk   menciptakan   komunikasi   efektif   antar
    5. Professional Pemberi Asuhan (PPA).

Untuk   memberikan   asuhan   pasien    yang   terkoordinasi   dan terintegrasi,   rumah   sakit   bergantung   pada   informasi   tentang perawatan  pasien.  Informasi  merupakan  salah  satu  sumber  daya yang harus dikelola secara efektif oleh pimpinan rumah sakit. Pelaksanaan asuhan pasien di rumah sakit adalah suatu proses yang kompleks yang sangat bergantung pada komunikasi dan informasi. Komunikasi  dilakukan  antara  rumah  sakit  dengan  pasien  dan keluarga, antar Professional Pemberi Asuhan (PPA), serta komunitas di wilayah rumah sakit. Kegagalan dalam komunikasi adalah salah satu  akar  masalah  pada  insiden  keselamatan  pasien  yang  paling sering  dijumpai.  Sering  kali,  kegagalan  komunikasi  terjadi  akibat tulisan yang tidak terbaca, penggunaan singkatan, simbol dan kode yang tidak seragam di dalam rumah sakit.

Seiring  dengan  perjalanan  waktu  dan  perkembangannya,  rumah sakit diharapkan mampu mengelola informasi secara lebih efektif dalam hal:

    1. Mengidentifikasi kebutuhan informasi dan teknologi informasi;
    2. Mengembangkan sistem informasi manajemen;
    3. Menetapkan jenis  informasi  dan  cara  memperoleh  data  yang diperlukan;
    4. Menganalisis data dan mengubahnya menjadi informasi;
    5. Memaparkan dan  melaporkan  data  serta  informasi  kepada publik;
    6. Melindungi kerahasiaan,  keamanan,  dan  integritas  data  dan informasi;
    7. Mengintegrasikan  dan     menggunakan     informasi     untuk peningkatan kinerja.

Walaupun komputerisasi dan teknologi lainnya dikembangkan untuk meningkatkan efisiensi, prinsip teknologi informasi yang baik harus diterapkan   untuk   seluruh   metode   dokumentasi.   Standar   ini dirancang untuk digunakan pada sistem informasi berbasis kertas serta elektronik.

Informasi rumah sakit terkait asuhan pasien sangat penting dalam komunikasi antar PPA, yang didokumentasikan dalam Rekam Medis. Rekam medis (RM) adalah bukti tertulis (kertas/elektronik) yang merekam berbagai informasi kesehatan pasien seperti hasil pengkajian, rencana dan pelaksanaan asuhan, pengobatan, catatan perkembangan  pasien  terintegrasi,  serta  ringkasan  pasien  pulang yang dibuat oleh Profesional Pemberi Asuhan (PPA). Penyelenggaraan rekam medis merupakan proses kegiatan yang dimulai saat pasien diterima di rumah sakit dan melaksanakan rencana asuhan dari PPA. Kegiatan dilanjutkan dengan penanganan rekam medis yang meliputi penyimpanan dan penggunaan untuk kepentingan pasien atau keperluan lainnya.

Dalam  pemberian  pelayanan  kepada  pasien,  teknologi  informasi kesehatan   sangat   dibutuhkan   untuk   meningkatkan   efektifitas, efisiensi dan keamanan dalam proses komunikasi dan informasi. Standar  Manajemen  Rekam  Medis  dan  Informasi  Kesehatan  ini berfokus pada:

a. Manajemen informasi

b. Pengelolaan dokumen

c. Rekam medis pasien

d. Teknologi Informasi Kesehatan di Pelayanan Kesehatan Manajemen Informasi

  1.  

1)    Standar MRMIK 1

Rumah sakit menetapkan proses manajemen informasi untuk memenuhi kebutuhan informasi internal maupun eksternal.

2)    Maksud dan Tujuan MRMIK 1

Informasi  yang  diperoleh  selama  masa  perawatan pasien harus dapat dikelola dengan aman dan efektif oleh rumah sakit. Kemampuan memperoleh dan menyediakan informasi tersebut  memerlukan  perencanaan  yang  efektif. Perencanaan ini melibatkan masukan dari berbagai sumber yang membutuhkan data dan informasi, termasuk:

a) Profesional Pemberi  Asuhan  (PPA)  yang  memberikan pelayanan kepada pasien

b) Pimpinan  rumah      sakit      dan      para      kepala departemen/unit layanan

c) Staf, unit pelayanan, dan badan/individu di luar rumah sakit yang membutuhkan atau memerlukan data atau informasi tentang operasional dan proses perawatan rumah sakit

Dalam menyusun perencanaan, ditentukan prioritas kebutuhan informasi dari sumber-sumber strategi manajemen informasi rumah sakit sesuai dengan ukuran rumah sakit, kompleksitas pelayanan, ketersediaan staf terlatih, dan sumber daya manusia serta teknikal lainnya. Perencanaan yang komprehensif meliputi seluruh unit kerja dan pelayanan yang ada di rumah sakit.

Rumah sakit melakukan pemantauan dan evaluasi secara berkala  sesuai  ketentuan  rumah  sakit  terhadap perencanaan tersebut. Selanjutnya, rumah sakit melakukan upaya perbaikan berdasarkan hasil pemantauan dan evaluasi berkala yang telah dilakukan .

Apabila rumah sakit menyelenggarakan program penelitian dan atau pendidikan kesehatan maka pengelolaan  terdapat data dan informasi yang mendukung asuhan pasien, pendidikan, serta riset telah tersedia tepat waktu dari sumber data terkini.

3)    Elemen Penilaian MRMIK 1

a) Rumah  sakit    menetapkan    regulasi    pengelolaan informasi untuk memenuhi kebutuhan informasi sesuai poin a) – g) yang terdapat dalam gambaran umum.

b) Terdapat bukti rumah sakit telah menerapkan proses pengelolaan informasi untuk memenuhi kebutuhan PPA, pimpinan rumah sakit, kepala departemen/unit layanan dan badan/individu dari luar rumah sakit.

c) Proses yang diterapkan sesuai dengan ukuran rumah sakit, kompleksitas layanan, ketersediaan staf terlatih, sumber daya teknis, dan sumber daya lainnya.

d) Rumah sakit  melakukan  pemantauan  dan  evaluasi secara  berkala  sesuai  ketentuan  rumah  sakit  serta upaya        perbaikan    terhadap    pemenuhan    informasi internal       dan   eksternal   dalam   mendukung  asuhan, pelayanan, dan mutu serta keselamatan pasien.

e) Apabila  terdapat    program    penelitian    dan    atau pendidikan Kesehatan di rumah sakit, terdapat bukti bahwa data dan informasi yang mendukung asuhan pasien,  pendidikan,  serta  riset  telah  tersedia  tepat waktu dari sumber data terkini.

4)    Standar MRMIK 2

Seluruh komponen dalam rumah sakit termasuk pimpinan rumah sakit, PPA, kepala unit klinis/non klinis dan staf dilatih mengenai prinsip manajemen dan penggunaan informasi.

5)    Maksud dan Tujuan MRMIK 2

Seluruh komponen dalam rumah sakit termasuk pimpinan rumah sakit, PPA, kepala unit klinis/non klinis dan staf akan  mengumpulkan  dan  menganalisis, serta menggunakan   data   dan   informasi.   Dengan   demikian, mereka harus dilatih tentang prinsip pengelolaan dan penggunaan informasi agar dapat berpartisipasi secara efektif.

Pelatihan tersebut berfokus pada:

a) penggunakan sistem  informasi,  seperti  sistem  rekam medis elektronik, untuk melaksanakan tanggung jawab pekerjaan mereka secara efektif dan menyelenggarakan perawatan secara efisien dan aman;

b) Pemahaman terhadap  kebijakan  dan  prosedur  untuk memastikan                      keamanan   dan   kerahasiaan   data   dan informasi;

c) Pemahaman dan penerapan strategi untuk pengelolaan data, informasi, dan dokumentasi selama waktu henti (downtime ) yang direncanakan dan tidak terencana;

d) Penggunaan  data   dan   informasi   untuk   membantu pengambilan keputusan;

e) Komunikasi yang  mendukung  partisipasi  pasien  dan keluarga dalam proses perawatan; dan

f) Pemantauan  dan    evaluasi    untuk    mengkaji    dan meningkatkan proses kerja serta perawatan.

Semua staf   dilatih sesuai tanggung jawab, uraian tugas, serta kebutuhan data dan informasi. Rumah sakit yang menggunakan sistem rekam medis elektronik harus memastikan bahwa staf yang dapat mengakses, meninjau, dan/atau mendokumentasikan dalam rekam medis pasien telah mendapatkan edukasi untuk menggunakan sistem secara efektif dan efisien.

PPA, peneliti, pendidik, kepala unit klinis / non klinis sering kali membutuhkan informasi untuk membantu mereka dalam pelaksanaan tanggung jawab. Informasi demikian termasuk literatur ilmiah dan manajemen, panduan praktik klinis, hasil penelitian, metode pendidikan. Internet, materi cetakan  di  perpustakaan,  sumber  pencarian  daring  (on- line),   dan   materi   pribadi   yang   semuanya   merupakan sumber yang bernilai sebagai informasi terkini.

Proses manajemen informasi memungkinkan penggabungan informasi dari berbagai sumber dan menyusun laporan untuk menunjang pengambilan keputusan. Secara khusus, kombinasi informasi klinis dan non klinis membantu pimpinan departemen/pelayanan untuk menyusun rencana secara  kolaboratif.  Proses  manajemen  informasi mendukung para pimpinan departemen/pelayanan dengan data perbandingan dan data longitudinal terintegrasi.

6)    Elemen Penilaian MRMIK 2

a) Terdapat bukti  PPA,  pimpinan  rumah  sakit,  kepala departemen, unit layanan dan staf telah dilatih tentang prinsip pengelolaan dan penggunaan sistem informasi sesuai dengan peran dan tanggung jawab mereka.

b) Terdapat bukti bahwa data dan informasi klinis serta non klinis   diintegrasikan   sesuai   kebutuhan   dan digunakan   dalam   mendukung   proses   pengambilan keputusan.

7)    Standar MRMIK 2.1

Rumah sakit menjaga kerahasiaan, keamanan, privasi, integritas   data   dan   informasi   melalui   proses   untuk mengelola dan mengontrol akses.

8)    Standar MRMIK 2.2

Rumah sakit menjaga kerahasiaan, keamanan, privasi, integritas   data   dan   informasi   melalui   proses   yang melindungi data dan informasi dari kehilangan, pencurian, kerusakan, dan penghancuran.

9)    Maksud dan Tujuan MRMIK 2.1 dan MRMIK 2.2

Rumah  sakit  menjaga  kerahasiaan,  keamanan, integritas data dan informasi pasien yang bersifat sensitif. Keseimbangan antara keterbukaan dan kerahasiaan data harus  diperhatikan.  Tanpa  memandang  apakah  rumah sakit menggunakan sistem informasi menggunakan kertas dan/atau elektronik, rumah sakit harus menerapkan langkah-langkah untuk mengamankan dan melindungi data dan informasi yang dimiliki.

Data dan informasi meliputi rekam medis pasien, data dari peralatan dan perangkat medis, data penelitian, data mutu, data tagihan, data sumber daya manusia, data operasional dan keuangan serta sumber lainnya, sebagaimana berlaku untuk rumah sakit. Langkah-langkah keamanan mencakup proses untuk mengelola dan mengontrol akses. Sebagai contoh, untuk menjaga kerahasiaan dan keamanan rekam medis pasien, rumah sakit menentukan siapa yang berwenang  untuk  mengakses  rekam  medis  dan  tingkat akses individu yang berwenang terhadap rekam medis tersebut. Jika menggunakan sistem informasi elektronik, rumah sakit mengimplementasikan proses untuk memberikan otorisasi kepada pengguna yang berwenang sesuai dengan tingkat akses mereka.

Bergantung pada tingkat aksesnya, pengguna yang berwenang dapat memasukkan data, memodifikasi, dan menghapus  informasi,  atau  hanya  memiliki akses untuk hanya membaca atau akses terbatas ke beberapa sistem/modul. Tingkat akses untuk sistem rekam medis elektronik dapat mengidentifikasi    siapa yang dapat mengakses dan membuat entry dalam rekam medis, memasukkan instruksi untuk pasien, dan sebagainya. Rumah sakit juga menentukan tingkat akses untuk data lainnya seperti data peningkatan mutu, data laporan keuangan, dan data kinerja rumah sakit. Setiap staf memiliki tingkat akses dan kewenangan yang berbeda atas data dan informasi sesuai dengan kebutuhan, peran dan tanggung jawab staf tersebut.

Proses pemberian otorisasi yang efektif harus mendefinisikan:

a) Siapa yang memiliki akses terhadap data dan informasi, termasuk rekam medis pasien;

b) Informasi mana yang dapat diakses oleh staf tertentu (dan tingkat aksesnya);

c) Proses untuk memberikan hak akses kepada staf yang berwenang;

d) Kewajiban  staf   untuk   menjaga   kerahasiaan   dan keamanan informasi;

e) Proses untuk  menjaga  integritas  data  (keakuratan, konsistensi, dan kelengkapannya); dan

f) Proses yang  dilakukan  apabila  terjadi  pelanggaran terhadap kerahasiaan, keamanan, ataupun integritas data.

Untuk rumah sakit dengan sistem informasi elektronik, pemantauan terhadap data dan informasi pasien melalui audit keamanan terhadap penggunaan akses    dapat membantu melindungi kerahasiaan dan keamanan. Rumah sakit menerapkan proses untuk secara proaktif memantau catatan penggunaan akses. Pemantauan keamanan dilakukan secara rutin sesuai ketentuan rumah sakit untuk mengidentifikasi kerentanan sistem dan pelanggaran terhadap kebijakan kerahasiaan dan keamanan.

Misalnya, sebagai bagian dari proses ini, rumah sakit dapat mengidentifikasi  pengguna  sistem  yang  telah  mengubah,

mengedit, atau menghapus informasi dan melacak perubahan yang dibuat pada rekam medis elektronik. Hasil proses pemantauan tersebut dapat digunakan untuk melakukan validasi apakah penggunaan akses dan otorisasi telah diterapkan dengan tepat. Pemantauan keamanan juga efektif  dalam  mengidentifikasi  kerentanan  dalam keamanan, seperti adanya akses pengguna yang perlu diperbarui atau dihapus karena perubahan atau pergantian staf.

Saat menggunakan rekam medis elektronik, langkah- langkah keamanan tambahan untuk masuk/login ke dalam sistem harus diterapkan. Sebagai contoh, rumah sakit memiliki proses untuk memastikan bahwa staf  mengakses sistem (login) menggunakan kredensial unik yang diberikan hanya untuk mereka dan kredensial tersebut tidak dipakai bersama orang lain. Selain proses untuk mengelola dan mengendalikan akses, rumah sakit memastikan bahwa seluruh data dan informasi rekam medis berbentuk cetak atau elektronik   dilindungi dari kehilangan, pencurian, gangguan, kerusakan, dan penghancuran yang tidak diinginkan.

Penting bagi rumah sakit untuk menjaga dan memantau keamanan data dan informasi, baik yang disimpan dalam bentuk cetak maupun elektronik terhadap kehilangan, pencurian dan akses orang yang tidak berwenang. Rumah sakit  menerapkan  praktik  terbaik  untuk keamanan data dan memastikan penyimpanan catatan, data, dan informasi medis yang aman dan terjamin.

Contoh langkah-langkah dan strategi keamanan termasuk, tetapi tidak terbatas pada, berikut ini:

a) Memastikan  perangkat     lunak     keamanan     dan pembaruan  sistem  sudah  menggunakan  versi  terkini dan terbaru

b) Melakukan enkripsi  data,  terutama  untuk  data  yang disimpan dalam bentuk digital

c) Melindungi  data    dan    informasi    melalui    strategi cadangan (back up) seperti penyimpanan di luar lokasi dan/atau layanan pencadangan cloud

d) Menyimpan dokumen fisik rekam medis di lokasi yang tidak terkena panas serta aman dari air dan api

e) Menyimpan dokumen rekam medis aktif di area yang hanya dapat diakses oleh staf yang berwenang.

f) Memastikan bahwa  ruang  server  dan  ruang  untuk penyimpanan dokumen fisik rekam medis lainnya aman dan hanya dapat diakses oleh staf yang berwenang

g) Memastikan bahwa  ruang  server  dan  ruang  untuk penyimpanan rekam medis fisik memiliki suhu dan tingkat kelembaban yang tepat.

10)  Elemen Penilaian MRMIK 2.1

a) Rumah sakit  menerapkan  proses  untuk  memastikan kerahasiaan, keamanan,   dan   integritas   data   dan informasi sesuai dengan peraturan perundangan.

b) Rumah sakit  menerapkan  proses  pemberian  akses kepada staf yang berwenang untuk mengakses data dan informasi,  termasuk  entry  ke  dalam  rekam  medis pasien.

c) Rumah sakit memantau kepatuhan terhadap proses ini dan mengambil    tindakan    ketika    terjadi    terjadi pelanggaran          terhadap  kerahasiaan,  keamanan,  atau integritas data.

11)  Elemen Penilaian MRMIK 2.2

a) Data dan  informasi  yang  disimpan  terlindung  dari kehilangan, pencurian, kerusakan, dan penghancuran.

b) Rumah sakit  menerapkan  pemantauan  dan  evaluasi terhadap keamanan data dan informasi.

c) Terdapat bukti rumah sakit telah melakukan tindakan perbaikan untuk meningkatkan keamanan data dan informasi.

d) Pengelolaan dokumen

1)    Standar MRMIK 3

Rumah  Sakit  menerapkan  proses  pengelolaan  dokumen, termasuk kebijakan, pedoman, prosedur, dan program kerja secara konsisten dan seragam.

2)    Maksud dan Tujuan MRMIK 3

Kebijakan  dan  prosedur  bertujuan  untuk  memberikan acuan yang seragam mengenai fungsi klinis dan non-klinis di rumah sakit. Rumah Sakit dapat membuat Tata naskah untuk memandu cara menyusun dan mengendalikan dokumen   misalnya   kebijakan,   prosedur,   dan   program rumah sakit. Dokumen pedoman tata naskah mencakup beberapa komponen kunci sebagai berikut:

a) Peninjauan dan persetujuan semua dokumen oleh pihak yang berwenang sebelum diterbitkan

b) Proses  dan   frekuensi   peninjauan   dokumen   serta persetujuan berkelanjutan

c) Pengendalian  untuk    memastikan    bahwa    hanya dokumen versi terbaru/terkini dan relevan yang tersedia

d) Bagaimana mengidentifikasi adanya perubahan dalam dokumen

e) Pemeliharaan identitas dan keterbacaan dokumen

f) Proses pengelolaan  dokumen  yang  berasal  dari  luar rumah sakit

g) Penyimpanan dokumen lama yang sudah tidak terpakai (obsolete) setidaknya  selama  waktu  yang  ditentukan oleh     peraturan  perundangan,  sekaligus  memastikan bahwa dokumen tersebut tidak akan salah digunakan

h) Identifikasi dan   pelacakan   semua   dokumen   yang beredar (misalnya, diidentifikasi berdasarkan judul, tanggal terbit, edisi dan/atau tanggal revisi terbaru, jumlah  halaman,  dan  nama  orang  yang  mensahkan pada saat penerbitan dan revisi dan/atau meninjau dokumen tersebut)

Proses-proses tersebut diterapkan dalam menyusun serta memelihara dokumen termasuk kebijakan, prosedur, dan program kerja.

Dokumen internal rumah sakit terdiri dari regulasi dan dokumen pelaksanaan. Terdapat beberapa tingkat dokumen internal, yaitu:

a) dokumen tingkat pemilik/korporasi;

b) dokumen tingkat rumah sakit; dan

c) dokumen tingkat unit (klinis dan non klinis), mencakup:

(1) Kebijakan di tingkat unit (klinis dan non klinis)

(2) Pedoman pengorganisasian

(3) Pedoman pelayanan/penyelenggaraan

(4) Standar operasional prosedur (SOP)

(5) Program kerja unit (tahunan)

3)    Elemen Penilaian MRMIK 3

a) Rumah sakit menerapkan pengelolaan dokumen sesuai dengan butir a) – h) dalam maksud dan tujuan.

b) Rumah sakit  memiliki  dan  menerapkan  format  yang seragam untuk semua dokumen sejenis sesuai dengan ketentuan rumah sakit.

c) Rumah  sakit    telah    memiliki    dokumen    internal mencakup butir a) – c) dalam maksud dan tujuan.

4)    Standar MRMIK 4

Kebutuhan data dan informasi dari pihak dalam dan luar rumah  sakit  dipenuhi  secara  tepat  waktu  dalam  format yang memenuhi harapan pengguna dan dengan frekuensi yang diinginkan.

5)    Maksud dan Tujuan MRMIK 4

Penyebaran  data  dan  informasi  untuk  memenuhi kebutuhan pihak di dalam dan di luar rumah sakit merupakan   aspek   penting   dari   manajemen   informasi. Rumah sakit menetapkan mekanisme untuk melakukan penyebaran data secara internal dan eksternal. Mekanisme tersebut mengatur agar data yang diberikan tepat waktu dan menggunakan format yang ditetapkan.

Secara internal, penyebaran data dan informasi dapat dilakukan antar Profesional Pemberi Asuhan (PPA) yang merawat pasien, termasuk dokter, perawat, dietisien, apoteker, dan staf klinis lainnya yang memerlukan akses ke informasi terbaru dan semua bagian dari rekam medis pasien.

Secara eksternal, rumah sakit dapat memberikan data dan informasi kepada Kementerian Kesehatan, dinas kesehatan, tenaga kesehatan (seperti dokter perawatan primer pasien

di komunitas), layanan dan organisasi kesehatan luar (seperti laboratorium luar atau rumah sakit rujukan), dan individu (seperti pasien yang meminta rekam medis mereka setelah keluar dari rumah sakit).

Format dan kerangka waktu untuk menyebarkan data dan informasi dirancang untuk memenuhi harapan pengguna sesuai dengan layanan yang diberikan. Ketika data dan informasi dibutuhkan untuk perawatan pasien, data dan informasi tersebut harus disediakan pada waktu yang tepat guna mendukung kesinambungan perawatan dan keselamatan pasien.

Contoh penyebaran informasi untuk memenuhi harapan pengguna meliputi beberapa hal di bawah ini namun tidak terbatas pada :

a) Pelaporan dan  pembaharuan  data  rumah  sakit  yang terdapat di aplikasi RS Online Kementerian Kesehatan;

b) Data kunjungan rumah sakit, data pelayanan rumah sakit seperti pelayanan laboratorium dan radiologi, data indikator layanan rumah sakit, morbiditas, mortalitas dan sepuluh besar penyakit di rawat jalan dan rawat inap dengan menggunakan kode diagnosis ICD 10 pada aplikasi SIRS Online Kementerian Kesehatan;

c) Memberikan  data    dan    informasi    spesifik    yang diminta/dibutuhkan;

d) Menyediakan  laporan     dengan     frekuensi     yang dibutuhkan oleh staf atau rumah sakit;

e) Menyediakan data  dan  informasi  dalam  format  yang memudahkan penggunaannya;

f) Menghubungkan sumber data dan informasi; dan

g)  Menginterpretasi atau mengklarifikasi data.

6)    Elemen Penilaian MRMIK 4

a) Terdapat bukti bahwa penyebaran data dan informasi memenuhi kebutuhan  internal  dan  eksternal  rumah sakit sesuai dengan yang tercantum dalam maksud dan tujuan.

b) Terdapat proses  yang  memastikan  bahwa  data  dan informasi  yang  dibutuhkan  untuk  perawatan  pasien telah  diterima  tepat  waktu  dan  sesuai  format  yang seragam dan sesuai dengan kebutuhan.

Rekam Medis Pasien

1)    Standar MRMIK 5

Rumah sakit menetapkan penyelenggaraan dan pengelolaan rekam   medis   terkait   asuhan   pasien   sesuai   dengan peraturan perundang-undangan.

2)    Maksud dan Tujuan MRMIK 5

Penyelenggaraan rekam medis merupakan proses kegiatan yang dimulai sejak saat pasien diterima rumah sakit dan mendapat asuhan medis, keperawatan, dan profesional pemberi asuhan lainnya. Proses penyelenggaraan rekam medis   ini   dilanjutkan   sampai   dengan   pasien   pulang, dirujuk, atau meninggal.

Kegiatan pengelolaan rekam medis yang meliputi: penerimaan pasien, asembling, analisis koding, indeksing, penyimpanan, pelaporan dan pemusnahan.

Rumah  sakit  menetapkan  unit  yang  mengelola  sistem rekam    medis    secara    tepat,    bernilai,    dan    dapat dipertanggungjawabkan. Unit kerja rekam medis memiliki struktur  organisasi,  uraian  tugas,  fungsi,  tanggungjawab dan tata hubungan kerja dengan unit pelayanan lain. Informasi  kesehatan  (rekam  medis)  baik  kertas  maupun elektronik harus dijaga keamanan dan kerahasiaannya dan disimpan sesuai dengan peraturan  perundangan. Informasi kesehatan yang dikelola secara elektronik harus menjamin keamanan dan kerahasiaan dalam 3  (tiga) tempat, yaitu server di dalam rumah sakit, salinan (backup) data rutin, dan data virtual (cloud) atau salinan (backup) data di luar rumah sakit.

Penyimpanan dokumen fisik rekam medis mencakup lokasi yang  tidak  terkena  panas  serta  aman  dari  air  dan  api, hanya dapat diakses oleh staf yang berwenang dan memastikan   ruang   penyimpanan   rekam   medis   fisik memiliki suhu dan tingkat kelembaban yang tepat.

3)    Elemen Penilaian MRMIK 5

a) Rumah  sakit   telah   menetapkan   regulasi   tentang penyelenggaraan rekam medis di rumah sakit.

b) Rumah sakit  menetapkan  unit  penyelenggara  rekam medis dan 1 (satu) orang yang kompeten mengelola rekam medis.

c) Rumah  Sakit   menerapkan   penyelenggaraan   Rekam Medis            yang  dilakukan  sejak  pasien  masuk  sampai pasien pulang, dirujuk, atau meninggal.

d) Tersedia penyimpanan  rekam  medis  yang  menjamin keamanan                    dan   kerahasiaan   baik   kertas   maupun elektronik.

4)    Standar MRMIK 6

Setiap pasien memiliki rekam medis yang terstandardalam format yang seragam dan selalu diperbaharui (terkini) dan diisi sesuai dengan ketetapan rumah sakit dalam tatacara pengisian rekam medis.

5)    Maksud dan Tujuan MRMIK 6

Setiap pasien memiliki rekam medis, baik dalam bentuk kertas maupun elektronik yang merupakan sumber informasi utama mengenai proses asuhan dan perkembangan   pasien   serta   media   komunikasi   yang penting. Oleh karena itu, rekam medis harus selalu dievaluasi  dan  diperbaharui  sesuai  dengan  kebutuhan dalam pelayanan pasien. Standardisasi dan identifikasi formulir rekam medis diperlukan untuk memberikan kemudahan PPA dalam melakukan pendokumentasian pada rekam medis pasien dan kemudahan dalam melakukan telusur isi rekam medis, serta kerapian dalam penyimpanan rekam medis.

Rekam medis pasien dipastikan selalu tersedia selama pemberian asuhan baik di rawat jalan, rawat inap maupun gawat darurat. Rumah sakit memastikan isi, format dan tata  cara  pengisian  dalam  rekam  medis  pasien  sesuai dengan kebutuhan masing-masing PPA. Rumah sakit harus memiliki standar formulir rekam medis sebagai acuan bagi tenaga kesehatan/Profesional Pemberi Asuhan (PPA) dalam pelayanan pasien.

Pengelolaan rekam medis pasien harus mendukung terciptanya sistem yang baik sejak formulir dibuat atau direviu, dan dievaluasi penerapannya secara periodik, termasuk pengendalian rekam medis yang digunakan dan retensi formulir yang sudah tidak digunakan lagi.

6)    Elemen Penilaian MRMIK 6

a) Terdapat bukti  bahwa  setiap  pasien  memiliki  rekam medik dengan satu nomor RM sesuai sistem penomoran yang ditetapkan.

b) Rekam medis rawat jalan, rawat inap, gawat darurat dan pemeriksaan penunjang disusun dan diisi sesuai ketetapan rumah sakit.

c) Terdapat bukti bahwa formulir rekam medis dievaluasi dan diperbaharui (terkini) sesuai dengan kebutuhan dan secara periodik.

7)    Standar MRMIK 7

Rumah sakit menetapkan informasi yang akan dimuat pada rekam medis pasien.

8)    Maksud dan Tujuan MRMIK 7

Rumah sakit menetapkan data dan informasi spesifik yang dicatat dalam rekam medis setiap pasien untuk melakukan penilaian/pengkajian dan mendapatkan pengobatan maupun tindakan oleh Profesional Pemberi Asuhan (PPA) sebagai pasien rawat jalan, rawat inap dan gawat darurat. Ketetapan ini sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Rekam medis memuat informasi yang memadai untuk:

a) Mengidentifikasi pasien;

b) Mendukung diagnosis;

c) Justifikasi/dasar pemberian pengobatan;

d) Mendokumentasikan  hasil   pemeriksaan   dan   hasil pengobatan;

e) Memuat ringkasan pasien pulang (discharge summary); dan

f) Meningkatkan    kesinambungan    pelayanan    diantara Profesional Pemberi Asuhan (PPA).

9)    Elemen Penilaian MRMIK 7

a) Terdapat  bukti   rekam   medis   pasien   telah   berisi informasi yang sesuai dengan ketetapan rumah sakit dan peraturan perundangan yang berlaku.

b) Terdapat  bukti   rekam   medis   pasien   mengandung informasi  yang  memadai  sesuai  butir  a)  –  f)  pada maksud dan tujuan.

10)  Standar MRMIK 8

Setiap catatan (entry) pada rekam medis pasien mencantumkan identitas Profesional Pemberi Asuhan (PPA) yang menulis dan kapan catatan tersebut ditulis di dalam rekam medis.

11)  Maksud dan Tujuan MRMIK 8

Rumah  sakit  memastikan  bahwa  setiap  catatan  dalam rekam medis dapat diidentifikasi dengan tepat, dimana setiap pengisian rekam medis ditulis tanggal, jam, serta indentitas Profesional Pemberi Asuhan ( PPA ) berupa nama jelas dan tanda tangan/paraf. Rumah sakit menetapkan proses pembenaran/koreksi terhadap kesalahan penulisan catatan dalam rekam medis. Selanjutnya dilakukan pemantauan dan evaluasi terhadap penulisan identitas, tanggal dan waktu penulisan catatan pada rekam medis pasien serta koreksi penulisan catatan dalam rekam medis.

12)  Elemen Penilaian MRMIK 8

a) PPA mencantumkan  identitas  secara  jelas  pada  saat mengisi RM.

b) Tanggal dan  waktu  penulisan  setiap  catatan  dalam rekam medis pasien dapat diidentifikasi.

c) Terdapat prosedur koreksi penulisan dalam pengisian

RM elektronik dan non elektronik.

d) Telah dilakukan  pemantauan  dan  evaluasi  terhadap penulisan                  identitas,   tanggal   dan   waktu   penulisan catatan               pada   rekam   medis   pasien   serta   koreksi penulisan               catatan   dalam   rekam   medis,   dan   hasil evaluasi yang ada telah digunakan sebagai dasar upaya perbaikan di rumah sakit.

13)  Standar MRMIK 9

Rumah sakit menggunakan kode diagnosis, kode prosedur, penggunaan simbol dan singkatan baku yang seragam dan terstandar.

14)   Maksud dan Tujuan MRMIK 9

Penggunaan kode, simbol, dan singkatan yang terstandar berguna untuk mencegah terjadinya kesalahan komunikasi dan kesalahan pemberian asuhan kepada pasien. Penggunaan singkatan yang baku dan seragam menunjukkan bahwa singkatan, kode, simbol yang digunakan  mempunyai  satu  arti/makna  yang  digunakan dan berlaku di semua lingkungan rumah sakit.

Rumah sakit menyusun dan menetapkan   daftar atau penggunaan   kode, simbol dan singkatan yang digunakan dan tidak boleh digunakan di rumah sakit.    Penggunaan kode, simbol, dan singkatan baku yang seragam harus konsisten dengan standar praktik profesional. Prinsip penggunaan kode di rekam medis utamanya menggunakan ICD-10 untuk kode Penyakit dan dan ICD9 CM untuk kode Tindakan. Penggunaan kode di rekam medis sesuai dengan standar yang ditetapkan rumah sakit serta dilakukan evaluasi terkait penggunaan kode tersebut.

15)  Elemen Penilaian MRMIK 9

a) Penggunaan kode diagnosis, kode prosedur, singkatan dan simbol sesuai dengan ketetapan rumah sakit.

b) Dilakukan evaluasi  secara  berkala  penggunaan  kode diagnosis, kode prosedur, singkatan dan simbol yang berlaku di rumah sakit dan hasilnya digunakan sebagai upaya tindak lanjut untuk perbaikan.

16)  Standar MRMIK 10

Rumah sakit menjamin keamanan, kerahasiaan dan kepemilikan rekam medis serta  privasi pasien.

17)  Maksud dan Tujuan MRMIK 10

Rekam  medis  adalah  pusat  informasi  yang  digunakan untuk tujuan klinis, penelitian, bukti hukum, administrasi, dan keuangan, sehingga harus dibatasi aksesibilitasnya. Pimpinan rumah sakit bertanggungjawab atas kehilangan, kerusakan pemalsuan dan/atau penggunaan oleh orang atau badan yang tidak berhak terhadap rekam medis.

Rekam medis, baik kertas atau elektronik, adalah alat komunikasi   yang   mendukung   pengambilan   keputusan klinis, koordinasi pelayanan, evaluasi mutu dan ketepatan perawatan, penelitian, perlindungan hukum, pendidikan, dan akreditasi serta proses manajemen. Dengan demikian, setiap pengisian rekam medis harus dapat dijamin otentifikasinya.

Menjaga kerahasiaan yang dimaksud termasuk adalah memastikan bahwa hanya individu yang berwenang yang memiliki akses ke informasi tersebut. Selain keamanan dan kerahasian maka dibutuhkan privasi sebagai hak “untuk menjadi diri sendiri atau hak otonomi”, hak untuk “menyimpan informasi tentang diri mereka sendiri dari yang diungkapkan kepada orang lain; hak untuk diketahui diri sendiri, maupun gangguan dari pihak yang tidak berkepentingan kecuali yang dimungkinkan atas perintah peraturan perundang-undangan.

18)  Elemen Penilaian MRMIK 10

a) Rumah sakit  menentukan  otoritas  pengisian  rekam medis termasuk isi dan format rekam medis.

b) Rumah Sakit menentukan hak akses dalam pelepasan informasi rekam medis

c) Rumah sakit  menjamin  otentifikasi,  keamanan  dan kerahasiaan data rekam medis baik kertas maupun elektronik sebagai bagian dari hak pasien.

19)  Standar MRMIK 11

Rumah sakit mengatur lama penyimpanan rekam medis, data, dan informasi pasien.

20)  Maksud dan Tujuan MRMIK 11

Rumah  sakit  menentukan  jangka  waktu  penyimpanan rekam   medis   (kertas/elektronik),   data,   dan   informasi lainnya terkait pasien sesuai dengan peraturan perundang- undangan untuk mendukung asuhan pasien, manajemen, dokumentasi yang sah secara hukum, serta pendidikan dan penelitian.    Rumah    sakit    bertanggungjawab    terhadap keamanan  dan  kerahasiaan  data  rekam  medis  selama proses penyimpanan sampai dengan pemusnahan.

Untuk   rekam   medis   dalam   bentuk   kertas   dilakukan pemilahan rekam medis aktif dan rekam medis yang tidak aktif serta disimpan secara terpisah. Penentuan jangka waktu  penyimpanan rekam  medis  ditentukan atas dasar nilai manfaat setiap rekam medis yang konsisten dengan kerahasiaan dan keabsahan informasi.

Bila jangka waktu penyimpanan sudah habis maka rekam medis, serta data dan informasi yang terkait pasien dimusnahkan dengan prosedur yang tidak membahayakan keamanan dan kerahasiaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Rumah sakit menetapkan dokumen, data dan/atau informasi tertentu terkait pasien yang memiliki nilaiguna untuk disimpan abadi (permanen).

21)  Elemen Penilaian MRMIK 11

a) Rumah  sakit    memiliki    regulasi    jangka    waktu penyimpanan berkas rekam medis (kertas/elektronik), serta data dan informasi lainnya terkait dengan pasien dan prosedur pemusnahannya sesuai dengan peraturan perundangan.

b) Dokumen,  data     dan/informasi     terkait     pasien dimusnahkan                          setelah    melampaui    periode    waktu penyimpanan                        sesuai   dengan   peraturan   perundang- undangan dengan prosedur yang tidak membahayakan keamanan dan kerahasiaan.

c) Dokumen, data  dan/atau  informasi  tertentu  terkait pasien yang bernilai guna,  disimpan abadi (permanen) sesuai dengan ketetapan rumah sakit.

22)  Standar MRMIK 12

Dalam upaya perbaikan kinerja, rumah sakit secara teratur melakukan evaluasi atau pengkajian rekam medis.

23)  Maksud dan tujuan MRMIK 12

Setiap  rumah  sakit  sudah  menetapkan  isi  dan  format rekam medis pasien dan mempunyai proses untuk melakukan pengkajian terhadap isi dan kelengkapan berkas rekam  medis.  Proses  tersebut  merupakan  bagian  dari kegiatan peningkatan kinerja rumah sakit yang dilaksanakan secara berkala. Pengkajian rekam medis berdasarkan sampel yang mewakili PPA yang memberikan pelayanan dan jenis pelayanan yang diberikan.

Proses pengkajian dilakukan oleh komite/tim rekam medis melibatkan tenaga medis, keperawatan, serta PPA lainnya yang  relevan  dan  mempunyai  otorisasi  untuk  mengisi rekam medis pasien. Pengkajian berfokus pada ketepatan waktu,  kelengkapan,  keterbacaan,  keabsahan  dan ketentuan lainnya seperti informasi klinis yang ditetapkan rumah sakit. Isi rekam medis yang dipersyaratkan oleh peraturan perundangan dimasukkan dalam proses evaluasi rekam medis. Pengkajian rekam medis di rumah sakit tersebut dilakukan terhadap rekam medis pasien yang sedang dalam perawatan dan pasien yang sudah pulang. Hasil   pengkajian   dilaporkan   secara   berkala   kepada pimpinan rumah sakit dan selanjutnya dibuat upaya perbaikan.

24)  Elemen Penilaian MRMIK 12

a) Rumah sakit menetapkan komite/tim rekam medis.

b) Komite/tim  secara   berkala   melakukan   pengkajian rekam medis pasien secara berkala setiap tahun dan menggunakan sampel yang mewakili (rekam medis pasien yang masih dirawat dan pasien yang sudah pulang).

c) Fokus  pengkajian   paling   sedikit   mencakup   pada ketepatan   waktu,   keterbacaan,   kelengkapan   rekam medis  dan  isi  rekam  medis  sesuai  dengan peraturan perundangan.

d) Hasil pengkajian yang dilakukan oleh komite/tim rekam medis dilaporkan kepada pimpinan rumah sakit dan dibuat upaya perbaikan.

e) Teknologi Informasi Kesehatan di Pelayanan Kesehatan

1)    Standar MRMIK 13

Rumah sakit menerapkan sistem teknologi informasi kesehatan di pelayanan kesehatan untuk mengelola data dan  informasi  klinis  serta non  klinis  sesuai  peraturan perundang-undangan.

2)    Maksud dan Tujuan MRMIK 13

Sistem teknologi informasi di pelayanan kesehatan merupakan seperangkat tatanan yang meliputi data, informasi, indikator, prosedur, teknologi, perangkat dan sumber daya manusia yang saling berkaitan dan dikelola secara terpadu untuk mengarahkan tindakan atau keputusan yang berguna dalam mendukung peningkatan mutu pelayanan dan pembangunan kesehatan. Untuk mendapatkan hasil yang optimal dalam pencapaian sistem informasi  kesehatan  diperlukan  SIMRS  yang  menjadi media berupa sistem teknologi informasi komunikasi yang memproses dan mengintegrasikan seluruh alur proses pelayanan  Rumah  Sakit  dalam  bentuk  jaringan koordinasi,  pengumpulan  data,  pelaporan dan prosedur administrasi  untuk  memperoleh  informasi  secara  tepat dan akurat.

Dalam pengembangan sistem informasi kesehatan, rumah sakit harus mampu meningkatkan dan mendukung proses pelayanan kesehatan yang meliputi:

a) Kecepatan, akurasi, integrasi, peningkatan pelayanan, peningkatan efisiensi,  kemudahan  pelaporan  dalam pelaksanaan operasional

b) Kecepatan  mengambil    keputusan,    akurasi    dan kecepatan identifikasi masalah dan kemudahan dalam penyusunan   strategi  dalam  pelaksanaan  manajerial; dan

c) Budaya kerja,  transparansi,  koordinasi  antar  unit, pemahaman sistem dan pengurangan biaya adminstrasi dalam pelaksanaan organisasi

Apabila sistem informasi kesehatan yang dimiliki oleh rumah sakit sudah tidak sesuai dengan kebutuhan operasional dalam menunjang mutu pelayanan, maka dibutuhkan pengembangan sistem informasi kesehatan yang mendukung mutu pelayanan agar lebih optimal dengan memperhatikan peraturan yang ada. Sistem teknologi  informasi  rumah  sakit  harus  dikelola  secara efektif dan komprehensif serta terintegrasi.

Individu yang mengawasi sistem teknologi informasi kesehatan bertanggung jawab atas setidaknya hal-hal berikut:

a) Merekomendasikan ruang,  peralatan,  teknologi,  dan sumber daya lainnya kepada pimpinan rumah sakit untuk mendukung sistem teknologi informasi di rumah sakit.

b) Mengkoordinasikan dan melakukan kegiatan pengkajian risiko untuk   menilai   risiko   keamanan   informasi, memprioritaskan risiko, dan mengidentifikasi perbaikan.

c) Memastikan bahwa  staf  di  rumah  sakit  telah  dilatih tentang               keamanan   informasi   dan   kebijakan   serta prosedur yang berlaku.

d) Mengidentifikasi  pengukuran   untuk   menilai   sistem contohnya penilaian terhadap efektifitas sistem rekam medis elektronik bagi staf dan pasien.

3)    Elemen Penilaian MRMIK 13

a) Rumah  sakit      menetapkan      regulasi      tentang penyelenggaraan teknologi informasi kesehatan

b) Rumah  sakit   menerapkan   SIMRS   sesuai   dengan ketetapan dan peraturan perundangan yang berlaku.

c) Rumah sakit menetapkan unit yang bertanggung jawab sebagai penyelenggara SIMRS dan dipimpim oleh staf kompeten.

d) Data serta informasi klinis dan non klinis diintegrasikan sesuai dengan     kebutuhan     untuk     mendukung pengambilan keputusan

e) Rumah sakit telah menerapkan proses untuk menilai efektifitas sistem  rekam  medis  elektronik  dan melakukan upaya perbaikan terkait hasil penilaian yang ada.

4)    Standar MRMIK 13.1

Rumah sakit mengembangkan, memelihara, dan menguji program untuk mengatasi waktu henti (downtime) dari sistem data, baik yang terencana maupun yang tidak terencana.

5)    Maksud dan tujuan MRMIK 13.1

Sistem    data    adalah    bagian    yang    penting    dalam memberikan perawatan/ pelayanan pasien yang aman dan bermutu  tinggi.  Interupsi  dan  kegagalan  sistem  data adalah kejadian yang tidak bisa dihindari. Interupsi ini sering disebut sebagai waktu henti (down time), baik yang terencana  maupun  tidak  terencana.  Waktu  henti,  baik yang   direncanakan   atau   tidak   direncanakan,   dapat memengaruhi  seluruh  sistem  atau  hanya  memengaruhi satu aplikasi saja. Komunikasi adalah elemen penting dari strategi kesinambungan pelayanan selama waktu henti. Pemberitahuan  tentang  waktu  henti  yang  direncanakan memungkinkan dilakukannya persiapan yang diperlukan untuk  memastikan  bahwa  operasional  dapat  berlanjut dengan cara yang aman dan efektif. Rumah sakit memiliki suatu perencanaan untuk mengatasi waktu henti (down time),   baik  yang   terencana  maupun  tidak  terencana dengan melatih staf tentang prosedur alternatif, menguji program pengelolaan gawat darurat yang dimiliki rumah sakit,  melakukan  pencadangan  data  terjadwal  secara teratur, dan menguji prosedur pemulihan data

6)    Elemen Penilaian MRMIK 13.1

a) Terdapat prosedur  yang  harus  dilakukan  jika  terjadi waktu henti sistem data (down time) untuk mengatasi masalah pelayanan.

b) Staf dilatih dan memahami perannya di dalam prosedur penanganan waktu henti sistem data (down time), baik yang terencana maupun yang tidak terencana.

c) Rumah sakit  melakukan  evaluasi  pasca  terjadinya waktu henti sistem data (down time) dan menggunakan informasi dari  data  tersebut  untuk  persiapan  dan perbaikan    apabila  terjadi  waktu  henti  (down   time) berikutnya.

  1. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) Gambaran umum

Tujuan program pencegahan dan pengendalian infeksi adalah untuk mengidentifikasi dan menurunkan risiko   infeksi yang didapat dan ditularkan di antara pasien, staf, tenaga kesehatan, tenaga kontrak, sukarelawan, mahasiswa dan pengunjung. Risiko dan kegiatan dalam program PPI dapat berbeda dari satu rumah sakit ke rumah sakit yang  lain,  tergantung  pada  kegiatan  dan pelayanan klinis rumah sakit, populasi pasien yang dilayani, lokasi geografis, jumlah pasien dan jumlah staf. Prioritas program sebaiknya mencerminkan risiko yang telah teridentifikasi tersebut, perkembangan global dan masyarakat setempat, serta kompleksitas dari pelayanan yang diberikan. Penyelenggaraan program pencegahan dan pengendalian infeksi (PPI) dikelola oleh Komite / Tim PPI yang ditetapkan oleh Direktur rumah sakit. Agar kegiatan PPI dapat dilaksanakan secara efektif maka dibutuhkan kebijakan dan prosedur, pelatihan dan pendidikan  staf,  metode  identifikasi  risiko  infeksi  secara  proaktif pada individu dan lingkungan serta koordinasi ke semua bagian di rumah sakit.

Fokus Standar Pencegahan dan pengendalian infeksi (PPI) meliputi:

    1. Penyelenggaraan PPI di Rumah Sakit b.    Program PPI
    2. Pengkajian Risiko
    3. Peralatan medis dan/atau Bahan Medis Habis Pakai (BMHP)
    4. Kebersihan lingkungan f.     Manajemen linen
    5. Limbah infeksius
    6. Pelayanan makanan
    7. Risiko infeksi pada konstruksi dan renovasi j.     Penularan infeksi
    8. Kebersihan Tangan
    9. Peningkatan mutu dan program edukasi m.   Edukasi, Pendidikan dan Pelatihan
    10. Penyelenggaraan PPI di Rumah Sakit

1)    Standar PPI 1

Rumah  sakit  menetapkan  Komite/Tim  PPI  untuk melakukan pengkajian, perencanaan, pelaksanaan, pemantauan,  dan  evaluasi  kegiatan  PPI  di  rumah  sakit serta   menyediakan   sumber   daya   untuk   mendukung program pencegahan dan pengendalian infeksi

2)    Standar PPI 1.1

Direktur rumah sakit menetapkan Komite/Tim PPI untuk mengelola dan mengawasi kegiatan PPI disesuaikan dengan jenis   pelayanan,   kebutuhan,   beban   kerja,   dan/atau klasifikasi rumah sakit sesuai sesuai peraturan perundang undangan. Komite/Tim PPI dipimpin oleh seorang tenaga medis  yang  mempunyai  pengalaman  klinis,  pengalaman pencegahan    dan    pengendalian    infeksi    (PPI)    serta kepemimpinan        sehingga        dapat        mengarahkan, mengimplementasikan,     dan     mengukur     perubahan. Kualifikasi Ketua  Komite/Tim PPI  dapat  dipenuhi melalui pendidikan dan pelatihan, sertifikasi atau surat izin. Komite/tim  PPI  melibatkan  staf  klinis  dan  non  klinis, meliputi  perawat  PPI/IPCN,  staf  di  bagian  pemeliharaan fasilitas,      dapur,      kerumahtanggaan      (tata      graha), laboratorium, farmasi, ahli epidemiologi, ahli statistik, ahli mikrobiologi, staf sterilisasi (CSSD) serta staf bagian umum. Tergantung pada besar kecilnya ukuran rumah sakit dan kompleksitas layanan sesuai dengan peraturan perundang- undangan.

Komite/tim PPI menetapkan mekanisme dan koordinasi termasuk berkomunikasi dengan semua pihak di rumah sakit untuk memastikan program berjalan efektif dan berkesinambungan.

Mekanisme koordinasi ditetapkan secara priodik untuk melaksanakan program PPI dengan melibatkan pimpinan rumah sakit dan Komite/Tim PPI. Koordinasi tersebut meliputi:

a) Menetapkan  kriteria   untuk   mendefinisikan   infeksi terkait pelayanan kesehatan;

b) Menetapkan metode pengumpulan data (surveilans);

c) Membuat strategi  untuk  menangani  risiko  PPI,  dan pelaporannya; dan

d) Berkomunikasi dengan semua unit untuk memastikan bahwa program berkelanjutan dan proaktif.

Hasil koordinasi didokumentasikan untuk meninjau efektivitas   koordinasi   program   dan   untuk   memantau adanya perbaikan progresif.

Rumah sakit menetapkan perawat PPI/IPCN (perawat pencegah  dan  pengendali  infeksi)  yaitu  perawat  yang bekerja penuh waktu) dan IPCLN (perawat penghubung pencegah dan pengendali infeksi)  berdasarkan jumlah dan kualifikasinya sesuai dengan ukuran rumah sakit, kompleksitas kegiatan, tingkat risiko, cakupan program dan peraturan perundang undangan. Kualifikasi pendidikan perawat tersebut minimal D-3 keperawatan dan sudah mengikuti pelatihan  perawat PPI.

Dalam melaksanakan kegiatan program PPI yang berkesinambungan secara effektif dan  effisien diperlukan dukungan sumber daya meliputi tapi tidak terbatas pada:

a) Ketersedian anggaran;

b) Sumber daya manusia yang terlatih;

c) Sarana prasarana  dan  perbekalan,  untuk  mencuci tangan               berbasis   alkohol   (handrub),   dan   mencuci tangan              dengan  air  mengalir  (handwash),  kantong pembuangan sampah infeksius dll;

d) Sistem  manajemen   informasi   untuk   mendukung penelusuran                      risiko,  angka,  dan  tren  infeksi  yang terkait dengan pelayanan kesehatan; dan

e) Sarana penunjang lainnya untuk menunjang kegiatan PPI yang dapat mempermudah kegiatan PPI.

Informasi dan data kegiatan PPI akan dintegrasikan ke Komite/ Tim Penyelenggara Mutu untuk peningkatan mutu dan keselamatan pasien rumah sakit oleh Komite / tim PPI setiap bulan.

3)    Elemen Penilaian PPI 1

a) Direktur rumah sakit telah menetapkan regulasi PPI meliputi a – m pada gambaran umum.

b) Direktur rumah  sakit  telah  menetapkan  komite/tim PPI untuk untuk mengelola dan mengawasi kegiatan PPI di rumah sakit.

c) Rumah sakit telah menerapkan mekanisme koordinasi yang melibatkan    pimpinan    rumah    sakit    dan komite/tim PPI untuk melaksanakan program PPI sesuai dalam maksud dan tujuan.

d) Direktur rumah sakit memberikan dukungan sumber daya terhadap penyelenggaraan kegiatan PPI meliputi namun tidak terbatas pada maksud dan tujuan.

4)    Elemen Penialian PPI 1.1

a) Rumah sakit  menetapkan  perawat  PPI/IPCN  purna waktu dan IPCLN berdasarkan jumlah dan kualifikasi sesuai ukuran rumah sakit, kompleksitas kegiatan, tingkat risiko, cakupan program dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

b) Ada bukti perawat PPI/IPCN melaksanakan supervisi pada semua kegiatan pencegahan dan pengendalian infeksi di rumah sakit.

c) Program PPI

1)    Standar PPI 2

Rumah sakit menyusun dan menerapkan program PPI yang terpadu   dan   menyeluruh   untuk   mencegah   penularan infeksi terkait pelayanan kesehatan berdasarkan pengkajian risiko secara proaktif setiap tahun.

2)    Maksud dan Tujuan PPI 2

Secara  prinsip,  kejadian  HAIs  sebenarnya  dapat  dicegah bila fasilitas pelayanan kesehatan secara konsisten melaksanakan program PPI.

Pelaksanaan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Fasilitas Pelayanan Kesehatan bertujuan untuk melindungi pasien, petugas kesehatan, pengunjung yang menerima pelayanan  kesehatan  serta  masyarakat dalam lingkungannya  dengan  cara  memutus  siklus  penularan penyakit infeksi melalui kewaspadaan Isolasi terdiri dari kewaspadaan standar dan berdasarkan transmisi.

a) Kesebelas kewaspadaan standar tersebut yang harus di terapkan di rumah sakit adalah:

(1)   Kebersihan tangan

(2)   Alat Pelindung diri

(3)   Dekontaminasi peralatan perawatan pasien

(4)   Pengendalian lingkungan

(5)   Pengelolaan limbah

(6)   Penatalaksanaan linen

(7)   Perlindungan kesehatan petugas

(8)   Penempatan pasien

(9)   Kebersihan pernafasan/etika batuk dan bersin

(10) Praktik menyuntik yang aman

(11) Praktik lumbal pungsi yang aman

b)    Kewaspadaan Transmisi

Kewaspadaan  berdasarkan transmisi  sebagai tambahan Kewaspadaan Standar yang dilaksanakan sebelum pasien didiagnosis dan setelah terdiagnosis jenis infeksinya. Jenis kewaspadaan berdasarkan transmisi sebagai berikut:

(1)   Melalui kontak

(2)   Melalui droplet

(3)   Melalui udara (Airborne Precautions)

3)    Elemen Penilaian PPI 2

a) Rumah sakit menetapkan kebijakan Program PPI yang terdiri dari kewaspadaan standar dan kewaspadaan transmisi sesuai maksud dan tujuan diatas.

b) Rumah  sakit    melakukan    evaluasi    pelaksanaan program PPI.

Pengkajian Risiko

1)    Standar PPI 3

Rumah   sakit   melakukan   pengkajian   proaktif   setiap tahunnya sebagai dasar penyusunan program PPI terpadu untuk mencegah penularan infeksi terkait pelayanan kesehatan.

2)    Maksud dan Tujuan PPI 3

Risiko   infeksi   dapat   berbeda   antara   rumah   sakit, tergantung ukuran rumah sakit, kompleksitas pelayanan dan  kegiatan  klinisnya,  populasi  pasien  yang  dilayani, lokasi geografis, volume pasien, dan jumlah staf yang dimiliki.

Rumah sakit secara proaktif setiap tahun melakukan pengkajian risiko pengendalian infeksi (ICRA) terhadap tingkat dan kecenderungan infeksi layanan kesehatan yang akan menjadi prioritas fokus Program PPI dalam upaya pencegahan dan penurunan risiko.   Pengkajian risiko tersebut meliputi namun tidak terbatas pada:

a) Infeksi-infeksi yang penting secara epidemiologis yang merupakan data surveilans;

b) Proses kegiatan  di  area-area  yang  berisiko  tinggi terjadinya infeksi;

c) Pelayanan yang menggunakan peralatan yang berisiko infeksi;

d) Prosedur/tindakan-tindakan berisiko tinggi;

e)    Pelayanan distribusi linen bersih dan kotor;

f)     Pelayanan sterilisasi alat;

g) Kebersihan permukaan dan lingkungan;

h) Pengelolaan linen/laundri;

i) Pengelolaan sampah;

j) Penyediaan makanan; dan

k) Pengelolaan kamar jenazah

Data   surveilans   dikumpulkan   di   rumah   sakit   secara periodik dan dianalisis setiap triwulan. Data surveilans ini meliputi:

a) Saluran pernapasan  seperti  prosedur  dan  tindakan terkait                intubasi,     bantuan     ventilasi     mekanis, trakeostomi, dan lain-lain;

b) Saluran kemih seperti kateter, pembilasan urine, dan lain lain;

c) Alat invasif intravaskular, saluran vena verifer, saluran vena sentral, dan lain-lain

d) Lokasi operasi, perawatan, pembalutan luka, prosedur aseptik, dan lain-lain;

e) Penyakit dan  organisme  yang  penting  dari  sudut epidemiologik seperti Multidrug Resistant Organism dan infeksi yang virulen; dan

f) Timbul nya penyakit infeksi baru atau timbul kembali penyakit infeksi di masyarakat (Emerging and or Re- Emerging Disease).

Berdasarkan hasil  pengkajian risiko pengendalian infeksi (ICRA), Komite/Tim PPI menyusun Program PPI rumah sakit setiap tahunnya.

Program pencegahan dan pengendalian infeksi harus komprehensif, mencakup risiko infeksi bagi pasien maupun staf yang meliputi:

a) Identifikasi dan penanganan:

(1)    Masalah infeksi yang penting secara epidemiologis seperti data surveilans

(2)    Infeksi  yang  dapat  memberikan  dampak  bagi pasien, staf dan pengunjung:

b) Strategi lintas unit: kegiatan di area-area yang berisiko tinggi terjadinya infeksi;

c) Kebersihan tangan;

d) Pengawasan  untuk      peningkatan      penggunaan antimikroba yang aman serta memastikan penyiapan obat yang aman;

e) Investigasi wabah penyakit menular;

f) Penerapan program vaksinasi untuk staf dan pasien:

g) Pelayanan  sterilisasi    alat    dan    pelayanan    yang menggunakan peralatan yang berisiko infeksi;

h) Pembersihan permukaan dan kebersihan lingkungan;

i) Pengelolaan linen/laundri;

j) Pengelolaan sampah;

k) Penyediaan makanan; dan

l) Pengelolaan di kamar jenazah.

Rumah sakit juga melakukan kaji banding  angka kejadian dan tren di rumah sakit lain yang setara. Ilmu  pengetahuan  terkait  pengendalian  infeksi  melalui pedoman praktik klinik, program pengawasan antibiotik, program PPI dan pembatasan penggunaan peralatan invasif yang tidak diperlukan telah diterapkan untuk menurunkan tingkat infeksi secara signifikan.

Penanggung jawab program menerapkan intervensi berbasis bukti untuk meminimalkan risiko infeksi. Pemantauan yang berkelanjutan untuk risiko yang teridentifikasi dan intervensi pengurangan risiko dipantau efektivitasnya, termasuk perbaikan yang progresif dan berkelanjutan, serta apakah sasaran program perlu diubah berdasarkan keberhasilan dan tantangan yang muncul dari data pemantauan.

3)    Elemen Penilaian PPI 3

a) Rumah sakit   secara   proaktif   telah   melaksanakan pengkajian risiko pengendalian infeksi (ICRA) setiap tahunnya terhadap tingkat dan kecenderungan infeksi layanan kesehatan sesuai poin a) – k) pada maksud dan    tujuan   dan   selanjutnya   menggunakan   data tersebut   untuk     membuat     dan     menentukan prioritas/fokus pada Program PPI.

b) Rumah sakit  telah  melaksanakan  surveilans  data secara periodik dan dianalisis setiap triwulan meliputi a) – f) dalam maksud dan tujuan.

Peralatan medis dan/atau Bahan Medis Habis Pakai

1)    Standar PPI. 4

Rumah sakit mengurangi risiko infeksi terkait peralatan medis dan/atau bahan medis habis pakai (BMHP) dengan memastikan kebersihan, desinfeksi, sterilisasi, dan penyimpanan yang memenuhi syarat.

2)    Maksud dan Tujuan PPI. 4

Prosedur/tindakan yang menggunakan peralatan medis dan/atau bahan medis habis pakai (BMHP), dapat menjadi sumber utama   patogen   yang   menyebabkan   infeksi. Kesalahan dalam membersihkan, mendesinfeksi, maupun mensterilisasi, serta penggunaan maupun penyimpanan yang tidak layak dapat berisiko penularan infeksi. Tenaga Kesehatan harus mengikuti standar yang ditetapkan dalam melakukan kebersihan, desinfeksi, dan sterilisasi. Tingkat disinfeksi  atau  sterilisasi  tergantung  pada  kategori peralatan  medis     dan/atau  bahan  medis  habis  pakai (BMHP):

a) Tingkat 1  –  Kritikal:  Benda  yang  dimasukkan  ke jaringan yang normal steril atau ke sistem vaskular dan membutuhkan sterilisasi.

b) Tingkat 2  –  Semi-kritikal:  Benda  yang  menyentuh selaput lendir   atau   kulit   yang   tidak   intak   dan membutuhkan disinfeksi tingkat tinggi.

c) Tingkat 3 – Non-kritikal: Benda yang menyentuh kulit intak tetapi  tidak  menyentuh  selaput  lendir,  dan membutuhkan disinfeksi tingkat rendah.

Pembersihan dan disinfeksi tambahan dibutuhkan untuk peralatan  medis     dan/atau  bahan  medis  habis  pakai (BMHP) yang digunakan pada pasien yang diisolasi sebagai bagian dari kewaspadaan berbasis transmisi.

Pembersihan, desinfeksi, dan sterilisasi dapat dilakukan di area CSSD atau, di area lain di rumah sakit dengan pengawasan.  Metode  pembersihan,  desinfeksi,  dan sterilisasi dilakukan sesuai standar dan seragam di semua area rumah sakit.

Staf yang memroses peralatan medis dan/atau BMHP harus mendapatkan pelatihan. Untuk mencegah kontaminasi, peralatan medis dan/atau BMHP bersih dan steril disimpan di area penyimpanan yang telah ditetapkan, bersih dan kering serta terlindung dari debu, kelembaban, dan perubahan  suhu  yang  drastis.  Idealnya, peralatan medis dan BMHP disimpan terpisah dan area penyimpanan steril memiliki akses terbatas.

3)    Elemen Penilaian PPI. 4

a) Rumah sakit telah menerapkan pengolahan sterilisasi mengikuti peraturan perundang-undangan.

b) Staf yang memroses peralatan medis dan/atau BMHP telah diberikan    pelatihan    dalam    pembersihan, desinfeksi, dan sterilisasi serta mendapat pengawasan.

c) Metode  pembersihan,   desinfeksi,   dan   sterilisasi dilakukan secara seragam di semua area di rumah sakit.

d) Penyimpanan peralatan medis dan/atau BMHP bersih dan steril disimpan dengan baik di area penyimpanan yang ditetapkan, bersih dan kering dan terlindungi dari debu, kelembaban,   serta   perubahan   suhu   yang ekstrem.

e) Bila sterilisasi dilaksanakan di luar rumah sakit harus dilakukan oleh lembaga yang memiliki sertifikasi mutu dan ada kerjasama yang menjamin kepatuhan proses sterilisasi sesuai dengan peraturan perundang- undangan.

4)    Standar PPI 4.1

Rumah  sakit  mengidentifikasi  dan  menetapkan  proses untuk mengelola peralatan medis dan/atau bahan medis habis pakai (BMHP) yang sudah kadaluwarsa dan penggunaan  ulang  (reuse)  alat  sekali-pakai  apabila diizinkan.

5)    Maksud dan Tujuan PPI. 4.1

Rumah sakit menetapkan regulasi untuk melaksanakan proses mengelola peralatan medis dan/atau BMHP yang sudah habis waktu pakainya. Rumah sakit menetapkan penggunaan kembali peralatan medis sekali pakai dan/atau BMHP sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan standar profesional. Beberapa alat medis sekali pakai dan/atau BMHP dapat digunakan lagi dengan persyaratan spesifik tertentu.   Rumah sakit menetapkan ketentuan tentang penggunaan kembali alat medis sekali pakai sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan standar profesional meliputi:

a) Alat dan material yang dapat dipakai kembali;

b) Jumlah maksimum pemakaian ulang dari setiap alat secara spesifik;

c) Identifikasi  kerusakan    akibat    pemakaian    dan keretakan yang menandakan alat tidak dapat dipakai;

d) Proses pembersihan setiap alat yang segera dilakukan sesudah pemakaian dan mengikuti protokol yang jelas;

e) Pencantuman identifikasi  pasien  pada  bahan  medis habis pakai untuk hemodialisis;

f) Pencatatan bahan  medis  habis  pakai  yang  reuse  di rekam medis; dan

g) Evaluasi untuk  menurunkan  risiko  infeksi  bahan medis habis pakai yang di-reuse.

Ada 2 (dua) risiko jika menggunakan lagi (reuse) alat sekali pakai.            Terdapat  risiko  tinggi  terkena  infeksi  dan  juga terdapat risiko kinerja alat tidak cukup atau tidak dapat terjamin sterilitas serta fungsinya Dilakukan pengawasan terhadap proses untuk memberikan atau mencabut persetujuan       penggunaan kembali alat medis sekali pakai yang diproses ulang. Daftar alat  sekali pakai yang disetujui untuk digunakan kembali diperiksa secara rutin untuk memastikan bahwa daftar tersebut akurat dan terkini.

6)    Elemen Penilaian PPI .4.1

a) Rumah sakit menetapkan peralatan medis dan/atau BMHP yang dapat digunakan ulang meliputi a) – g) dalam maksud dan tujuan.

b) Rumah sakit  menggunakan  proses    terstandardisasi untuk menentukan kapan peralatan medis dan/atau BMHP yang digunakan ulang sudah tidak aman atau tidak layak digunakan ulang.

c) Ada bukti  pemantauan,  evaluasi,  dan  tindak  lanjut pelaksanaan penggunaan kembali (reuse) peralatan medis dan/atau BMHP meliputi  a) – g) dalam maksud dan tujuan.

Kebersihan Lingkungan

1)    Standar PPI. 5

Rumah sakit mengidentifikasi dan menerapkan standar PPI yang diakui untuk pembersihan dan disinfeksi permukaan dan lingkungan.

2)    Maksud dan Tujuan PPI. 5

Patogen pada permukaan dan di seluruh lingkungan berperan terjadinya penyakit yang didapat di rumah sakit (hospital-acquired  illness)  pada  pasien,  staf,  dan pengunjung. Proses pembersihan dan disinfeksi lingkungan meliputi pembersihan lingkungan rutin yaitu pembersihan harian kamar pasien dan area perawatan, ruang tunggu dan ruang publik lainnya, ruang kerja staf, dapur, dan lain sebagainya.

Rumah sakit menetapkan frekuensi pembersihan, peralatan dan cairan pembersih yang digunakan, staf yang bertanggung jawab untuk pembersihan, dan kapan suatu area membutuhkan pembersihan lebih sering. Pembersihan terminal dilakukan setelah pemulangan pasien; dan dapat ditingkatkan jika pasien diketahui atau diduga menderita infeksi menular sebagaimana diindikasikan oleh standar pencegahan dan pengendalian infeksi. Hasil pengkajian risiko akan menentukan area berisiko tinggi yang memerlukan pembersihan dan disinfeksi tambahan; misalnya area ruang operasi, CSSD, unit perawatan intensif neonatal, unit luka bakar, dan unit lainnya. Pembersihan dan disinfeksi lingkungan dipantau misalnya keluhan dan pujian dari pasien dan keluarga,   menggunakan penanda fluoresens untuk memeriksa patogen residual.

3)    Elemen Penilaian PPI. 5

a) Rumah sakit menerapkan prosedur pembersihan dan disinfeksi permukaan dan  lingkungan sesuai standar PPI

b) Rumah  sakit    melaksanakan    pembersihan    dan desinfeksi                     tambahan    di    area    berisiko    tinggi berdasarkan hasil pengkajian risiko

c) Rumah sakit  telah  melakukan  pemantauan  proses pembersihan dan disinfeksi lingkungan.

Manajemen Linen

Rumah  sakit  menerapkan  pengelolaan  linen/laundry  sesuai prinsipi PPI dan peraturan perundang undangan

1)    Maksud dan Tujuan PPI 6

Penanganan   linen, dan laundry di rumah sakit meliputi pengumpulan, pemilahan, pencucian, pengeringan, pelipatan,  distribusi,  dan  penyimpanan..  Rumah  sakit

mengidentifikasi  area  di  mana  staf  harus  untuk mengenakan APD sesuai prinsip PPI dan peraturan perundang undangan.

2)    Elemen Penilaian PPI.6

a) Ada  unit    kerja    pengelola    linen/laundry    yang menyelenggarakan   penatalaksanaan   sesuai   dengan peraturan perundang-undangan.

b) Prinsip-prinsip  PPI   diterapkan   pada   pengelolaan linen/laundry, termasuk pemilahan, transportasi, pencucian, pengeringan, penyimpanan, dan distribusi

c) Ada bukti supervisi oleh IPCN terhadap pengelolaan linen/laundry sesuai dengan prinsip PPI termasuk bila dilaksanakan oleh pihak luar rumah sakit.

Limbah infeksius

1)    Standar PPI.7

Rumah sakit mengurangi risiko infeksi melalui pengelolaan limbah infeksius sesuai peraturan perundang undangan

2)    Standar PPI.7.1

Rumah sakit menetapkan pengelolaan kamar mayat dan kamar bedah mayat sesuai dengan peraturan perundang- undangan

3)    Standar PPI 7.2

Rumah sakit menetapkan pengelolaan limbah benda tajam dan jarum secara aman.

4)    Maksud dan Tujuan PPI.7 , PPI 7,1, PPI 7,2

Setiap hari rumah sakit banyak menghasilkan limbah, termasuk limbah infeksius. Pembuangan limbah infeksius dengan tidak benar dapat menimbulkan risiko infeksi di rumah sakit. Hal ini nyata terjadi pada pembuangan cairan tubuh dan material terkontaminasi dengan cairan tubuh, pembuangan  darah  dan  komponen  darah,  serta pembuangan limbah dari lokasi kamar mayat dan kamar bedah mayat (post mortem). Pemerintah mempunyai regulasi terkait dengan penanganan limbah infeksius dan limbah cair, sedangkan rumah sakit diharapkan melaksanakan ketentuan   tersebut   sehingga   dapat   mengurangi   risiko infeksi di rumah sakit.

Rumah sakit menyelenggaraan pengelolaan limbah dengan benar untuk meminimalkan risiko infeksi melalui kegiatan sebagai berikut:

a) Pengelolaan limbah cairan tubuh infeksius;

b) Penanganan dan pembuangan darah serta komponen darah;

c) Pemulasaraan jenazah dan bedah mayat;

d) Pengelolaan limbah cair;

e) Pelaporan pajanan limbah infeksius.

Salah satu bahaya luka karena tertusuk jarum suntik adalah  terjadi  penularan  penyakit  melalui  darah  (blood borne diseases). Pengelolaan limbah benda tajam dan jarum yang tidak benar merupakan kekhawatiran staf terhadap keamanannya. Kebiasaan bekerja sangat memengaruhi timbulnya risiko menderita luka dan kemungkinan terpapar penyakit secara potensial. Identifikasi dan melaksanakan kegiatan praktik berdasar atas bukti sahih (evidence based) menurunkan risiko luka karena tertusuk jarum dan benda tajam. Rumah sakit perlu mengadakan edukasi kepada staf bagaimana  mengelola  dengan  aman  benda  tajam  dan jarum. Pembuangan yang benar adalah dengan menggunakan wadah menyimpan khusus (safety box) yang dapat ditutup, antitertusuk, dan antibocor baik di dasar maupun di sisinya sesuai dengan peraturan perundangan. Wadah ini harus tersedia dan mudah dipergunakan oleh staf serta wadah tersebut tidak boleh terisi terlalu penuh.Pembuangan jarum yang tidak terpakai, pisau bedah (scalpel), dan limbah benda tajam lainnya jika tidak dilakukan dengan benar akan berisiko terhadap kesehatan masyarakat umumnya dan terutama pada mereka yang bekerja di pengelolaan sampah. Pembuangan wadah berisi limbah benda tajam di laut, misalnya akan menyebabkan risiko pada masyarakat karena wadah dapat rusak atau terbuka. Rumah sakit menetapkan regulasi yang memadai mencakup  semua  tahapan  proses,  termasuk  identifikasi jenis dan penggunaan wadah secara tepat, pembuangan wadah, dan surveilans proses pembuangan

5)    Elemen Penilaian PPI. 7

a) Rumah sakit  telah  menerapkan  pengelolaan  limbah rumah sakit untuk meminimalkan risiko infeksi yang meliputi a) – e) pada maksud dan tujuan.

b) Penanganan dan pembuangan darah serta komponen darah sesuai dengan regulasi, dipantau dan dievaluasi, serta di tindak lanjutnya.

c) Pelaporan pajanan  limbah  infeksius  sesuai  dengan regulasi dan dilaksanakan pemantauan, evaluasi, serta tindak lanjutnya.

d) Bila pengelolaan limbah dilaksanakan oleh pihak luar rumah sakit harus berdasar atas kerjasama dengan pihak yang memiliki izin dan sertifikasi mutu sesuai dengan peraturan perundang-undangan

6)    Elemen Penilaian PPI 7.1

a) Pemulasaraan jenazah dan bedah mayat sesuai dengan regulasi.

b) Ada bukti kegiatan kamar mayat dan kamar  bedah mayat sudah   dikelola   sesuai   dengan    peraturan perundang-undangan.

c) Ada bukti  pemantauan  dan  evaluasi,  serta  tindak lanjut kepatuhan prinsip-prinsip PPI sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

7)    Standar PPI 7.2

Rumah sakit menetapkan pengelolaan limbah benda tajam dan jarum secara aman.

8)    Maksud dan Tujuan PPI 7.2

Salah satu bahaya luka karena tertusuk jarum suntik adalah  terjadi  penularan  penyakit  melalui  darah  (blood borne diseases). Pengelolaan limbah benda tajam dan jarum yang tidak benar merupakan kekhawatiran staf terhadap keamanannya. Kebiasaan bekerja sangat memengaruhi timbulnya risiko menderita luka dan kemungkinan terpapar penyakit secara potensial. Identifikasi dan melaksanakan kegiatan praktik berdasar atas bukti sahih (evidence based) menurunkan risiko luka karena tertusuk jarum dan benda tajam.

Rumah  sakit  perlu  mengadakan  edukasi  kepada  staf bagaimana  mengelola  dengan  aman  benda  tajam  dan jarum.     Pembuangan     yang     benar     adalah     dengan menggunakan wadah menyimpan khusus (safety box) yang dapat ditutup, antitertusuk, dan antibocor baik di dasar maupun di sisinya sesuai dengan peraturan perundangan. Wadah ini harus tersedia dan mudah dipergunakan oleh staf serta wadah tersebut tidak boleh terisi terlalu penuh. Pembuangan  jarum  yang  tidak  terpakai,  pisau  bedah (scalpel),  dan  limbah  benda  tajam  lainnya  jika  tidak dilakukan dengan benar akan berisiko terhadap kesehatan masyarakat  umumnya  dan  terutama  pada  mereka  yang bekerja di pengelolaan sampah. Pembuangan wadah berisi limbah benda tajam di laut, misalnya akan menyebabkan risiko pada masyarakat karena wadah dapat rusak atau terbuka. Rumah sakit menetapkan regulasi yang memadai mencakup:

a) Semua tahapan proses termasuk identifikasi jenis dan penggunaan wadah secara tepat, pembuangan wadah, dan surveilans proses pembuangan.

b) Laporan tertusuk jarum dan benda tajam.

9)    Elemen Penilaian PPI 7.2

a) Benda tajam dan jarum sudah dikumpulkan, disimpan di dalam  wadah  yang  tidak  tembus,  tidak  bocor, berwarna     kuning,    diberi    label    infeksius,    dan dipergunakan     hanya   sekali   pakai   sesuai   dengan peraturan perundangundangan.

b) Bila pengelolaan benda tajam dan jarum dilaksanakan oleh pihak luar rumah sakit harus berdasar atas kerjasama dengan   pihak   yang   memiliki   izin   dan sertifikasi mutu sesuai dengan peraturan perundang- undangan.

c) Ada bukti  data  dokumen  limbah  benda  tajam  dan jarum.

d) Ada bukti pelaksanaan supervisi dan pemantauan oleh IPCN  terhadap  pengelolaan  benda  tajam  dan  jarum sesuai dengan prinsip PPI, termasuk bila dilaksanakan oleh pihak luar rumah sakit.

e) Ada  bukti    pelaksanaan    pemantauan    kepatuhan prinsip-prinsip PPI sesuai regulasi.

Pelayanan Makanan

1)    Standar PPI 8

Rumah sakit mengurangi risiko infeksi terkait penyelenggaraan pelayanan makanan.

2)    Maksud dan Tujuan PPI 8

Penyimpanan dan persiapan makanan dapat menimbulkan penyaklit  seperti  keracunan  makanan  atau  infeksi makanan. Penyakit yang berhubungan dengan makanan dapat sangat berbahaya bahkan mengancam jiwa pada pasien   yang   kondisi   tubuhnya   sudah   lemah   karena penyakit atau cedera. Rumah sakit harus memberikan makanan dan juga produk nutrisi dengan aman, yaitu melakukan  peyimpanan  dan  penyiapan  makanan  pada suhu tertentu yang dapat mencegah perkembangan bakteri. Kontaminasi silang, terutama dari makanan mentah ke makanan yang sudah dimasak adalah salah satu sumber infeksi makanan. Kontaminasi silang dapat juga disebabkan oleh tangan yang terkontaminasi, permukaan meja, papan alas untuk memotong makanan, ataupun kain yang digunakan untuk mengelap permukaan meja atau mengeringkan  piring.  Selain  itu,  permukaan  yang digunakan untuk menyiapkan makanan; alat makan, perlengkapan masak, panci, dan wajan yang digunakan untuk  menyiapkan  makanan;  dan  juga  nampan,  piring, serta alat makan yang digunakan untuk menyajikan makanan  juga  dapat  menimbulkan  risiko infeksi apabila tidak dibersihkan dan disanitasi secara tepat.

Bangunan dapur harus sesuai dengan ketentuan yang meliputi alur mulai bahan makanan masuk sampai makanan jadi keluar, tempat penyimpanan bahan makanan kering dan basah dengan temperatur yang dipersyaratkan, tempat    persiapan    pengolahan,    tempat    pengolahan,

pembagian dan distribusi sesuai dengan peraturan dan perundangan termasuk kebersihan lantai.

Berdasar atas hal tersebut di atas maka rumah sakit agar menetapkan regulasi yang meliputi

    1. a) pelayanan  makanan   di   rumah   sakit   mulai   dari pengelolaan                        bahan     makanan,     sanitasi     dapur, makanan, alat masak, serta alat makan untuk mengurangi risiko infeksi dan kontaminasi silang;
    2. b) standar bangunan, fasilitas dapur, dan pantry sesuai dengan peraturan    perundangan    termasuk    bila makanan diambil dari sumber lain di luar rumah sakit.

3)    Elemen Penilaian PPI 8

a) Rumah sakit menetapkan regulasi tentang pelayanan makanan di rumah sakit yang meliputi a) – b) pada maksud dan tujuan.

b) Ada bukti  pelaksanaan  yang  penyimpanan  bahan makanan, pengolahan, pembagian/pemorsian, dan distribusi makanan sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

c) Ada bukti  pelaksanaan  penyimpanan  makanan  dan produk nutrisi   dengan   memperhatikan   kesehatan lingkungan meliputi   sanitasi,   suhu,   pencahayaan, kelembapan,     ventilasi,     dan     keamanan     untuk mengurangi risiko infeksi.

Risiko infeksi pada konstruksi dan renovasi

1)    Standar PPI 9

Rumah sakit menurunkan risiko infeksi pada fasilitas yang terkait  dengan  pengendalian  mekanis  dan  teknis (mechanical dan enginering controls) serta pada saat melakukan   pembongkaran,   konstruksi,   dan   renovasi gedung.

2)    Maksud dan Tujuan PPI 9

Pengendalian  mekanis  dan  teknis  (mechanical  dan enginering controls) seperti sistem ventilasi bertekanan positif, biological safety cabinet, laminary airflow hood, termostat di lemari pendingin, serta pemanas air untuk sterilisasi  piring  dan  alat  dapur  adalah  contoh  peran

penting standar pengendalian lingkungan harus diterapkan agar dapat diciptakan sanitasi yang baik yang selanjutnya mengurangi risiko infeksi di rumah sakit. Pembongkaran, konstruksi, renovasi gedung di area mana saja di rumah sakit   dapat   merupakan   sumber   infeksi.   Pemaparan terhadap debu dan kotoran konstruksi, kebisingan, getaran, kotoran,   dan   bahaya   lain   dapat   merupakan   bahaya potensial terhadap fungsi paru paru serta keamanan staf dan pengunjung. Rumah sakit meggunakan kriteria risiko untuk menangani dampak renovasi dan pembangunan gedung  baru,  terhadap  persyaratan  mutu  udara, pencegahan dan pengendalian infeksi, standar peralatan, syarat kebisingan, getaran, dan prosedur darurat. Untuk menurunkan risiko infeksi maka rumah sakit perlu mempunyai regulasi tentang penilaian risiko pengendalian infeksi (infection control risk assessment/ICRA) untuk pembongkaran, konstruksi, serta renovasi gedung di area mana saja di rumah sakit yang meliputi:

a) Identifikasi  tipe/jenis   konstruksi   kegiatan   proyek dengan kriteria;

b) Identifikasi kelompok risiko pasien;

c) Matriks pengendalian infeksi antara kelompok risiko pasien dan tipe kontruksi kegiatan;

d) Proyek untuk menetapkan kelas/tingkat infeksi;

e) Tindak  pengendalian      infeksi      berdasar      atas tingkat/kelas infeksi; dan

f) Pemantauan pelaksanaan.

Karena itu, rumah sakit agar mempunyai regulasi pengendalian mekanis dan teknis (mechanical dan engineering controls) fasilitas yang antara lain meliputi

a) Sistem ventilasi bertekanan positif;

b) Biological safety cabinet;

c) Laminary airflow hood;

d) Termostat di lemari pendingin; dan

e) Pemanas air untuk sterilisasi piring dan alat dapur.

3)    Elemen Penilaian PPI 9

a) Rumah sakit menerapkan pengendalian mekanis dan teknis (mechanical dan engineering control) minimal untuk fasilitas yang tercantum pada a) – e) pada maksud dan tujuan.

b) Rumah  sakit     menerapkan          penilaian     risiko pengendalian                            infeksi      (infection      control      risk assessment/ICRA) yang minimal meliputi a) – f)  yang ada pada maksud dan tujuan.

c) Rumah sakit  telah  melaksanakan  penilaian  risiko pengendalian                            infeksi      (infection      control      risk assessment/ICRA)  pada  semua  renovasi,  kontruksi dan demolisi sesuai dengan regulasi.

Penularan Infeksi

1)    Standar PPI 10

Rumah   sakit   menyediakan   APD   untuk   kewaspadaan (barrier precautions) dan prosedur isolasi untuk penyakit menular melindungi pasien dengan imunitas rendah (immunocompromised) dan mentransfer pasien dengan airborne diseases di dalam rumah sakit dan keluar rumah sakit serta penempatannya dalam waktu singkat jika rumah sakit tidak mempunyai kamar dengan tekanan negatif (ventilasi alamiah dan mekanik).

2)    Standar PPI 10.1

Rumah sakit mengembangkan dan menerapkan sebuah proses untuk menangani lonjakan mendadak (outbreak) penyakit infeksi air borne.

3)    Maksud dan Tujuan PPI 10, PPI 10.1

Rumah sakit menetapkan regulasi isolasi dan pemberian penghalang pengaman serta menyediakan fasilitasnya. Regulasi ditetapkan berdasar atas bagaimana penyakit menular dan cara menangani pasien infeksius atau pasien immuno-suppressed. Regulasi isolasi juga memberikan perlindungan kepada staf dan pengunjung serta lingkungan pasien. (lihat juga PP 3) Kewaspadaan terhadap udara penting untuk mencegah penularan bakteri infeksius yang dapat  bertahan  lama  di  udara.  Pasien  dengan  infeksi

“airborne” sebaiknya ditempatkan di kamar dengan tekanan negatif (negative pressure room). Jika struktur bangunan tidak memungkinkan membangun ruangan dengan tekanan negatif maka rumah sakit dapat mengalirkan udara lewat sistem  penyaring  HEPA  (high  effieciency  particulate  air) pada tingkat paling sedikit 12 kali pertukaran udara per jam. Rumah sakit sebaiknya menetapkan program untuk menangani pasien infeksi “air borne” dalam waktu singkat jika sistem HEPA tidak ada, termasuk jika ada banyak pasien masuk menderita infeksi menular. Pembersihan kamar dengan benar setiap hari selama pasien tinggal di rumah  sakit  dan  pembersihan  kembali  setelah  pasien keluar pulang harus dilakukan sesuai dengan standar atau pedoman pengedalian infeksi.

4)    Elemen Penilaian PPI 10

a) Rumah sakit menyediakan dan menempatkan ruangan untuk pasien       dengan       imunitas       rendah (immunocompromised) sesuai dengan peraturan perundang undangan.

b) Rumah sakit  melaksanakan  proses  transfer  pasien airborne diseases di dalam rumah sakit dan keluar rumah    sakit  sesuai  dengan  peraturan  perundang- undangan termasuk di ruang gawat darurat dan ruang lainnya

c) Rumah sakit telah menempatkan pasien infeksi “air borne” dalam waktu singkat jika rumah sakit tidak mempunyai kamar dengan tekanan negatif sesuai dengan peraturan perundang-undangan termasuk di ruang gawat darurat dan ruang lainnya.

d) Ada bukti  pemantauan  ruang  tekanan  negatif  dan penempatan pasien secara rutin.

5)    Elemen Penilaian PPI 10.1

a) Rumah sakit menerapkan proses pengelolaan pasien bila terjadi ledakan pasien (outbreak) penyakit infeksi air borne.

b) Rumah  sakit   menyediakan   ruang   isolasi   dengan tekanan negatif bila terjadi ledakan pasien (outbreak) sesuai dengan peraturan perundangan.

c) Ada bukti  dilakukan  edukasi  kepada  staf  tentang pengelolaan pasien   infeksius   jika   terjadi   ledakan pasien (outbreak) penyakit infeksi air borne.

Kebersihan Tangan

1)    Standar PPI 11

Kebersihan  tangan  menggunakan  sabun dan desinfektan adalah sarana efektif untuk mencegah dan mengendalikan infeksi.

2)    Standar PPI 11.1

Sarung tangan, masker, pelindung mata, serta alat pelindung diri lainnya tersedia dan digunakan secara tepat apabila disyaratkan.

3)    Maksud dan Tujuan PPI 11 dan PPI 11.1

Kebersihan tangan, menggunakan alat pelindung diri, serta disinfektan adalah sarana efektif untuk mencegah dan mengendalikan infeksi. Oleh karena itu, harus tersedia di setiap tempat asuhan pasien yang membutuhkan barang ini. Rumah sakit menetapkan ketentuan tentang tempat di mana alat pelindung diri ini harus tersedia dan dilakukan pelatihan cara memakainya. Sabun, disinfektan, handuk/tissu, serta alat lainnya untuk mengeringkan ditempatkan di lokasi tempat cuci tangan dan prosedur disinfeksi tangan dilakukan

4)    Elemen Penilaian PPI 11

a) Rumah sakit  telah  menerapkan  hand  hygiene  yang mencakup kapan, di mana, dan bagaimana melakukan cuci tangan mempergunakan sabun (hand wash) dan atau dengan disinfektan (hand rubs) serta ketersediaan fasilitas hand hygiene.

b) Sabun, disinfektan,  serta  tissu/handuk  sekali  pakai tersedia di tempat cuci tangan dan tempat melakukan disinfeksi tangan.

c) Ada bukti pelaksanaan pelatihan hand hygiene kepada semua pegawai termasuk tenaga kontrak.

5)    Elemen Penilaian PPI 11.1

a) Rumah sakit menerapkan penggunaan alat pelindung diri, tempat yang harus menyediakan alat pelindung diri, dan pelatihan cara memakainya.

b) Alat pelindung diri sudah digunakan secara tepat dan benar.

c) Ketersediaan alat pelindung diri sudah cukup sesuai dengan regulasi.

d) Ada bukti pelatihan  penggunaan  alat  pelindung diri kepada semua pegawai termasuk tenaga kontrak.

Peningkatan mutu dan program edukasi

1)    Standar PPI 12

Kegiatan PPI diintegrasikan dengan program PMKP (Peningkatan Mutu dan Keselamatan Pasien) dengan menggunakan indikator yang secara epidemiologik penting bagi rumah sakit.

2)    Maksud dan Tujuan PPI 12

Rumah sakit menggunakan indikator sebagai informasi untuk memperbaiki kegiatan PPI dan mengurangi tingkat infeksi yang terkait layanan kesehatan sampai tingkat serendah-rendahnya.  Rumah  sakit  dapat  menggunakan data indikator dan informasi dan membandingkan dengan tingkat dan kecenderungan di rumah sakit lain. Semua departemen/unit  layanan  diharuskan  ikut  serta menentukan prioritas yang diukur di tingkat rumah sakit dan tingkat departemen/unit layanan program PPI.

3)    Elemen Penilaian PPI 12

a) Ada  regulasi   sistem   manajemen   data   terintegrasi antara data surveilans dan data indikator mutu di Komite/ Tim Penyelenggara Mutu.

b) Ada bukti  pertemuan  berkala  antara  Komite/  Tim Penyelenggara   Mutu   dan   Komite/Tim   PPI   untuk berkoordinasi dan didokumentasikan.

c) Ada  bukti   penyampaian   hasil   analisis   data   dan rekomendasi                       Komite/Tim  PPI  kepada  Komite/  Tim Penyelenggara Mutu setiap tiga bulan.

Edukasi, Pendidikan dan Pelatihan

1)    Standar PPI 13

Rumah sakit melakukan edukasi tentang PPI kepada staf klinis dan nonklinis, pasien, keluarga pasien, serta petugas lainnya yang terlibat dalam pelayanan pasien.

2)    Maksud dan Tujuan PPI 13

Agar program PPI efektif harus dilakukan edukasi kepada staf klinis dan nonkliniks tentang program PPI pada waktu mereka baru bekerja di rumah sakit dan diulangi secara teratur. Edukasi diikuti oleh staf klinik dan staf nonklinik, pasien, keluarga pasien, pedagang, dan juga pengunjung. Pasien dan keluarga didorong untuk berpartisipasi dalam implementasi program PPI. Pelatihan diberikan sebagai bagian   dari   orientasi   kepada   semua   staf   baru   dan dilakukan pelatihan kembali secara berkala, atau paling sedikit jika ada perubahan kebijakan, prosedur, dan praktik yang menjadi panduan program PPI. Dalam pendidikan juga disampaikan temuan dan kecenderungan ukuran kegiatan. Berdasar atas hal di atas maka rumah sakit agar menetapkan program pelatihan PPI yang meliputi pelatihan untuk

a) orientasi  pegawai   baru   baik   staf   klinis   maupun nonklinis di tingkat rumah sakit maupun di unit pelayanan;

b) staf  klinis   (profesional   pemberi   asuhan)   secara berkala;

c) staf nonklinis;

d) pasien dan keluarga; dan e)

3)    Elemen Penilaian PPI 13

a) Rumah sakit  menetapkan  program  pelatihan  dan edukasi tentang PPI yang meliputi a) – e) yang ada pada maksud dan tujuan.

b) Ada bukti  pelaksanaan  pelatihan  untuk  semua  staf klinik dan nonklinik sebagai bagian dari orientasi pegawai  baru  tentang  regulasi  dan  praktik  program PPI.

c) Ada  bukti   pelaksanaan   edukasi   untuk   pasien, keluarga, dan pengunjung

Pendidikan Dalam Pelayanan Kesehatan (PPK) Gambaran Umum

Rumah sakit pendidikan harus mempunyai mutu dan keselamatan pasien yang lebih tinggi daripada rumah sakit non pendidikan. Agar mutu  dan  keselamatan  pasien  di  rumah  sakit  pendidikan  tetap terjaga maka perlu ditetapkan standar akreditasi untuk rumah sakit pendidikan. Rumah sakit pendidikan memiliki keunikan dengan adanya peserta didik yang terlibat dalam upaya pelayanan pasien. Keberadaan peserta didik ini dapat membantu proses pelayanan namun juga berpotensi untuk mempengaruhi mutu pelayanan dan keselamatan pasien. Ini disebabkan peserta didik masih dalam tahap belajar dan tidak memahami secara penuh protokol yang ditetapkan oleh rumah sakit. Untuk itu perlu pengaturan khusus bagi rumah sakit yang mengadakan pendidikan kesehatan.

  1. Kebijakan Penyelenggaraan Pendidikan

1)    Standar PPK 1

Rumah sakit menetapkan regulasi tentang persetujuan dan pemantauan pemilik pimpinan dalam kerja sama penyelenggaraan pendidikan kesehatan di rumah sakit.

2)    Maksud dan Tujuan PPK 1

Keputusan penetapan rumah sakit pendidikan merupakan kewenangan kementerian yang membidangi masalah kesehatan berdasarkan keputusan bersama yang dilanjutkan dengan pembuatan perjanjian kerja sama pemilik dan pimpinan rumah sakit dengan pimpinan institusi pendidikan. Hal tersebut penting karena mengintegrasikan penyelenggaraan pendidikan klinis ke dalam operasional rumah sakit memerlukan komitmen dalam pengaturanwaktu, tenaga, dan sumber daya.

Peserta pendidikan klinis termasuk trainee, fellow, peserta pendidikan dokter spesialis, dokter, dokter gigi, dan peserta pendidikan    tenaga     kesehatan     profesional     lainnya. Keputusan  untuk  mengintegrasikan  operasional  rumah sakit dan pendidikan klinis paling baik dibuat oleh jenjang

pimpinan tertinggi yang berperan sebagai pengambil keputusan di suatu rumah sakit bersama institusi pendidikan kedokteran, kedokteran gigi, dan profesi kesehatan lainnya yang didelegasikan kepada organisasi yang mengoordinasi pendidikan klinis.

Untuk penyelenggaraan pendidikan klinis di rumah sakit maka semua pihak harus mendapat informasi lengkap tentang hubungan dan tanggung jawab masing-masing. Pemilik dan/atau representasi pemilik memberikan persetujuan terhadap keputusan tentang visi-misi, rencana strategis, alokasi sumber daya, dan program mutu rumah sakit sehingga dapat ikut bertanggung jawab terhadap seluruh proses penyelenggaraan pendidikan klinis di rumah sakit yang harus konsisten dengan regulasi yang berlaku, visi-misi rumah sakit, komitmen pada mutu, keselamatan pasien, serta kebutuhan pasien. Rumah sakit mendapatkan informasi tentang output dengan kriteria-kriteria yang diharapkan dari institusi pendidikan dari pendidikan klinis yang dilaksanakan di rumah sakit untuk mengetahui mutu pelayanan dalam penyelenggaraan pendidikan klinis di rumah sakit.

Rumah sakit menyetujui output serta kriteria penilaian pendidikan dan harus dimasukkan dalam perjanjian kerja sama. Organisasi yang mengoordinasi pendidikan klinis bertanggung jawab untuk merencanakan, memonitor, dan mengevaluasi penyelenggaraan program pendidikan klinis di rumah sakit. Organisasi yang mengoordinasi pendidikan klinis melakukan penilaian berdasar atas kriteria yang sudah disetujui bersama. Organisasi yang mengoordinasi pendidikan klinis harus melaporkan hasil evaluasi penerimaan, pelaksanaan, dan penilaian output dari program pendidikan kepada pimpinan rumah sakit dan pimpinan institusi pendidikan. (lihat PPK 6)

3)    Elemen Penilaian PPK 1

a) Rumah sakit  memilki  kerjasama  resmi  rumah  sakit dengan institusi pendidikan yang masih berlaku.

b) Kerja sama  antara  rumah  sakit  dengan  institusi pendidikan yang sudah terakreditasi.

c) Kriteria  penerimaan   peserta   didik   sesuai   dengan kapasitas RS harus dicantumkan dalam perjanjian Kerjasama.

d) Pemilik, pimpinan rumah sakit dan pimpinan institusi pendidikan membuat  kajian  tertulis  sedikitnya  satu kali       setahun    terhadap    hasil    evaluasi    program pendidikan kesehatan yang dijalankan di rumah sakit.

4)    Standar PPK 2

Pelaksanaan pelayanan dalam pendidikan klinis yang diselenggarakan di rumah sakit mempunyai akuntabilitas manajemen, koordinasi, dan prosedur yang jelas.

5)    Maksud dan Tujuan PPK 2

Organisasi yang mengoordinasi pendidikan di rumah sakit menetapkan kewenangan, perencanaan, pemantauan implementasi program pendidikan klinis, serta evaluasi dan analisisnya.

Kesepakatan antara rumah sakit dan institusi pendidikan kedokteran,                   kedokteran   gigi,   dan   pendidikan   tenaga kesehatan                   professional  lainnya  harus  tercermin  dalam organisasi                   dan  kegiatan  organisasi  yang  mengoordinasi pendidikan di rumah sakit.

Rumah sakit memiliki regulasi yang mengatur:

a) Kapasitas penerimaan  peserta  didik  sesuai  dengan kapasitas                  rumah   sakit   yang   dicantumkan   dalam perjanjian kerja sama;

b) Persyaratan kualifikasi pendidik/dosen klinis; dan

c) Peserta  pendidikan   klinis   di   rumah   sakit   yang dipertimbangkan berdasarkan masa pendidikan dan level kompetensi.

Rumah sakit mendokumentasikan daftar akurat yang memuat semua peserta pendidikan klinis di rumah sakit. Untuk  setiap  peserta  pendidikan  klinis  dilakukan pemberian  kewenangan  klinis  untuk  menentukan sejauh mana kewenangan yang diberikan secara mandiri atau di bawah    supervisi.    Rumah    sakit    harus    mempunyai

dokumentasi yang paling sedikit meliputi:

a) Surat  keterangan    peserta    didik    dari    institusi pendidikan;

b) Ijazah, surat tanda registrasi, dan surat izin praktik yang menjadi persyaratan sesuai dengan peraturan perundang-undangan;

c) Klasifikasi akademik;

d) Identifikasi kompetensi peserta pendidikan klinis; dan

e) Laporan pencapaian kompetensi.

6)    Elemen Penilaian PPK 2

  1. a) Rumah sakit menetapkan regulasi tentang pengelolaan dan pengawasan pelaksanaan pendidikan klinis yang telah disepakati  bersama  meliputi  poin  a)  sampai dengan c) pada maksud dan tujuan.
  2. b) Rumah sakit memiliki daftar lengkap memuat nama semua peserta pendidikan klinis yang saat ini ada di rumah sakit.
  3. c) Untuk  setiap   peserta   pendidikan   klinis   terdapat dokumentasi yang meliputi poin a) – e) pada maksud dan tujuan

7)    Standar PPK 3

Tujuan dan sasaran program pendidikan klinis di rumah sakit disesuaikan dengan jumlah staf yang memberikan pendidikan  klinis,  variasi  dan  jumlah  pasien,  teknologi, serta fasilitas rumah sakit.

8)    Maksud dan Tujuan PPK 3

Pendidikan klinis di rumah sakit harus mengutamakan keselamatan pasien serta memperhatikan kebutuhan pelayanan sehingga pelayanan rumah sakit tidak terganggu, akan tetapi justru menjadi lebih baik dengan terdapat program pendidikan klinis ini. Pendidikan harus dilaksanakan secara terintegrasi dengan pelayanan dalam rangka memperkaya pengalaman dan kompetensi peserta didik, termasuk juga pengalaman pendidik klinis untuk selalu memperhatikan prinsip pelayanan berfokus pada pasien.

a) Variasi dan  jumlah  pasien  harus  selaras  dengan kebutuhan untuk berjalannya program, demikian juga fasilitas pendukung  pembelajaran harus disesuaikan dengan teknologi berbasis bukti yang harus tersedia.

b) Jumlah peserta pendidikan klinis di rumah sakit harus memperhatikan jumlah   staf   pendidik   klinis   serta ketersediaan sarana dan prasarana.

9)    Elemen Penilaian PPK 3

a) Terdapat bukti perhitungan rasio peserta pendidikan dengan staf pendidik klinis untuk seluruh peserta dari setiap program pendidikan profesi yang disepakati oleh rumah sakit dan institusi pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

b) Terdapat bukti perhitungan peserta didik yang diterima di rumah sakit per periode untuk proses pendidikan disesuaikan dengan jumlah pasien untuk menjamin mutu dan keselamatan pasien.

c) Terdapat bukti  bahwa  sarana  prasarana,  teknologi, dan sumber daya lain di rumah sakit tersedia untuk mendukung pendidikan peserta didik.

Kompetensi dan Supervisi

1)    Standar PPK 4

Seluruh  staf  yang  memberikan  pendidikan  klinis mempunyai kompetensi sebagai pendidik klinis dan mendapatkan kewenangan dari institusi pendidikan dan rumah sakit.

2)    Maksud dan Tujuan PPK 4

Seluruh staf yang memberikan pendidikan klinis telah mempunyai  kompetensi  dan  kewenangan  klinis  untuk dapat   mendidik   dan   memberikan   pembelajaran   klinis kepada peserta pendidikan klinis di rumah sakit sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Daftar staf yang memberikan pendidikan klinis dengan seluruh gelar akademis dan profesinya tersedia di rumah sakit.

Seluruh staf yang memberikan pendidikan klinis harus memenuhi  persyaratan  kredensial  dan  memiliki kewenangan klinis untuk melaksanakan pendidikan klinis

yang sesuai dengan tuntutan tanggung jawabnya.

3)    Elemen Penilaian PPK 4

  1. a) Rumah sakit menetapkan staf klinis yang memberikan pendidikan klinis  dan  penetapan  penugasan  klinis serta rincian kewenangan klinis dari rumah sakit.
  2. b) Rumah  sakit   memiliki   daftar   staf   klinis   yang memberikan pendidikan klinis secara lengkap (akademik dan profesi) sesuai dengan jenis pendidikan yang dilaksanakan di rumah sakit.
  3. c) Rumah  sakit    memiliki    bukti    staf    klinis    yang memberikan                        pendidikan    klinis    telah    mengikuti pendidikan                      sebagai    pendidikan    dan    keprofesian berkelanjutan.

4)    Standar PPK 5

Rumah sakit memastikan pelaksanaan pendidikan yang dijalankan untuk setiap jenis dan jenjang pendidikan staf klinis di rumah sakit aman bagi pasien dan peserta didik.

5)    Maksud dan Tujuan PPK 5

Supervisi dalam pendidikan menjadi tanggung jawab staf klinis yang memberikan pendidikan klinis untuk menjadi acuan pelayanan rumah sakit agar pasien, staf, dan peserta didik   terlindungi   secara   hukum.   Supervisi   diperlukan untuk memastikan asuhan pasien yang aman dan merupakan bagian proses belajar bagi peserta pendidikan klinis.  Tingkat  supervise  ditentukan  oleh  rumah  sakit sesuai dengan jenjang pembelajaran dan level kompetensi peserta pendidikan klinis.

Setiap peserta pendidikan klinis di rumah sakit mengerti proses supervisi klinis, meliputi siapa saja yang melakukan supervisi dan frekuensi supervisi oleh staf klinis yang memberikan pendidikan klinis. Pelaksanaan supervisi didokumentasikan dalam log book atau sistem dokumentasi lain untuk peserta didik dan staf klinis yang memberikan pendidikan klinis sesuai dengan ketetapan yang berlaku.

6)    Elemen Penilaian PPK 5

  1. a) Rumah sakit  telah  memiliki  tingkat  supervisi  yang diperlukan oleh setiap peserta pendidikan klinis di rumah sakit untuk setiap jenjang pendidikan.
  2. b) Setiap peserta pendidikan klinis mengetahui tingkat, frekuensi, dan dokumentasi untuk supervisinya.
  3. c) Rumah sakit  telah  memiliki  format  spesifik  untuk mendokumentasikan   proses   supervisi   yang   sesuai dengan               kebijakan   rumah   sakit,   tujuan   program pendidikan, serta mutu dan keselamatan asuhan pasien.
  4. d) Rumah sakit telah memiliki proses pengkajian rekam medis untuk    memastikan    kepatuhan    batasan kewenangan dan proses supervisi peserta pendidikan yang mempunyai akses pengisian rekam medis.
  5. Mutu dan Keselamatan Dalam Pelaksanaan Pendidikan

1)    Standar PPK 6

Pelaksanaan pendidikan klinis di rumah sakit harus mematuhi regulasi rumah sakit dan pelayanan yang diberikan berada dalam upaya mempertahankan atau meningkatkan mutu dan keselamatan pasien.

2)    Maksud dan Tujuan PPK 6

Dalam pelaksanaannya program pendidikan klinis tersebut senantiasa   menjamin   mutu   dan   keselamatan   pasien. Rumah sakit memiliki rencana dan melaksanakan program orientasi terkait penerapan konsep mutu dan keselamatan pasien yang harus diikuti oleh seluruh peserta pendidikan klinis serta mengikutsertakan peserta didik dalam semua pemantauan mutu dan keselamatan pasien. Orientasi peserta pendidikan klinis minimal mencakup:

  1. a) Program rumah sakit tentang mutu dan keselamatan pasien;
  2. b) Program pengendalian infeksi;
  1. c) Program keselamatan penggunaan obat; dan d)    Sasaran keselamatan pasien.

Peserta pendidikan klinis seyogyanya diikutsertakan dalam pelaksanaan program peningkatan mutu dan keselamatan

pasien di rumah sakit, yang disesuaikan dengan jenis dan jenjang pendidikannya. Penugasan peserta didik dalam pelaksanaan program mutu dan keselamatan pasien diatur bersama antara organisasi pengelola pendidikan, pengelola mutu dan keselamatan pasien, serta kepala unit pelayanan. Rumah sakit harus dapat membuktikan bahwa adanya peserta didik di rumah sakit tidak menurunkan mutu pelayanan dan tidak membahayakan keselamatan pasien di rumah sakit. Hasil survei kepuasan pasien atas pelayanan rumah sakit harus memasukkan unsur kepuasan atas keterlibatan peserta didik dalam pelayanan kepada pasien.

3)    Elemen Penilaian PPK 6

  1. a) Rumah sakit menetapkan unit yang bertanggung jawab untuk mengelola pelaksanaan pendidikan klinis di rumah sakit.
  2. b) Rumah sakit  menetapkan  program  orientasi  peserta pendidikan klinis.
  3. c) Rumah sakit  telah  memiliki  bukti  pelaksanaan  dan sertifikat program orientasi peserta pendidikan klinis.
  4. d) Rumah sakit  telah  memiliki  bukti  pelaksanaan  dan dokumentasi                        peserta   didik   diikutsertakan   dalam semua program peningkatan mutu dan keselamatan pasien di rumah sakit.
  5. e) Rumah sakit telah memantau dan mengevaluasi bahwa pelaksanaan program   pendidikan   kesehatan   tidak menurunkan                       mutu  dan  keselamatan  pasien  yang dilaksanakan sekurang-kurangnya sekali setahun yang terintegrasi dengan program mutu dan keselamatan pasien.
  6. f) Rumah  sakit   telah   melakukan   survei   mengenai kepuasan pasien terhadap pelayanan rumah sakit atas dilaksanakannya                                 pendidikan      klinis      sekurang- kurangnya sekali setahun.
  1. Kelompok Pelayanan Berfokus Pada Pasien
  1. Akses dan Kesinambungan Pelayanan (AKP) Gambaran umum

Rumah sakit mempertimbangkan bahwa asuhan di rumah sakit merupakan bagian dari suatu sistem pelayanan yang terintegrasi dengan para profesional pemberi asuhan (PPA) dan tingkat pelayanan yang akan membangun suatu kesinambungan pelayanan. Dimulai dengan skrining, yang tidak lain adalah memeriksa pasien secara cepat, untuk mengidentifikasi kebutuhan pasien. Tujuan sistem pelayanan   yang   terintegrasi   adalah   menyelaraskan   kebutuhan asuhan pasien dengan pelayanan yang tersedia di rumah sakit, mengkoordinasikan pelayanan, merencanakan pemulangan dan tindakan selanjutnya. Hasil yang diharapkan dari proses asuhan di rumah sakit adalah meningkatkan mutu asuhan pasien dan efisiensi penggunaan sumber daya yang tersedia di rumah sakit.

Fokus pada standar mencakup:

  1. Skrining pasien di rumah sakit;
  1. Registrasi dan admisi di rumah sakit;
  1. Kesinambungan pelayanan;
  1. Transfer pasien internal di dalam rumah sakit;
  1. Pemulangan, rujukan dan tindak lanjut; dan f.     Transportasi.
  1. Skrining Pasien di Rumah Sakit

1)    Standar AKP 1

Rumah sakit menetapkan proses skrining baik pasien rawat inap maupun rawat jalan untuk mengidentifikasi pelayanan Kesehatan yang   dibutuhkan sesuai   dengan misi serta sumber daya rumah sakit.

2)    Maksud dan Tujuan AKP 1

Menyesuaikan kebutuhan pasien dengan misi dan sumber daya   rumah   sakit   bergantung   pada   informasi   yang diperoleh tentang kebutuhan pasien dan kondisinya lewat skrining pada kontak pertama. Skrining penerimaan pasien dilaksanakan melalui jalur cepat (fast track) kriteria triase, evaluasi visual atau pengamatan, atau hasil pemeriksaan fisis, psikologis, laboratorium klinis, atau diagnostik imajing

sebelumnya. Skrining dapat dilakukan di luar rumah sakit seperti ditempat pasien berada, di ambulans, atau saat pasien tiba di rumah sakit.

Keputusan untuk mengobati, mentransfer atau merujuk dilakukan  setelah  hasil  hasil  skrining  selesai  dievaluasi. Bila rumah sakit mempunyai kemampuan memberikan pelayanan yang dibutuhkan serta konsisten dengan misi dan kemampuan pelayanannya maka dipertimbangkan untuk menerima pasien rawat inap atau pasien rawat jalan. Skirining   khusus   dapat   dilakukan   oleh   RS   sesuai kebutuhan seperti skrining infeksi (TBC, PINERE, COVID-

19, dll), skrining nyeri, skrining geriatri, skrining jatuh atau skrining lainnya

3)    Elemen Penilaian AKP 1

  1. a) Rumah sakit  telah  menetapkan  regulasi  akses  dan kesinambungan pelayanan (AKP) meliputi poin a) – f) pada gambaran umum.
  2. b) Rumah sakit telah menerapkan proses skrining baik di dalam maupun     di     luar     rumah     sakit     dan terdokumentasi.
  3. c) Ada proses  untuk  memberikan  hasil  pemeriksaan diagnostik                      kepada      tenaga      kesehatan      yang kompeten/terlatih untuk bertanggung jawab menentukan apakah pasien akan diterima, ditransfer, atau dirujuk.
  4. d) Bila kebutuhan  pasien  tidak  dapat  dipenuhi  sesuai misi dan sumber daya yang ada, maka rumah sakit akan      merujuk  atau  membantu  pasien  ke  fasilitas pelayanan yang sesuai kebutuhannya.

4)    Standar AKP 1.1

Pasien dengan kebutuhan darurat, sangat mendesak, atau yang membutuhkan pertolongan segera diberikan prioritas untuk pengkajian dan tindakan.

5)    Maksud dan Tujuan AKP 1.1

Pasien dengan kebutuhan gawat dan/atau darurat, atau pasien yang membutuhkan pertolongan segera diidentifikasi menggunakan    proses    triase    berbasis    bukti    untuk

memprioritaskan kebutuhan pasien, dengan mendahulukan dari pasien yang lain. Pada kondisi bencana, dapat menggunakan triase bencana. Sesudah dinyatakan pasien darurat, mendesak dan membutuhkan pertolongan segera, dilakukan pengkajian dan memberikan pelayanan sesegera mungkin. Kriteria psikologis berbasis bukti dibutuhkan dalam proses triase untuk kasus kegawatdaruratan psikiatris. Pelatihan bagi staf diadakan agar staf mampu menerapkan kriteria triase berbasis bukti dan memutuskan pasien yang membutuhkan pertolongan segera serta pelayanan yang dibutuhkan.

6)    Elemen Penilaian AKP 1.1

  1. a) Proses triase dan pelayanan kegawatdaruratan telah diterapkan                    oleh   staf   yang   kompeten   dan   bukti dokumen                  kompetensi   dan   kewenangan   klinisnya tersedia.
  2. b) Staf telah menggunakan kriteria triase berbasis bukti untuk memprioritaskan    pasien    sesuai    dengan kegawatannya.
  3. c) Pasien darurat dinilai dan distabilkan sesuai kapasitas rumah sakit sebelum ditransfer ke ruang rawat atau dirujuk dan didokumentasikan dalam rekam medik.

7)    Standar AKP 1.2

Rumah sakit melakukan skrining kebutuhan pasien saat admisi rawat inap untuk menetapkan pelayanan preventif, paliatif, kuratif, rehabilitatif, pelayanan khusus/spesialistik atau pelayanan intensif.

8)    Maksud dan Tujuan AKP 1.2

Ketika  pasien  diputuskan  diterima  untuk  masuk  rawat inap, maka proses skrining akan membantu staf mengidentifikasi pelayanan preventif, kuratif, rehabilitatif, paliatif yang dibutuhkan pasien kemudian menentukan pelayanan yang paling sesuai dan mendesak atau yang paling diprioritaskan.

Setiap rumah sakit harus menetapkan kriteria prioritas untuk menentukan pasien yang membutuhkan pelayanan di unit khusus/spesialistik (misalnya unit luka bakar atau

transplantasi   organ)   atau   pelayanan   di   unit   intensif

(misalnya ICU, ICCU, NICU, PICU, pascaoperasi).

Kriteria prioritas meliputi kriteria masuk dan kriteria keluar menggunakan parameter diagnostik dan atau parameter objektif termasuk kriteria berbasis fisiologis.

Dengan mempertimbangkan bahwa pelayanan di unit khusus/spesialistik dan di unit intensif menghabiskan banyak sumber daya, maka rumah sakit dapat membatasi hanya pasien dengan kondisi medis yang reversibel yang dapat diterima dan pasien kondisi khusus termasuk menjelang akhir kehidupan yang sesuai dengan peraturan perundangundangan.

Staf di unit khusus/spesialistik atau unit intensif berpartisipasi   dalam   menentukan   kriteria   masuk   dan kriteria keluar dari unit tersebut. Kriteria dipergunakan untuk menentukan apakah pasien dapat diterima di unit tersebut, baik dari dalam atau dari luar rumah sakit.

Pasien yang diterima di unit tersebut harus dilakukan pengkajian ulang untuk menentukan apakah kondisi pasien berubah sehingga tidak memerlukan lagi pelayanan khusus/intensif misalnya, jika status fisiologis sudah stabil dan pemantauan intensif baik sehingga tindakan lain tidak diperlukan lagi maka pasien dapat dipindah ke unit layanan yang lebih rendah (seperti unit rawat inap atau unit pelayanan paliatif).

Apabila rumah sakit melakukan penelitian atau menyediakan pelayanan spesialistik atau melaksanakan program, penerimaan pasien di program tersebut harus melalui kriteria tertentu atau ketentuan protokol. Mereka yang terlibat dalam riset atau program lain harus terlibat dalam menentukan kriteria atau protokol. Penerimaan ke dalam program tercatat di rekam medis pasien termasuk kriteria atau protokol yang diberlakukan terhadap pasien yang diterima masuk.

9)    Elemen Penilaian AKP 1.2

  1. a) Rumah sakit  telah  melaksanakan  skrining  pasien masuk             rawat  inap  untuk  menetapkan  kebutuhan

pelayanan preventif, paliatif, kuratif, dan rehabilitatif, pelayanan khusus/spesialistik atau pelayanan intensif.

  1. b) Rumah sakit  telah  menetapkan  kriteria  masuk  dan kriteria keluar di unit pelayanan khusus/spesialistik menggunakan  parameter  diagnostik  dan  atau parameter objektif termasuk kriteria berbasis fisiologis dan terdokumentasikan di rekam medik.
  2. c) Rumah sakit  telah  menerapkan  kriteria  masuk  dan kriteria keluar di unit pelayanan intensif menggunakan parameter                   diagnostik  dan  atau  parameter  objektif termasuk                      kriteria       berbasis       fisiologis      dan terdokumentasikan di rekam medik
  3. d) Staf yang kompeten dan berwenang di unit pelayanan khusus dan unit pelayanan intensif terlibat dalam penyusunan kriteria masuk dan kriteria keluar di unitnya.

10)  Standar AKP 1.3

Rumah Sakit mempertimbangkan kebutuhan klinis pasien dan memberikan informasi kepada pasien jika terjadi penundaan dan kelambatan pelaksanaan tindakan/pengobatan dan atau pemeriksaan penunjang diagnostik.

11)  Maksud dan Tujuan AKP 1.3

Pasien diberitahu jika ada penundaan dan kelambatan pelayanan antara lain akibat kondisi pasien atau jika pasien harus masuk dalam daftar tunggu. Pasien diberi informasi alasan mengapa terjadi penundaan/kelambatan pelayanan dan alternatif yang tersedia. Ketentuan ini berlaku bagi pasien rawat inap dan rawat jalan serta pemeriksaan penunjang diagnostik. Untuk beberapa pelayanan, seperti onkologi atau transplan tidak berlaku ketentuan tentang penundaan/kelambatan pelayanan atau pemeriksaan.

Hal ini tidak berlaku untuk keterlambatan staf medis di rawat jalan atau bila unit gawat darurat terlalu ramai dan ruang tunggunya penuh. (Lihat juga ACC.2). Untuk layanan tertentu, seperti onkologi atau transplantasi, penundaan mungkin  sesuai  dengan  norma  nasional  yang  berlaku

untuk pelayanan tersebut.

12)  Elemen Penilaian AKP 1.3

  1. a) Pasien dan  atau  keluarga  diberi  informasi  jika  ada penundaan dan atau keterlambatan pelayanan beserta alasannya dan dicatat di rekam medis.
  2. b) Pasien dan  atau  keluarga  diberi  informasi  tentang alternatif yang tersedia sesuai kebutuhan klinis pasien dan dicatat di rekam medis.
  3. Registrasi dan Admisi di Rumah Sakit

1)    Standar AKP 2

Rumah Sakit menetapkan proses penerimaan dan pendaftaran pasien rawat inap, rawat jalan, dan pasien gawat darurat.

2)    Maksud dan Tujuan AKP 2

Rumah  sakit  melaksanakan  proses  penerimaan  pasien rawat inap dan pendaftaran pasien rawat jalan dan gawat darurat sesuai peraturan perundang-undangan. Staf memahami dan mampu melaksanakan proses penerimaan pasien. Proses tersebut antara lain meliputi:

  1. a) Pendaftaran pasien gawat darurat;
  1. b) Penerimaan langsung pasien dari IGD ke rawat inap;
  1. c) Admisi pasien rawat inap;
  1. d) Pendaftaran pasien rawat jalan;
  1. e) Observasi pasien; dan
  1. f) Mengelola pasien bila tidak tersedia tempat tidur. Rumah  Sakit  sering  melayani  berbagai  pasien  misalnya pasien   lansia,   disabilitas   (fisik,   mental,   intelektual), berbagai  bahasa  dan  dialek,  budaya  yang  berbeda  atau hambatan   yang   lainnya,   sehingga   dibutuhkan   sistem pendaftaran  dan  admisi  secara  onli  Sistim  tersbut diharapkan   dapat   mengurangi   hambatan   pada   saat penerimaan pasien.

Saat pasien diputuskan untuk rawat inap, maka staf medis yang memutuskan tersebut memberi informasi tentang rencana asuhan yang diberikan dan hasil asuhan yang diharapkan. Informasi juga harus diberikan oleh petugas admisi/pendaftaran  rawat  inap  tentang  perkiraan  biaya

selama perawatan. Pemberian informasi tersebut didokumentasikan.

Keselamatan pasien adalah salah satu aspek perawatan pasien yang penting. Orientasi lingkungan di bangsal rawat inap   dan   peralatan   yang   terkait   dalam   pemberian perawatan dan pelayanan yang diberikan merupakan salahsatukomponenpentingdarikeselamatanpasien.

3)    Elemen Penilaian AKP 2

a) Rumah sakit  telah  menerapkan  proses  penerimaan pasien meliputi poin a) – f) pada maksud dan tujuan.

b) Rumah sakit  telah  menerapkan  sistim  pendaftaran pasien rawat jalan dan rawat inap baik secara offline maupun secara online dan dilakukan evaluasi dan tindak lanjutnya.

c) Rumah sakit  telah  memberikan  informasi  tentang rencana asuhan yang akan diberikan, hasil asuhan yang diharapkan serta perkiraan biaya yang harus dibayarkan oleh pasien/keluarga.

d) Saat diterima sebagai pasien rawat inap, pasien dan keluarga mendapat  edukasi  dan  orientasi  tentang ruang rawat inap.

4)    Standar AKP 2.1

Rumah sakit menetapkan proses untuk mengelola alur pasien di seluruh area rumah sakit.

5)    Maksud dan Tujuan AKP 2.1

Rumah sakit menetapkan pengelolaan alur pasien saat terjadi penumpukan pasien di UGD sementara tempat tidur di rawat inap sedang terisi penuh. Pengelolaan alur tersebut harus dilakukan secara efektif mulai dari penerimaan, pengkaijan, tindakan, transfer pasien sampai pemulangan untuk mengurangi penundaan asuhan kepada pasien. Komponen pengelolaan alur pasien tersebut meliputi:

a) Ketersediaan  tempat        tidur        di        tempat sementara/transit/intermediate sebelum mendapatkan tempat tidur di rawat inap;

b) Perencanaan fasilitas,  peralatan,  utilitas,  teknologi medis,  dan   kebutuhan   lain   untuk   mendukung penempatan sementara pasien;

c) Perencanaan tenaga untuk memberikan asuhan pasien di tempat sementara/transit termasuk pasien yang diobservasi di unit gawat darurat;

d) Alur pelayanan  pasien  di  tempat  sementara/transit meliputi pemberian asuhan, tindakan, pemeriksaan laboratorium,   pemeriksaan   radiologi,   tindakan   di kamar operasi, dan unit pascaanestes harus sama seperti yang diberikan dirawat inap;

e) Efisiensi pelayanan nonklinis penunjang asuhan dan tindakan kepada pasien (seperti kerumahtanggaan dan transportasi);

f) Memberikan asuhan pasien yang sama kepada pasien yang dirawat di tempat sementara/transit/intermediate seperti perawatan kepada pasien yang dirawat di ruang rawat inap; dan

g) Akses pelayanan  yang  bersifat  mendukung  (seperti pekerja sosial, keagamaan atau bantuan spiritual, dan sebagainya).

Pemantauan dan perbaikan proses ini bermanfaat untuk mengatasi masalah penumpukan pasien. Semua staf rumah sakit, mulai dari unit gawat darurat, unit rawat inap, staf medis, keperawatan, administrasi, lingkungan, dan manajemen risiko dapat ikut berperan serta menyelesaikan masalah alur pasien ini. Koordinasi dapat dilakukan oleh Manajer Pelayanan Pasien (MPP)/Case Manager.

Rumah  sakit  harus  menetapkan  standar  waktu  berapa lama pasien dapat diobservasi di unit gawat darurat dan kapan harus di transfer ke di lokasi sementara/transit/intermediate sebelum ditransfer ke unit rawat inap di rumah sakit. Diharapkan rumah sakit dapat mengatur dan menyediakan tempat tersebut bagi pasien.

6)    Elemen Penilaian AKP 2.1

a) Rumah sakit  telah  melaksanakan  pengelolaan  alur pasien untuk menghindari penumpuk mencakup poin a) – g) pada maksud dan tujuan.

b) Manajer  pelayanan    pasien    (MPP)/case    manager bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pengaturan alur pasien untuk menghindari penumpukan.

c) Rumah  sakit   telah   melakukan   evaluasi   terhadap pengelolaan alur pasien secara berkala dan melaksanakan upaya perbaikannya.

d) Ada sistem  informasi  tentang  ketersediaan  tempat tidur secara online kepada masyarakat.

 

Kesinambungan Pelayanan

1)    Standar AKP 3

Rumah sakit memiliki proses untuk melaksanakan kesinambungan pelayanan di rumah sakit dan integrasi antara profesional pemberi asuhan (PPA) dibantu oleh manajer pelayanan pasien (MPP)/case manager.

2)    Maksud dan Tujuan AKP 3

Pelayanan berfokus pada pasien diterapkan dalam bentuk Asuhan  Pasien  Terintegrasi  yang  bersifat  integrasi horizontal dan vertikal. Pada integrasi horizontal kontribusi profesi tiap-tiap profesional pemberi asuhan (PPA) adalah sama pentingnya atau sederajat. Pada integrasi vertikal pelayanan berjenjang oleh/melalui berbagai unit pelayanan ke tingkat pelayanan yang berbeda maka peranan manajer pelayanan pasien (MPP) penting untuk integrasi tersebut dengan komunikasi yang memadai terhadap profesional pemberi asuhan (PPA).

Pelaksanaan asuhan pasien secara terintegrasi fokus pada pasien mencakup:

a) Keterlibatan dan pemberdayaan pasien dan keluarga;

b) Dokter penanggung  jawab  pelayanan  (DPJP)  sebagai Ketua tim asuhan pasien oleh profesional pemberi asuhan (PPA) (clinical leader);

c) Profesional pemberi asuhan (PPA) bekerja sebagai tim interdisiplin  dengan     kolaborasi     interprofesional dibantu antara lain oleh Panduan Praktik Klinis (PPK), Panduan Asuhan Profesional Pemberi Asuhan (PPA) lainnya, Alur Klinis/clinical pathway terintegrasi, Algoritme,  Protokol,  Prosedur,  Standing  Order  dan CPPT (Catatan Perkembangan Pasien Terintegrasi);

d) Perencanaan  pemulangan    pasien    (P3)/discharge planning terintegrasi;

e) Asuhan gizi terintegrasi; dan

f) Manajer pelayanan pasien/case manager.

Manajer Pelayanan Pasien (MPP) bukan merupakan profesional pemberi asuhan (PPA) aktif dan dalam menjalankan manajemen pelayanan pasien mempunyai peran minimal adalah sebagai berikut:

a) Memfasilitasi pemenuhan kebutuhan asuhan pasien;

b) Mengoptimalkan  terlaksananya   pelayanan   berfokus pada pasien;

c) Mengoptimalkan proses  reimbursemen;  dan  dengan fungsi sebagai berikut;

d) Asesmen untuk manajemen pelayanan pasien;

e) Perencanaan untuk manajemen pelayanan pasien;

f) Komunikasi dan koordinasi;

g) Edukasi dan advokasi; dan

h) Kendali mutu dan biaya pelayanan pasien.

Keluaran   yang   diharapkan   dari   kegiatan   manajemen pelayanan pasien antara lain adalah:

a) Pasien  mendapat      asuhan      sesuai      dengan kebutuhannya;

b) Terpelihara kesinambungan pelayanan;

c) Pasien memahami/mematuhi asuhan dan peningkatan kemandirian pasien;

d) Kemampuan pasien mengambil keputusan;

e) Keterlibatan serta pemberdayaan pasien dan keluarga;

f) Optimalisasi sistem pendukung pasien;

g) Pemulangan yang aman; dan

h) Kualitas hidup dan kepuasan pasien.

Oleh karenanya, dalam pelaksanaan manajemen pelayanan pasien,  manajer  pelayanan  pasien  (MPP)  mencatat  pada

lembar   formulir   A   yang   merupakan   evaluasi   awal manajemen pelayanan pasien dan formulir B yang merupakan catatan implementasi manajemen pelayanan pasien. Kedua formulir tersebut merupakan bagian rekam medis.

Pada formulir A dicatat antara lain identifikasi/skrining pasien  untuk  kebutuhan  pengelolaan  manajer pelayanan pasien (MPP) dan asesmen untuk manajemen pelayanan pasien termasuk rencana, identifikasi masalah – risiko – kesempatan, serta perencanaan manajemen pelayanan pasien, termasuk memfasiltasi proses perencanaan pemulangan pasien (discharge planning). Pada formulir B dicatat antara lain pelaksanaan rencana manajemen pelayanan pasien, pemantauan, fasilitasi, koordinasi, komunikasi dan kolaborasi, advokasi, hasil pelayanan, serta terminasi manajemen pelayanan pasien.

Agar kesinambungan asuhan pasien tidak terputus, rumah sakit harus menciptakan proses untuk melaksanakan kesinambungan dan koordinasi pelayanan di antara profesional   pemberi   asuhan   (PPA),   manajer  pelayanan pasien (MPP), pimpinan unit, dan staf lain sesuai dengan regulasi rumah sakit di beberapa tempat.

a) Pelayanan darurat dan penerimaan rawat inap;

b) Pelayanan diagnostik dan tindakan;

c) Pelayanan bedah dan nonbedah;

d) Pelayanan rawat jalan; dan

e) Organisasi lain atau bentuk pelayanan lainnya.

Proses koordinasi dan kesinambungan pelayanan dibantu oleh penunjang lain seperti panduan praktik klinis, alur klinis/clinical pathways, rencana asuhan, format rujukan, daftar tilik/check list lain, dan sebagainya. Diperlukan regulasi untuk proses koordinasi tersebut.

3)    Elemen Penilaian AKP 3

a)Para  PPA  telah  memberikan  asuhan  pasiensecara
 terintegrasi berfokus pada pasien meliputi poina) – f)
 pada maksud dan tujuan. 

b) Ada penunjukkan MPP dengan uraian tugas meliputi poin a) – h) pada maksud dan tujuan.

c) Para profesional pemberi asuhan (PPA) dan manajer pelayanan pasien (MPP) telah melaksanakan kesinambungan dan  koordinasi  pelayanan  meliputi poin a) – e) pada maksud dan tujuan.

d) Pencatatan perkembangan  pasien  didokumentasikan para PPA di formulir catatan pasien terintegrasi (CPPT).

e) Pencatatan  di   unit   intensif   atau   unit   khusus menggunakan lembar pemantauan pasien khusus, pencatatan      perkembangan   pasien   dilakukan   pada lembar tersebut oleh DPJP di unit tersebut, PPA lain dapat melakukan pencatatan perkembangan pasien di formulir catatan pasien terintegrasi (CPPT).

f) Perencanaan dan pelayanan pasien secara terintegrasi diinformasikan kepada   pasien   dan   atau   keluarga secara berkala sesuai ketentuan Rumah Sakit.

4)    Standar AKP 3.1

Rumah sakit menetapkan bahwa setiap pasien harus memiliki dokter penanggung jawab pelayanan (DPJP) untuk memberikan asuhan kepada pasien.

5)    Maksud dan Tujuan AKP 3.1

Asuhan pasien diberikan oleh profesional pemberi asuhan (PPA) yang bekerja sebagai tim interdisiplin dengan kolaborasi interprofesional dan dokter penanggung jawab pelayanan  (DPJP)  berperan  sebagai  ketua  tim  asuhan pasien  oleh  profesional  pemberi  asuhan  (PPA)  (clinical leader).

Untuk mengatur kesinambungan asuhan selama pasien berada di rumah sakit, harus ada dokter penanggung jawab pelayanan (DPJP) sebagai individu yang bertanggung jawab mengelola  pasien  sesuai  dengan  kewenangan  klinisnya, serta melakukan koordinasi dan kesinambungan asuhan. Dokter penanggung jawab pelayanan (DPJP) yang ditunjuk ini tercatat namanya di rekam medis pasien. Dokter penanggung jawab pelayanan (DPJP)/para DPJP memberikan keseluruhan asuhan selama pasien berada di

RS dapat meningkatkan antara lain kesinambungan, koordinasi, kepuasan pasien, mutu, keselamatan, dan termasuk hasil asuhan. Individu ini membutuhkan kolaborasi dan komunikasi dengan profesional pemberi asuhan (PPA) lainnya.

Bila seorang pasien dikelola oleh lebih satu dokter penanggung                        jawab    pelayanan    (DPJP)    maka    harus ditetapkan DPJP utama. Sebagai tambahan, rumah sakit menetapkan kebijakan dan proses perpindahan tanggung jawab dari satu dokter penanggung jawab pelayanan (DPJP) ke DPJP lain.

6)    Elemen Penilaian AKP 3.1

a) Rumah sakit telah menetapkan bahwa setiap pasien memiliki dokter penanggung jawab pelayanan (DPJP) dan telah    melakukan    asuhan    pasien    secara terkoordinasi dan terdokumentasi dalam rekam medis pasien.

b) Rumah sakit  juga  menetapkan  proses  perpindahan tanggung jawab koordinasi asuhan pasien dari satu dokter penanggung jawab pelayanan (DPJP) ke DPJP lain, termasuk bila terjadi perubahan DPJP utama.

c) Bila  dilaksanakan  rawat  bersama  ditetapkan  DPJP utama sebagai koordinator asuhan pasien.

 

Transfer Pasien Internal di Dalam Rumah Sakit

1)    Standar AKP 4

Rumah sakit menetapkan informasi tentang pasien disertakan pada proses transfer internal antar unit di dalam rumah sakit.

2)    Maksud dan Tujuan AKP 4

Selama dirawat inap di rumah sakit, pasien mungkin dipindah dari satu pelayanan atau dari satu unit rawat inap ke berbagai unit pelayanan lain atau unit rawat inap lain. Jika profesional pemberi asuhan (PPA) berubah akibat perpindahan ini maka informasi penting terkait asuhan harus mengikuti pasien. Pemberian obat dan tindakan lain dapat  berlangsung  tanpa  halangan  dan  kondisi  pasien dapat  dimonitor.  Untuk  memastikan  setiap  tim  asuhan

menerima informasi  yang  diperlukan  maka rekam medis pasien ikut pindah atau ringkasan informasi yang ada di rekam   medis   disertakan   waktu   pasien   pindah   dan menyerahkan kepada tim asuhan yang menerima pasien. Formulir transfer pasien internal meliputi:

a) Alasan admisi;

b) Temuan signifikan;

c) Diagnosis;

d) Prosedur yang telah dilakukan;

e) Obat-obatan;

f) Perawatan lain yang diterima pasien; dan g)    Kondisi pasien saat transfer.

Bila pasien dalam pengelolaan manajer pelayanan pasien (MPP) maka kesinambungan proses tersebut di atas dipantau, diikuti, dan transfernya disupervisi oleh manajer pelayanan pasien (MPP).

3)    Elemen penilaian AKP 4

a) Rumah sakit telah menerapkan proses transfer pasien antar unit pelayanan di dalam rumah sakit dilengkapi dengan formulir transfer pasien.

b) Formulir transfer internal meliputi poin a) – g) pada maksud dan tujuan.

 

Pemulangan (Discharge), Rujukan dan Tindak Lanjut

1)    Standar AKP 5

Rumah sakit menetapkan dan melaksanakan proses pemulangan pasien dari rumah sakit berdasarkan kondisi kesehatan pasien dan kebutuhan kesinambungan asuhan atau tindakan.

2)    Maksud dan Tujuan AKP 5

Merujuk atau mengirim pasien ke fasilitas pelayanan Kesehatan, maupun perorangan di luar rumah sakit didasarkan atas kondisi kesehatan pasien dan kebutuhannya untuk memperoleh kesinambungan asuhan. Dokter penanggung jawab pelayanan (DPJP) dan profesional pemberi asuhan (PPA) lainnya yang bertanggung jawab atas asuhan pasien berkordinasi menentukan kesiapan pasien untuk pulang dari rumah sakit berdasarkan kriteria atau

indikasi rujukan yang ditetapkan rumah sakit.

Rujukan ke dokter spesialis, rehabilitasi fisik atau kebutuhan upaya preventif di rumah dikoordinasikan dengan  keluarga  pasien.  Diperlukan  proses  yang terorganisir untuk memastikan bahwa kesinambungan asuhan dikelola oleh tenaga kesehatan atau oleh sebuah fasilitas pelayanan kesehatan di luar rumah sakit. Pasien yang memerlukan perencanaan pemulangan pasien (discharge  planning)  maka  rumah  sakit  mulai merencanakan hal tersebut sejak awal dan mencatatnya di pengkajian awal pasien. Untuk menjaga kesinambungan asuhan dilakukan secara terintegrasi melibatkan semua profesional pemberi asuhan (PPA) terkait difasilitasi oleh manajer pelayanan pasien (MPP). Keluarga dilibatkan sesuai dengan kebutuhan .

Rumah sakit dapat menetapkan kemungkinan pasien diizinkan keluar rumah sakit dalam jangka waktu tertentu untuk keperluan penting.

3)    Elemen Penilaian AKP 5

a) Rumah sakit  telah  menetapkan  kriteria  pemulangan pasien              sesuai    dengan    kondisi    kesehatan    dan kebutuhan pelayanan pasien beserta edukasinya.

b) Rumah sakit telah menetapkan kemungkinan pasien diizinkan keluar rumah sakit dalam jangka waktu tertentu untuk keperluan penting.

c) Penyusunan  rencana   dan   instruksi   pemulangan didokumentasikan dalam rekam medis pasien dan diberikan kepada pasien secara tertulis.

d) Tindak lanjut  pemulangan  pasien  bila  diperlukan dapat ditujukan kepada fasilitas pelayanan kesehatan baik perorangan ataupun dimana pasien untuk memberikan pelayanan berkelanjutan.

4)    Standar AKP 5.1

Ringkasan pasien pulang (discharge summary) dibuat untuk semua pasien rawat inap yang keluar dari rumah sakit.

5)    Maksud dan Tujuan AKP 5.1

Ringkasan  pasien pulang  memberikan  gambaran tentang

pasien yang dirawat di rumah sakit. Ringkasan dapat digunakan oleh tenaga kesehatan yang bertanggung jawab memberikan tindak lanjut asuhan.

Ringkasan pasien pulang (discharge summary) meliputi:

a) Indikasi  pasien   masuk   dirawat,   diagnosis,   dan komorbiditas lain;

b) Temuan fisik penting dan temuan-temuan lain;

c) Tindakan diagnostik dan prosedur terapi yang telah dikerjakan;

d) Obat yang  diberikan  selama  dirawat  inap  dengan potensi akibat efek residual setelah obat tidak diteruskan dan semua obat yang harus digunakan di rumah;

e) Kondisi pasien (status present); dan f)     Instruksi tindak lanjut.

Ringkasan  pasien  pulang  dijelaskan  dan  ditandatangani oleh pasien/keluarga karena memuat instruksi tindak lanjut.

Ringkasan pasien pulang dibuat sebelum pasien keluar dari rumah sakit oleh dokter penanggung jawab pelayanan (DPJP). Satu salinan/copy dari ringkasan diberikan kepada tenaga kesehatan yang bertanggung jawab memberikan tindak lanjut asuhan kepada pasien. Satu salinan diberikan kepada pasien sesuai dengan regulasi rumah sakit yang mengacu pada peraturan perundangan yang berlaku. Satu salinan diberikan kepada penjamin. Salinan ringkasan berada di rekam medis pasien.

6)    Elemen Penilaian AKP 5.1

a) Rumah sakit  telah  menetapkan  Ringkasan  pasien pulang meliputi a) – f) pada maksud dan tujuan.

b) Rumah sakit  memberikan  salinan  ringkasan  pasien pulang              kepada   pihak   yang   berkepentingan   dan tersimpan di dalam rekam medik.

c) Formulir Ringkasan pasien pulang dijelaskan kepada pasien dan atau keluarga.

7)    Standar AKP 5.2

Rumah  sakit  menetapkan  proses  untuk  mengelola  dan melakukan tindak lanjut pasien dan memberitahu staf rumah  sakit  bahwa  mereka  berniat  keluar  rumah  sakit serta menolak rencana asuhan medis.

8)    Standar AKP 5.3

Rumah sakit menetapkan proses untuk mengelola pasien yang menolak rencana asuhan medis yang melarikan diri.

9)    Maksud dan Tujuan AKP 5.2 dan AKP 5.3

Jika  seorang  pasien  rawat  inap  atau  rawat  jalan  telah selesai menjalani pemeriksaan lengkap dan sudah ada rekomendasi tindakan yang akan dilakukan, kemudian pasien  memutuskan  meninggalkan  rumah  sakit  maka pasien ini dianggap sebagai pasien keluar dan menolak rencana asuhan medis. Pasien rawat inap dan rawat jalan (termasuk pasien dari unit gawat darurat) berhak menolak tindakan medis dan keluar rumah sakit. Pasien ini menghadapi risiko karena menerima pelayanan atau tindakan tidak lengkap yang berakibat terjadi kerusakan permanen atau kematian. Jika seorang pasien rawat inap atau  rawat  jalan  minta  untuk  keluar  dari  rumah  sakit tanpa persetujuan dokter maka pasien harus diberitahu tentang risiko medis oleh dokter yang membuat rencana asuhan atau tindakan dan proses keluarnya pasien sesuai dengan  regulasi  rumah  sakit.  Jika  pasien  mempunyai dokter keluarga maka dokter keluarga tersebut harus diberitahu tentang keputusan pasien. Bila tidak ada dokter keluarga maka pasien dimotivasi untuk mendapat/mencari pelayanan kesehatan lebih lanjut. Harus diupayakan agar mengetahui   alasan   mengapa   pasien   keluar   menolak rencana asuhan medis. Rumah sakit perlu mengetahui alasan ini agar dapat melakukan komunikasi lebih baik dengan pasien dan atau keluarga pasien dalam rangka memperbaiki proses.

Jika pasien menolak rencana asuhan medis tanpa memberi tahu siapapun di dalam rumah sakit atau ada pasien rawat jalan yang menerima pelayanan kompleks atau pelayanan untuk menyelamatkan jiwa, seperti kemoterapi atau terapi radiasi, tidak kembali ke rumah sakit maka rumah sakit

harus berupaya menghubungi pasien untuk memberi tahu tentang potensi risiko bahaya yang ada. Rumah sakit menetapkan regulasi untuk proses ini sesuai dengan peraturan  perundangan  yang  berlaku,  termasuk  rumah sakit  membuat  laporan  ke  dinas  kesehatan  atau kementerian kesehatan tentang kasus infeksi dan memberi informasi tentang pasien yang mungkin mencelakakan dirinya atau orang lain.

10)  Elemen Penilaian AKP 5.2

a) Rumah  sakit    telah    menetapkan    proses    untuk mengelola pasien rawat jalan dan rawat inap yang menolak     rencana   asuhan   medis   termasuk   keluar rumah sakit atas permintaan sendiri dan pasien yang menghendaki penghentian pengobatan.

b) Ada bukti pemberian edukasi kepada pasien tentang risiko medis akibat asuhan medis yang belum lengkap.

c) Pasien keluar  rumah  sakit  atas  permintaan  sendiri, tetapi tetap mengikuti proses pemulangan pasien.

d) Dokter keluarga (bila ada) atau dokter yang memberi asuhan berikutnya kepada pasien diberitahu tentang kondisi tersebut.

e) Ada dokumentasi rumah sakit melakukan pengkajian untuk mengetahui alasan pasien keluar rumah sakit apakah permintaan sendiri, menolak asuhan medis, atau tidak melanjutkan program pengobatan.

11)  Elemen Penilaian AKP 5.3

a) Ada regulasi  yang  mengatur  pasien  rawat  inap  dan rawat jalan yang meninggalkan rumah sakit tanpa pemberitahuan (melarikan diri).

b) Rumah sakit melakukan identifikasi pasien menderita penyakit yang membahayakan dirinya sendiri atau lingkungan.

c) Rumah  sakit    melaporkan    kepada    pihak    yang berwenang                    bila  ada  indikasi  kondisi  pasien  yang membahayakan dirinya sendiri atau lingkungan.

12)  Standar AKP 5.4

Pasien   dirujuk   ke   fasilitas   pelayanan   kesehatan   lain berdasar atas kondisi pasien untuk memenuhi kebutuhan asuhan berkesinambungan dan sesuai dengan kemampuan fasilitas kesehatan penerima untuk memenuhi kebutuhan pasien.

13)  Maksud dan Tujuan AKP 5.4

Pasien dirujuk ke fasilitas kesehatan lain didasarkan atas kondisi pasien dan kebutuhan untuk memperoleh asuhan berkesinambungan. Rujukan pasien antara lain untuk memenuhi kebutuhan pasien atau konsultasi spesialistik dan tindakan, serta penunjang diagnostik. Jika pasien dirujuk ke rumah sakit lain, yang merujuk harus memastikan fasilitas kesehatan penerima menyediakan pelayanan yang dapat memenuhi kebutuhan pasien dan mempunyai  kapasitas  menerima  pasien.  Diperoleh kepastian terlebih dahulu dan kesediaan menerima pasien serta persyaratan rujukan diuraikan dalam kerja sama formal atau dalam bentuk perjanjian. Ketentuan seperti ini dapat memastikan kesinambungan asuhan tercapai dan kebutuhan pasien terpenuhi. Rujukan terjadi juga ke fasilitas kesehatan lain dengan atau tanpa ada perjanjian formal.

14)  Elemen Penilaian AKP 5.4

a) Ada regulasi tentang rujukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

b) Rujukan pasien dilakukan sesuai dengan kebutuhan kesinambungan asuhan pasien.

c) Rumah  sakit   yang   merujuk   memastikan   bahwa fasilitas kesehatan yang menerima dapat memenuhi kebutuhan pasien yang dirujuk.

d) Ada kerjasama  rumah  sakit  yang  merujuk  dengan rumah             sakit  yang  menerima  rujukan  yang  sering dirujuk.

15)  Standar AKP 5.5

Rumah  sakit  menetapkan  proses  rujukan  untuk memastikan pasien pindah dengan aman.

16)  Maksud dan Tujuan AKP 5.5

Rujukan pasien sesuai dengan kondisi pasien,  menentukan kualifikasi staf pendamping yang memonitor dan menentukan  jenis  peralatan  medis  khusus.  Selain  itu, harus  dipastikan  fasilitas  pelayanan  kesehatan penerima menyediakan pelayanan yang dapat memenuhi kebutuhan pasien dan mempunyai kapasitas pasien dan jenis teknologi medis. Diperlukan proses konsisten melakukan rujukan pasien untuk memastikan keselamatan pasien. Proses ini menangani:

a) Ada staf yang bertanggung jawab dalam pengelolaan rujukan termasuk untuk memastikan pasien diterima di rumah   sakit   rujukan   yang   dapat   memenuhi kebutuhan pasien;

b) Selama dalam proses rujukan ada staf yang kompeten sesuai dengan kondisi pasien yang selalu memonitor dan mencatatnya dalam rekam medis;

c) Dilakukan identifikasi kebutuhan obat, bahan medis habis pakai, alat kesehatan dan peralatan medis yang dibutuhkan selama proses rujukan; dan

d) Dalam proses pelaksanaan rujukan, ada proses serah terima pasien   antara   staf   pengantar   dan   yang menerima. Rumah sakit melakukan evaluasi terhadap mutu       dan    keamanan    proses    rujukan    untuk memastikan pasien telah ditransfer dengan staf yang kompeten dan dengan peralatan medis yang tepat.

17)  Elemen Penilaian AKP 5.5

a) Rumah sakit  memiliki  staf  yang  bertanggung  jawab dalam               pengelolaan     rujukan     termasuk     untuk memastikan pasien diterima di rumah sakit rujukan yang dapat memenuhi kebutuhan pasien.

b) Selama proses rujukan ada staf yang kompeten sesuai dengan kondisi pasien yang selalu memantau dan mencatatnya dalam rekam medis.

c) Selama proses  rujukan  tersedia  obat,  bahan  medis habis           pakai,  alat  kesehatan,  dan  peralatan  medis sesuai dengan kebutuhan kondisi pasien.

d) Rumah sakit  memiliki  proses  serah  terima  pasien antara staf pengantar dan yang menerima.

e) Pasien dan keluarga dijelaskan apabila rujukan yang dibutuhkan tidak dapat dilaksanakan.

18)  Standar AKP 5.6

Rumah sakit menetapkan regulasi untuk mengatur proses rujukan dan dicatat di rekam medis pasien.

19)  Maksud dan Tujuan AKP 5.6

Informasi tentang pasien yang dirujuk disertakan bersama dengan pasien untuk menjamin kesinambungan asuhan. Formulir rujukan berisi:

a) Identitas pasien;

b) Hasil pemeriksaan (anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang) yang telah dilakukan;

c) Diagnosis kerja;

d) Terapi dan/atau tindakan yang telah diberikan;

e) Tujuan rujukan; dan

f) Nama  dan   tanda   tangan   tenaga   kesehatan   yang memberikan pelayanan rujukan.

Dokumentasi   juga   memuat   nama   fasilitas   pelayanan kesehatan dan nama orang di fasilitas pelayanan kesehatan yang menyetujui menerima pasien, kondisi khusus untuk rujukan  (seperti   kalau   ruangan   tersedia   di   penerima rujukan atau tentang status pasien). Juga dicatat jika kondisi  pasien   atau   kondisi   pasien   berubah   selama ditransfer (misalnya, pasien meninggal atau membutuhkan resusitasi).

Dokumen  lain  yang  diminta  sesuai  dengan  kebijakan rumah sakit (misalnya, tanda tangan perawat atau dokter yang menerima serta nama orang yang memonitor pasien dalam perjalanan rujukan) masuk dalam catatan. Dokumen rujukan diberikan kepada fasilitas pelayanan kesehatan penerima bersama dengan pasien.

Catatan setiap pasien yang dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan lainnya memuat juga dokumentasi selama proses rujukan.

Jika proses rujukan menggunakan transportasi dan tenaga pendamping dari pihak ketiga, rumah sakit memastikan ketersediaan  kebutuhan  pasien  selama  perjalanan  dan melakukan serah terima dengan petugas tersebut.

20)  Elemen Penilaian AKP 5.6

a) Dokumen rujukan berisi nama dari fasilitas pelayanan kesehatan yang  menerima  dan  nama  orang  yang menyetujui menerima pasien.

b) Dokumen  rujukan   berisi   alasan   pasien   dirujuk, memuat  kondisi  pasien,  dan  kebutuhan  pelayanan lebih lanjut.

c) Dokumen  rujukan   juga   memuat   prosedur   dan intervensi yang sudah dilakukan.

d) Proses rujukan  dievaluasi  dalam  aspek  mutu  dan keselamatan pasien.

21)  Standar AKP 5.7

Untuk pasien rawat jalan yang membutuhkan asuhan yang kompleks atau diagnosis yang kompleks dibuat catatan tersendiri profil ringkas medis rawat jalan (PRMRJ) dan tersedia untuk PPA.

22)  Maksud dan Tujuan AKP 5.7

Jika rumah sakit memberikan asuhan dan tindakan berlanjut kepada pasien dengan diagnosis kompleks dan atau   yang   membutuhkan   asuhan   kompleks  (misalnya pasien   yang   datang   beberapa   kali   dengan   masalah kompleks, menjalani tindakan beberapa kali, datang di beberapa unit klinis, dan sebagainya) maka kemungkinan dapat bertambahnya diagnosis dan obat, perkembangan riwayat  penyakit,  serta  temuan  pada  pemeriksaan  fisis. Oleh karena itu, untuk kasus seperti ini harus dibuat ringkasannya. Sangat penting bagi setiap PPA yang berada di berbagai unit yang memberikan asuhan kepada pasien ini mendapat akses ke informasi profil ringkas medis rawat jalan (PRMRJ) tersebut.

Profil ringkas medis rawat jalan (PRMRJ) memuat informasi, termasuk:

a) Identifikasi pasien yang menerima asuhan kompleks atau dengan  diagnosis  kompleks  (seperti  pasien  di klinis  jantung  dengan  berbagai  komorbiditas  antara lain  DM  tipe  2,  total  knee  replacement,  gagal  ginjal tahap  akhir,  dan  sebagainya.  Atau  pasien  di  klinis neurologik dengan berbagai komorbiditas).

b) Identifikasi  informasi   yang   dibutuhkan   oleh   para dokter             penanggung  jawab   pelayanan  (DPJP)   yang menangani pasien tersebut

c) Menentukan  proses     yang     digunakan     untuk memastikan bahwa informasi medis yang dibutuhkan dokter  penanggung  jawab  pelayanan  (DPJP) tersedia dalam format mudah ditelusur (easy-to-retrieve) dan mudah direvieu.

d) Evaluasi hasil  implementasi  proses  untuk  mengkaji bahwa informasi dan proses memenuhi kebutuhan dokter penanggung   jawab   pelayanan   (DPJP)   dan meningkatkan mutu serta keselamatan pasien.

23)  Elemen Penilaian AKP 5.7

a) Rumah sakit telah menetapkan kriteria pasien rawat jalan dengan   asuhan   yang   kompleks   atau   yang diagnosisnya   kompleks   diperlukan   Profil   Ringkas Medis Rawat Jalan (PRMRJ) meliputi poin a-d dalam maksud tujuan.

b) Rumah sakit memiliki proses yang dapat dibuktikan bahwa PRMRJ mudah ditelusur dan mudah di-review.

c) Proses  tersebut     dievaluasi     untuk     memenuhi kebutuhan para DPJP dan meningkatkan mutu serta keselamatan pasien.

Transportasi

1)    Standar AKP 6

Rumah sakit menetapkan proses transportasi dalam merujuk,  memindahkan  atau  pemulangan,  pasien  rawat inap dan rawat jalan utk memenuhi kebutuhan pasien.

2)    Maksud dan Tujuan AKP 6

Proses merujuk, memindahkan, dan memulangkan pasien membutuhkan pemahaman tentang kebutuhan transpor pasien. Jenis kendaraan untuk transportasi berbagai macam, mungkin ambulans atau kendaraan lain milik rumah sakit atau berasal dari sumber yang diatur oleh keluarga atau kerabat. Jenis kendaraan yang diperlukan

bergantung pada kondisi dan status pasien. Kendaraan transportasi   milik   rumah   sakit   harus   tunduk   pada peraturan perundangan yang mengatur tentang kegiatan operasionalnya, kondisi, dan perawatan kendaraan. Rumah sakit mengidentifikasi kegiatan transportasi yang berisiko terkena infeksi dan menentukan strategi mengurangi risiko infeksi. Persediaan obat dan perbekalan medis yang harus tersedia dalam kendaraan bergantung pada pasien yang dibawa. Jika rumah sakit membuat kontrak layanan transportasi maka rumah sakit harus dapat menjamin bahwa kontraktor harus memenuhi standar untuk mutu dan keselamatan pasien dan kendaraan. Jika layanan transpor diberikan oleh Kementerian Kesehatan atau Dinas Kesehatan, perusahaan asuransi, atau organisasi lain yang tidak   berada   dalam   pengawasan   rumah   sakit   maka masukan dari rumah sakit tentang keselamatan dan mutu transpor dapat memperbaiki kinerja penyedia pelayanan transpor.  Dalam  semua  hal,  rumah   sakit  melakukan evaluasi terhadap mutu dan keselamatan pelayanan transportasi. Hal ini termasuk penerimaan, evaluasi, dan tindak lanjut keluhan terkait pelayanan transportasi.

3)    Elemen Penilaian AKP 6

a) Rumah sakit   memiliki   proses   transportasi  pasien sesuai dengan kebutuhannya yang meliputi pengkajian kebutuhan           transportasi,  SDM,  obat,  bahan  medis habis   pakai,  alat  kesehatan,  peralatan  medis  dan persyaratan PPI yang sesuai dengan kebutuhan pasien.

b) Bila rumah sakit memiliki kendaraan transport sendiri, ada bukti  pemeliharan  kendaraan  tersebut  sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

c) Bila  rumah    sakit    bekerja    sama    dengan    jasa transportasi pasien mandiri, ada bukti kerja sama tersebut         dan   evaluasi   berkala   dari   rumah   sakit mengenai kelayakan kendaraan transportasi, memenuhi     aspek   mutu,   keselamatan   pasien   dan keselamatan transportasi.

d) Kriteria  alat   transportasi   yang   digunakan   untuk merujuk, memindahkan, atau memulangkan pasien ditentukan oleh rumah sakit (staf yang kompeten), harus sesuai dengan Program PPI, memenuhi aspek mutu,      keselamatan     pasien     dan     keselamatan transportasi.

Hak Pasien dan Keterlibatan Keluarga (HPK) Gambaran Umum

Hak  pasien  dalam  pelayanan  kesehatan  dilindungi  oleh  undang- undang. Dalam memberikan pelayanan, rumah sakit menjamin hak pasien yang dilindungi oleh peraturan perundangan tersebut dengan mengupayakan agar pasien mendapatkan haknya di rumah sakit. Dalam  memberikan  hak  pasien,  rumah  sakit  harus  memahami bahwa pasien dan keluarganya memiliki sikap, perilaku, kebutuhan pribadi, agama, keyakinan, budaya dan nilai-nilai yang dianut.

Hasil  pelayanan  pada  pasien  akan  meningkat  bila  pasien  dan keluarga atau mereka yang berhak mengambil keputusan diikutsertakan dalam pengambilan keputusan pelayanan dan proses yang sesuai dengan harapan, nilai, serta budaya yang dimiliki. Pendidikan pasien dan keluarga membantu pasien lebih memahami dan berpartisipasi dalam perawatan mereka untuk membuat keputusan perawatan yang lebih baik.

Standar ini akan membahas proses-proses untuk:

  1. Mengidentifikasi, melindungi,  dan  mempromosikan  hak-hak pasien;
  2. Menginformasikan pasien tentang hak-hak mereka;
  1. Melibatkan  keluarga   pasien,   bila   perlu,   dalam   keputusan tentang perawatan pasien;
  2. Mendapatkan persetujuan (informed consent); dan e.    Mendidik staf tentang hak pasien.

Proses-proses ini terkait dengan bagaimana sebuah organisasi menyediakan perawatan kesehatan dengan cara yang adil dan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Lebih lanjut, standar Hak Pasien dan Keterlibatan Keluarga akan berfokus pada:

  1. Hak pasien dan keluarga; dan
  2. Permintaan persetujuan pasien.
  3. Hak Pasien dan Keluarga

1)    Standar HPK 1

Rumah sakit menerapkan proses yang mendukung hak-hak pasien dan keluarganya selama pasien mendapatkan pelayanan dan perawatan di rumah sakit.

2)    Maksud dan Tujuan HPK 1

Pimpinan rumah sakit harus mengetahui dan memahami hak-hak pasien dan keluarganya serta tanggung jawab organisasi sebagaimana tercantum dalam peraturan perundangan. Pimpinan memberikan arahan untuk memastikan bahwa seluruh staf ikut berperan aktif dalam melindungi hak pasien tersebut.

Hak pasien dan keluarga merupakan unsur dasar dari seluruh hubungan antara organisasi, staf, pasien dan keluarga. Rumah sakit menggunakan proses kolaboratif untuk   mengembangkan   kebijakan   dan   prosedur,   dan apabila  diperlukan,  melibatkan  para  pasien  dan keluarganya selama proses tersebut.

Sering kali, pasien ingin agar keluarga dapat berpartisipasi dalam pengambilan keputusan terkait perawatan mereka. Pasien memiliki hak untuk mengidentifikasi siapa yang mereka anggap sebagai keluarga dan diizinkan untuk melibatkan orang-orang tersebut dalam perawatan. Agar keluarga  dapat  berpartisipasi,  mereka  harus  diizinkan hadir.   Pasien   diberi   kesempatan   untuk   memutuskan apakah  mereka  ingin  keluarga  ikut  terlibat  dan  sejauh mana keluarga akan terlibat dalam perawatan pasien, informasi apa mengenai perawatan yang dapat diberikan kepada keluarga/pihak lain, serta dalam keadaan apa.

3)    Elemen Penilaian HPK 1

a) Rumah sakit  menerapkan  regulasi  hak  pasien  dan keluarga sebagaimana tercantum dalam poin a) – d) pada      gambaran  umum dan  peraturan  perundang- undangan.

b) Rumah sakit memiliki proses untuk mengidentifikasi siapa  yang  diinginkan  pasien  untuk  berpartisipasi dalam pengambilan keputusan terkait perawatannya.

c) Rumah sakit  memiliki  proses  untuk  menentukan preferensi                   pasien,   dan   pada   beberapa   keadaan preferensi keluarga    pasien,    dalam    menentukan informasi apa mengenai perawatan pasien yang dapat diberikan kepada keluarga/pihak lain, dan dalam situasi apa.

d) Semua staff dilatih tentang proses dan peran mereka dalam mendukung  hak-hak  serta  partisipasi  pasien dan keluarga dalam perawatan.

4)    Standar HPK 1.1

Rumah sakit berupaya mengurangi hambatan fisik, bahasa, budaya, dan hambatan lainnya dalam mengakses dan memberikan layanan serta memberikan informasi dan edukasi  kepada  pasien  dan  keluarga  dalam  bahasa  dan cara yang dapat mereka pahami.

5)    Maksud dan Tujuan HPK 1.1

Rumah sakit mengidentifikasi hambatan, menerapkan proses untuk menghilangkan atau mengurangi hambatan, dan mengambil tindakan untuk mengurangi dampak hambatan bagi pasien yang memerlukan pelayanan dan perawatan. Sebagai contoh: tersedia akses yang aman ke unit  perawatan/pelayanan,  tersedia  rambu-rambu disabilitas dan rambu-rambu lain seperti penunjuk arah atau  alur  evakuasi  yang  mencakup  penggunaan  rambu multi  bahasa  dan/atau  simbol  internasional,  dan disediakan penerjemah yang dapat digunakan untuk pasien dengan kendala bahasa.

Rumah sakit menyiapkan pernyataan tertulis tentang hak dan tanggung jawab pasien dan keluarga yang tersedia bagi pasien ketika mereka dirawat inap atau terdaftar sebagai pasien rawat jalan. Pernyataan tersebut terpampang di area rumah sakit atau dalam bentuk brosur atau dalam metode lain seperti pemberian informasi staf pada saat diperlukan. Pernyataan tersebut sesuai dengan usia, pemahaman, bahasa dan cara yang dipahami pasien.

6)    Elemen Penilaian HPK 1.1

a) Rumah mengidentifikasi hambatan serta menerapkan proses untuk mengurangi hambatan bagi pasien dalam mendapatkan akses, proses penerimaan dan pelayanan perawatan.

b) Informasi terkait  aspek  perawatan  dan  tata  laksana medis pasien diberikan dengan cara dan bahasa yang dipahami pasien.

c) Informasi mengenai hak dan tanggung jawab pasien terpampang di area rumah sakit atau diberikan kepada setiap pasien secara tertulis atau dalam metode lain dalam bahasa yang dipahami pasien.

7)    Standar HPK 1.2

Rumah sakit memberikan pelayanan yang menghargai martabat pasien, menghormati nilai-nilai dan kepercayaan pribadi pasien serta menanggapi permintaan yang terkait dengan keyakinan agama dan spiritual.

8)    Maksud dan Tujuan HPK 1.2

Salah satu kebutuhan manusia yang paling penting adalah keinginan untuk dihargai dan memiliki martabat. Pasien memiliki hak untuk dirawat dengan penuh rasa hormat dan tenggang rasa, dalam berbagai keadaan, serta perawatan yang menjaga harkat dan martabat pasien.

Setiap   pasien   membawa   nilai-nilai   dan   kepercayaan masing-masing ke dalam proses perawatan. Sebagian nilai dan  kepercayaan  yang  umumnya  dimiliki  oleh  semua pasien sering kali berasal dari budaya atau agamanya.

Nilai-nilai dan kepercayaan lainnya dapat berasal dari diri pasien itu sendiri. Semua pasien dapat menjalankan kepercayaannya masing-masing dengan cara yang menghormati kepercayaan orang lain. Semua staf harus berusaha   memahami   perawatan   dan   pelayanan   yang mereka berikan dalam konteks dari nilai-nilai dan kepercayaan pasien.

9)    Elemen Penilaian HPK 1.2

a) Staf memberikan perawatan yang penuh penghargaan dengan memerhatikan harkat dan martabat pasien.

b) Rumah sakit  menghormati  keyakinan  spiritual  dan budaya pasien serta nilai-nilai yang dianut pasien.

c) Rumah sakit  memenuhi  kebutuhan  pasien terhadap bimbingan rohani.

10)  Standar HPK 1.3

Rumah sakit menjaga privasi pasien dan kerahasiaan informasi dalam perawatan, serta memberikan hak kepada pasien untuk memperoleh akses dalam informasi kesehatan mereka sesuai perundang-undangan yang berlaku.

11)  Maksud dan Tujuan HPK 1.3

Hak  privasi  pasien,  terutama  ketika  diwawancara, diperiksa, dirawat dan dipindahkan adalah hal yang sangat penting. Pasien mungkin menginginkan privasinya terlindung dari para karyawan, pasien  lain, dan bahkan dari anggota keluarga atau orang lain yang ditentukan oleh pasien. Oleh karena itu staf rumah sakit yang melayani dan merawat pasien harus menanyakan tentang kebutuhan privasi pasien dan harapan yang terkait dengan pelayanan yang dimaksud serta meminta persetujuan terhadap pelepasan informasi medik yang diperlukan.

Informasi medis serta informasi kesehatan lainnya yang didokumentasikan dan dikumpulkan harus dijaga kerahasiannya. Rumah sakit menghargai kerahasiaan informasi tersebut dan menerapkan prosedur yang melindungi informasi tersebut dari kehilangan atau penyalahgunaan. Kebijakan dan prosedur mencakup informasi yang dapat diberikan sesuai ketentuan peraturan dan undang-undang lainnya.

Pasien juga memiliki hak untuk mengakses informasi kesehatan mereka sendiri. Ketika mereka memiliki akses terhadap informasi kesehatan mereka, pasien dapat lebih terlibat di dalam keputusan perawatan dan membuat keputusan yang lebih baik tentang perawatan mereka.

12)  Elemen Penilaian HPK 1.3

a) Rumah sakit  menjamin  kebutuhan  privasi  pasien selama perawatan dan pengobatan di rumah sakit.

b) Kerahasiaan informasi  pasien  dijaga  sesuai  dengan peraturan perundangan.

c) Rumah  sakit    memiliki    proses    untuk    meminta persetujuan pasien terkait pemberian informasi.

d) Rumah  sakit   memiliki   proses   untuk   memberikan pasien akses terhadap informasi kesehatan mereka.

13)  Standar HPK 1.4

Rumah sakit melindungi harta benda pasien dari pencurian atau kehilangan.

14)  Maksud dan Tujuan HPK 1.4

Rumah sakit bertanggung jawab melindungi terhadap harta benda pasien dari pencurian atau kehilangan. Terdapat proses untuk mencatat dan membuat daftar harta benda yang dibawa pasien dan memastikan agar harta benda tersebut tidak dicuri atau hilang. Proses ini dilakukan di ODC (Pelayanan Satu Hari), pasien rawat inap, serta untuk pasien yang tidak mampu mengambil keputusan untuk menjaga keamanan harta benda mereka karena tidak sadarkan diri atau tidak didampingi penunggu.

15)  Elemen Penilaian HPK 1.4

a) Rumah sakit menetapkan proses untuk mencatat dan melindungi pertanggungjawaban harta benda pasien.

b) Pasien mendapat informasi mengenai tanggung jawab rumah sakit untuk melindungi harta benda pribadi mereka.

16)  Standar HPK 1.5

Rumah sakit melindungi pasien dari serangan fisik dan verbal, dan populasi yang berisiko diidentifikasi serta dilindungi dari kerentanan.

17)  Maksud dan Tujuan HPK 1.5

Rumah sakit bertanggung jawab untuk melindungi pasien dari penganiayaan fisik dan verbal yang dilakukan pengunjung, pasien lain, dan petugas. Tanggung jawab ini sangat penting terutama bagi bayi dan anak-anak, lansia, dan  kelompok  yang  tidak  mampu  melindungi  dirinya sendiri. Rumah sakit berupaya mencegah penganiayaan melalui  berbagai  proses  seperti  memeriksa  orang-orang

yang   berada   dilokasi   tanpa   identifikasi   yang   jelas, memantau wilayah yang terpencil atau terisolasi, dan cepat tanggap dalam membantu mereka yang berada dalam bahaya atau dianiaya.

18)  Elemen Penilaian HPK 1.5

a) Rumah sakit mengembangkan dan menerapkan proses untuk melindungi  semua  pasien  dari  serangan  fisik dan verbal.

b) Rumah sakit mengidentifikasi populasi yang memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami serangan.

c) Rumah sakit memantau area fasilitas yang terisolasi dan terpencil.

19)  Standar HPK 2

Pasien dan keluarga pasien dilibatkan dalam semua aspek perawatan dan tata  laksana medis melalui edukasi, dan diberikan  kesempatan  untuk  berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan mengenai perawatan serta tata laksananya.

20)  Maksud dan Tujuan HPK 2

Pasien dan keluarganya ikut berperan serta dalam proses asuhan dengan membuat keputusan mengenai perawatan, mengajukan pertanyaan tentang perawatan, dan bahkan menolak prosedur diagnostik dan tata laksana. Agar pasien dan keluarga dapat berpartisipasi dalam keputusan perawatan,  mereka  memerlukan  informasi  mengenai kondisi medis, hasil pemeriksaan, diagnosis, rencana pengobatan dan rencana tindakan serta perawatan, dan alternatif tindakan bila ada. Rumah sakit memastikan mereka dapat berpartisipasi dalam pengambilan keputusan terkait perawatan termasuk untuk melakukan perawatan sendiri di rumah.

Selama proses asuhan, pasien juga memiliki hak untuk diberitahu mengenai kemungkinan hasil yang tidak dapat diantisipasi dari terapi dan perawatan, serta ketika suatu peristiwa atau kejadian yang tidak terduga terjadi selama perawatan dilakukan.

Pasien  dan  keluarga  pasien  memahami  jenis  keputusan yang harus diambil terkait asuhan dan bagaimana mereka berpartisipasi dalam pengambilan keputusan tersebut. Ketika pasien meminta pendapat kedua, rumah sakit tidak boleh menghambat, mencegah ataupun menghalangi upaya pasien yang mencari pendapat kedua, namun sebaliknya, rumah sakit harus memfasilitasi permintaan akan pendapat kedua tersebut dan membantu menyediakan informasi mengenai kondisi pasien, seperti informasi hasil pemeriksaan,  diagnosis,  rekomendasi  terapi,  dan sebagainya.

Rumah sakit mendukung dan menganjurkan keterlibatan pasien   dan   keluarga   dalam   semua   aspek   perawatan. Seluruh staf diajarkan mengenai kebijakan dan prosedur serta peranan mereka dalam mendukung hak pasien dan keluarga untuk berpartisipasi dalam proses perawatan.

21)  Elemen Penilaian HPK 2

a) Rumah sakit menerapkan proses untuk mendukung pasien dan keluarga terlibat dan berpartisipasi dalam proses asuhan dan dalam pengambilan keputusan.

b) Rumah sakit menerapkan proses untuk memberikan edukasi kepada  pasien  dan  keluarganya  mengenai kondisi medis, diagnosis, serta rencana perawatan dan terapi yang diberikan.

c) Pasien diberikan informasi mengenai hasil asuhan dan tata laksana yang diharapkan.

d) Pasien diberikan  informasi  mengenai  kemungkinan hasil yang tidak dapat diantisipasi dari terapi dan perawatan.

e) Rumah sakit memfasilitasi permintaan pasien untuk mencari pendapat kedua tanpa perlu khawatir akan mempengaruhi perawatannya  selama  di  dalam  atau luar rumah sakit.

22)  Standar HPK 2.1

Rumah sakit memberikan informasi kepada pasien dan keluarga mengenai hak dan kewajibannya untuk menolak atau menghentikan terapi, menolak diberikan pelayanan resusitasi,  serta  melepaskan  atau  menghentikan  terapi penunjang kehidupan.

23)  Maksud dan Tujuan HPK 2.1

Pasien atau keluarga yang mengambil keputusan atas nama pasien, dapat memutuskan untuk tidak melanjutkan rencana perawatan atau terapi ataupun menghentikan perawatan atau terapi setelah proses tersebut dimulai.

Salah satu keputusan yang paling sulit untuk pasien dan keluarga dan juga untuk staf RS adalah keputusan untuk menghentikan layanan resusitasi atau perawatan yang menunjang kehidupan. Oleh karena itu, penting bagi rumah sakit untuk mengembangkan sebuah proses dalam pengambilan  keputusan-keputusan  sulit. Untuk memastikan proses pengambilan keputusan yang terkait dengan   keinginan   pasien   dilakukan   secara   konsisten, rumah sakit mengembangkan proses yang melibatkan berbagai profesional dan sudut pandang dalam proses pengembangannya. Proses tersebut mencakup pemberian informasi   secara   jelas   dan   lengkap   mengenai  kondisi pasien, konsekuensi dari keputusan yang diambil, serta pilihan atau alternatif lain yang dapat di jadikan pertimbangan. Selain itu, proses tersebut mengidentifikasi garis akuntabilitas serta bagaimana proses tersebut dapat di integrasikan di dalam rekam medis pasien.

24)  Elemen Penilaian HPK 2.1

a) Rumah sakit menerapkan proses mengenai pemberian pelayanan resusitasi     dan     penghentian     terapi penunjang kehidupan untuk pasien.

b) Rumah sakit  memberi  informasi  kepada  pasien  dan keluarga mengenai hak mereka untuk menolak atau menghentikan                         terapi,  konsekuensi  dari  keputusan yang dibuat serta terapi dan alternatif lain yang dapat dijadikan pilihan.

25)  Standar HPK 2.2

Rumah sakit mendukung hak pasien untuk mendapat pengkajian dan tata laksana nyeri serta perawatan yang penuh kasih menjelang akhir hayatnya.

26)  Maksud dan Tujuan HPK 2.2

Nyeri adalah hal yang sering dialami pasien di dalam proses perawatan.  Pasien  merespons  rasa  nyeri  sesuai  dengan nilai, tradisi, budaya serta agama yang dianut. Nyeri yang tidak  dapat  diatasi  dapat  memiliki  efek  fisiologis  yang negatif. Oleh karena itu, pasien perlu didukung dan diberi edukasi agar melaporkan nyeri yang mereka rasakan. Menjelang  akhir  hayat,  pasien  memiliki  kebutuhan  khas yang  juga  dapat  dipengaruhi  oleh  tradisi  budaya  dan agama.  Perhatian  terhadap  kenyamanan  dan  martabat pasien memandu semua aspek perawatan di akhir hayat mereka. Untuk memberikan perawatan yang terbaik pada pasien yang sedang memasuki fase menjelang akhir hayat, semua staf harus rumah sakit menyadari kebutuhan yang unik dan spesifik dari seorang pasien di akhir hayatnya. Kebutuhan-kebutuhan unik tersebut meliputi tata laksana terhadap  keluhan  utama  dan  keluhan  tambahan;  tata laksana nyeri; tanggapan terhadap kekhawatiran psikologis, sosial,   emosional,   agama,   dan   kultural   pasien   serta keluarganya serta keterlibatan dalam keputusan perawatan. Proses   perawatan   yang   diberikan   rumah   sakit   harus menjunjung  tinggi  dan  mencerminkan  hak  dari  semua pasien untuk mendapatkan pengkajian dan tata laksana nyeri serta pengkajian dan pengelolaan kebutuhan pasien yang unik dan spesifik di akhir hayatnya.

27)  Elemen Penilaian HPK 2.2

a) Rumah sakit  menerapkan  proses  untuk  menghargai dan mendukung hak pasien mendapatkan pengkajian dan pengelolaan nyeri.

b) Rumah sakit  menerapkan  proses  untuk  menghargai dan         mendukung  hak  pasien  untuk  mendapatkan pengkajian dan   pengelolaan   terhadap   kebutuhan pasien menjelang akhir hayat.

28)  Standar HPK 3

Rumah sakit memberitahu pasien dan keluarganya mengenai   proses   untuk   menerima   dan   menanggapi keluhan,     tindakan     rumah     sakit     bila  terdapat konflik/perbedaan pendapat di dalam asuhan pasien, serta hak pasien untuk berperan dalam semua proses ini.

29)  Maksud dan Tujuan HPK 3

Pasien memiliki hak untuk menyampaikan keluhan tentang asuhan mereka dan keluhan tersebut harus ditanggapi dan diselesaikan. Di samping itu, keputusan terkait perawatan kadang kala menimbulkan pertanyaan, konflik atau dilema lain bagi rumah sakit, pasien dan keluarga atau pengambil keputusan lain. Dilema ini mungkin timbul sejak pasien mengakses pelayanan, selama menjalani masa perawatan, dan pada  proses  pemulangan.  Rumah  sakit menetapkan penanggung   jawab   dan   proses   untuk   menyelesaikan keluhan tersebut.

Rumah sakit mengidentifikasi kebijakan dan prosedur bagi mereka yang perlu dilibatkan dalam menyelesaikan keluhan dan bagaimana pasien dan keluarganya dapat ikut berperan serta.

30)  Elemen Penilaian HPK 3

a) Pasien diberikan  informasi  mengenai  proses  untuk menyampaikan   keluhan   dan   proses   yang   harus dilakukan                    pada    saat    terjadi    konflik/perbedaan pendapat pada proses perawatan.

b) Keluhan, konflik,  dan  perbedaan  pendapat  tersebut dikaji   dan   diselesaikan   oleh   unit/petugas   yang bertanggung  jawab  melalui  sebuah  alur/proses spesifik.

c) Pasien  dan   keluarga   berpartisipasi   dalam   proses penyelesaian                         keluhan,    konflik,    dan    perbedaan pendapat.

 

Permintaan Persetujuan Pasien

1)    Standar HPK 4

Rumah sakit menetapkan batasan yang jelas untuk persetujuan umum yang diperoleh pasien pada saat akan menjalani rawat inap atau didaftarkan pertama kalinya sebagai pasien rawat jalan.

2)    Maksud dan Tujuan HPK 4

Rumah    sakit    meminta    persetujuan    umum    untuk pengobatan ketika pasien di terima rawat inap di rumah sakit atau ketika pasien didaftarkan untuk pertama kalinya sebagai pasien rawat jalan. Pada saat persetujuan umum itu  diperoleh,   pasien   telah   diberi   informasi  mengenai lingkup persetujuan umum tersebut. Selanjutnya, rumah sakit menentukan bagaimana persetujuan umum didokumentasikan dalam rekam medis pasien.

Selain general consent (persetujuan umum), semua pasien diberikan informasi mengenai pemeriksaan, tindakan dan pengobatan di mana informed  consent  (persetujuan tindakan)  terpisah  akan  dibuat.  Selain  itu,  pasien  juga harus menerima informasi mengenai kemungkinan adanya peserta didik, seperti peserta didik perawat, peserta didik fisioterapi, mahasiswa kedokteran, dokter yang sedang menjalani pendidikan spesialis/trainee/fellowship, serta peserta didik lainnyayang terlibat dalam proses asuhan.

3)    Elemen Penilaian HPK 4

a) Rumah  sakit     menerapkan     proses     bagaimana persetujuan umum didokumentasikan dalam rekam medis pasien.

b) Pasien dan  keluarga  diberikan  informasi  mengenai pemeriksaan,                          tindakan     dan     pengobatan     yang memerlukan informed consent.

c) Pasien menerima  informasi  mengenai  kemungkinan keterlibatan peserta didik, mahasiswa, residen traine dan fellow yang berpartisipasi dalam proses perawatan.

4)    Standar HPK 4.1

Persetujuan  tindakan  (informed  consent)  pasien diperoleh melalui cara yang telah ditetapkan rumah sakit dan dilaksanakan oleh petugas terlatih dengan cara dan bahasa yang mudah dipahami pasien.

5)    Maksud dan Tujuan HPK 4.1

Salah satu proses penting di mana pasien dapat terlibat dalam pengambilan keputusan tentang perawatan mereka adalah dengan memberikan informed consent. Untuk memberikan persetujuan ini, pasien harus di informasikan terlebih dahulu mengenai faktor-faktor yang terkait dengan rencana perawatan yang dibutuhkan untuk mengambil keputusan. Proses persetujuan harus didefinisikan secara jelas oleh rumah sakit dalam kebijakan dan prosedur sesuai perundang-udangan yang berlaku.

Pasien dan keluarga diberikan informasi mengenai pemeriksaan, tindakan, dan pengobatan mana yang memerlukan persetujuan dan bagaimana mereka dapat memberikan   persetujuan.   Edukasi   diberikan   oleh   staf rumah sakit yang kompeten dan merupakian bagian dari proses untuk mendapatkan informed consent (sebagai contoh, untuk pembedahan dan anestesi).

Jika perawatan yang direncanakan meliputi prosedur pembedahan atau tindakan invasif, anestesi, sedasi, penggunaan darah dan produk darah, perawatan atau tindakan berisiko tinggi, maka diperlukan persetujuan tindakan secara terpisah. Rumah sakit mengidentifikasi perawatan dan prosedur berisiko tinggiatau prosedur dan perawatan  lainnya  yang  membutuhkan  persetujuan. Rumah sakit membuat daftar perawatan dan prosedur ini serta  mengedukasi  petugas  untuk  memastikan  bahwa proses untuk memperoleh persetujuan itu harus diterapkan secara konsisten. Daftar tersebut dikembangkan bersama- sama oleh para dokter dan orang lain yang memberikan perawatan atau melakukan tindakan. Daftar ini meliputi semua tindakan dan perawatan yang disiapkan bagi pasien rawat jalan dan pasien rawat inap.

6)    Elemen Penilaian HPK 4.1

a) Rumah sakit  menerapkan  proses  bagi pasien untuk mendapatkan informed consent.

b) Pemberian informed consent dilakukan oleh staf yang kompeten dan diberikan dengan cara dan bahasa yang mudah dipahami pasien.

c) Rumah  sakit   memiliki   daftar   tindakan   invasif, pemeriksaan dan terapi tambahan yang memerlukaninformed consent.

7)    Standar HPK 4.2

Rumah   sakit   menerapkan   proses   untuk   pemberian persetujuan oleh orang lain, sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

8)    Maksud dan Tujuan HPK 4.2

Ada kalanya terdapat kondisi dimana orang lain selain pasien (baik sendiri maupun bersama pasien) ikut terlibat dalam keputusan mengenai perawatan pasien dalam proses pemberian informed consent untuk perawatan. Hal ini terutama berlaku ketika pasien tidak memiliki kemampuan mental atau fisik untuk mengambil keputusan tentang perawatannya sendiri, ketika latar belakang budaya atau kebiasaan mengharuskan orang lain yang mengambil keputusan tentang perawatan atau ketika pasien masih kanak-kanak. Ketika pasien tidak dapat membuat keputusan tentang perawatannya, maka ditentukan perwakilan untuk  mengambil keputusan tersebut. Ketika ada orang lain selain pasien itu yang memberi persetujuan, nama individu itu dicatat dalam rekam medis pasien.

9)    Elemen Penilaian HPK 4.2

a) Rumah sakit  menerapkan  proses  untuk  pemberian informed consent oleh orang lain selain pasien sesuai peraturan perundangan yang berlaku.

b) Rekam medis pasien mencantumkan (satu atau lebih) nama individu yang menyatakan persetujuan.

 

Pengkajian Pasien (PP) Gambaran Umum

Tujuan dari pengkajian adalah untuk menentukan perawatan, pengobatan dan pelayanan yang akan memenuhi kebutuhan awal dan kebutuhan berkelanjutan pasien. Pengkajian pasien merupakan proses yang berkelanjutan dan dinamis yang berlangsung di layanan rawat  jalan  serta  rawat  inap.  Pengkajian  pasien  terdiri  atas  tiga proses utama:

  1. Mengumpulkan  informasi   dan   data   terkait   keadaan   fisik, psikologis, status sosial, dan riwayat kesehatan pasien.
  2. Menganalisis data dan informasi, termasuk hasil pemeriksaan laboratorium, pencitraan diagnostik, dan pemantauan fisiologis, untuk   mengidentifikasi   kebutuhan   pasien   akan   layanan kesehatan.
  3. Membuat rencana  perawatan  untuk  memenuhi  kebutuhan pasien yang telah teridentifikasi.

Pengkajian pasien yang efektif akan menghasilkan keputusan tentang kebutuhan asuhan, tata laksana pasien yang harus segera dilakukan dan pengobatan berkelanjutan untuk emergensi atau elektif/terencana, bahkan ketika kondisi pasien berubah.

Asuhan pasien di rumah sakit diberikan dan dilaksanakan berdasarkan konsep pelayanan berfokus pada pasien (Patient/Person Centered Care) Pola ini dipayungi oleh konsep WHO dalam Conceptual framework   integrated   people-centred   health   services.   Penerapan konsep  pelayanan  berfokus  pada  pasien  adalah  dalam  bentuk Asuhan Pasien Terintegrasi yang bersifat integrasi horizontal dan vertikal dengan elemen:

    1. Dokter penanggung jawab pelayanan (DPJP) sebagai ketua tim asuhan/Clinical Leader;
    2. Profesional Pemberi  Asuhan  bekerja  sebagai  tim  intra  dan interdisiplin dengan kolaborasi interprofesional, dibantu antara lain dengan Panduan Praktik Klinis (PPK), Panduan Asuhan PPA lainnya, Alur Klinis/Clinical Pathway terintegrasi, Algoritma, Protokol, Prosedur, Standing Order dan CPPT (Catatan Perkembangan Pasien Terintegrasi);
    3. Manajer Pelayanan Pasien/Case Manager; dan
    4. Keterlibatan dan pemberdayaan pasien dan keluarga.

Pengkajian ulang harus dilakukan selama asuhan, pengobatan dan pelayanan  untuk  mengidentifikasi  kebutuhan  pasien.  Pengkajian ulang  adalah  penting  untuk  memahami  respons  pasien  terhadap pemberian asuhan, pengobatan dan pelayanan, serta juga penting untuk menentukan apakah keputusan asuhan memadai dan efektif. Proses-proses ini paling efektif dilaksanakan bila berbagai profesional kesehatan yang bertanggung jawab atas pasien bekerja sama.

Standar Pengkajian Pasien ini berfokus kepada:

    1. Pengkajian awal pasien;
    2. Pengkajian ulang pasien;
    3. Pelayanan laboratorium dan pelayanan darah; dan d.    Pelayanan radiologi klinik.
    4. Pengkajian Pasien

1)    Standar PP 1

Semua pasien yang dirawat di rumah sakit diidentifikasi kebutuhan perawatan kesehatannya melalui suatu proses pengkajian yang telah ditetapkan oleh rumah sakit.

2)    Standar PP 1.1

Kebutuhan medis dan keperawatan pasien diidentifikasi berdasarkan pengkajian awal.

3)    Standar PP 1.2

Pasien dilakukan skrining risiko nutrisi, skrining nyeri, kebutuhan fungsional termasuk risiko jatuh dan kebutuhan khusus lainnya.

4)    Maksud dan Tujuan PP1, PP 1.1 dan PP 1.2

Proses pengkajian pasien yang efektif menghasilkan keputusan tentang kebutuhan pasien untuk mendapatkan tata  laksana  segera  dan  berkesinambungan  untuk pelayanan gawat darurat, elektif atau terencana, bahkan ketika kondisi pasien mengalami perubahan. Pengkajian pasien adalah sebuah proses berkesinambungan dan dinamis yang dilakukan di unit gawat darurat, rawat inap dan rawat jalan serta unit lainnya. Pengkajian pasien terdiri dari tiga proses primer:

a) Pengumpulan informasi  dan  data  mengenai  kondisi fisik,           psikologis,   dan   status   sosial   serta   riwayat kesehatan pasien sebelumnya.

b) Analisis  data    dan    informasi,    termasuk    hasil pemeriksaan laboratorium dan uji diagnostik pencitraan,   untuk     mengidentifikasi     kebutuhan perawatan pasien.

c) Pengembangan  rencana   perawatan   pasien   untuk memenuhi kebutuhan yang telah diidentifikasi.

Pengkajian disesuaikan dengan kebutuhan pasien, sebagai contoh, rawat inap atau rawat jalan. Bagaimana pengkajian ini dilakukan dan informasi apa yang perlu dikumpulkan serta  didokumentasikan  ditetapkan  dalam kebijakan dan prosedur rumah sakit.

Isi minimal pengkajian awal antara lain:

a) Keluhan saat ini

b) Status fisik;

c) Psiko-sosio-spiritual;

d) Ekonomi;

e) Riwayat kesehatan pasien;

f) Riwayat alergi;

g) Riwayat penggunaan obat;

h) Pengkajian nyeri;

i) Risiko jatuh;

j) Pengkajian fungsional;

k) Risiko nutrisional;

l) Kebutuhan edukasi; dan

m) Perencanaan pemulangan pasien (Discharge Planning). Pada  kelompok  pasien  tertentu,  misalnya  dengan  risiko jatuh, nyeri dan status nutrisi maka  dilakukan skrining sebagai bagian dari pengkajian awal, kemudian dilanjutkan dengan pengkajian lanjutan.

Agar pengkajian kebutuhan pasien dilakukan secara konsisten, rumah sakit harus mendefinisikan dalam kebijakan,  isi  minimum  dari  pengkajian  yang  dilakukan oleh para dokter, perawat, dan disiplin klinis lainnya. Pengkajian dilakukan oleh setiap disiplin dalam ruang lingkup praktiknya, perizinan, perundangundangan. Hanya PPA yang kompeten dan di izinkan oleh rumah sakit yang akan melakukan pengkajian.

Rumah sakit mendefinisikan elemen-elemen yang akan digunakan pada seluruh pengkajian dan mendefinisikan perbedaan-perbedaan yang ada terutama dalam ruang lingkup  kedokteran  umum  dan  layanan  spesialis. Pengkajian yang didefinisikan dalam kebijakan dapat dilengkapi oleh lebih dari satu individu yang kompeten dan dilakukan pada beberapa waktu yang berbeda. Semua pengkajian   tersebut   harus   sudah   terisi   lengkap   dan memiliki informasi terkini (kurang dari atau sama dengan 30 (tiga puluh) hari) pada saat tata laksana dimulai.

5)    Elemen Penilaian PP 1

a) Rumah sakit menetapkan regulasi tentang pengkajian awal dan pengkajian ulang medis dan keperawatan di unit gawat darurat, rawat inap dan rawat jalan.

b) Rumah sakit menetapkan isi minimal pengkajian awal meliputi poin a) – l) pada maksud dan tujuan.

c) Hanya PPA   yang   kompeten,   diperbolehkan  untuk melakukan                     pengkajian   sesuai   dengan   ketentuan rumah sakit.

d) Perencanaanan pulang  yang  mencakup  identifikasi kebutuhan                    khusus  dan  rencana  untuk  memenuhi kebutuhan tersebut, disusun sejak pengkajian awal.

6)    Elemen Penilaian PP 1.1

a) Pengkajian awal medis dan keperawatandilaksanakan dan didokumentasikan dalam kurun waktu 24 jam pertama sejak pasien masuk rawat inap, atau lebih awal bila diperlukan sesuai dengan kondisi pasien.

b) Pengkajian awal medis menghasilkan diagnosis medis yang mencakup  kondisi  utama  dan  kondisi  lainnya yang membutuhkan tata laksana dan pemantauan.

c) Pengkajian awal keperawatan menghasilkan diagnosis keperawatan untuk menentukan kebutuhan asuhan keperawatan, intervensi atau pemantauan pasien yang spesifik.

d) Sebelum  pembedahan    pada    kondisi    mendesak, minimal                terdapat   catatan   singkat   dan   diagnosis praoperasi yang didokumentasikan di dalam rekam medik.

e) Pengkajian medis  yang  dilakukan  sebelum  masuk rawat inap atau sebelum pasien menjalani prosedur di layanan  rawat  jalan  rumah  sakit  harus  dilakukan dalam waktu kurang atau sama dengan 30 (tiga puluh) hari Jika lebih dari 30 (tiga puluh) hari, maka harus dilakukan pengkajian ulang.

f) Hasil dari seluruh pengkajian yang dikerjakan di luar rumah sakit ditinjau dan/atau diverifikasi pada saat masuk rawat inap atau sebelum tindakan di unit rawat jalan.

7)    Elemen Penilaian PP 1.2

a) Rumah sakit  menetapkan  kriteria  risiko  nutrisional yang dikembangkan bersama staf yang kompeten dan berwenang.

b) Pasien diskrining untuk risiko nutrisi sebagai bagian dari pengkajian awal.

c) Pasien dengan  risiko  nutrisional  dilanjutkan dengan pengkajian gizi.

d) Pasien  diskrining    untuk    kebutuhan    fungsional termasuk risiko jatuh.

8)    Standar PP 1.3

Rumah sakit melakukan pengkajian awal yang telah dimodifikasi untuk populasi khusus yang dirawat di rumah sakit.

9)    Maksud dan Tujuan PP 1.3

Pengkajian  tambahan  untuk  pasien  tertentu  atau  untuk populasi pasien khusus mengharuskan proses pengkajian tambahan   sesuai   dengan   kebutuhan   populasi   pasien tertentu.   Setiap   rumah   sakit   menentukan   kelompok populasi    pasien    khusus    dan    menyesuaikan    proses pengkajian untuk memenuhi kebutuhan khusus mereka. Pengkajian tambahan dilakukan antara lain namun tidak terbatas untuk:

a)

b)    Anak.

c)

d) Obsteri / maternitas. e)

f) Sakit terminal / menghadapi kematian.

g) Pasien dengan nyeri kronik atau nyeri (intense).

h) Pasien  dengan   gangguan   emosional   atau   pasien psikiatris.

i) Pasien kecanduan obat terlarang atau alkohol. j)     Korban kekerasan atau kesewenangan.

k) Pasien dengan penyakit menular atau infeksius.

l) Pasien yang menerima kemoterapi atau terapi radiasi. m)   Pasien dengan sistem imunologi terganggu.

Tambahan pengkajian terhadap pasien ini memperhatikan kebutuhan dan kondisi mereka berdasarkan budaya dan nilai yang dianut pasien. Proses pengkajian disesuaikan dengan peraturan perundangan dan standar profesional.

10)  Elemen Penilaian PP 1.3

a) Rumah sakit menetapkan jenis populasi khusus yang akan dilakukan pengkajian meliputi poin a) – m) pada maksud dan tujuan.

b) Rumah  sakit     telah     melaksanakan     pengkajian tambahan terhadap populasi pasien khusus sesuai ketentuan rumah sakit.

 

Pengkajian Ulang Pasien

1)    Standard PP 2

Rumah sakit melakukan pengkajian ulang bagi semua pasien dengan interval waktu yang ditentukan untuk kemudian dibuat rencana asuhan lanjutan.

2)    Maksud dan Tujuan PP 2

Pengkajian ulang dilakukan oleh semua PPA untuk menilai apakah  asuhan  yang  diberikan  telah  berjalan  dengan efektif. Pengkajian ulang dilakukan dalam interval waktu yang didasarkan atas kebutuhan dan rencana asuhan, dan digunakan sebagai dasar rencana pulang pasien sesuai dengan regulasi rumah sakit. Hasil pengkajian ulang dicatat di rekam medik pasien/CPPT sebagai informasi untuk di gunakan oleh semua PPA.

Pengkajian  ulang  oleh  DPJP  dibuat  dibuat  berdasarkan asuhan pasien sebelumnya. DPJP melakukan pengkajian terhadap pasien sekurang-kurangnya setiap hari, termasuk di akhir minggu/hari libur, dan jika ada perubahan kondisi pasien. Perawat melakukan pengkajian ulang minimal satu kali pershift atau sesuai perkembangan pasien, dan setiap hari DPJP akan mengkoordinasi dan melakukan verifikasi ulang perawat untuk asuhan keperawatan selanjutnya. Penilaian  ulang  dilakukan  dan  hasilnya  dimasukkan  ke dalam rekam medis pasien:

a) Secara  berkala   selama   perawatan   (misalnya,   staf perawat secara berkala mencatat tanda-tanda vital, nyeri, penilaian dan suara paru-paru dan jantung, sesuai kebutuhan berdasarkan kondisi pasien);

b) Setiap hari oleh dokter untuk pasien perawatan akut;

c) Dalam  menanggapi   perubahan   signifikan   dalam kondisi pasien; (Juga lihat PP 3.2)

d) Jika diagnosis pasien telah berubah dan kebutuhan perawatan memerlukan perencanaan yang direvisi; dan

e) Untuk menentukan apakah pengobatan dan perawatan lain telah berhasil dan pasien dapat dipindahkan atau dipulangkan.

Temuan pada pengkajian digunakan sepanjang proses pelayanan untuk mengevaluasi kemajuan pasien dan untuk memahami   kebutuhan   untuk   pengkajian   ulang.   Oleh karena  itu  pengkajian  medis,  keperawatan dan PPA lain dicatat di rekam medik untuk digunakan oleh semua PPA yang memberikan asuhan ke pasien.

3)    Elemen Penilaian PP 2

a) Rumah sakit  melaksanakan  pengkajian  ulang  oleh DPJP, perawat dan PPA lainnya untuk menentukan rencana asuhan lanjutan.

b) Terdapat bukti pelaksanaan pengkajian ulang medis dilaksanakan minimal satu kali sehari, termasuk akhir minggu/libur untuk pasien akut.

c) Terdapat bukti  pelaksanaan  pengkajian  ulang  oleh perawat minimal satu kali per shift atau sesuai dengan perubahan kondisi pasien.

d) Terdapat bukti  pengkajian  ulang  oleh  PPA  lainnya dilaksanakan  dengan  interval  sesuai  regulasi rumah sakit.

 

Standar Pelayanan Laboratorium dan Pelayanan Darah

1)    Standar PP 3

Pelayanan laboratorium tersedia untuk memenuhi kebutuhan pasien sesuai peraturan perundangan.

2)    Maksud dan Tujuan PP 3

Rumah   Sakit   mempunyai   sistem   untuk   menyediakan pelayanan laboratorium, meliputi pelayanan patologi klinis, dapat juga tersedia patologi anatomi dan pelayanan laboratorium lainnya, yang dibutuhkan populasi pasiennya, dan PPA. Organisasi pelayanan laboratorium yang di bentuk dan diselenggarakan sesuai peraturan perundangan Di Rumah  Sakit  dapat  terbentuk  pelayanan  laboratorium utama (induk), dan juga pelayanan laboratorium lain, misalnya laboratorium Patologi Anatomi, laboratorium Mikrobiologi maka harus diatur secara organisatoris pelayanan laboratorium terintegrasi, dengan pengaturan tentang kepala pelayanan laboratorium terintegrasi yang membawahi semua jenis pelayanan laboratorium di Rumah Sakit.

Salah satu pelayanan laboratorium di ruang rawat (Point of Care Testing) yang dilakukan oleh perawat ruangan harus memenuhi persyaratan kredensial. Pelayanan laboratorium, tersedia 24 jam termasuk pelayanan darurat, diberikan di dalam rumah sakit dan rujukan sesuai dengan peraturan perundangan. Rumah sakit dapat juga menunjuk dan menghubungi para spesialis di bidang diagnostik khusus, seperti parasitologi, virologi, atau toksikologi. Jika diperlukan, rumah sakit dapat melakukan pemeriksaan rujukan dengan memilih sumber dari luar berdasarkan rekomendasi dari pimpinan laboratorum rumah sakit. Sumber dari luar tersebut dipilih oleh Rumah Sakit karena memenuhi peraturan perundangan dan mempunyai sertifikat mutu. Bila melakukan pemeriksaan rujukan keluar, harus melalui laboratorium Rumah Sakit.

3)    Elemen Penilaian PP 3

a) Rumah sakit menetapkan regulasi tentang pelayanan laboratorium di rumah sakit.

b) Pelayanan laboratorium buka 24 jam, 7 (tujuh) hari seminggu, sesuai dengan kebutuhan pasien.

4)    Standar PP 3.1

Rumah sakit menetapkan bahwa seorang yang kompeten dan berwenang, bertanggung jawab mengelola pelayanan laboratorium.

5)    Maksud dan Tujuan PP 3.1

Pelayanan laboratorium berada dibawah pimpinan seorang yang kompeten dan memenuhi persyaratan peraturan perundang-undangan. Pimpinan laboratorium bertanggung jawab mengelola fasilitas dan pelayanan laboratorium, termasuk pemeriksaan Point-of-care testing (POCT), juga tanggung jawabnya dalam melaksanakan regulasi RS secara konsisten, seperti pelatihan, manajemen logistik dan sebagainya.

Tanggung jawab pimpinan laboratorium antara lain:

a) Menyusun dan evaluasi regulasi.

b) Pengawasan pelaksanaan administrasi.

c) Melaksanakan program kendali mutu (PMI dan PME) dan mengintegrasikan  program  mutu  laboratorium dengan program Manajemen Fasilitas dan Keamanan serta program Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di rumah sakit.

d) Melakukan pemantauan  dan  evaluasi  semua  jenis pelayanan laboratorium.

e) Mereview dan  menindak  lanjuti  hasil  pemeriksaan laboratorium rujukan.

6)    Elemen Penilaian PP 3.1

a) Direktur rumah sakit menetapkan penanggung jawab laboratorium yang memiliki kompetensi sesuai ketentuan perundang-undangan.

b) Terdapat bukti pelaksanaan tanggung jawab pimpinan laboratorium sesuai poin a) – e) pada maksud dan tujuan.

7)    Standar PP 3.2

Staf laboratorium mempunyai pendidikan, pelatihan, kualifikasi dan pengalaman yang dipersyaratkan untuk mengerjakan pemeriksaan.

8)    Maksud dan Tujuan PP 3.2

Syarat pendidikan, pelatihan, kualifikasi dan pengalaman ditetapkan rumah sakit bagi mereka yang memiliki kompetensi dan kewenangan diberi ijin mengerjakan pemeriksaan  laboratorium,  termasuk  yang  mengerjakan

pemeriksaan  di  tempat  tidur  pasien  (POCT).  Interpretasi hasil pemeriksaan  dilakukan oleh dokter yang kompeten dan berwenang. Pengawasan terhadap staf yang mengerjakan pemeriksaan diatur oleh regulasi RS. Staf pengawas dan staf pelaksana diberi orientasi tugas mereka. Staf   pelaksana   diberi   tugas   sesuai   latar   belakang pendidikan dan pengalaman. Unit kerja laboratorium menyusun dan melaksanakan pelatihan staf yang memungkinkan   staf   mampu   melakukan   tugas   sesuai dengan uraian tugasnya.

9)    Elemen Penilaian PP 3.2

a) Staf laboratorium  yang  membuat  interpretasi  telah memenuhi persyaratan kredensial.

b) Staf laboratorium  dan  staf  lain  yang  melaksanakan pemeriksaan termasuk yang mengerjakan Point-of-care testing (POCT), memenuhi persyaratan kredensial.

10)  Standar PP 3.3

Rumah Sakit menetapkan kerangka waktu penyelesaian pemeriksaan regular dan pemeriksaan segera (cito).

11)  Maksud dan Tujuan PP 3.3

Rumah sakit menetapkan kerangka waktu penyelesaian pemeriksaan laboratorium. Penyelesaian pemeriksaan laboratorium dilaporkan sesuai kebutuhan pasien. Hasil pemeriksaan segera (cito), antara lain dari unit gawat darurat,  kamar  operasi,  unit  intensif  diberi  perhatian khusus terkait kecepatan hasil pemeriksaan. Jika pemeriksaan dilakukan melalui kontrak (pihak ketiga) atau laboratorium rujukan, kerangka waktu melaporkan hasil pemeriksaan juga mengikuti ketentuan rumah sakit.

12)  Elemen Penilaian PP 3.3

a) Rumah sakit menetapkan dan menerapkan kerangka waktu penyelesaian pemeriksaan laboratorium regular dan cito.

b) Terdapat  bukti   pencatatan   dan   evaluasi   waktu penyelesaian pemeriksaan laboratorium.

c) Terdapat  bukti   pencatatan   dan   evaluasi   waktu penyelesaian pemeriksaan cito.

d) Terdapat bukti  pencatatan  dan  evaluasi  pelayanan laboratorium rujukan.

13)  Standar PP 3.4

Rumah sakit memiliki prosedur pengelolaan semua reagensia esensial dan di evaluasi secara berkala pelaksaksanaannya.

14)  Maksud dan Tujuan PP 3.4

Rumah sakit menetapkan reagensia dan bahan-bahan lain yang selalu harus ada untuk pelayanan laboratorium bagi pasien. Suatu proses yang efektif untuk pemesanan atau menjamin ketersediaan reagensia esensial dan bahan lain yang diperlukan. Semua reagensia disimpan dan didistribusikan sesuai prosedur yang ditetapkan. Dilakukan audit  secara  periodik  untuk  semua  reagensia  esensial untuk memastikan akurasi dan presisi hasil pemeriksaan, antara lain untuk aspek penyimpanan, label, kadaluarsa dan fisik. Prosedur tertulis memastikan pemberian label secara lengkap dan akurat untuk reagensia dan larutan dan akurasi serta presisi dari hasil.

15)  Elemen Penilaian PP 3.4

a) Terdapat bukti pelaksanaan semua reagensia esensial disimpan dan diberi label, serta didistribusi sesuai prosedur dari   pembuatnya   atau   instruksi   pada kemasannya

b) Terdapat bukti  pelaksanaan  evaluasi/audit  semua reagen.

16)  Standar PP 3.5

Rumah sakit memiliki prosedur untuk cara pengambilan, pengumpulan, identifikasi, pengerjaan, pengiriman, penyimpanan, dan pembuangan spesimen.

17)  Maksud dan Tujuan PP 3.5

Prosedur  pelayanan  laboratorium  meliputi  minimal  tapi tidak terbatas pada:

a) Permintaan pemeriksaan.

b) Pengambilan, pengumpulan dan identifikasi spesimen. c)    Pengiriman,      pembuangan,      penyimpanan      dan pengawetan spesimen.

d) Penerimaan, penyimpanan, telusur spesimen (tracking).

18)  Elemen Penilaian PP 3.5

a) Pengelolaan spesimen dilaksanakan sesuai poin a) – d) pada maksud dan tujuan.

b) Terdapat bukti  pemantauan  dan  evaluasi  terhadap pengelolaan spesimen.

19)  Standar PP 3.6

Rumah sakit menetapkan nilai normal dan rentang nilai untuk interpretasi dan pelaporan hasil laboratorium klinis.

20)  Maksud dan Tujuan PP 3.6

Rumah sakit menetapkan rentang nilai normal/rujukan setiap  jenis  pemeriksaan.  Rentang  nilai  dilampirkan  di dalam laporan klinik, baik sebagai bagian dari pemeriksaan atau melampirkan daftar terkini, nilai ini yang ditetapkan pimpinan laboratorium. Jika pemeriksaan dilakukan oleh laboratorium rujukan, rentang nilai diberikan. Selalu harus dievaluasi   dan   direvisi   apabila   metode   pemeriksaan berubah.

21)  Elemen Penilaian PP 3.6

a) Rumah sakit menetapkan dan mengevaluasi rentang nilai normal   untuk   interpretasi,   pelaporan   hasil laboratorium klinis.

b) Setiap  hasil   pemeriksaan   laboratorium   dilengkapi dengan rentang nilai normal.

22)  Standar PP 3.7

Rumah sakit melaksanakan prosedur kendali mutu pelayanan laboratorium, di evaluasi dan dicatat sebagai dokumen.

23)  Maksud dan Tujuan PP 3.7

Kendali mutu yang baik sangat esensial bagi pelayanan laboratorium agar laboratorium dapat memberikan layanan prima. Program kendali mutu di laboratorium mencakup pemantapan  mutu  internal  (PMI)  dan  pemantauan mutu eksternal (PME). Tahapan PMI praanalitik, analitik dan pascaanalitik yang memuat antara lain:

a) Validasi tes yang digunakan untuk tes akurasi, presisi, hasil rentang nilai;

b) Dilakukan surveilans hasil pemeriksaan oleh staf yang kompeten;

c) Reagensia di tes;

d) Koreksi cepat jika ditemukan kekurangan;

e) Dokumentasi hasil dan tindakan koreksi; dan

f) Pemantapan Mutu Eksternal.

24)  Elemen Penilaian PP 3.7

a) Terdapat  bukti   bahwa   unit   laboratorium   telah melakukan Pemantapan Mutu Internal (PMI) secara rutin yang meliputi poin a-e pada maksud dan tujuan.

b) Terdapat  bukti   bahwa   unit   laboratorium   telah melakukan Pemantapan Mutu Eksternal (PME) secara rutin.

25)  Standar PP 3.8

Rumah sakit bekerjasama dengan laboratorium rujukan yang terakreditasi.

26)  Maksud dan Tujuan PP 3.8

Untuk memastikan pelayanan yang aman dan bermutu rumah sakit memiliki perjanjian kerjasama dengan laboratorium rujukan. Perjanjian kerjasama ini bertujuan agar rumah sakit memastikan bahwa laboratorium rujukan telah memenhi persyaratan dan terakreditasi. Perjanjian kerjasama mencantumkan hal hal yang harus ditaati kedua belah pihak dan perjanjian dievaluasi secara berkala oleh pimpinan rumah sakit.

27)  Elemen Penilaian dari PP 3.8

a) Unit laboratorium memiliki bukti sertifikat akreditasi laboratorium rujukan yang masih berlaku.

b) Telah dilakukan pemantauan dan evaluasi kerjasama pelayanan kontrak sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak.

28)  Standar PP 3.9

Rumah Sakit menetapkan regulasi tentang penyelenggara pelayanan darah dan menjamin pelayanan yang diberikan sesuai peraturan dan perundang-undangan dan standar pelayanan.

29)  Maksud dan Tujuan PP 3.9

Jika terdapat pelayanan yang direncanakan untuk penggunaan darah dan produk darah, maka dalam hal ini diperlukan persetujuan tindakan khusus. Rumah sakit mengidentifikasi  prosedur  berisiko  tinggi  di  dalam perawatan yang membutuhkan persetujuan, diantaranya adalah pemberian darah dan produk darah.

30)  Elemen Penilaian PP 3.9

a) Rumah  sakit      menerapkan     regulasi     tentang penyelenggaraan pelayanan darah di rumah sakit.

b) Penyelenggaraan pelayanan darah dibawah tanggung jawab seorang staf yang kompeten.

c) Rumah  sakit   telah   melakukan   pemantauan   dan evaluasi                mutu  terhadap  penyelenggaran  pelayanan darah di rumah sakit.

d) Rumah sakit menerapkan proses persetujuan tindakan pasien untuk pemberian darah dan produk darah.

 

Pelayanan Radiologi Klinik

1)    Standar PP 4

Pelayanan radiologi klinik menetapkan regulasi pelayanan radiologi klinis di rumah sakit.

2)    Maksud dan Tujuan PP 4

Pelayanan radiodiagnostik, imajing dan radiologi intervensional (RIR) meliputi:

a) Pelayanan radiodiagnostik;

b) Pelayanan diagnostik Imajing; dan

c) Pelayanan radiologi intervensional.

Rumah sakit menetapkan sistem yang terintegrasi untuk menyelenggarakan pelayanan radiodiagnostik, imajing dan radiologi intervensional yang dibutuhkan pasien, asuhan klinis dan Profesional Pemberi Asuhan (PPA). Pelayanan radiologi klinik buka 24 jam, 7 (tujuh) hari seminggu sesuai dengan kebutuhan pasien.

3)    Elemen Penilaian PP 4

a) Rumah Sakit menetapkan dan melaksanakan regulasi pelayanan radiologi klinik.

b) Terdapat pelayanan radiologi klinik selama 24 jam, 7 (tujuh) hari   seminggu,   sesuai   dengan   kebutuhan pasien.

4)    Standar PP 4.1

Rumah Sakit menetapkan seorang yang kompeten dan berwenang, bertanggung jawab mengelola pelayanan RIR.

5)    Maksud dan Tujuan PP 4.1

Pelayanan Radiodiagnostik, Imajing dan Radiologi Intervensional berada dibawah pimpinan seorang yang kompeten dan berwenang memenuhi persyaratan peraturan perundangan. Pimpinan radiologi klinik bertanggung jawab mengelola fasilitas dan pelayanan RIR, termasuk pemeriksaan yang dilakukan di tempat tidur pasien (POCT), juga tanggung jawabnya dalam melaksanakan regulasi RS secara  konsisten,  seperti  pelatihan,  manajemen  logistik, dan sebagainya.

Tanggung jawab pimpinan pelayanan radiologi diagnostik imajing, dan radiologi intervensional antara lain:

a) Menyusun dan evaluasi regulasi.

b) Pengawasan pelaksanaan administrasi.

c) Melaksanakan program kendali mutu (PMI dan PME) dan mengintegrasikan program mutu radiologi dengan program Manajemen Fasilitas dan Keamanan serta program Pencegahan dan   Pengendalian  Infeksi   di rumah sakit.

d) Memonitor dan evaluasi semua jenis pelayanan RIR.

e) Mereviu  dan   menindak   lanjuti   hasil   pemeriksaan pelayanan RIR rujukan.

6)    Elemen Penilaian PP 4.1

a) Direktur menetapkankan penanggung jawab radiologi klinik yang  memiliki  kompetensi  sesuai  ketentuan dengan peraturan perundang-undangan.

b) Terdapat bukti pengawasan pelayanan radiologi klinik oleh penanggung jawab radiologi klinik sesuai poin a) – e) pada maksud dan tujuan.

7)    Standar PP 4.2

Semua staf radiologi klinik mempunyai pendidikan, pelatihan, kualifikasi dan pengalaman yang dipersyaratkan untuk mengerjakan pemeriksaan.

8)    Maksud dan Tujuan PP 4.2

Rumah sakit menetapkan mereka yang bekerja sebagai staf radiologi dan diagnostik imajing yang kompeten dan berwenang  melakukan  pemeriksaan  radiodiagnostik, imajing dan radiologi intervensional, pembacaan diagnostik imajing, pelayanan pasien di tempat tidur (POCT), membuat interpretasi, melakukan verifikasi dan serta melaporkan hasilnya, serta mereka yang mengawasi prosesnya.

Staf pengawas dan staf pelaksana teknikal mempunyai latar belakang pelatihan, pengalaman, ketrampilan dan telah menjalani orientasi tugas pekerjaannya. Staf teknikal diberi tugas pekerjaan sesuai latar belakang pendidikan dan pengalaman mereka. Sebagai tambahan, jumlah staf cukup tersedia  untuk  melakukan  tugas,  membuat  interpretasi, dan melaporkan segera hasilnya untuk layanan darurat.

9)    Elemen Penilaian PP 4.2

a) Staf radiologi klinik yang membuat interpretasi telah memenuhi persyaratan kredensial

b) Staf radiologi klinik dan staf lain yang melaksanakan pemeriksaan termasuk yang mengerjakan tindakan di Ruang Rawat     pasien,     memenuhi     persyaratan kredensial.

10)  Standar PP 4.3

Rumah sakit menetapkan kerangka waktu penyelesaian pemeriksaan radiologi klinik regular dan cito.

11)  Maksud dan Tujuan PP 4.3

Rumah sakit menetapkan kerangka waktu penyelesaian pemeriksaan radiologi dan diagnostik imajing. Penyelesaian pemeriksaan radiodiagnostik, imajing dan radiologi intervensional (RIR) dilaporkan sesuai kebutuhan pasien. Hasil pemeriksaan cito, antara lain dari unit darurat, kamar operasi, unit intensif diberi perhatian khusus terkait kecepatan hasil pemeriksaan. Jika pemeriksaan dilakukan melalui kontrak (pihak ketiga) atau radiologi rujukan, kerangka waktu melaporkan hasil pemeriksaan mengikuti ketentuan rumah sakit dan MOU dengan radiodiagnostik, imajing dan radiologi intervensional (RIR) rujukan.

12)  Elemen Penilaian PP 4.3

a) Rumah  sakit      menetapkan      kerangka      waktu penyelesaian pemeriksaan radiologi klinik.

b) Dilakukan  pencatatan      dan      evaluasi      waktu penyelesaian pemeriksaan radiologi klinik.

c) Dilakukan  pencatatan      dan      evaluasi      waktu penyelesaian pemeriksaan cito.

d) Terdapat bukti  pencatatan  dan  evaluasi  pelayanan radiologi rujukan.

13)  Standar PP 4.4

Film X-ray dan bahan lainnya tersedia secara teratur.

14)  Maksud dan tujuan PP 4.4

Untuk menjamin pelayanan radiologi dapat berjalan dengan baik maka pimpinan rumah sakit harus memastikan ketersediaan sarana dan prasarana pelayanan radiologi. Perencanaan  kebutuhan  dan  pengelolaan  bahan  habis pakai dilakukan sesuai ketentuan yang berlaku.

15)  Elemen Penilaian PP 4.4

a) Rumah sakit menetapkan proses pengelolaan logistik film x-ray, reagens, dan bahan lainnya, termasuk kondisi bila terjadi kekosongan.

b) Semua film  x-ray  disimpan  dan  diberi  label,  serta didistribusi sesuai pedoman dari pembuatnya atau instruksi pada kemasannya.

16)  Standar PP 4.5

Rumah sakit menetapkan program kendali mutu, dilaksanakan, divalidasi dan didokumentasikan.

17)  Maksud dan Tujuan PP 4.5

Kendali mutu dalam pelayanan radiodiagnostik terdiri dari Pemantapan  Mutu  Internal  dan  Pemantaoan  Mutu Eksternal. Kedua hal tersebut dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundangan.

18)  Elemen Penilaian PP 4.5

a) Terdapat bukti   bahwa   unit   radiologi  klinik   telah melaksanakan Pemantapan Mutu Internal (PMI).

b) Terdapat  bukti     bahwa     unit     radiologi     klinik melaksanakan Pemantapan Mutu Eksternal (PME).

 

Pelayanan dan Asuhan Pasien (PAP) Gambaran Umum

Tanggung jawab rumah sakit dan staf yang terpenting adalah memberikan asuhan dan pelayanan pasien yang efektif dan aman. Hal ini membutuhkan komunikasi yang efektif, kolaborasi, dan standardisasi proses untuk memastikan bahwa rencana, koordinasi, dan implementasi asuhan mendukung serta merespons setiap kebutuhan unik pasien dan target.

Asuhan tersebut dapat berupa upaya pencegahan, paliatif, kuratif, atau rehabilitatif termasuk anestesia, tindakan bedah, pengobatan, terapi suportif, atau kombinasinya, yang berdasar atas pengkajian awal dan pengkajian ulang pasien.

Area asuhan risiko tinggi (termasuk resusitasi dan transfusi) serta asuhan untuk pasien risiko tinggi atau kebutuhan populasi khusus yang membutuhkan perhatian tambahan.

Asuhan pasien dilakukan oleh profesional pemberi asuhan (PPA) dengan  banyak  disiplin  dan  staf  klinis.  Semua  staf  yang  terlibat dalam asuhan pasien harus memiliki peran yang jelas, ditentukan oleh kompetensi dan kewenangan, kredensial, sertifikasi, hukum dan regulasi, keterampilan individu, pengetahuan, pengalaman, dan kebijakan   rumah   sakit,   atau   uraian   tugas   wewenang   (UTW). Beberapa asuhan dapat dilakukan oleh pasien/keluarganya atau pemberi asuhan terlatih (caregiver). Pelaksanaan asuhan dan pelayanan harus dikoordinasikan dan diintegrasikan oleh semua profesional pemberi asuhan (PPA) dapat dibantu oleh staf klinis. Asuhan pasien terintegrasi dilaksanakan dengan beberapa elemen:

  1. Dokter penanggung jawab pelayanan (DPJP) sebagai pimpinan klinis/ketua tim PPA (clinical leader).
  2. PPA  bekerja   sebagai   tim   interdisiplin   dengan   kolaborasi interprofesional,  menggunakan  panduan  praktik  klinis  (PPK), alur  klinis/clinical  pathway  terintegrasi,  algoritma,  protokol, prosedur,  standing  order,  dan  catatan  perkembangan  pasien terintegrasi (CPPT).
  1. Manajer  Pelayanan   Pasien   (MPP)/Case   Manager   menjaga kesinambungan pelayanan.
  2. Keterlibatan serta  pemberdayaan  pasien  dan  keluarga  dalam asuhan bersama PPA harus memastikan:

1)     Asuhan direncanakan untuk memenuhi kebutuhan pasien yang unik berdasar atas hasil pengkajian;

2)    Rencana asuhan diberikan kepada tiap pasien;

3)    Respons pasien terhadap asuhan dipantau; dan

4)     Rencana   asuhan   dimodifikasi   bila   perlu   berdasarkan respons pasien.

Fokus Standar Pelayanan dan Asuhan Pasien (PAP) meliputi:

  1. Pemberian pelayanan untuk semua pasien
  2. Pelayanan pasien risiko tinggi dan penyediaan pelayanan risiko tinggi;
  3. Pemberian makanan dan terapi nutrisi;
  4. Pengelolaan nyeri; dan
  5. Pelayanan menjelang akhir hayat.
  6. Pemberian Pelayanan Untuk Semua Pasien

1)    Standar PAP 1

Pelayanan  dan  asuhan  yang  seragam  diberikan  untuk semua pasien sesuai peraturan perundang-undangan.

2)    Maksud dan Tujuan PAP 1

Pasien  dengan  masalah  kesehatan  dan  kebutuhan pelayanan yang sama berhak mendapat mutu asuhan yang seragam di rumah sakit. Untuk melaksanakan prinsip mutu asuhan yang setingkat, pimpinan harus merencanakan dan mengkoordinasi pelayanan pasien. Secara khusus, pelayanan  yang  diberikan  kepada  populasi  pasien  yang sama pada berbagai unit kerja sesuai dengan regulasi yang ditetapkan  rumah  sakit.  Sebagai  tambahan,  pimpinan harus menjamin bahwa rumah sakit menyediakan tingkat mutu asuhan yang sama setiap hari dalam seminggu dan pada setiap shift. Regulasi tersebut harus sesuai dengan peraturan  perundangan  yang  berlaku  sehingga  proses pelayanan pasien dapat diberikan secara kolaboratif.

Asuhan  pasien  yang  seragam  tercermin  dalam  hal-hal berikut:

a) Akses untuk  mendapatkan  asuhan  dan  pengobatan tidak           bergantung  pada  kemampuan  pasien  untuk membayar atau sumber pembayaran.

b) Akses untuk  mendapatkan  asuhan  dan  pengobatan yang           diberikan   oleh   PPA   yang   kompeten   tidak bergantung pada hari atau jam  yaitu 7 (tujuh) hari, 24 (dua puluh empat) jam

c) Kondisi pasien menentukan sumber daya yang akan dialokasikan untuk memenuhi kebutuhannya

d) Pemberian asuhan  yang  diberikan  kepada  pasien, sama   di   semua   unit   pelayanan   di   rumah   sakit misalnya pelayanan anestesi.

e) Pasien yang membutuhkan asuhan keperawatan yang sama  akan  menerima  tingkat  asuhan  keperawatan yang sama di semua unit pelayanan di rumah sakit.

Keseragaman  dalam  memberikan  asuhan  pada  semua pasien akan menghasilkan penggunaan sumber daya yang efektif  dan  memungkinkan  dilakukan  evaluasi  terhadap hasil asuhan yang sama di semua unit pelyanan di rumah sakit.

3)    Elemen Penilaian PAP 1

a) Rumah sakit menetapkan regulasi tentang Pelayanan dan Asuhan Pasien (PAP) yang meliputi poin a) – e) dalam gambaran umum.

b) Asuhan yang seragam diberikan kepada setiap pasien meliputi poin a) – e) dalam maksud dan tujuan

4)    Standar PAP 1.1

Proses pelayanan dan asuhan pasien yang terintegrasi serta terkoordinasi telah dilakukan sesuai instruksi.

5)    Maksud dan Tujuan PAP 1.1

Proses pelayanan dan asuhan pasien bersifat dinamis dan melibatkan banyak PPA dan  berbagai unit pelayanan. Agar proses pelayanan dan asuhan pasien menjadi efisien, penggunaan  sumber  daya  manusia  dan  sumber  lainnya

menjadi efektif, dan hasil akhir kondisi pasien menjadi lebih baik maka diperlukan integrasi dan koordinasi. Kepala unit pelayanan menggunakan cara untuk melakukan integrasi dan   koordinasi   pelayanan   serta   asuhan   lebih   baik (misalnya, pemberian asuhan pasein secara tim oleh para PPA, ronde pasien multidisiplin, formulir catatan perkembangan pasien terintegrasi (CPPT), dan manajer pelayanan pasien/case manager).

Instruksi  PPA dibutuhkan dalam pemberian asuhan pasien misalnya instruksi pemeriksaan di laboratorium (termasuk Patologi Anatomi), pemberian obat, asuhan keperawatan khusus, terapi nurtrisi, dan lain-lain. Instruksi ini harus tersedia dan mudah diakses sehingga dapat ditindaklanjuti tepat waktu misalnya dengan menuliskan instruksi pada formulir catatan perkembangan pasien terintegrasi (CPPT) dalam rekam medis atau   didokumentasikan   dalam elektronik rekam medik   agar   staf memahami kapan instruksi harus dilakukan, dan siapa yang akan melaksanakan instruksi tersebut.

Setiap rumah sakit harus mengatur dalam regulasinya:

a) Instruksi  seperti         apa         yang         harus tertulis/didokumentasikan (bukan instruksi melalui telepon atau instruksi lisan saat PPA yang memberi instruksi     sedang   berada   di   tempat/rumah   sakit), antara lain:

(1)    Instruksi yang diijinkan melalui telepon terbatas pada          situasi  darurat  dan  ketika  dokter  tidak berada di tempat/di rumah sakit.

(2)    Instruksi  verbal  diijinkan  terbatas  pada  situasi dimana dokter yang memberi instruksi sedang melakukan tindakan/prosedur steril.

b) Permintaan  pemeriksaan    laboratorium    (termasuk pemeriksaan Patologi Anatomi) dan diagnostik imajing tertentu harus disertai indikasi klinik

c) Pengecualian dalam kondisi khusus, misalnya di unit darurat dan unit intensif

d) Siapa yang diberi kewenangan memberi instruksi danperintah catat di dalam berkas rekam medik/sistem elektronik rekam medik sesuai regulasi rumah sakit

Prosedur diagnostik dan tindakan klinis, yang dilakukan sesuai instruksi serta hasilnya didokumentasikan di dalam rekam medis   pasien.   Contoh   prosedur   dan   tindakan misalnya endoskopi, kateterisasi jantung, terapi radiasi, pemeriksaan Computerized Tomography (CT), dan tindakan serta prosedur diagnostik invasif dan non-invasif lainnya. Informasi   mengenai  siapa  yang  meminta  dilakukannya prosedur atau tindakan, dan alasan dilakukannya prosedur atau tindakan tersebut didokumentasikan dalam rekam medik.

Di rawat jalan bila dilakukan tindakan diagnostik invasif/berisiko, termasuk pasien yang dirujuk dari luar, juga  harus  dilakukan  pengkajian  serta  pencatatannya dalam rekam medis.

6)    Elemen Penilaian Standar PAP 1.1

a) Rumah sakit telah melakukan pelayanan dan asuhan yang terintegrasi serta terkoordinasi kepada setiap pasien.

b) Rumah  sakit     telah     menetapkan     kewenangan pemberian instruksi oleh PPA yang kompeten, tata cara pemberian instruksi dan pendokumentasiannya.

c) Permintaan pemeriksaan laboratorium dan diagnostik imajing harus disertai indikasi klinis apabila meminta hasilnya berupa interpretasi.

d) Prosedur  dan   tindakan   telah   dilakukan   sesuai instruksi dan  PPA yang memberikan instruksi, alasan dilakukan prosedur atau tindakan serta  hasilnya telah didokumentasikan di dalam rekam medis

e) Pasien yang  menjalani  tindakan  invasif/berisiko  di rawat jalan telah dilakukan pengkajian dan didokumentasikan dalam rekam medis.

7)    Standar PAP 1.2

Rencana asuhan individual setiap pasien dibuat dan didokumentasikan

8)    Maksud dan Tujuan Standar PAP 1.2

Rencana asuhan merangkum       asuhan dan pengobatan/tindakan yang akan diberikan kepada seorang pasien. Rencana asuhan memuat satu rangkaian tindakan yang dilakukan oleh PPA untuk menegakkan atau mendukung diagnosis yang disusun dari hasil pengkajian. Tujuan utama rencana asuhan adalah memperoleh hasil klinis yang optimal.

Proses perencanaan bersifat kolaboratif menggunakan data yang berasal dari pengkajian awal dan pengkajian ulang yang di buat oleh para PPA   (dokter, perawat, ahli gizi, apoteker, dan lain-lainnya)

Rencana asuhan dibuat setelah melakukan pengkajian awal dalam waktu 24 jam terhitung sejak pasien diterima sebagai pasien rawat inap. Rencana asuhan yang baik menjelaskan asuhan pasien yang objektif dan memiliki sasaran yang dapat diukur untuk memudahkan pengkajian ulang serta mengkaji   atau   merevisi   rencana   asuhan.   Pasien   dan keluarga dapat dilibatkan dalam proses perencanaan asuhan.   Rencana asuhan harus disertai target terukur, misalnya:

a) Detak jantung,  irama  jantung,  dan  tekanan  darah menjadi normal atau sesuai dengan rencana yang ditetapkan;

b) Pasien mampu  menyuntik  sendiri  insulin  sebelum pulang dari rumah sakit;

c) Pasien mampu berjalan dengan “walker” (alat bantu untuk berjalan).

Berdasarkan hasil pengkajian ulang, rencana asuhan diperbaharui untuk dapat menggambarkan kondisi pasien terkini.      Rencana  asuhan  pasien  harus  terkait  dengan kebutuhan      pasien.   Kebutuhan   ini   mungkin   berubah sebagai hasil dari proses penyembuhan klinis atau terdapat informasi baru hasil pengkajian ulang (contoh, hilangnya kesadaran, hasil laboratorium yang abnormal). Rencana asuhan     dan  revisinya  didokumentasikan  dalam  rekam medis pasien sebagai rencana asuhan baru.

DPJP sebagai ketua tim PPA melakukan evaluasi / reviu berkala dan verifikasi harian untuk memantau terlaksananya asuhan secara terintegrasi dan membuat notasi sesuai dengan kebutuhan.

Catatan: satu rencana asuhan terintegrasi dengan sasaran- sasaran yang diharapkan oleh PPA lebih baik daripada rencana terpisah oleh masing-masing PPA. Rencana asuhan yang baik menjelaskan asuhan individual, objektif, dan sasaran  dapat  diukur  untuk  memudahkan  pengkajian ulang serta revisi rencana asuhan.

9)    Elemen Penilaian PAP 1.2

a) PPA telah  membuat  rencana  asuhan  untuk  setiap pasien  setelah  diterima  sebagai  pasien  rawat  inap dalam  waktu  24  jam  berdasarkan  hasil  pengkajian awal.

b) Rencana asuhan  dievaluasi  secara  berkala,  direvisi atau dimutakhirkan serta didokumentasikan dalam rekam medis oleh setiap PPA.

c) Instruksi berdasarkan rencana asuhan dibuat oleh PPA yang kompeten dan berwenang, dengan cara yang seragam, dan didokumentasikan di CPPT.

d) Rencana  asuhan   pasien   dibuat   dengan   membuat sasaran yang terukur dan di dokumentasikan.

e) DPJP telah  melakukan  evaluasi/review  berkala  dan verifikasi harian untuk memantau terlaksananya asuhan secara terintegrasi dan membuat notasi sesuai dengan kebutuhan.

 

Pelayanan Pasien Risiko Tinggi dan Penyediaan Pelayanan

Risiko Tinggi

1)    Standar PAP 2

Rumah    sakit   menetapkan   pasien   risiko   tinggi   dan pelayanan risiko tinggi sesuai dengan kemampuan, sumber daya dan sarana prasarana yang dimiliki.

2)    Maksud dan Tujuan PAP 2

Rumah sakit memberikan pelayanan untuk pasien dengan berbagai keperluan. Pelayanan pada pasien berisiko tinggi membutuhkan  prosedur,  panduan  praktik  klinis  (PPK)

clinical pathway dan rencana perawatan yang akan mendukung PPA memberikan pelayanan kepada pasien secara menyeluruh, kompeten dan seragam.

Dalam memberikan asuhan pada pasien risiko tinggi dan pelayanan berisiko tinggi, Pimpinan rumah sakit bertanggung jawab untuk:

    1. a) Mengidentifikasi pasien dan pelayanan yang dianggap berisiko tinggi di rumah sakit;
    2. b) Menetapkan prosedur, panduan praktik klinis (PPK), clinical pathway dan rencana perawatan secara kolaboratif
    3. c) Melatih staf  untuk  menerapkan  prosedur,  panduan praktik klinis (PPK), clinical pathway dan rencana perawatan rencana perawatan tersebut.

Pelayanan  pada  pasien  berisiko  tinggi  atau  pelayanan berisiko  tinggi  dibuat  berdasarkan  populasi  yaitu  pasien anak, pasien dewasa dan pasien geriatri. Hal-hal yang perlu diterapkan  dalam  pelayanan  tersebut  meliputi  Prosedur, dokumentasi, kualifikasi staf dan peralatan medis meliputi:

a)    Rencana asuhan perawatan pasien;

b) Perawatan terintegrasi  dan  mekanisme  komunikasi antar PPA secara efektif;

c) Pemberian informed consent, jika diperlukan;

d) Pemantauan/observasi  pasien   selama   memberikan pelayanan;

e) Kualifikasi atau  kompetensi  staf  yang  memberikan pelayanan; dan

f) Ketersediaan dan penggunaan peralatan medis khusus untuk pemberian pelayanan.

Rumah  sakit  mengidentifikasi  dan  memberikan  asuhan pada pasien risiko tinggi dan pelayanan risiko tinggi sesuai kemampuan, sumber daya dan sarana prasarana yang dimiliki meliputi:

a) Pasien emergensi;

b) Pasien koma;

c) Pasien dengan alat bantuan hidup;

d) Pasien  risiko   tinggi   lainnya   yaitu   pasien   dengan penyakit jantung, hipertensi, stroke dan diabetes;

e) Pasien dengan risiko bunuh diri;

f) Pelayanan  pasien   dengan   penyakit   menular   dan penyakit yang berpotensi menyebabkan kejadian luar biasa;

g) Pelayanan pada pasien dengan “immuno-suppressed”;

h) Pelayanan pada pasien yang mendapatkan pelayanan dialisis;

i) Pelayanan pada pasien yang direstrain;

j) Pelayanan pada pasien yang menerima kemoterapi;

k) Pelayanan pasien paliatif;

l) Pelayanan pada pasien yang menerima radioterapi;

m) Pelayanan pada pasien risiko tinggi lainnya (misalnya terapi hiperbarik dan pelayanan radiologi intervensi);

n) Pelayanan pada populasi pasien rentan, pasien lanjut usia (geriatri) misalnya anak-anak, dan pasien berisiko tindak kekerasan atau diterlantarkan misalnya pasien dengan gangguan jiwa.

Rumah   sakit   juga   menetapkan   jika   terdapat   risiko tambahan setelah dilakukan tindakan atau rencana asuhan (contoh, kebutuhan mencegah trombosis vena dalam, luka dekubitus,   infeksi   terkait   penggunaan   ventilator   pada pasien, cedera neurologis dan pembuluh darah pada pasien restrain, infeksi melalui pembuluh darah pada pasien dialisis,  infeksi  saluran/slang  sentral,  dan  pasien  jatuh. Jika terjadi risiko tambahan tersebut, dilakukan penanganan dan pencegahan dengan membuat regulasi, memberikan pelatihan dan edukasi kepada staf. Rumah sakit menggunakan informasi tersebut untuk mengevaluasi pelayanan yang diberikan kepada pasien risiko tinggi dan pelayanan berisiko tinggi serta mengintegrasikan informasi tersebut dalam pemilihan prioritas perbaikan tingkat rumah sakit pada program peningkatan mutu dan keselamatan pasien.

3)    Elemen Penilaian PAP 2

a) Pimpinan rumah sakit telah melaksanakan tanggung jawabnya untuk memberikan pelayanan pada pasien berisiko tinggi dan pelayanan berisiko tinggi meliputi a) – c) dalam maksud dan tujuan.

b) Rumah sakit telah memberikan pelayanan pada pasien risiko tinggi dan pelayanan risiko tinggi yang telah diidentifikasi berdasarkan populasi yaitu pasien anak, pasien dewasa   dan   pasien   geriatri   sesuai  dalam maksud dan tujuan.

c) Pimpinan rumah  sakit  telah  mengidentifikasi  risiko tambahan yang dapat mempengaruhi pasien dan pelayanan risiko tinggi.

4)    Standar PAP 2.1

Rumah sakit memberikan pelayanan geriatri rawat jalan, rawat  inap  akut  dan  rawat  inap  kronis  sesuai  dengan tingkat jenis pelayanan.

5)    Standar PAP 2.2

Rumah Sakit melakukan promosi dan edukasi sebagai bagian dari Pelayanan Kesehatan Warga Lanjut usia di Masyarakat Berbasis Rumah Sakit (Hospital Based Community Geriatric Service).

6)    Maksud dan Tujuan PAP 2.1 dan PAP 2.2

Pasien geriatri adalah pasien lanjut usia dengan multi penyakit/gangguan akibat penurunan fungsi organ, psikologi, sosial, ekonomi dan lingkungan yang membutuhkan pelayanan kesehatan secara tepadu dengan pendekatan multi disiplin yang bekerja sama secara interdisiplin. Dengan meningkatnya sosial ekonomi dan pelayanan kesehatan maka usia harapan hidup semakin meningkat, sehingga secara demografi terjadi peningkatan populasi lanjut usia. Sehubungan dengan itu rumah sakit perlu menyelenggarakan pelayanan geriatri sesuai dengan tingkat jenis pelayanan geriatri:

a) Tingkat sederhana (rawat jalan dan home care)

b) Tingkat  lengkap  (rawat  jalan,  rawat  inap  akut  dan home care)

c) Tingkat sempurna (rawat jalan, rawat inap akut dan home care klinik asuhan siang)

d) Tingkat paripurna (rawat jalan, klinik asuhan siang, rawat inap  akut,  rawat  inap  kronis,  rawat  inap psychogeriatri, penitipan pasien Respit care dan home care)

7)    Elemen Penilaian PAP 2.1

a) Rumah  sakit   telah   menetapkan   regulasi   tentang penyelenggaraan pelayanan geriatri di rumah sakit sesuai dengan kemampuan, sumber daya dan sarana prasarana nya.

b) Rumah sakit  telah  menetapkan  tim  terpadu  geriatri dan telah menyelenggarakan pelayanan sesuai tingkat jenis layanan

c) Rumah sakit telah melaksanakan proses pemantauan dan evaluasi kegiatan pelayanan geriatri

d) Ada pelaporan penyelenggaraan pelayanan geriatri di rumah sakit.

8)    Elemen Penilaian PAP 2.2

a) Ada program PKRS terkait Pelayanan Kesehatan Warga Lanjut usia  di  Masyarakat  Berbasis  Rumah  Sakit (Hospital Based Community Geriatric Service).

b) Rumah sakit telah memberikan edukasi sebagai bagian dari Pelayanan   Kesehatan   Warga   Lanjut   usia   di Masyarakat Berbasis Rumah Sakit (Hospital Based Community Geriatric Service).

c) Rumah sakit  telah  melaksanakan  kegiatan  sesuai program dan tersedia leaflet atau alat bantu kegiatan (brosur, leaflet, dan lain-lainnya).

d) Rumah sakit telah melakukan evaluasi dan membuat laporan kegiatan pelayanan secara berkala.

9)    Standar PAP 2.3

Rumah  sakit  menerapkan  proses  pengenalan  perubahan kondisi pasien yang memburuk.

10)  Maksud dan Tujuan PAP 2.3

Staf yang tidak bekerja di daerah pelayanan kritis/intensif mungkin  tidak  mempunyai  pengetahuan  dan  pelatihan yang  cukup  untuk  melakukan  pengkajian,  serta mengetahui pasien yang akan masuk dalam kondisi kritis. Padahal, banyak pasien di luar daerah pelayanan kritis mengalami keadaan kritis selama dirawat inap. Seringkali pasien memperlihatkan tanda bahaya dini (contoh, tanda- tanda vital yang memburuk dan perubahan kecil status neurologis) sebelum mengalami penurunan kondisi klinis yang meluas sehingga mengalami kejadian yang tidak diharapkan.

Ada kriteria fisiologis yang dapat membantu staf untuk mengenali  sedini-dininya  pasien  yang  kondisinya memburuk. Sebagian besar pasien yang mengalami gagal jantung   atau   gagal   paru   sebelumnya   memperlihatkan tanda-tanda fisiologis di luar kisaran normal yang merupakan indikasi keadaan pasien memburuk. Hal ini dapat diketahui dengan early warning system (EWS). Penerapan EWS membuat staf mampu mengidentifikasi keadaan pasien memburuk sedini-dininya dan bila perlu mencari bantuan staf yang kompeten. Dengan demikian, hasil asuhan akan lebih baik. Pelaksanaan EWS dapat dilakukan menggunakan sistem skor oleh PPA yang terlatih.

11)  Elemen Penilaian PAP 2.3

a) Rumah sakit  telah  menerapkan  proses  pengenalan perubahan kondisi pasien yang memburuk (EWS) dan mendokumentasikannya di dalam rekam medik pasien.

b) Rumah sakit memiliki bukti PPA dilatih menggunakan EWS.

12)  Standar PAP 2.4

Pelayanan resusitasi tersedia di seluruh area rumah sakit.

13)  Maksud dan Tujuan PAP 2.4

Pelayanan  resusitasi  diartikan  sebagai  intervensi  klinis pada   pasien   yang   mengalami   kejadian   mengancam hidupnya seperti henti jantung atau paru. Pada saat henti jantung atau paru maka pemberian kompresi pada dada atau  bantuan  pernapasan  akan  berdampak  pada  hidup atau matinya pasien, setidak-tidaknya menghindari kerusakan  jaringan  otak.  Resusitasi  yang  berhasil  pada pasien dengan henti jantung-paru bergantung pada intervensi  yang  kritikal/penting  seperti  kecepatan pemberian  bantuan  hidup  dasar,  bantuan  hidup  lanjut yang   akurat   (code   blue)   dan   kecepatan   melakukan defibrilasi.  Pelayanan  seperti  ini  harus  tersedia  untuk semua pasien selama 24 jam setiap hari. Sangat penting untuk   dapat   memberikan   pelayanan   intervensi   yang kritikal, yaitu tersedia dengan cepat peralatan medis terstandar,  obat  resusitasi,  dan  staf  terlatih  yang  baik untuk resusitasi. Bantuan hidup dasar harus dilakukan secepatnya  saat  diketahui  ada  tanda  henti  jantung-paru dan proses pemberian bantuan hidup lanjut kurang dari 5 (lima) menit. Hal ini termasuk evaluasi terhadap pelaksanaan sebenarnya resusitasi atau terhadap simulasi pelatihan resusitasi di rumah sakit. Pelayanan resusitasi tersedia di seluruh area rumah sakit termasuk peralatan medis dan staf terlatih, berbasis bukti klinis, dan populasi pasien yang dilayani

14)  Elemen Penilaian PAP 2.4

a) Pelayanan resusitasi tersedia dan diberikan selama 24 jam setiap hari di seluruh area rumah sakit.

b) Peralatan medis  untuk  resusitasi  dan  obat  untuk bantuan hidup dasar dan lanjut terstandar sesuai dengan kebutuhan populasi pasien.

c) Di seluruh  area  rumah  sakit,  bantuan  hidup  dasar diberikan segera saat dikenali henti jantung-paru dan bantuan hidup lanjut diberikan kurang dari 5 menit.

d) Staf  diberi   pelatihan   pelayanan   bantuan   hidup dasar/lanjut sesuai dengan ketentuan rumah sakit.

15)  Standar PAP 2.5

Pelayanan darah dan produk darah dilaksanakan sesuai dengan panduan klinis serta prosedur yang ditetapkan rumah sakit.

16)  Maksud dan tujuan PAP 2.5

Pelayanan darah dan produk darah harus diberikan sesuai peraturan perundangan meliputi antara lain:

a) Pemberian persetujuan (informed consent);

b) Permintaan darah;

c) Tes kecocokan;

d) Pengadaan darah;

e) Penyimpanan darah;

f) Identifikasi pasien;

g) Distribusi dan pemberian darah; dan

h) Pemantauan  pasien   dan   respons   terhadap   reaksi transfusi. Staf kompeten dan berwenang melaksanakan pelayanan darah dan produk darah serta melakukan pemantauan dan evaluasi.

17)  Elemen Penilaian PAP 2.5

a) Rumah sakit menerapkan penyelenggaraan pelayanan darah.

b) Panduan klinis dan prosedur disusun dan diterapkan untuk pelayanan darah serta produk darah.

c) Staf  yang   kompeten   bertanggungjawab   terhadap pelayanan darah di rumah sakit.

 

Pemberian Makanan dan Terapi Nutrisi

1)    Standar PAP 3

Rumah  sakit  memberikan  makanan  untuk  pasien  rawat inap dan terapi nutrisi terintegrasi untuk pasien dengan risiko nutrisional.

2)    Maksud dan Tujuan PAP 3

Makanan dan terapi nutrisi yang sesuai sangat penting bagi kesehatan pasien dan penyembuhannya. Pilihan makanan disesuaikan dengan usia, budaya, pilihan, rencana asuhan, diagnosis pasien termasuk juga antara lain diet khusus seperti rendah kolesterol dan diet diabetes melitus. Berdasarkan pengkajian kebutuhan dan rencana asuhan, maka DPJP atau PPA lain yang kompeten memesan makanan dan nutrisi lainnya untuk pasien. Pasien berhak menentukan makanan sesuai dengan nilai yang dianut. Bila memungkinkan pasien ditawarkan pilihan makanan yang konsisten dengan status gizi. Jika keluarga pasien atau ada orang lain mau membawa makanan untuk pasien, maka mereka    diberikan    edukasi    tentang    makanan    yang merupakan kontraindikasi terhadap rencana, kebersihan makanan, dan kebutuhan asuhan pasien, termasuk informasi terkait interaksi antara obat dan makanan. Makanan yang dibawa oleh keluarga atau orang lain disimpan dengan benar untuk mencegah kontaminasi. Skrining risiko gizi dilakukan pada pengkajian awal. Jika pada  saat  skrining  ditemukan  pasien  dengan  risiko  gizi maka terapi gizi terintegrasi diberikan, dipantau, dan dievaluasi.

3)    Elemen Penilaian PAP 3

a) Berbagai pilihan  makanan  atau  terapi  nutrisi  yang sesuai             untuk  kondisi,  perawatan,  dan  kebutuhan pasien tersedia dan disediakan tepat waktu.

b) Sebelum pasien rawat inap diberi makanan, terdapat instruksi pemberian makanan dalam rekam medis pasien yang   didasarkan   pada   status   gizi   dan kebutuhan pasien.

c) Untuk makanan  yang  disediakan  keluarga,  edukasi diberikan mengenai batasan-batasan diet pasien dan penyimpanan yang baik untuk mencegah kontaminasi.

d) Memiliki  bukti   pemberian   terapi   gizi   terintegrasi (rencana, pemberian dan evaluasi) pada pasien risiko gizi.

e) Pemantauan dan evaluasi terapi gizi dicatat di rekam medis pasien.

  1. Pengelolaan Nyeri

1)    Standar PAP 4

Pasien mendapatkan pengelolaan nyeri yang efektif.

2)    Maksud dan Tujuan PAP 4

Pasien berhak mendapatkan pengkajian dan pengelolaan nyeri yang tepat. Rumah sakit harus memiliki proses untuk melakukan skrining, pengkajian, dan tata laksana untuk mengatasi rasa nyeri, yang terdiri dari:

a) Identifikasi pasien dengan rasa nyeri pada pengkajian awal dan pengkajian ulang.

b) Memberi informasi  kepada  pasien  bahwa  rasa  nyeri dapat  merupakan  akibat  dari  terapi,  prosedur, atau pemeriksaan.

c) Memberikan tata laksana untuk mengatasi rasa nyeri, terlepas dari   mana   nyeri   berasal,   sesuai  dengan regulasi rumah sakit.

d) Melakukan komunikasi  dan  edukasi  kepada  pasien dan         keluarga   mengenai   pengelolaan   nyeri   sesuai dengan latar belakang agama, budaya, nilai-nilai yang dianut.

e) Memberikan edukasi  kepada  seluruh  PPA  mengenai pengkajian dan pengelolaan nyeri.

3)    Elemen Penilaian PAP 4

a) Rumah  sakit   memiliki   proses   untuk   melakukan skrining, pengkajian, dan tata laksana nyeri meliputi poin a) – e) pada maksud dan tujuan.

b) Informasi mengenai  kemungkinan  adanya  nyeri  dan pilihan tata laksananya diberikan kepada pasien yang menerima  terapi/prosedur/pemeriksaan  terencana yang sudah dapat diprediksi menimbulkan rasa nyeri.

c) Pasien dan keluarga mendapatkan edukasi mengenai pengelolaan nyeri sesuai dengan latar belakang agama, budaya, nilai-nilai yang dianut.

d) Staf rumah  sakit  mendapatkan  pelatihan  mengenai cara melakukan edukasi bagi pengelolaan nyeri.

 

Pelayanan Menjelang Akhir Kehidupan

1)    Standar PAP 5

Rumah sakit memberikan asuhan pasien menjelang akhir kehidupan dengan memperhatikan kebutuhan pasien dan keluarga, mengoptimalkan kenyamanan dan martabat pasien, serta mendokumentasikan dalam rekam medis.

2)    Maksud dan Tujuan PAP 5

Skrining  dilakukan  untuk  menetapkan  bahwa  kondisi pasien masuk dalam fase menjelang ajal. Selanjutnya, PPA melakukan pengkajian menjelang akhir kehidupan yang bersifat   individual   untuk   mengidentifikasi   kebutuhan pasien dan keluarganya.

Pengkajian pada pasien menjelang akhir kehidupan harus menilai kondisi pasien seperti:

1)    Manajemen gejala dan respons pasien, termasuk mual, kesulitan bernapas, dan nyeri.

2)    Faktor yang memperparah gejala fisik.

3)    Orientasi spiritual pasien dan keluarganya, termasuk keterlibatan dalam kelompok agama tertentu.

4)    Keprihatinan spiritual pasien dan keluarganya, seperti putus asa, penderitaan, rasa bersalah.

5)    Status  psikososial  pasien  dan  keluarganya,  seperti kekerabatan, kelayakan perumahan, pemeliharaan lingkungan,  cara   mengatasi,   reaksi   pasien   dan keluarganya menghadapi penyakit.

6)    Kebutuhan bantuan atau penundaan layanan untuk pasien dan keluarganya.

7)    Kebutuhan alternatif layanan atau tingkat layanan.

8)    Faktor risiko bagi yang ditinggalkan dalam hal cara mengatasi dan potensi reaksi patologis.

9)    Pasien  dan  keluarga  dilibatkan  dalam  pengambilan keputusan asuhan.

3)    Elemen Penilaian PAP 5

a) Rumah sakit menerapkan pengkajian pasien menjelang akhir kehidupan  dan  dapat  dilakukan  pengkajian ulang              sampai   pasien   yang   memasuki   fase   akhir kehidupannya,  dengan  memperhatikan  poin  1)  –  9) pada maksud dan tujuan.

b) Asuhan  menjelang    akhir    kehidupan    ditujukan terhadap kebutuhan psikososial, emosional, kultural dan spiritual pasien dan keluarganya.

 

Pelayanan Anestesi dan Bedah (PAB) Gambaran umum

Tindakan anestesi, sedasi, dan intervensi bedah merupakan proses yang kompleks dan sering dilaksanakan di rumah sakit. Hal tersebut memerlukan:

  1. Pengkajian pasien yang lengkap dan menyeluruh;
  2. Perencanaan asuhan yang terintegrasi;
  3. Pemantauan yang terus menerus;
  4. Transfer ke ruang perawatan berdasar atas kriteria tertentu;
  5. Rehabilitasi; dan
  6. Transfer ke ruangan perawatan dan pemulangan.

Anestesi dan sedasi umumnya merupakan suatu rangkaian proses yang dimulai dari sedasi minimal hingga anastesi penuh. Tindakan sedasi ditandai dengan hilangnya refleks pertahanan jalan nafas secara perlahan seperti batuk dan tersedak. Karena respon pasien terhadap tindakan sedasi dan anestesi berbeda-beda secara individu dan memberikan efek yang panjang, maka prosedur tersebut harus dilakukan pengelolaan yang baik dan terintegrasi. Bab ini tidak mencakup pelayanan sedasi di ICU untuk penggunaan ventilator dan alat invasive lainnya.

Karena  tindakan  bedah  juga  merupakan  tindakan  yang  berisiko tinggi maka harus direncanakan dan dilaksanakan secara hati-hati. Rencana prosedur operasi dan asuhan pascaoperasi dibuat berdasar atas pengkajian pasien dan didokumentasikan. Bila rumah sakit memberikan pelayanan pembedahan dengan pemasangan implant, maka  harus  dibuat  laporan  jika  terjadi  ketidak berfungsinya alat tersebut dan proses tindak lanjutnya.

Standar  pelayanan  anestesi  dan  bedah  berlaku di area manapun dalam  rumah  sakit  yang  menggunakan  anestesi,  sedasi  ringan, sedang dan dalam, dan juga pada tempat dilaksanakannya prosedur pembedahan dan tindakan invasif lainnya yang membutuhkan persetujuan tertulis (informed consent). Area ini meliputi ruang operasi rumah sakit, rawat sehari (ODC), poliklinik gigi, poliklinik rawat jalan, endoskopi, radiologi, gawat darurat, perawatan intensif, dan tempat lainnya.

Fokus pada standard ini mencakup:

  1. Pengorganisasian  dan   pengelolaan   pelayanan   anastesi   dan sedasi.
  2. Pelayanan sedasi.
  3. Pelayanan anastesi.
  4. Pelayanan pembedahan.
  5. Pengorganisasian dan Pengelolaan Pelayanan Anastesi dan Sedasi

1)    Standar PAB 1

Rumah sakit menerapkan pelayanan anestesi, sedasi moderat dan dalam untuk memenuhi kebutuhan pasien sesuai dengan kapasitas pelayanan, standar profesi dan perundang undangan yang berlaku.

2)    Maksud dan Tujuan PAB 1

Anestesi dan sedasi diartikan sebagai satu alur layanan berkesinambungan mulai dari sedasi minimal sampai anestesi dalam. Anestesi dan sedasi menyebabkan refleks proteksi jalan nafas dapat menghilang sehingga pasien berisiko untuk terjadi sumbatan jalan nafas dan aspirasi cairan   lambung.   Anestesi   dan   sedasi   adalah   proses kompleks sehingga harus diintegrasikan ke dalam rencana asuhan. Anestesi dan sedasi membutuhkan pengkajian lengkap dan komprehensif serta pemantaun pasien secara terus menerus.

Rumah sakit mempunyai suatu sistem untuk pelayanan anestesi, sedasi ringan, moderat dan dalam untuk melayani kebutuhan pasien oleh PPA berdasarkan kewenangan klinis yang diberikan kepadanya, termasuk juga sistim penanganan bila terjadi kegawat daruratan selama tindakan sedasi. Pelayanan anestesi, sedasi ringan, moderat dan dalam (termasuk layanan yang diperlukan untuk kegawatdaruratan) tersedia 24 jam 7 (tujuh) hari.

3)    Elemen Penilaian PAB 1

a) Rumah sakit  telah  menetapkan  regulasi  pelayanan anestesi dan sedasi dan pembedahan meliputi poin a) – c) pada gambaran umum.

b) Pelayanan anestesi  dan  sedasi  yang  telah  diberikan dapat memenuhi kebutuhan pasien.

c) Pelayanan anestesi dan sedasi tersedia selama 24 (dua puluh empat)   jam   7   (tujuh)  hari   sesuai  dengan kebutuhan pasien.

4)    Standar PAB 2

Rumah  sakit  menetapkan  penanggung  jawab  pelayanan anestesi, sedasi moderat dan dalam adalah seorang dokter anastesi yang kompeten.

5)    Maksud dan Tujuan PAB 2

Pelayanan anestesi, sedasi moderat dan dalam berada dibawah tanggung jawab seorang dokter anastesi yang kompeten sesuai dengan peraturan perundang undangan. Tanggung jawab pelayanan anestesi, sedasi moderat dan dalam tersebut meliputi:

a) Mengembangkan, menerapkan, dan menjaga regulasi;

b) Melakukan pengawasan administratif;

c) Melaksanakan  program   pengendalian   mutu   yang dibutuhkan; dan

d) Memantau dan  mengevaluasi  pelayanan  sedasi  dan anestesi.

6)    Elemen Penilaian PAB 2

a) Rumah sakit  telah  menerapkan  pelayanan  anestesi dan sedasi secara seragam di seluruh area seusai regulasi yang ditetapkan.

b) Rumah sakit  telah  menetapkan  penanggung  jawab pelayanan anestesi dan sedasi adalah seorang dokter anastesi yang kompeten yang melaksanakan tanggung jawabnya  meliputi  poin  a)  –  d)  pada  maksud  dan tujuan.

c) Bila memerlukan profesional pemberi asuhan terdapat PPA dari   luar   rumah   sakit   untuk   memberikan pelayanan anestesi dan sedasi, maka ada bukti rekomendasi dan evaluasi pelayanan dari penanggung jawab pelayanan anastesi dan sedasi terhadap PPA tersebut.

 

Pelayanan Sedasi

1)    Standar PAB 3

Pemberian sedasi moderat dan dalam dilakukan sesuai dengan regulasi dan ditetapkan rumah sakit.

2)    Maksud dan Tujuan PAB 3

Prosedur pemberian sedasi moderat dan dalam yang diberikan secara intravena tidak bergantung pada berapa dosisnya. oleh karena prosedur pemberian sedasi seperti

layaknya   anestesi   mengandung   risiko   potensial   pada pasien. Pemberian sedasi pada pasien harus dilakukan seragam dan sama di semua tempat di rumah sakit termasuk unit di luar kamar operasi.

Keseragaman dalam pelayanan sedasi sesuai kebijakan dan prosedur yang ditetapkan dan dilaksanakan oleh tenaga medis  yang  kompeten  dan  telah  diberikan  kewenangan klinis   untuk   melakukan   sedasi   moderat   dan   dalam meliputi:

a) Area-area di dalam rumah sakit tempat sedasi moderat dan dalam dapat dilakukan;

b) Kualifikasi staf yang memberikan sedasi;

c) Persetujuan medis (informed consent) untuk prosedur maupun sedasinya;

d) Perbedaan  populasi   anak,   dewasa,   dan   geriatri ataupun pertimbangan khusus lainnya;

e) Peralatan medis  dan  bahan  yang  digunakan  sesuai dengan populasi yang diberikan sedasi moderat atau dalam; dan

f) Cara memantau.

3)    Elemen Penilaian PAB 3

a) Rumah sakit  telah  melaksanakan  pemberian  sedasi moderat dan dalam yang seragam di semua tempat di rumah sakit sesuai dengan poin a) – f) pada maksud dan tujuan.

b) Peralatan dan  perbekalan  gawat  darurat  tersedia  di tempat dilakukan sedasi moderat dan dalam serta dipergunakan sesuai jenis sedasi, usia, dan kondisi pasien.

c) PPA  yang    terlatih    dan    berpengalaman    dalam memberikan bantuan hidup lanjut (advance) harus selalu mendampingi dan siaga selama tindakan sedasi dikerjakan.

4)    Standar PAB 3.1

Tenaga medis yang kompeten dan berwenang memberikan pelayanan sedasi moderat dan dalam serta melaksanakan pemantauan.

5)    Maksud dan Tujuan PAB 3.1

Kualifikasi tenaga medis yang diberikan kewenangan klinis untuk melakukan sedasi moderat dan dalam terhadap pasien sangat penting. Pemahaman metode pemberikan sedasi moderat dan dalam terkait kondisi pasien dan jenis tindakan yang diberikan dapat meningkatkan toleransi pasien terhadap rasa tidak nyaman, nyeri, dan atau risiko komplikasi.

Komplikasi terkait pemberian sedasi terutama gangguan jantung dan paru. Oleh sebab itu, diperlukan Sertifikasi bantuan hidup lanjut. Sebagai tambahan, pengetahuan farmakologi   zat   sedasi   yang   digunakan   termasuk   zat reversal mengurangi risiko terjadi kejadian yang tidak diharapkan. Oleh karena itu, tenaga medis yang diberikan kewenangan klinis memberikan sedasi moderat dan dalam harus kompeten dalam hal:

a) Teknik dan berbagai cara sedasi;

b) Farmakologi obat sedasi dan penggunaaan zat reversal (antidot);

c) Persyaratan pemantauan pasien; dan d)    Bertindak jika ada komplikasi.

Tenaga medis yang melakukan prosedur sedasi harus mampu bertanggung jawab melakukan pemantauan terhadap pasien. PPA yang kompeten melakukan prosedur sedasi, seperti dokter spesialis anestesi atau perawat yang terlatih yang bertanggung jawab melakukan pemantauan berkesinambungan  terhadap  parameter  fisiologis  pasien dan membantu tindakan resusitasi. PPA yang bertanggung jawab melakukan pemantauan harus kompeten dalam:

a) Pemantauan yang diperlukan;

b) Bertindak jika ada komplikasi;

c) Penggunaan zat reversal (antidot); dan

d)    Kriteria pemulihan.

6)    Elemen Penilaian PAB 3.1

a) Tenaga  medis   yang   diberikan   kewenangan   klinis memberikan                        sedasi    moderat    dan   dalam    harus kompeten dalam poin a) – d) pada maksud dan tujuan.

b) Profesional pemberi  asuhan  (PPA)  yang  bertanggung jawab            melakukan   pemantauan   selama   pelayanan sedasi moderat dan dalam harus kompeten meliputi poin a) – d) pada maksud dan tujuan.

c) Kompetensi semua  PPA  yang  terlibat  dalam  sedasi moderat dan dalam tercatat di file kepegawaian.

7)    Standar PAB 3.2

Rumah sakit menetapkan panduan praktik klinis untuk pelayanan sedasi moderat dan dalam

8)    Maksud dan Tujuan PAB 3.2

Tingkat kedalaman sedasi berlangsung dalam suatu kesinambungan mulai ringan sampai sedasi dalam dan pasien dapat berubah dari satu tingkat ke tingkat lainnya. Banyak faktor berpengaruh terhadap respons pasien dan hal ini memengaruhi tingkat sedasi pasien. Faktor-faktor tersebut termasuk obat-obatan yang diberikan, rute pemberian obat dan dosis, usia pasien (anak, dewasa, serta lanjut  usia),  dan  riwayat  kesehatan  pasien.  Misalnya, pasien memiliki riwayat gangguan organ utama maka kemungkinan obat yang digunakan pasien dapat berinteraksi dengan obat sedasi, alergi obat, efek samping obat sedasi atau anastesi sebelumnya. Jika status fisik pasien berisiko tinggi maka dipertimbangkan pemberian tambahan kebutuhan klinis lainnya dan diberikan tindakan sedasi yang sesuai.

Pengkajian prasedasi membantu mengidentifikasi faktor yang   dapat   yang   berpengaruh   pada   respons   pasien terhadap tindakan sedasi dan juga dapat diidentifikasi temuan-temuan penting dari hasil pemantaun selama dan sesudah sedasi.

Profesional pemberi asuhan (PPA) yang kompeten dan bertanggung jawab melakukan pengkajian prasedasi meliputi:

a) Mengidentifikasi masalah  saluran  pernapasan  yang dapat memengaruhi jenis sedasi yang digunakan;

b) Mengevaluasi pasien terhadap risiko tindakan sedasi;

c) Merencanakan jenis  sedasi  dan  tingkat  kedalaman sedasi                yang     diperlukan     pasien     berdasarkan prosedur/tindakan yang akan dilakukan;

d) Pemberian sedasi secara aman; dan

e) Menyimpulkan  temuan   hasil   pemantauan   pasien selama prosedur sedasi dan pemulihan.

Cakupan dan isi pengkajian dibuat berdasar atas Panduan Praktik Klinis dan kebijakan pelayanan anastesi dan sedasi yang ditetapkan oleh rumah sakit.

Pasien yang sedang menjalani tindakan sedasi dipantau tingkat                    kesadarannya,  ventilasi  dan  status  oksigenasi, variabel hemodinamik berdasar atas jenis obat sedasi yang diberikan, jangka waktu sedasi, jenis kelamin, dan kondisi pasien. Perhatian  khusus  ditujukan  pada  kemampuan pasien mempertahankan refleks protektif, jalan napas yang teratur dan lancar, serta respons terhadap stimulasi fisik dan perintah verbal. Seorang yang kompeten bertanggung jawab   melakukan  pemantauan  status  fisiologis  pasien secara terus menerus dan membantu memberikan bantuan resusitasi sampai pasien pulih dengan selamat.

Setelah tindakan selesai dikerjakan, pasien masih tetap berisiko terhadap komplikasi karena keterlambatan absorsi obat sedasi, dapat terjadi depresi pernapasan, dan kekurangan stimulasi akibat tindakan.

Ditetapkan   kriteria   pemulihan   untuk   mengidentifikasi pasien yang sudah pulih kembali dan atau siap untuk ditransfer/dipulangkan.

9)    Elemen Penilaian PAB 3.2

a) Rumah sakit telah menerapkan pengkajian prasedasi dan dicatat dalam rekam medis meliputi poin a) – e) pada maksud dan tujuan.

b) Rumah sakit  telah  menerapakn  pemantauan  pasien selama dilakukan pelayanan sedasi moderat dan dalam oleh PPA yang kompeten dan di catat di rekam medik.

c) Kriteria  pemulihan      telah      digunakan      dan didokumentasikan untuk mengidentifikasi pasien yang sudah    pulih    kembali    dan    atau    siap    untuk ditransfer/dipulangkan.

 

Pelayanan Anastesi

1)    Standar PAB 4

Profesional pemberi asuhan (PPA) yang kompeten dan telah diberikan kewenangan klinis pelayanan anestesi melakukan asesmen pra-anestesi dan prainduksi.

2)    Maksud dan Tujuan PAB 4

Oleh    karena    anestesi    memiliki    risiko    tinggi    maka pemberiannya   harus   direncanakan   dengan   hati-hati. Pengkajian  pra-anestesi  adalah  dasar  perencanaan  ini untuk  mengetahui  temuan  pemantauan  selama  anestesi dan pemulihan yang mungkin bermakna, dan juga untuk menentukan obat analgesi apa untuk pascaoperasi. Pengkajian pra-anestesi juga memberikan informasi yang diperlukan untuk:

a) Mengetahui masalah saluran pernapasan;

b) Memilih anestesi dan rencana asuhan anestesi;

c) Memberikan  anestesi   yang   aman   berdasar   atas pengkajian pasien, risiko yang ditemukan, dan jenis tindakan;

d) Menafsirkan temuan pada waktu pemantauan selama anestesi dan pemulihan; dan

e) Memberikan  informasi   obat   analgesia   yang   akan digunakan pascaoperasi.

Dokter spesialis anestesi akan melakukan pengkajian pra- anestesi yang dapat dilakukan sebelum masuk rawat inap atau sebelum dilakukan tindakan bedah atau sesaat menjelang operasi, misalnya pada pasien darurat.

Asesmen prainduksi terpisah dari asesmen pra-anestesi, karena difokuskan pada stabilitas fisiologis dan kesiapan pasien untuk tindakan anestesi, dan berlangsung sesaat sebelum induksi anestesi. Jika anestesi diberikan secara darurat  maka  pengkajian  pra-anestesi  dan  prainduksi dapat dilakukan berurutan atau simultan, namun dicatat secara terpisah.

3)    Elemen Penilaian PAB 4

a) Pengkajian pra-anestesi telah dilakukan untuk setiap pasien yang akan dilakukan anestesi.

b) Pengkajian prainduksi telah dilakukan secara terpisah untuk mengevaluasi  ulang  pasien  segera  sebelum induksi anestesi.

c) Kedua pengkajian tersebut telah dilakukan oleh PPA yang kompeten dan telah diberikan kewenangan klinis didokumentasikan dalam rekam medis pasien.

4)    Standar PAB 5

Risiko,   manfaat,   dan   alternatif   tindakan   sedasi   atau anestesi didiskusikan dengan pasien dan keluarga atau orang yang dapat membuat keputusan mewakili pasien sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

5)    Maksud dan Tujuan PAB 5

Rencana  tindakan  sedasi  atau  anastesi  harus diinformasikan   kepada   pasien,   keluarga   pasien,   atau mereka yang membuat keputusan mewakili pasien tentang jenis sedasi, risiko, manfaat, dan alternatif terkait tindakan tersebut. Informasi tersebut sebagai bagian dari proses mendapat  persetujuan  tindakan  kedokteran  untuk tindakan sedasi atau anestesi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

6)    Elemen Penilaian PAB 5

a) Rumah sakit telah menerapkan pemberian informasi kepada pasien  dan  atau  keluarga  atau  pihak  yang akan memberikan keputusan tentang jenis, risiko, manfaat,       alternatif   dan   analagsia   pasca   tindakan sedasi atau anastesi.

b) Pemberian informasi  dilakukan  oleh  dokter  spesialis anastesi                 dan    didokumentasikan    dalam    formulir persetujuan tindakan anastesi/sedasi.

7)    Standar PAB 6

Status fisiologis setiap pasien selama tindakan sedasi atau anestesi dipantau sesuai dengan panduan praktik klinis (PPK) dan didokumentasikan dalam rekam medis pasien.

8)    Maksud dan Tujuan PAB 6

Pemantauan  fisiologis  akan  memberikan  informasi mengenai status pasien selama tindakan anestesi (umum, spinal, regional dan lokal) dan masa pemulihan. Hasil pemantauan akan menjadi dasar untuk mengambil keputusan  intraoperasi  yang  penting  dan  juga  menjadi dasar pengambilan keputusan pascaoperasi seperti pembedahan ulang, pemindahan ke tingkat perawatan lain, atau pemulangan pasien.

Informasi hasil pemantauan akan memandu perawatan medis dan keperawatan serta mengidentifikasi kebutuhan diagnostik dan layanan lainnya. Temuan pemantauan dimasukkan ke dalam rekam medis pasien. Metode pemantauan bergantung pada status praanestesi pasien, pemilihan jenis tindakan anestesi, dan kerumitan pembedahan atau prosedur lainnya yang dilakukan selama tindakan anestesi. Meskipun demikian, pemantauan menyeluruh selama tindakan anestesi dan pembedahan dalam semua kasus harus sesuai dengan panduan praktik klinis (PPK) dan kebijakan rumah sakit. Hasilpemantauan didokumentasikan dalam rekam medis.

9)    Elemen Penilaian PAB 6

a) Frekuensi dan  jenis  pemantauan  selama  tindakan anestesi               dan  pembedahan  didasarkan  pada  status praanestesi pasien, anestesi yang digunakan, serta prosedur pembedahan yang dilakukan.

b) Pemantauan status  fisiologis  pasien  sesuai  dengan panduan praktik klinis (PPK) dan didokumentasikan dalam rekam medis pasien.

10)  Standar PAB. 6.1

Status pasca anestesi pasien dipantau dan didokumentasikan, dan pasien dipindahkan/ditransfer/dipulangkan dari area pemulihan oleh  PPA  yang  kompeten  dengan  menggunakan  kriteria baku yang ditetapkan rumah sakit.

11)  Maksud dan Tujuan PAB 6.1

Pemantauan  selama  anestesi  menjadi  dasar  pemantauan saat pemulihan pascaanestesi. Pemantauan pasca anestesi dapat  dilakukan  di  ruang  rawat  intensif  atau  di  ruang pulih. Pemantauan pasca anestesi di ruang rawat intensif bisa  direncanakan  sejak  awal  sebelum  tindakan  operasi atau sebelumnya tidak direncanakan berubah dilakukan pemantauan  di  ruang  intensif  atas  hasil keputusan PPA anestesi dan atau PPA bedah berdasarkan penilaian selama prosedur anestesi dan atau pembedahan. Bila pemantauan pasca anestesi dilakukan di ruang intensif maka pasien langsung   di   transfer   ke   ruang   rawat   intensif   dan tatalaksana pemantauan selanjutnya secara berkesinambungan dan sistematis berdasarkan instruksi DPJP di ruang rawat intensif serta didokumentasikan. Bila pemantauan   dilakukan   di   ruang   pulih   maka   pasien dipantau secara berkesinambungan dan sistematis serta didokumentasikan.

Pemindahan pasien dari area pemulihan pascaanestesi atau penghentian  pemantauan  pemulihan  dilakukan  dengan salah satu berdasarkan beberapa alternatif sebagai berikut:

a)    pasien   dipindahkan   (atau   pemantauan   pemulihan

dihentikan) oleh seorang ahli anestesi yang kompeten.

b)    pasien   dipindahkan   (atau   pemantauan   pemulihan

dihentikan) oleh seorang perawat atau penata anastesi yang  kompeten  berdasarkan  kriteria  pascaanestesi yang  ditetapkan  oleh  rumah  sakit,  tercatat  dalam rekam medis bahwa kriteria tersebut terpenuhi.

c) pasien  dipindahkan     ke     unit     yang     mampu menyediakan perawatan  pascaanestesi   misalnya  di unit perawatan intensif.

Waktu  masuk  dan  keluar  dari  ruang  pemulihan  (atau waktu  mulai  dan  dihentikannya  pemantauan pemulihan) didokumentasikan dalam rekam medis pasien.

12)  Elemen Penilaian PAB 6.1

a) Rumah sakit  telah  menerapkan  pemantauan  pasien pascaanestesi baik di ruang intensif maupun di ruang pemulihan dan didokumentasikan dalam rekam medis pasien.

b) Pasien dipindahkan  dari  unit  pascaanestesi  (atau pemantauan                      pemulihan  dihentikan)  sesuai  dengan kriteria baku yang ditetapkan dengan alternatif a) – c) pada maksud dan tujuan.

c) Waktu dimulai dan dihentikannya proses pemulihan dicatat di dalam rekam medis pasien.

 

Pelayanan Pembedahan

1)    Standar PAB 7

Asuhan setiap pasien bedah direncanakan berdasar atas hasil pengkajian dan dicatat dalam rekam medis pasien.

2)    Maksud dan Tujuan PAB 7

Karena prosedur bedah mengandung risiko tinggi maka pelaksanaannya harus direncanakan dengan saksama. Pengkajian prabedah menjadi acuan untuk menentukan jenis tindakan bedah yang tepat dan mencatat temuan penting. Hasil pengkajian prabedah memberikan informasi tentang:

a) Tindakan  bedah     yang     sesuai     dan     waktu pelaksanaannya;

b) Melakukan tindakan dengan aman; dan

c) Menyimpulkan temuan selama pemantauan.

Pemilihan teknik operasi bergantung pada riwayat pasien, status fisik, data diagnostik, serta manfaat dan risiko tindakan  yang  dipilih.  Untuk  pasien  yang  saat  masuk rumah   sakit   langsung   dilayani   oleh   dokter   bedah, pengkajian  prabedah  menggunakan  formulir  pengkajian awal rawat inap. Sedangkan pasien yang dikonsultasikan di tengah perawatan oleh dokter penanggung jawab pelayanan (DPJP) lain dan diputuskan operasi maka pengkajian prabedah dapat dicatat di rekam medis sesuai kebijakan rumah  sakit.  Hal  ini  termasuk  diagnosis praoperasi dan pascaoperasi serta nama tindakan operasi.

3)    Elemen Penilaian PAB 7

a) Rumah sakit telah menerapkan pengkajian prabedah pada pasien   yang   akan   dioperasi   oleh   dokter penanggung jawab pelayanan (DPJP) sebelum operasi dimulai.

b) Diagnosis praoperasi dan rencana prosedur/tindakan operasi berdasarkan hasil pengkajian prabedah dan didokumentasikan di rekam medik.

4)    Standar PAB 7.1

Risiko, manfaat dan alternatif tindakan pembedahan didiskusikan dengan pasien dan atau keluarga atau pihak lain yang berwenang yang memberikan keputusan.

5)    Maksud dan Tujuan PAB 7.1

Pasien, keluarga, dan mereka yang memutuskan mendapatkan penjelasan untuk berpartisipasi dalam keputusan asuhan pasien dengan memberikan persetujuan (consent).

Untuk memenuhi kebutuhan pasien maka penjelasan tersebut diberikan oleh dokter penanggung jawab pelayanan (DPJP) yang dalam keadaan darurat dapat dibantu oleh dokter di unit gawat darurat. Informasi yang disampaikan meliputi:

a) Risiko dari rencana tindakan operasi;

b) Manfaat dari rencana tindakan operasi;

c) Memungkinan komplikasi dan dampak;

d) Pilihan  operasi   atau   nonoperasi   (alternatif)   yang tersedia untuk menangani pasien;

e) Sebagai tambahan jika dibutuhkan darah atau produk darah, sedangkan      risiko      dan      alternatifnya didiskusikan.

6)    Elemen Penilaian PAB 7.1

a) Rumah sakit telah menerapkan pemberian informasi kepada pasien  dan  atau  keluarga  atau  pihak  yang akan memberikan keputusan tentang jenis, risiko, manfaat,       komplikasi   dan   dampak   serta   alternatif prosedur/teknik    terkait   dengan   rencana   operasi (termasuk pemakaian produk darah bila diperlukan) kepada pasien dan atau keluarga atau mereka yang berwenang memberi keputusan.

b) Pemberian  informasi     dilakukan     oleh     dokter penanggung                              jawab          pelayanan          (DPJP) didokumentasikan     dalam     formulir     persetujuan tindakan kedokteran.

7)    Standar PAB 7.2

Informasi yang terkait dengan operasi dicatat dalam laporan operasi dan digunakan untuk menyusun rencana asuhan lanjutan.

8)    Maksud dan Tujuan PAB 7.2

Asuhan  pasien  pascaoperasi  bergantung  pada  temuan dalam operasi. Hal yang terpenting adalah semua tindakan dan hasilnya dicatat di rekam medis pasien. Laporan ini dapat dibuat dalam bentuk format template atau dalam bentuk laporan operasi tertulis sesuai dengan regulasi rumah sakit. Laporan yang tercatat tentang operasi memuat paling sedikit:

a) Diagnosis pascaoperasi;

b) Nama dokter bedah dan asistennya;

c) Prosedur operasi yang dilakukan dan rincian temuan;

d) Ada dan tidak ada komplikasi;

e) Spesimen operasi yang dikirim untuk diperiksa;

f) Jumlah darah yang hilang dan jumlah yang masuk lewat transfusi;

g) Nomor pendaftaran alat yang dipasang (implan), (bila mempergunakan)

h) Tanggal,  waktu,   dan   tanda   tangan   dokter   yang bertanggung jawab.

9)    Elemen Penilaian PAB 7.2

a) Laporan operasi memuat poin a) – h) pada maksud dan tujuan serta  dicatat  pada  formular/template  yang ditetapkan rumah sakit.

b) Laporan operasi telah tersedia segera setelah operasi selesai dan sebelum pasien dipindah ke ruang lain untuk perawatan selanjutnya.

10)  Standar PAB. 7.3

Rencana asuhan pascaoperasi disusun, ditetapkan dan dicatat dalam rekam medis.

11)  Maksud dan Tujuan PAB 7.3

Kebutuhan  asuhan  medis,  keperawatan,  dan  profesional pemberi  asuhan  (PPA)  lainnya  sesuai  dengan kebutuhan setiap pasien pascaoperasi berbeda bergantung pada tindakan operasi dan riwayat kesehatan pasien. Beberapa pasien mungkin membutuhkan pelayanan dari profesional pemberi asuhan (PPA) lain atau unit lain seperti rehabilitasi medik atau terapi fisik. Penting membuat rencana asuhan tersebut termasuk tingkat asuhan, metode asuhan, tindak lanjut  monitor  atau  tindak  lanjut  tindakan,  kebutuhan obat, dan asuhan lain atau tindakan serta layanan lain. Rencana asuhan pascaoperasi dapat dimulai sebelum tindakan operasi berdasarkan asesmen kebutuhan dan kondisi pasien serta jenis operasi yang dilakukan. Rencana asuhan pasca operasi juga memuat kebutuhan pasien yang segera. Rencana asuhan dicacat di rekam medik pasien dalam   waktu   24   jam   dan   diverifikasi   oleh   dokter penanggung jawab pelayanan (DPJP) sebagai pimpinan tim klinis untuk memastikan kontuinitas asuhan selama waktu pemulihan dan masa rehabilitasi.

12)  Elemen Penilaian PAB 7.3

a) Rencana asuhan pascaoperasi dicatat di rekam medis pasien dalam waktu 24 jam oleh dokter penanggung jawab pelayanan (DPJP).

b) Rencana  asuhan   pascaoperasi   termasuk   rencana asuhan medis, keperawatan, oleh PPA lainnya berdasar atas kebutuhan pasien.

c) Rencana asuhan  pascaoperasi  diubah  berdasarkan pengkajian ulang pasien.

13)  Standar PAB 7.4

Perawatan bedah yang mencakup implantasi alat medis direncanakan dengan pertimbangan khusus tentang bagaimana memodifikasi proses dan prosedur standar.

14)  Maksud dan Tujuan PAB 7.4

Banyak tindakan bedah menggunakan implan yang menetap/permanen maupun temporer antara lain panggul/lutut prostetik, pacu jantung, pompa insulin. Tindakan   operasi   seperti   ini   mengharuskan   tindakan operasi  rutin  yang  dimodifikasi  dgn  mempertimbangkan faktor khusus seperti:

a) Pemilihan  implan        berdasarkan        peraturan perundangan.

b) Modifikasi surgical  safety  checklist  utk  memastikan ketersediaan                         implan     di     kamar     operasi     dan pertimbangan khusus utk penandaan lokasi operasi.

c) Kualifikasi dan  pelatihan  setiap  staf  dari  luar  yang dibutuhkan                      untuk   pemasangan   implan   (staf   dari pabrik/perusahaan implan untukmengkalibrasi).

d) Proses  pelaporan   jika   ada   kejadian   yang   tidak diharapkan terkait implant.

e) Proses  pelaporan   malfungsi   implan   sesuai   dgn standar/aturan pabrik.

f) Pertimbangan pengendalian infeksi yang khusus. g)    Instruksi khusus kepada pasien setelah operasi.

h) kemampuan penelusuran (traceability) alat jika terjadi penarikan kembali (recall) alat medis misalnya dengan menempelkan barcode alat di rekam medis.

15)  Elemen Penilaian PAB 7.4

a) Rumah sakit telah mengidentifikasi jenis alat implan yang termasuk dalam cakupan layanannya.

b) Kebijakan dan praktik mencakup poin a) – h) pada maksud dan tujuan.

c) Rumah sakit mempunyai proses untuk melacak implan medis yang telah digunakan pasien.

d) Rumah sakit menerapkan proses untuk menghubungi dan memantau  pasien  dalam  jangka  waktu  yang ditentukan setelah  menerima pemberitahuan adanya penarikan/recall suatu implan medis.

 

Pelayanan Kefarmasian dan Penggunaan Obat (PKPO) Gambaran Umum

Pelayanan kefarmasian dan penggunaan obat merupakan bagian penting dalam pelayanan pasien. Pelayanan kefarmasian yang diselenggarakan  di  rumah  sakit  harus  mampu  menjamin ketersediaan  obat  dan  alat  kesehatan  yang bermutu, bermanfaat, aman, dan terjangkau untuk memenuhi kebutuhan pasien. Standar Pelayanan Kefarmasian meliputi pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai (BMHP), serta pelayanan farmasi klinik. Pengaturan Standar Pelayanan Kefarmasian di rumah sakit bertujuan untuk:

    1. Meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian;
    2. Menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian; dan
    3. Melindungi pasien dan masyarakat dari penggunaan obat yang tidak rasional dalam rangka keselamatan pasien (patient safety).

Pada bab ini penilaian terhadap pelayananan kefarmasian difokuskan pada sediaan farmasi dan BMHP.

Obat merupakan komponen penting dalam pengobatan simptomatik, preventif, kuratif, paliatif dan rehabilitatif terhadap penyakit dan berbagai   kondisi.   Proses   penggunaan   obat   yang   mencakup peresepan, penyiapan (dispensing), pemberian dan pemantauan dilakukan secara multidisipliner dan terkoordinasi sehingga dapat menjamin penggunaan obat yang aman dan efektif.

Sistem pelayanan kefarmasian dan penggunaan obat di rumah sakit dirancang,  diimplementasikan,  dan  dilakukan  peningkatan  mutu secara    berkesinambungan    terhadap    proses-proses:    pemilihan, perencanaan    dan    pengadaan,    penyimpanan,    pendistribusian, peresepan/permintaan    obat/instruksi    pengobatan,    penyalinan (transcribing), penyiapan, pemberian dan pemantauan terapi obat. Kejadian  kesalahan  obat  (medication  error)  merupakan  penyebab utama cedera pada pasien yang seharusnya dapat dicegah. Untuk meningkatkan  keselamatan  pasien,  rumah  sakit  harus  berupaya mengurangi  terjadinya  kesalahan  obat  dengan  membuat  sistem pelayanan  kefarmasian  dan  penggunaan  obat  yang  lebih  aman (medication safety).

Masalah resistansi antimikroba merupakan masalah global yang disebabkan  penggunaan  antimikroba  yang  berlebihan  dan  tidak tepat. Untuk mengurangi laju resistansi antimikroba dan meningkatkan patient outcome, maka rumah sakit harus melaksanakan program pengendalian resistansi antimikroba sesuai peraturan  perundang-undangan.  Salah  satu  program  kerja  yang harus dilakukan adalah optimalisasi penggunaan antimikroba secara bijak melalui penerapan penatagunaan antimikroba (PGA).

 

Pengorganisasian

1)    Standar PKPO 1

Sistem   pelayanan   kefarmasian   dan   penggunaan   obat dikelola untuk memenuhi kebutuhan pasien sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

2)    Maksud dan Tujuan PKPO 1

Rumah  sakit  menetapkan  dan  menerapkan  sistem pelayanan kefarmasian dan penggunaan obat yang meliputi:

a)    Perencanaan   sistem   pelayanan   kefarmasian   dan penggunaan obat.

b)    Pemilihan.

c) Perencanaan  dan  pengadaan  sediaan  farmasi  dan BMHP.

d)

e)

f) Peresepan/permintaan obat/instruksi pengobatan. g)    Penyiapan (dispensing).

h)i) Pemantauan terapi obat.

  1.  

Untuk  memastikan  efektivitas  sistem  pelayanan kefarmasian dan penggunaan obat, maka rumah sakit melakukan kajian sekurang-kurangnya sekali setahun. Kajian tahunan dilakukan dengan mengumpulkan semua informasi dan pengalaman yang berhubungan dengan pelayanan kefarmasian dan penggunaan obat, termasuk jumlah laporan insiden kesalahan obat serta upaya untuk menurunkannya. Pelaksanaan kajian melibatkan Komite/Tim  Farmasi  dan  Terapi,  Komite/  Tim Penyelenggara Mutu, serta unit kerja terkait. Kajian bertujuan agar rumah sakit memahami kebutuhan dan prioritas perbaikan sistem berkelanjutan. Kajian meliputi proses-proses poin a) sampai dengan i), termasuk insiden kesalahan obat (medication error).

Pelayanan   kefarmasian   dipimpin   oleh   apoteker   yang memiliki izin dan kompeten dalam melakukan supervisi semua aktivitas pelayanan kefarmasian dan penggunaan obat    di    rumah    sakit.    Pelayanan    kefarmasian    dan penggunaan obat bukan hanya tanggung jawab apoteker, tetapi  juga  staf  lainnya  yang  terlibat,  misalnya  dokter, perawat,   tenaga   teknis   kefarmasian,   staf   non   klinis. Struktur organisasi dan tata hubungan kerja operasional pelayanan  kefarmasian  dan  penggunaan  obat  di  rumah sakit mengacu pada peraturan perundang-undangan. Rumah sakit harus menyediakan sumber informasi yang dibutuhkan staf yang terlibat dalam pelayanan kefarmasian dan penggunaan obat, misalnya informasi tentang dosis, interaksi    obat,    efek    samping    obat,    stabilitas    dan kompatibilitas dalam bentuk cetak dan/atau elektronik.

3)    Elemen Penilaian PKPO 1

a) Rumah sakit telah menetapkan regulasi tentang sistem pelayanan kefarmasian    dan    penggunaan    obat, termasuk pengorganisasiannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

b) Rumah sakit memiliki bukti seluruh apoteker memiliki izin dan kompeten,  serta  telah  melakukan supervisi pelayanan kefarmasian dan memastikan kepatuhan terhadap peraturan perundang- undangan.

c) Rumah sakit memiliki bukti kajian sistem pelayanan kefarmasian dan penggunaan obat yang dilakukan setiap tahun.

d) Rumah sakit memiliki sumber informasi obat untuk semua staf yang terlibat dalam penggunaan obat.

 

Pemilihan, Perencanaan, dan Pengadaan

1)    Standar PKPO 2

Rumah sakit menetapkan dan menerapkan formularium yang digunakan untuk peresepan/permintaan obat/instruksi pengobatan. Obat dalam formularium senantiasa tersedia di rumah sakit.

2)    Maksud dan Tujuan PKPO 2

Rumah sakit menetapkan formularium obat mengacu pada peraturan perundang-undangan. Formularium ini didasarkan atas misi rumah sakit, kebutuhan pasien, dan jenis pelayanan yang diberikan. Penyusunan formularium merupakan  suatu  proses  kolaboratif  mempertimbangkan kebutuhan, keselamatan pasien dan aspek biaya. Formularium harus dijadikan acuan dan dipatuhi dalam peresepan dan pengadaan obat. Komite/Tim Farmasi dan Terapi melakukan evaluasi terhadap formularium rumah sakit sekurang-kurangnya setahun sekali dengan mempertimbangkan   efektivitas,   keamanan   dan   biaya. Rumah sakit merencanakan kebutuhan obat, dan BMHP dengan baik agar tidak terjadi kekosongan yang dapat menghambat pelayanan. Apabila terjadi kekosongan, maka tenaga kefarmasian harus menginformasikan kepada profesional pemberi asuhan (PPA) serta saran substitusinya. Rumah sakit menetapkan dan menerapkan regulasi pengadaan sediaan farmasi dan BMHP yang melibatkan apoteker untuk memastikan proses berjalan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

3)    Elemen Penilaian PKPO 2

a) Rumah  sakit   telah   memiliki   proses   penyusunan formularium rumah sakit secara kolaboratif.

b) Rumah  sakit   melakukan   pemantauan   kepatuhan terhadap  formularium  baik  dari  persediaan maupun penggunaannya.

c) Rumah  sakit     melakukan     evaluasi     terhadap formularium sekurang-kurangnya setahun sekali berdasarkan informasi tentang efektivitas, keamanan dan biaya.

d) Rumah sakit  melakukan  pelaksanaan  dan  evaluasi terhadap perencanaan dan pengadaan sediaan farmasi, dan BMHP.

e) Rumah sakit melakukan pengadaan sediaan farmasi, dan BMHP melibatkan apoteker untuk memastikan proses berjalan  sesuai  peraturan  perundang- undangan.

 

Penyimpanan

1)    Standar PKPO 3

Rumah sakit menetapkan dan menerapkan regulasi penyimpanan sediaan farmasi dan BMHP disimpan dengan benar  dan  aman  sesuai  peraturan  perundang-undangan dan standar profesi.

2)    Standar PKPO 3.1

Rumah sakit menetapkan dan menerapkan regulasi pengelolaan  obat  atau  produk  yang  memerlukan penanganan khusus, misalnya obat dan bahan berbahaya, radioaktif, obat penelitian, produk nutrisi parenteral, obat/BMHP dari program/donasi sesuai peraturan perundang-undangan.

3)    Standar PKPO 3.2

Rumah sakit menetapkan dan menerapkan regulasi pengelolaan obat, dan BMHP untuk kondisi emergensi yang disimpan  di  luar  Instalasi  Farmasi  untuk  memastikan selalu tersedia, dimonitor dan aman.

4)    Standar PKPO 3.3

Rumah sakit menetapkan dan menerapkan regulasi penarikan   kembali   (recall)   dan   pemusnahan   sediaan farmasi, BMHP dan implan sesuai peraturan perundang- undangan.

5)    Maksud dan Tujuan PKPO 3, PKPO 3.1, PKPO 3.2, PKPO

3.3

Rumah sakit mempunyai ruang penyimpanan sediaan farmasi dan BMHP yang disesuaikan dengan kebutuhan, serta memperhatikan persyaratan penyimpanan dari produsen, kondisi sanitasi, suhu, cahaya, kelembaban, ventilasi,  dan  memiliki  system  keamanan  penyimpanan yang bertujuan untuk menjamin mutu dan keamanan produk serta keselamatan staf.

Beberapa sediaan farmasi harus disimpan dengan cara khusus, yaitu:

    1. a) Bahan berbahaya dan beracun (B3) disimpan sesuai sifat dan risiko bahan agar dapat mencegah staf dan lingkungan dari risiko terpapar bahan berbahaya dan beracun, atau mencegah terjadinya bahaya seperti kebakaran.
    2. b) Narkotika dan  psikotropika  harus  disimpan  dengan cara yang dapat mencegah risiko kehilangan obat yang berpotensi disalahgunakan (drug abuse). Penyimpanan

dan pelaporan penggunaan narkotika dan psikotropika dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan.

    1. c) Elektrolit konsentrat dan elektrolit dengan konsentrasi tertentu diatur  penyimpanannya  agar  tidak  salah dalam pengambilan.
    2. d) Obat emergensi  diatur  penyimpanannya  agar  selalu siap            pakai      bila      sewaktu-waktu       Ketersediaan  dan  kemudahan  akses  terhadap  obat, dan BMHP pada kondisi emergensi sangat menentukan penyelamatan jiwa pasien. Oleh karena itu rumah sakit harus               menetapkan         lokasi         penempatan troli/tas/lemari/kotak berisi khusus obat, dan BMHP emergensi,  termasuk  di  ambulans.  Pengelolaan  obat dan BMHP emergensi harus sama/seragam di seluruh rumah sakit dalam hal penyimpanan (termasuk tata letaknya), pemantauan dan pemeliharaannya. Rumah sakit menerapkan tata laksana obat emergensi untuk meningkatkan  ketepatan  dan  kecepatan  pemberian obat, misalnya:

(1)    Penyimpanan    obat    emergensi    harus    sudah dikeluarkan dari kotak kemasannya agar tidak menghambat kecepatan penyiapan dan pemberian obat,  misalnya:  obat  dalam  bentuk  ampul atau vial.

(2)    Pemisahan   penempatan   BMHP   untuk   pasien dewasa dan pasien anak.

(3)   Tata letak obat yang seragam.

(4)    Tersedia    panduan    cepat    untuk    dosis    dan penyiapan obat.

Beberapa sediaan farmasi memiliki risiko khusus yang memerlukan ketentuan tersendiri dalam penyimpanan, pelabelan dan pengawasan penggunaannya, yaitu:

a) Produk nutrisi  parenteral  dikelola  sesuai  stabilitas produk;

b) Obat/bahan radioaktif dikelola sesuai sifat dan bahan radioaktif;

c) Obat yang dibawa pasien;

d) Obat/BMHP  dari      program      atau      bantuan pemerintah/pihak lain dikelola sesuai peraturan perundang-undangan dan pedoman; dan

e) Obat yang digunakan untuk penelitian dikelola sesuai protokol penelitian.

Obat dan zat kimia yang digunakan untuk peracikan obat harus diberi label yang memuat informasi nama, kadar/kekuatan, tanggal kedaluwarsa dan peringatan khusus untuk menghindari kesalahan dalam penyimpanan dan penggunaannya.

Apoteker melakukan supervisi secara rutin ke lokasi penyimpanan sediaan farmasi dan BMHP, untuk memastikan penyimpanannya dilakukan dengan benar dan aman. Rumah sakit harus memiliki sistem yang menjamin bahwa sediaan farmasi dan BMHP yang tidak layak pakai karena rusak, mutu substandar atau kedaluwarsa tidak digunakan serta dimusnahkan.

Obat yang sudah dibuka dari kemasan primer (wadah yang bersentuhan langsung dengan obat) atau sudah dilakukan perubahan, misalnya: dipindahkan dari wadah aslinya, sudah dilakukan peracikan, maka tanggal kedaluwarsanya (ED=Expired Date) tidak lagi mengikuti tanggal kedaluwarsa dari  pabrik  yang  tertera  di  kemasan  obat.  Rumah  sakit harus menetapkan tanggal kedaluwarsa sediaan obat tersebut (BUD=Beyond Use Date). BUD harus dicantumkan pada label obat.

Rumah sakit memiliki sistem pelaporan obat dan BMHP yang substandar (rusak) untuk perbaikan dan peningkatan mutu.

Obat yang ditarik dari peredaran (recall) dapat disebabkan mutu  produk  substandar  atau  obat  berpotensi menimbulkan efek yang membahayakan pasien. Inisiatif recall dapat dilakukan oleh produsen secara sukarela atau oleh Badan POM. Rumah sakit harus memiliki sistem penarikan kembali (recall) yang meliputi identifikasi keberadaan    obat    yang    di-recall    di    semua    lokasi penyimpanan di rumah sakit, penarikan dari semua lokasi penyimpanan, dan pengembaliannya ke distributor. Rumah sakit  memastikan  bahwa  proses  recall  dikomunikasikan dan dilaksanakan secepatnya untuk mencegah digunakannya produk yang di-recall.

6)    Elemen Penilaian PKPO 3

a) Sediaan farmasi  dan  BMHP  disimpan  dengan  benar dan aman dalam kondisi yang sesuai untuk stabilitas produk, termasuk yang disimpan di luar Instalasi Farmasi.

b) Narkotika dan psikotropika disimpan dan dilaporkan penggunaannya sesuai peraturan perundang- undangan.

c) Rumah sakit melaksanakan supervisi secara rutin oleh apoteker untuk  memastikan  penyimpanan  sediaan farmasi dan BMHP dilakukan dengan benar dan aman.

d) Obat dan zat kimia yang digunakan untuk peracikan obat diberi label secara akurat yang terdiri atas nama zat dan    kadarnya,    tanggal    kedaluwarsa,    dan peringatan khusus.

7)    Elemen Penilaian PKPO 3.1

a) Obat  yang   memerlukan   penanganan   khusus   dan bahan             berbahaya  dikelola  sesuai  sifat  dan  risiko bahan.

b) Radioaktif dikelola  sesuai  sifat  dan  risiko  bahan radioaktif.

c) Obat penelitian dikelola sesuai protokol penelitian.

d) Produk nutrisi  parenteral  dikelola  sesuai  stabilitas produk.

e) Obat/BMHP  dari   program/donasi   dikelola   sesuai peraturan perundang-undangan dan pedoman terkait.

8)    Elemen Penilaian PKPO 3.2

a) Obat  dan   BMHP   untuk   kondisi   emergensi   yang tersimpan                   di  luar   Instalasi  Farmasi   termasuk  di ambulans dikelola secara seragam dalam hal penyimpanan,    pemantauan,    penggantian    karena digunakan,  rusak  atau  kedaluwarsa,  dan  dilindungi dari kehilangan dan pencurian.

b) Rumah sakit menerapkan tata laksana obat emergensi untuk meningkatkan    ketepatan    dan    kecepatan pemberian obat.

9)    Elemen Penilaian PKPO 3.3

a) Batas waktu obat dapat digunakan (beyond use date) tercantum pada label obat.

b) Rumah  sakit   memiliki   sistem   pelaporan   sediaan farmasi dan BMHP substandar (rusak).

c) Rumah sakit  menerapkan  proses  recall  obat,  BMHP dan implan yang meliputi identifikasi, penarikan, dan pengembalian produk yang di-recall.

d) Rumah sakit menerapkan proses pemusnahan sediaan farmasi dan BMHP.

 

Peresepan

1)    Standar PKPO 4

Rumah sakit menetapkan dan menerapkan regulasi rekonsiliasi obat.

2)    Maksud dan Tujuan PKPO 4

Pasien  yang  dirawat  di  rumah  sakit  mungkin  sebelum masuk rumah sakit sedang menggunakan obat baik obat resep maupun non resep. Adanya diskrepansi (perbedaan) terapi obat yang diterima pasien sebelum dirawat dan saat dirawat dapat membahayakan kesehatan pasien. Kajian sistematik yang dilakukan oleh Cochrane pada tahun 2018 menunjukkan 55,9% pasien berisiko mengalami diskrepansi terapi obat saat perpindahan perawatan (transition of care). Untuk  mencegah  terjadinya  kesalahan  obat  (medication error)  akibat  adanya  diskrepansi  tersebut,  maka  rumah sakit  harus  menetapkan  dan  menerapkan  proses rekonsiliasi obat. Rekonsiliasi obat di rumah sakit adalah proses membandingkan daftar obat yang digunakan oleh pasien sebelum masuk rumah sakit dengan obat yang diresepkan pertama kali sejak pasien masuk, saat pindah antar unit pelayanan (transfer) di dalam rumah sakit dan sebelum pasien pulang.

Rekonsiliasi obat merupakan proses kolaboratif yang dilakukan oleh dokter, apoteker dan perawat, serta melibatkan pasien/keluarga. Rekonsiliasi obat dimulai dengan   menelusuri   riwayat   penggunaan   obat   pasien sebelum masuk rumah sakit, kemudian membandingkan daftar obat tersebut dengan obat yang baru diresepkan saat perawatan.   Jika   ada   diskrepansi,   maka   dokter   yang merawat memutuskan apakah terapi obat yang digunakan oleh pasien sebelum masuk rumah sakit akan dilanjutkan atau tidak. Hasil rekonsiliasi obat didokumentasikan dan dikomunikasikan kepada profesional pemberi asuhan (PPA) terkait dan pasien/keluarga.

Kajian sistematik membuktikan bahwa rekonsiliasi obat dapat menurunkan diskrepansi dan kejadian yang tidak diharapkan terkait penggunaan obat (adverse drug event).

3)    Elemen Penilaian PKPO 4

a) Rumah sakit menerapkan rekonsiliasi obat saat pasien masuk rumah sakit, pindah antar unit pelayanan di dalam rumah sakit dan sebelum pasien pulang.

b) Hasil rekonsiliasi  obat  didokumentasikan  di  rekam medis.

4)    Standar PKPO 4.1

Rumah sakit menetapkan dan menerapkan regulasi peresepan/permintaan obat dan BMHP/instruksi pengobatan sesuai peraturan perundang-undangan.

5)    Maksud dan Tujuan PKPO 4.1

Di banyak hasil penelitian, kesalahan obat (medication error) yang tersering terjadi di tahap peresepan. Jenis kesalahan peresepan antara lain: resep yang tidak lengkap, ketidaktepatan obat, dosis, rute dan frekuensi pemberian. Peresepan menggunakan tulisan tangan berpotensi tidak dapat dibaca. Penulisan resep yang tidak lengkap dan tidak terbaca dapat menyebabkan kesalahan dan tertundanya pasien mendapatkan obat.

Rumah sakit harus menetapkan dan menerapkan regulasi tentang peresepan/permintaan obat dan BMHP/instruksi pengobatan yang benar, lengkap dan terbaca. Rumah sakit menetapkan dan melatih tenaga medis yang kompeten dan berwenang untuk melakukan peresepan/permintaan obat dan BMHP/instruksi pengobatan.

Untuk menghindari keragaman dan mencegah kesalahan obat yang berdampak pada keselamatan pasien, maka rumah sakit menetapkan persyaratan bahwa semua resep/permintaan obat/instruksi pengobatan harus mencantumkan identitas pasien (lihat SKP 1), nama obat, dosis,  frekuensi  pemberian,  rute  pemberian,  nama  dan tanda tangan dokter. Persyaratan kelengkapan lain ditambahkan disesuaikan dengan jenis resep/permintaan obat/instruksi pengobatan, misalnya:

a) Penulisan nama  dagang  atau  nama  generik  pada sediaan dengan zat aktif tunggal.

b) Penulisan indikasi  dan  dosis  maksimal  sehari  pada obat PRN (pro renata atau “jika perlu”).

c) Penulisan berat badan dan/atau tinggi badan untuk pasien anak-anak, lansia, pasien yang mendapatkan kemoterapi, dan populasi khusus lainnya.

d) Penulisan kecepatan  pemberian  infus  di  instruksi pengobatan.

e) Penulisan instruksi  khusus  seperti:  titrasi,  tapering, rentang dosis.

Instruksi titrasi adalah instruksi pengobatan dimana dosis obat dinaikkan/diturunkan secara bertahap tergantung status klinis pasien. Instruksi harus terdiri dari: dosis awal, dosis titrasi, parameter penilaian, dan titik akhir penggunaan, misalnya: infus nitrogliserin, dosis awal 5 mcg/menit. Naikkan dosis 5 mcg/menit setiap 5 menit jika nyeri dada menetap, jaga tekanan darah 110-140 mmHg.

Instruksi tapering down/tapering off adalah instruksi pengobatan dimana dosis obat diturunkan secara bertahap sampai akhirnya dihentikan. Cara ini dimaksudkan agar tidak terjadi efek yang tidak diharapkan  akibat  penghentian  mendadak.  Contoh obat   yang   harus   dilakukan   tapering   down/off: pemakaian jangka panjang kortikosteroid, psikotropika. Instruksi harus rinci dituliskan tahapan penurunan dosis dan waktunya.

Instruksi rentang dosis adalah instruksi pengobatan dimana dosis obat dinyatakan dalam rentang, misalnya morfin inj 2-4 mg IV tiap 3 jam jika nyeri. Dosis disesuaikan berdasarkan kebutuhan pasien.

Rumah sakit menetapkan dan menerapkan proses untuk menangani resep/ permintaan obat dan BMHP/instruksi pengobatan:

a) Tidak lengkap, tidak benar dan tidak terbaca.

b) NORUM (Nama Obat Rupa Ucapan Mirip) atau LASA (Look Alike Sound Alike).

c) Jenis resep khusus seperti emergensi, cito, automatic stop order, tapering dan lainnya.

d) Secara lisan  atau  melalui  telepon,  wajib  dilakukan komunikasi efektif meliputi: tulis lengkap, baca ulang (read back), dan meminta konfirmasi kepada dokter yang memberikan resep/instruksi melalui telepon dan mencatat di rekam medik bahwa sudah dilakukan konfirmasi. (Lihat standar SKP 2)

Rumah   sakit   melakukan   evaluasi   terhadap   penulisan resep/instruksi pengobatan yang tidak lengkap dan tidak terbaca dengan cara uji petik atau cara lain yang valid. Daftar obat yang diresepkan tercatat dalam rekam medis pasien yang mencantumkan identitas pasien (lihat SKP 1), nama obat, dosis, rute pemberian, waktu pemberian, nama dan tanda tangan dokter. Daftar ini menyertai pasien ketika dipindahkan  sehingga  profesional  pemberi  asuhan  (PPA) yang  merawat  pasien  dengan  mudah  dapat  mengakses informasi  tentang  penggunaan  obat  pasien.  Daftar  obat pulang    diserahkan    kepada    pasien    disertai    edukasi penggunaannya  agar  pasien  dapat  menggunakan  obat dengan  benar  dan  mematuhi  aturan  pakai  yang  sudah ditetapkan.

6)    Elemen Penilaian PKPO 4.1

a) Resep dibuat lengkap sesuai regulasi.

b) Telah  dilakukan     evaluasi     terhadap     penulisan resep/instruksi pengobatan yang tidak lengkap dan tidak terbaca.

c) Telah  dilaksanaan   proses   untuk   mengelola   resep khusus seperti emergensi, automatic stop order, tapering,

d) Daftar obat  yang  diresepkan  tercatat  dalam  rekam medis              pasien     dan     menyertai     pasien     ketika dipindahkan/transfer.

e) Daftar obat pulang diserahkan kepada pasien disertai edukasi penggunaannya.

 

Penyiapan (Dispensing)

1)    Standar PKPO 5

Rumah sakit menetapkan dan menerapkan regulasi dispensing sediaan farmasi dan bahan medis habis pakai sesuai standar profesi dan peraturan perundang-undangan.

2)    Maksud dan Tujuan PKPO 5

Penyiapan (dispensing) adalah rangkaian proses mulai dari diterimanya resep/permintaan obat/instruksi pengobatan sampai dengan penyerahan obat dan BMHP kepada dokter/perawat atau kepada pasien/keluarga. Penyiapan obat dilakukan oleh staf yang terlatih dalam lingkungan yang aman bagi pasien, staf dan lingkungan sesuai peraturan perundang-undangan dan standar praktik kefarmasian untuk menjamin keamanan, mutu, manfaat dan khasiatnya. Untuk menghindari kesalahan pemberian obat pada pasien rawat inap, maka obat yang diserahkan harus dalam bentuk yang siap digunakan, dan disertai dengan informasi lengkap tentang pasien dan obat.

3)    Elemen Penilaian PKPO 5

a) Telah memiliki sistem distribusi dan dispensing yang sama/seragam diterapkan   di   rumah   sakit   sesuai peraturan perundang-undangan.

b) Staf yang  melakukan  dispensing  sediaan  obat  non steril kompeten.

c) Staf yang  melakukan  dispensing  sediaan  obat  steril non sitostatika terlatih dan kompeten.

d) Staf yang melakukan pencampuran sitostatika terlatih dan kompeten.

e) Tersedia fasilitas  dispensing  sesuai  standar  praktik kefarmasian.

f) Telah melaksanakan penyerahan obat dalam bentuk yang siap diberikan untuk pasien rawat inap.

g) Obat yang sudah disiapkan diberi etiket yang meliputi identitas pasien, nama obat, dosis atau konsentrasi, cara pemakaian, waktu pemberian, tanggal dispensing dan tanggal kedaluwarsa/beyond use date (BUD).

4)    Standar PKPO 5.1

Rumah sakit menetapkan dan menerapkan regulasi pengkajian resep dan telaah obat sesuai peraturan perundang-undangan dan standar praktik profesi.

5)    Maksud dan Tujuan PKPO 5.1

Pengkajian resep adalah kegiatan menelaah resep sebelum obat disiapkan, yang meliputi pengkajian aspek administratif, farmasetik dan klinis. Pengkajian resep dilakukan oleh tenaga kefarmasian yang kompeten dan diberi kewenangan dengan tujuan untuk mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah terkait obat sebelum obat disiapkan.

Pengkajian resep aspek administratif meliputi: kesesuaian identitas   pasien   (lihat   SKP   1),   ruang   rawat,   status pembiayaan, tanggal resep, identitas dokter penulis resep. Pengkajian  resep  aspek  farmasetik  meliputi:  nama  obat, bentuk dan kekuatan sediaan, jumlah obat, instruksi cara pembuatan   (jika   diperlukan   peracikan),   stabilitas   dan inkompatibilitas sediaan.

Pengkajian resep aspek klinis meliputi:

a) Ketepatan identitas  pasien,  obat,  dosis,  frekuensi, aturan pakai dan waktu pemberian.

b) Duplikasi pengobatan.

c) Potensi alergi atau hipersensitivitas.

d) Interaksi antara  obat  dan  obat  lain  atau  dengan makanan.

e) Variasi kriteria penggunaan dari rumah sakit, misalnya membandingkan dengan panduan praktik klinis, formularium nasional.

f) Berat badan  pasien  dan  atau  informasi  fisiologis lainnya.

g)

Dalam pengkajian resep tenaga teknis kefarmasian diberi kewenangan terbatas hanya aspek administratif dan farmasetik.

Pengkajian resep aspek klinis yang baik oleh apoteker memerlukan data klinis pasien, sehingga apoteker harus diberi kemudahan akses untuk mendapatkan informasi klinis pasien.

Apoteker/tenaga   teknis   kefarmasian   harus   melakukan telaah obat sebelum obat diserahkan kepada perawat/pasien.untuk memastikan bahwa obat yang sudah disiapkan tepat:

a)

b) Nama obat.

c) Dosis dan jumlah obat.

d) Rute pemberian.

e) Waktu pemberian.

6)    Elemen Penilaian PKPO 5.1

a) Telah melaksanakan pengkajian resep yang dilakukan oleh staf   yang   kompeten   dan   berwenang   serta didukung tersedianya informasi klinis pasien yang memadai.

b) Telah memiliki proses telaah obat sebelum diserahkan.

 

Pemberian Obat

1)    Standar PKPO 6

Rumah sakit menetapkan dan menerapkan regulasi pemberian obat sesuai peraturan perundang-undangan.

2)    Maksud dan Tujuan PKPO 6

Tahap  pemberian  obat  merupakan  tahap  akhir  dalam proses penggunaan obat sebelum obat masuk ke dalam tubuh  pasien.  Tahap  ini  merupakan  tahap  yang  kritikal ketika  terjadi  kesalahan  obat  (medication  error)  karena pasien akan langsung terpapar dan dapat menimbulkan cedera. Rumah sakit harus menetapkan dan menerapkan regulasi pemberian obat. Rumah sakit menetapkan professional pemberi asuhan (PPA) yang kompeten dan berwenang memberikan obat sesuai peraturan perundang- undangan. Rumah sakit dapat membatasi kewenangan staf klinis dalam melakukan pemberian obat, misalnya pemberian obat anestesi, kemoterapi, radioaktif, obat penelitian.

Sebelum   pemberian   obat   kepada   pasien,   dilakukan verifikasi  kesesuaian  obat  dengan  instruksi  pengobatan yang meliputi:

a) Identitas pasien.

b)    Nama obat.

c)

d) Rute pemberian.

e) Waktu pemberian. Obat yang termasuk golongan obat high alert, harus dilakukan double-checking untuk menjamin ketepatan pemberian obat.

3)    Elemen Penilaian PKPO 6

a) Staf yang melakukan pemberian obat kompeten dan berwenang dengan pembatasan yang ditetapkan.

b) Telah dilaksanaan  verifikasi  sebelum  obat  diberikan kepada              pasien  minimal  meliputi:  identitas  pasien, nama obat, dosis, rute, dan waktu pemberian.

c) Telah melaksanakan double checking untuk obat high alert.

d) Pasien  diberi   informasi   tentang   obat   yang   akan diberikan.

4)    Standar PKPO 6.1

Rumah sakit menetapkan dan menerapkan regulasi penggunaan obat yang dibawa pasien dari luar rumah sakit dan penggunaan obat oleh pasien secara mandiri.

5)    Maksud dan Tujuan PKPO 6.1

Obat yang dibawa pasien/keluarga dari luar rumah sakit berisiko  dalam  hal  identifikasi/keaslian  dan  mutu  obat. Oleh sebab itu rumah sakit harus melakukan penilaian terhadap obat tersebut terkait kelayakan penggunaannya di rumah sakit. Penggunaan obat oleh pasien secara mandiri, baik yang dibawa dari luar rumah sakit atau yang diresepkan dari rumah sakit harus diketahui oleh dokter yang merawat dan dicatat di rekam medis pasien. Penggunaan obat secara mandiri harus ada proses edukasi dan pemantauan penggunaannya untuk menghindari penggunaan obat yang tidak tepat.

6)    Elemen Penilaian PKPO 6.1

a) Telah melakukan penilaian obat yang dibawa pasien dari luar      rumah      sakit      untuk      kelayakan penggunaannya di rumah sakit.

b) Telah melaksanakan edukasi kepada pasien/keluarga jika obat akan digunakan secara mandiri.

c) Telah memantau pelaksanaan penggunaan obat secara mandiri sesuai edukasi.

 

Pemantauan

1)    Standar PKPO 7

Rumah sakit menerapkan pemantauan terapi obat secara kolaboratif.

2)    Maksud dan Tujuan PKPO 7

Untuk mengoptimalkan terapi obat pasien, maka dilakukan pemantauan terapi obat secara kolaboratif yang melibatkan profesional pemberi asuhan (PPA) dan pasien. Pemantauan meliputi efek yang diharapkan dan efek samping obat. Pemantauan   terapi   obat   didokumentasikan   di   dalam catatan perkembangan pasien terintegrasi (CPPT) di rekam medis.

Rumah  sakit  menerapkan  sistem  pemantauan  dan pelaporan efek samping obat untuk meningkatkan keamanan penggunaan obat sesuai peraturan perundang- undangan. Efek samping obat dilaporkan ke Komite/Tim Farmasi dan Terapi. Rumah sakit melaporkan efek samping obat ke Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

3)    Elemen Penilaian PKPO 7

a) Telah melaksanakan  pemantauan  terapi  obat secara kolaboratif.

b) Telah melaksanakan pemantauan dan pelaporan efek samping obat serta analisis laporan untuk meningkatkan keamanan penggunaan obat.

4)    Standar PKPO 7.1

Rumah  sakit  menetapkan  dan  menerapkan  proses pelaporan serta tindak lanjut terhadap kesalahan obat (medication error) dan berupaya menurunkan kejadiannya.

5)    Maksud dan Tujuan PKPO 7.1

Insiden   kesalahan   obat   (medication   error)   merupakan penyebab utama cedera pada pasien yang seharusnya dapat dicegah. Untuk meningkatkan keselamatan pasien, rumah sakit harus berupaya mengurangi terjadinya kesalahan obat dengan   membuat   sistem   pelayanan   kefarmasian   dan penggunaan obat yang lebih aman (medication safety). Insiden    kesalahan    obat    harus    dijadikan    sebagai pembelajaran  bagi  rumah  sakit  agar  kesalahan  tersebut tidak terulang lagi.

Rumah sakit menerapkan pelaporan insiden keselamatan pasien serta tindak lanjut terhadap kejadian kesalahan obat serta upaya perbaikannya. Proses pelaporan kesalahan obat yang mencakup kejadian sentinel, kejadian yang tidak diharapkan (KTD), kejadian tidak cedera (KTC) maupun kejadian nyaris cedera (KNC), menjadi bagian dari program peningkatan mutu dan keselamatan pasien. Rumah sakit memberikan pelatihan kepada staf rumah sakit tentang kesalahan obat dalam rangka upaya perbaikan dan untuk mencegah kesalahan obat, serta meningkatkan keselamatan pasien.

6)    Elemen Penilaian PKPO 7.1

a) Rumah sakit telah memiliki regulasi tentang medication safety yang bertujuan mengarahkan penggunaan obat yang aman dan meminimalkan risiko kesalahan penggunaan obat sesuai dengan peraturan perundang- undangan.

b) Rumah sakit menerapkan sistem pelaporan kesalahan obat yang menjamin laporan akurat dan tepat waktu yang merupakan  bagian  program  peningkatan mutu dan keselamatan pasien.

c) Rumah  sakit   memiliki   upaya   untuk   mendeteksi, mencegah dan menurunkan kesalahan obat dalam meningkatkan mutu proses penggunaan obat.

d) Seluruh staf rumah sakit dilatih terkait kesalahan obat (medication error).

 

Program Pengendalian Resistansi Antimikroba

1)    Standar PKPO 8

Rumah sakit menyelenggarakan program pengendalian resistansi antimikroba (PPRA) sesuai peraturan perundang- undangan.

2)    Maksud dan Tujuan PKPO 8

Resistansi  antimikroba  (antimicrobial  resistance  =  AMR) telah menjadi masalah kesehatan nasional dan global. Pemberian obat antimikroba (antibiotik atau antibakteri, antijamur, antivirus, antiprotozoa) yang tidak rasional dan tidak bijak   dapat   memicu   terjadinya   resistansi   yaitu ketidakmampuan       membunuh       atau       menghambat pertumbuhan             mikroba    sehingga    penggunaan    pada penanganan penyakit infeksi tidak efektif. Meningkatnya kejadian resistansi antimikroba akibat dari penggunaan antimikroba yang tidak bijak dan pencegahan pengendalian infeksi    yang  belum  optimal.  Resistansi  antimikroba  di rumah sakit menyebabkan menurunnya mutu pelayanan, meningkatkan      morbiditas      dan      mortalitas,      serta meningkatnya           beban  biaya  perawatan  dan  pengobatan pasien.

Tersedia   regulasi   pengendalian   resistensi    antimikroba di rumah sakit yang meliputi:

    1. a) kebijakan dan panduan penggunaan antibiotik
    1. b) pembentukan   komite/tim   PRA   yang   terdiri   dari tenaga kesehatan yang kompeten dari unsur:

(1)   Klinisi perwakilan SMF/bagian; (2)   Keperawatan;

(3)   Instalasi farmasi;

(4)   Laboratorium mikrobiologi klinik;

(5)   Komite/Tim   Pencegahan   Pengendalian   Infeksi

(PPI);

(6)   Komite/tim Farmasi dan Terapi (KFT)

Tim     pelaksana     Program     Pengendalian     Resistensi

Antimikroba mempunyai tugas dan fungsi:

    1. a) Membantu  kepala/direktur    rumah    rakit    dalam menetapkan kebijakan tentang pengendalian resistensi antimikroba;
    2. b) Membantu  kepala/direktur    rumah    sakit    dalam menetapkan                         kebijakan     umum     dan     panduan penggunaan antibiotik di rumah sakit;
    3. c) Membantu  kepala/direktur    rumah    sakit    dalam pelaksanaan program pengendalian resistensi antimikroba;
    4. d) Membantu  kepala/direktur    rumah    sakit    dalam mengawasi dan mengevaluasi pelaksanaan program pengendalian resistensi antimikoba;
    5. e) Menyelenggarakan forum  kajian  kasus  pengelolaan penyakit infeksi terintegrasi;
    6. f) Melakukan surveilans pola penggunaan antibiotik;
    1. g) Melakukan surveilans pola mikroba penyebab infeksi dan kepekaannya terhadap antibiotik;
    2. h) Menyebarluaskan  serta   meningkatkan   pemahaman dan kesadaran tentang prinsip pengendalian resistensi antimikroba, penggunaan antibiotik secara bijak, dan ketaatan terhadap pencegahan pengendalian infeksi melalui kegiatan pendidikan dan pelatihan;
    3. i) Mengembangkan penelitian  di  bidang  pengendalian resistensi antimikroba;
    4. j) Melaporkan kegiatan program pengendalian resistensi antimikroba kepada kepala/direktur rumah sakit.

Rumah sakit menjalankan program pengendalian resistansi antimikroba sesuai peraturan perundang-undangan. Implementasi PPRA di rumah sakit dapat berjalan dengan baik,  apabila  mendapat  dukungan  penuh  dari  pimpinan

rumah  sakit  dengan  penetapan  kebijakan,  pembentukan organisasi  pengelola  program  dalam  bentuk  komite/tim yang bertanggungjawab langsung kepada pimpinan rumah sakit,  penyediaan  fasilitas,  sarana,  SDM  dan  dukungan finansial dalam mendukung pelaksanaan kegiatan PPRA. Rumah sakit menyusun program kerja PPRA meliputi:

a) Peningkatan pemahaman dan kesadaran penggunaan antimikroba bijak bagi seluruh tenaga kesehatan dan staf di rumah sakit, serta pasien dan keluarga, melalui pelatihan dan edukasi.

b) Optimalisasi penggunaan  antimikroba  secara  bijak melalui penerapan penatagunaan antimikroba (PGA).

c) Surveilans penggunaan antimikroba secara kuantitatif dan kualitatif.

d) Surveilans resistansi  antimikroba  dengan  indikator mikroba multi drugs resistance organism (MDRO).

e) Peningkatan mutu  penanganan  tata  laksana infeksi, melalui               pelaksanaan   forum   kajian   kasus   infeksi terintegrasi (FORKKIT).

Program dan kegiatan pengendalian resistansi antimikroba di rumah sakit sesuai peraturan perundang-undangan dilaksanakan, dipantau, dievaluasi dan dilaporkan kepada Kementerian Kesehatan.

Rumah sakit  membuat   laporan  pelaksanaan   program/ kegiatan  PRA meliputi:

a) Kegiatan  sosialisasi    dan    pelatihan    staf    tenaga resistensi                  kesehatan         tentang         pengendalian antimikroba;

b) Surveilans  pola penggunaan    antibiotik    di rumah sakit (termasuk   laporan    pelaksanaan pengendalian antibiotik);

c) Surveilans   pola resistensi    antimikroba;

d) Forum   kajian penyakit inteksi terintegrasi.

3)    Elemen Penilaian PKPO 8

a) Rumah  sakit   telah   menetapkan   regulasi   tentang pengendalian                        resistansi  antimikroba  sesuai  dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

b) Rumah sakit  telah  menetapkan  komite/tim  PPRA dengan melibatkan unsur terkait sesuai regulasi yang akan mengelola dan menyusun program pengendalian resistansi antimikroba dan bertanggungjawab langsung kepada Direktur rumah sakit.

c) Rumah sakit telah melaksanakan program kerja sesuai maksud dan tujuan.

d) Rumah sakit  telah  melaksanakan  pemantauan  dan evaluasi kegiatan PPRA sesuai maksud dan tujuan.

e) Memiliki telah  membuat  laporan  kepada  pimpinan rumah sakit secara berkala dan kepada Kementerian Kesehatan sesuai peraturan perundang-undangan.

4)    Standar PKPO 8.1

Rumah  sakit  mengembangkan  dan  menerapkan penggunaan antimikroba secara bijak berdasarkan prinsip penatagunaan antimikroba (PGA).

5)    Maksud dan Tujuan PKPO 8.1

Penggunaan antimikroba secara bijak adalah penggunaan antimikroba secara rasional dengan mempertimbangkan dampak muncul dan menyebarnya mikroba resistan. Penerapan penggunaan antimikroba secara bijak berdasarkan prinsip penatagunaan antimikroba (PGA), atau antimicrobial stewardship (AMS) adalah kegiatan strategis dan sistematis, yang terpadu dan terorganisasi di rumah sakit, bertujuan mengoptimalkan penggunaan antimikroba secara bijak, baik kuantitas maupun kualitasnya, diharapkan dapat menurunkan tekanan selektif terhadap mikroba, sehingga dapat mengendalikan resistansi antimikroba. Kegiatan ini dimulai dari tahap penegakan diagnosis penyakit infeksi, penggunaan antimikroba berdasarkan indikasi, pemilihan jenis antimikroba yang tepat, termasuk dosis, rute, saat, dan lama pemberiannya. Dilanjutkan dengan pencatatan dan pemantauan keberhasilan dan/atau kegagalan terapi, potensial dan aktual jika terjadi reaksi yang tidak dikehendaki, interaksi antimikroba dengan obat lain, dengan makanan, dengan pemeriksaan laboratorium, dan reaksi alergi.

Yang dimaksud obat antimikroba meliputi: antibiotik (antibakteri), antijamur, antivirus, dan antiprotozoa. Pada penatagunaan antibiotik, dalam melaksanakan pengendaliannya dilakukan dengan cara mengelompokkan antibiotik dalam kategori Access, Watch, Reserve (AWaRe). Kebijakan   kategorisasi   ini   mendukung   rencana   aksi nasional dan global WHO dalam menekan munculnya bakteri resistan dan mempertahankan kemanfaatan antibiotik dalam jangka panjang. Rumah sakit menyusun dan mengembangkan panduan penggunaan antimikroba untuk pengobatan infeksi (terapi) dan pencegahan infeksi pada tindakan pembedahan (profilaksis), serta panduan praktik klinis penyakit infeksi yang berbasis bukti ilmiah dan peraturan perundangan. Rumah sakit menetapkan mekanisme untuk mengawasi pelaksanaan PGA dan memantau berdasarkan indikator keberhasilan program sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

6)    Elemen Penilaian PKPO 8.1

a) Rumah  sakit       telah       melaksanakan       dan mengembangkan penatagunaan antimikroba di unit pelayanan yang melibatkan dokter, apoteker, perawat, dan peserta didik.

b) Rumah sakit  telah  menyusun  dan  mengembangkan panduan praktik klinis (PPK), panduan penggunaan antimikroba    untuk   terapi   dan   profilaksis   (PPAB), berdasarkan kajian ilmiah dan kebijakan rumah sakit serta mengacu regulasi yang berlaku secara nasional. Ada mekanisme    untuk    mengawasi    pelaksanaan penatagunaan antimikroba.

c) Rumah sakit  telah  melaksanakan  pemantauan  dan evaluasi                 ditujukan   untuk   mengetahui   efektivitas indikator keberhasilan program.

 

Komunikasi dan Edukasi (KE) Gambaran Umum

Perawatan  pasien  di  rumah  sakit  merupakan  pelayanan  yang kompleks dan melibatkan berbagai tenaga kesehatan serta pasien

dan  keluarga.  Keadaan  tersebut  memerlukan  komunikasi  yang efektif, baik antar Profesional Pemberi Asuhan (PPA) maupun antara Profesional  Pemberi  Asuhan  (PPA)  dengan  pasien  dan  keluarga. Setiap pasien memiliki keunikan dalam hal kebutuhan, nilai dan keyakinan. Rumah sakit harus membangun kepercayaan dan komunikasi terbuka dengan pasien. Komunikasi dan edukasi yang efektif akan membantu pasien untuk memahami dan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan pengobatan yang dijalaninya. Keberhasilan pengobatan dapat ditingkatkan jika pasien   dan   keluarga   diberi   informasi   yang   dibutuhkan   dan dilibatkan dalam pengambilan keputusan serta proses yang sesuai dengan harapan mereka.

Rumah sakit menyediakan program edukasi yang didasarkan pada misi  rumah  sakit,  layanan  yang  diberikan  rumah  sakit,  serta populasi pasien. Profesional Pemberi Asuhan (PPA) berkolaborasi untuk memberikan edukasi tersebut.

Edukasi akan efektif apabila dilakukan sesuai dengan pilihan pembelajaran yang tepat, mempertimbangkan keyakinan, nilai budaya, kemampuan membaca, serta bahasa.

Edukasi yang efektif diawali dengan pengkajian kebutuhan edukasi pasien dan keluarganya. Pengkajian ini akan menentukan jenis dan proses edukasi yang dibutuhkan agar edukasi dapat menjadi efektif. Edukasi akan berdampak positif bila diberikan sepanjang proses asuhan.   Edukasi   yang   diberikan   meliputi   pengetahuan   dan informasi yang diperlukan selama proses asuhan maupun setelah pasien dipulangkan. Dengan demikian, edukasi juga mencakup informasi sumber-sumber di komunitas untuk tindak lanjut pelayanan apabila diperlukan, serta bagaimana akses ke pelayanan gawat darurat bila dibutuhkan. Edukasi yang efektif menggunakan berbagai format yang sesuai sehingga dapat dipahami dengan baik oleh  pasien  dan  keluarga,  misalnya  informasi  diberikan  secara tertulis atau audiovisual, serta memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.

Standar ini akan membahas lebih lanjut mengenai:

  1. Pengelolaan kegiatan Promosi Kesehatan Rumah Sakit (PKRS)
  2. Komunikasi dengan pasien dan keluarga.
  3. Pengelolaan kegiatan Promosi Kesehatan Rumah Sakit

1)    Standar KE 1

Rumah sakit menetapkan tim atau unit Promosi Kesehatan Rumah Sakit (PKRS) dengan tugas dan tanggung jawab sesuai peraturan perundangan.

2)    Maksud dan Tujuan KE 1

Setiap rumah sakit mengintegrasikan edukasi pasien dan keluarga  sebagai  bagian  dari  proses  perawatan, disesuaikan dengan misi, pelayanan yang disediakan, serta populasi  pasiennya.  Edukasi  direncanakan  sedemikian rupa sehingga setiap pasien mendapatkan edukasi yang dibutuhkan oleh pasien tersebut. Rumah sakit menetapkan pengaturan sumber daya edukasi secara efisien dan efektif. Oleh karena itu, rumah sakit dapat menetapkan tim atau unit Promosi Kesehatan Rumah Sakit (PKRS), menyelenggarakan pelayanan edukasi, dan mengatur penugasan seluruh staf yang memberikan edukasi secara terkoordinasi.

Staf klinis memahami kontribusinya masing-masing dalam pemberian edukasi pasien, sehingga mereka dapat berkolaborasi secara efektif. Kolaborasi menjamin bahwa informasi yang diterima pasien dan keluarga adalah komprehensif, konsisten, dan efektif. Kolaborasi ini didasarkan pada kebutuhan pasien, oleh karena itu mungkin tidak selalu diperlukan. Agar edukasi yang diberikan dapat berhasil guna, dibutuhkan pertimbangan- pertimbangan penting seperti pengetahuan tentang materi yang   akan   diedukasikan,   waktu   yang   cukup   untuk memberi edukasi, dan kemampuan untuk berkomunikasi secara efektif.

3)    Elemen Penilaian KE 1

a) Rumah  sakit     menetapkan     regulasi     tentang pelaksanaan PKRS di rumah sakit sesuai poin a) – b) pada gambaran umum.

b) Terdapat penetapan tim atau unit Promosi Kesehatan Rumah    Sakit    (PKRS)    yang    mengkoordinasikan pemberian  edukasi  kepada  pasien  sesuai  dengan peraturan perundang-undangan.

c) Tim atau  unit  PKRS  menyusun  program  kegiatan promosi kesehatan rumah sakit setiap tahunnya, termasuk kegiatan edukasi rutin sesuai dengan misi rumah sakit, layanan, dan populasi pasiennya.

d) Rumah sakit  telah  menerapkan  pemberian  edukasi kepada pasien dan keluarga menggunakan media, format, dan metode yang yang telah ditetapkan.

 

Komunikasi Dengan Pasien dan Keluarga

1)    Standar KE 2

Rumah sakit memberikan informasi kepada pasien dan keluarga tentang jenis asuhan dan pelayanan, serta akses untuk mendapatkan pelayanan.

2)    Maksud dan Tujuan KE 2

Pasien dan keluarga membutuhkan informasi lengkap mengenai asuhan dan pelayanan yang disediakan oleh rumah sakit, serta bagaimana untuk mengakses pelayanan tersebut.   Hal   ini   akan   membantu   menghubungkan harapan pasien dengan kemampuan rumah sakit. Rumah sakit memberikan informasi tentang sumber alternatif asuhan dan pelayanan di tempat lain, jika rumah sakit tidak dapat menyediakan asuhan serta pelayanan yang dibutuhkan pasien. Akses mendapatkan informasi kesehatan  diberikan  secara   tepat   waktu,   dan   status sosial  ekonomi  perawatan   pasien   tidak  menghalangi pasien dan keluarga  untuk  mendapatkan informasi yang dibutuhkan.

3)    Elemen Penilaian KE 2

a) Tersedia  informasi   untuk   pasien   dan   keluarga mengenai asuhan dan pelayanan yang disediakan oleh rumah sakit serta akses untuk mendapatkan layanan tersebut.  Informasi  dapat  disampaikan  secara langsung dan/atau tidak langsung.

b) Rumah sakit menyampaikan informasi kepada pasien dan keluarga terkait alternatif asuhan dan pelayanan di tempat  lain,  apabila   rumah   sakit   tidak   dapat memberikan asuhan dan pelayanan yang dibutuhkan pasien.

c) Akses mendapatkan  informasi  kesehatan  diberikan secara              tepat   waktu,   dan   status  sosial  ekonomi perawatan                   pasien   tidak  menghalangi   pasien  dan keluarga               untuk     mendapatkan    informasi    yang dib

d) Terdapat bukti pemberian informasi untuk pasien dan keluarga mengenai asuhan dan pelayanan di rumah sakit.

4)    Standar KE 3

Rumah sakit melakukan pengkajian terhadap kebutuhan edukasi setiap pasien, beserta kesiapan dan kemampuan pasien untuk menerima edukasi.

5)    Maksud dan Tujuan KE 3

Edukasi  berfokus  pada  pemahaman  yang  dibutuhkan pasien dan keluarga dalam pengambilan keputusan, berpartisipasi dalam asuhan  dan  asuhan  berkelanjutan di  rumah.  Untuk  memahami  kebutuhan  edukasi  dari setiap pasien beserta keluarganya, perlu dilakukan pengkajian.  Pengkajian  ini  memungkinkan  staf  rumah sakit   untuk   merencanakan   dan   memberikan   edukasi sesuai kebutuhan pasien. Pengetahuan dan keterampilan pasien dan keluarga yang menjadi kekuatan dan kekurangan  diidentifikasi  untuk  digunakan  dalam membuat rencana edukasi.

Pengkajian kemampuan dan kemauan belajar pasien/keluarga meliputi:

a) Kemampuan membaca, tingkat Pendidikan;

b) Bahasa yang digunakan (apakah diperlukan penerjemah atau penggunaan bahasa isyarat);

c) Hambatan emosional dan motivasi;

d) Keterbatasan fisik dan kognitif;

e) Kesediaan pasien untuk menerima informasi; dan

f) Nilai-nilai dan pilihan pasien.

Hasil pengkajian tersebut dijadikan dasar oleh staf klinis dalam   merencanakan   dan   melaksanakan   pemberian informasi dan edukasi kepada pasien dan keluarga. Hasil pengkajian didokumentasikan di rekam medis pasien agar PPA  yang  terlibat  merawat  pasien  dapat  berpartisipasi dalam proses edukasi.

6)    Elemen Penilaian KE 3

a) Kebutuhan  edukasi   pasien   dan   keluarga   dinilai berdasarkan pengkajian terhadap kemampuan dan kemauan belajar pasien dan keluarga yang meliputi poin a) – f) pada maksud dan tujuan, dan dicatat di rekam medis.

b) Hambatan dari pasien dan keluarga dalam menerima edukasi dinilai   sebelum   pemberian   edukasi   dan dicatat di rekam medis.

c) Terdapat bukti dilakukan pengkajian kemampuan dan kemauan belajar    pasien/keluarga,    serta    hasil pengkajian digunakan PPA untuk membuat perencanaan kebutuhan edukasi.

7)    Standar KE 4

Edukasi   tentang   proses   asuhan   disampaikan   kepada pasien dan keluarga disesuaikan dengan tingkat pemahaman dan bahasa yang dimengerti oleh pasien dan keluarga.

8)    Maksud dan Tujuan KE 4

Informasi dan edukasi yang diberikan kepada pasien dan keluarga sesuai dengan bahasa yang dipahaminya sesuai hasil pengkajian. Mereka ikut terlibat dalam pembuatan keputusan dan berpartisipasi dalam asuhannya, serta dapat melanjutkan asuhan di rumah. Pasien/keluarga diberitahu tentang hasil pengkajian, diagnosis, rencana asuhan dan hasil pengobatan, termasuk hasil pengobatan yang tidak diharapkan. Pasien  dan  keluarga  diedukasi  terkait  cara  cuci  tangan yang aman, penggunaan obat yang aman, penggunaan peralatan medis yang aman, potensi interaksi antara obat dan makanan, pedoman nutrisi, manajemen nyeri, dan teknik   rehabilitasi   serta   edukasi   asuhan   lanjutan   dirumah.

9)    Elemen penilaian KE 4

a) Terdapat bukti bahwa edukasi yang diberikan kepada pasien dan keluarga telah diberikan dengan cara dan bahasa yang mudah dipahami.

b) Terdapat  bukti     bahwa     pasien/keluarga     telah dijelaskan                   mengenai   hasil   pengkajian,   diagnosis, rencana asuhan, dan hasil pengobatan, termasuk hasil pengobatan yang tidak diharapkan.

c) Terdapat bukti edukasi kepada pasien dan keluarga terkait dengan   cara   cuci   tangan   yang   aman, penggunaan obat yang aman, penggunaan peralatan medis  yang  aman,  potensi  interaksi  obat-obat  dan obat-makanan,  pedoman  nutrisi,  manajemen  nyeri, dan teknik rehabilitasi serta edukasi asuhan lanjutan di rumah.

10)  Standar KE 5

Metode edukasi dipilih dengan mempertimbangkan nilai yang dianut  serta  preferensi  pasien  dan  keluarganya, untuk memungkinkan terjadinya interaksi yang memadai antara pasien, keluarga pasien dan staf.

11)  Maksud dan Tujuan KE 5

Proses   edukasi   akan   berlangsung   dengan   baik   bila mengunakan             metode  yang  tepat.  Pemahaman  tentang kebutuhan edukasi pasien serta keluarganya akan membantu rumah sakit untuk memilih edukator dan metode edukasi yang sesuai dengan nilai dan preferensi dari pasien   dan  keluarganya,  serta  mengidentifikasi  peran pasien/keluarga.

Dalam proses edukasi pasien dan keluarga didorong untuk bertanya/berdiskusi   agar   dapat   berpartisipasi   dalam proses asuhan. Materi edukasi yang diberikan harus selalu diperbaharui   dan   dapat   dipahami   oleh   pasien   dan keluarga. Pasien dan keluarga diberi kesempatan untuk berinteraksi aktif sehingga mereka dapat memberikan umpan  balik  untuk  memastikan  bahwa  informasi dimengerti  dan  bermanfaat  untuk  diterapkan.  Edukasi lisan dapat diperkuat dengan materi tertulis agar pemahaman pasien meningkat dan sebagai referensi untuk bahan edukasi selanjutnya.

Rumah   sakit   harus   menyediakan   penerjemah   sesuai dengan  kebutuhan  pasien  dan  keluarga.  Bila  di  rumah sakit tidak ada petugas penerjemah maka dapat dilakukan kerja sama dengan pihak ketiga diluar rumah sakit.

12)  Elemen Penilaian KE 5

a) Rumah sakit  memiliki  proses  untuk  memastikan bahwa pasien dan keluarganya memahami edukasi yang diberikan.

b) Proses pemberian edukasi di dokumentasikan dalam rekam medik  sesuai  dengan  metode  edukasi  yang dapat diterima pasien dan keluarganya.

c) Materi edukasi  untuk  pasien  dan  keluarga  selalu tersedia dan diperbaharui secara berkala.

d) Informasi dan  edukasi  disampaikan  kepada  pasien dan         keluarga   dengan   menggunakan   format   yang praktis dan dengan bahasa yang dipahami pasien dan keluarga.

e) Rumah sakit menyediakan penerjemah (bahasa dan bahasa isyarat) sesuai dengan kebutuhan pasien dan keluarga.

13)  Standar KE 6

Dalam menunjang keberhasilan asuhan yang berkesinambungan, upaya promosi kesehatan harus dilakukan berkelanjutan.

14)  Maksud dan Tujuan KE 6

Setelah  mendapatkan  pelayanan  di  rumah sakit, pasien terkadang membutuhkan pelayanan kesehatan berkelanjutan.  Untuk  itu  rumah  sakit  perlu mengidentifikasi sumber-sumber yang dapat memberikan edukasi dan pelatihan yang tersedia di komunitas, khususnya  organisasi  dan  fasilitas  pelayanan kesehatan yang memberikan dukungan promosi kesehatan serta pencegahan penyakit.

Fasilitas pelayanan Kesehatan tersebut mencakup Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP). Hal ini dilakukan agar tercapai hasil asuhan yang optimal setelah meninggalkan rumah sakit.

15)  Elemen penilaian KE 6

a) Rumah sakit  mengidentifikasi  sumber-sumber  yang ada di komunitas untuk mendukung promosi kesehatan     berkelanjutan     dan     edukasi     untuk menunjang asuhan pasien yang berkelanjutan.

b) Rumah sakit  telah  memiliki  jejaring  di  komunitas untuk mendukung asuhan pasien berkelanjutan.

c) Memiliki bukti telah disampaikan kepada pasien dan keluarga tentang   edukasi   lanjutan    Rujukan edukasi tersebut dilaksanakan oleh jejaring utama yaitu Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP).

d) Terdapat  bukti    edukasi    berkelanjutan    tersebut diberikan kepada pasien sesuai dengan kebutuhan.

16)  Standar KE 7

Profesional Pemberi Asuhan (PPA) mampu memberikan edukasi secara efektif.

17)  Maksud dan Tujuan KE 7

Profesional Pemberi Asuhan (PPA) yang memberi asuhan memahami kontribusinya masing-masing dalam pemberian edukasi pasien. Informasi yang diterima pasien dan keluarga harus komprehensif, konsisten, dan efektif. Profesional Pemberi Asuhan (PPA) diberikan pelatihan sehingga terampil melaksanakan komunikasi efektif.

18)  Elemen penilaian KE 7

a) Profesional Pemberi  Asuhan  (PPA)  telah  diberikan pelatihan dan terampil melaksanakan komunikasi efektif.

b) PPA telah memberikan edukasi yang efektif kepada pasien dan keluarga secara kolaboratif.

 

Kelompok Sasaran Keselamatan Pasien

Gambaran Umum

Sasaran Keselamatan Pasien wajib diterapkan di rumah sakit untuk mencegah  terjadinya  insiden  keselamatan  pasien  serta  meningkatkan mutu pelayanan kesehatan sesuai dengan standar WHO Patient Safety (2007) yang digunakan juga oleh pemerintah. Tujuan SKP adalah untuk mendorong rumah sakit melakukan perbaikan-perbaikan yang menunjang tercapainya keselamatan pasien. Sasaran sasaran dalam SKP menyoroti bidang-bidang yang bermasalah dalam pelayanan kesehatan, memberikan bukti dan solusi hasil konsensus yang berdasarkan nasihat para pakar serta penelitian berbasis bukti.

Di   Indonesia   secara   nasional   untuk   seluruh   Fasilitas   pelayanan Kesehatan,  diberlakukan  Sasaran  Keselamatan  Pasien  Nasional  yang terdiri dari:

  1. Sasaran 1 mengidentifikasi pasien dengan benar;
  1. Sasaran 2 meningkatkan komunikasi yang efektif;
  1. Sasaran  3   meningkatkan   keamanan   obat-obatan   yang   harus diwaspadai;
  2. Sasaran 4 memastikan sisi yang benar, prosedur yang benar, pasien yang benar pada pembedahan/tindakan invasif;
  3. Sasaran 5 mengurangi risiko infeksi akibat perawatan kesehatan;

dan

  1. Sasaran 6 mengurangi risiko cedera pasien akibat jatuh.
  1. Mengidentifikasi Pasien dengan Benar a. Standar SKP 1

Rumah sakit menerapkan proses untuk menjamin ketepatan identifikasi pasien

  1. Maksud dan Tujuan SKP 1

Kesalahan mengidentifikasi pasien dapat terjadi di semua aspek pelayanan baik diagnosis, proses pengobatan serta tindakan. Misalnya saat keadaan pasien masih dibius, mengalami disorientasi  atau  belum  sepenuhnya  sadar;  adanya kemungkinan pindah tempat tidur, pindah kamar, atau pindah lokasi di dalam rumah sakit; atau apabila pasien memiliki cacat indra atau rentan terhadap situasi berbeda.

Adapun tujuan dari identifikasi pasien secara benar ini adalah:

1)     mengidentifikasi pasien sebagai individu yang akan diberi layanan, tindakan atau pengobatan tertentu secara tepat.

2)     mencocokkan layanan atau perawatan yang akan diberikan dengan pasien yang akan menerima layanan.

Identifikasi pasien dilakukan setidaknya menggunakan minimal

2 (dua) identitas yaitu nama lengkap dan tanggal lahir/bar code, dan tidak termasuk nomor kamar atau lokasi pasien agar tepat pasien dan tepat pelayanan sesuai dengan regulasi rumah sakit. Pasien diidentifikasi menggunakan minimal dua jenis identitas pada saat:

1)     melakukan tindakan intervensi/terapi (misalnya pemberian obat, pemberian darah atau produk darah, melakukan terapi radiasi);

2)     melakukan tindakan (misalnya memasang jalur intravena atau hemodialisis);

3)     sebelum tindakan diagnostik apa pun (misalnya mengambil darah dan spesimen lain untuk pemeriksaan laboratorium penunjang, atau sebelum melakukan kateterisasi jantung ataupun tindakan radiologi diagnostik); dan

4)    menyajikan makanan pasien.

Rumah sakit memastikan pasien teridentifikasi dengan tepat pada situasi khusus, seperti pada pasien koma atau pada bayi baru lahir yang tidak segera diberi nama serta identifikasi pasien pada saat terjadi darurat bencana.

Penggunaan dua identitas juga digunakan dalam pelabelan. misalnya, sampel darah dan sampel patologi, nampan makanan pasien,  label  ASI  yang  disimpan  untuk  bayi yang dirawat di rumah sakit.

  1. Elemen Penilaian SKP 1

1)     Rumah  sakit  telah  menetapkan  regulasi  terkait  Sasaran keselamatan  pasien  meliputi  poin  1 – 6 pada gambaran umum.

2)     Rumah sakit telah menerapkan proses identifikasi pasien menggunakan minimal 2 (dua) identitas, dapat memenuhi tujuan identifikasi pasien dan sesuai dengan ketentuan rumah sakit.

3)     Pasien telah diidentifikasi menggunakan minimal dua jenis identitas                meliputi poin 1) – 4) dalam maksud dan tujuan.

4)     Rumah  sakit  memastikan  pasien  teridentifikasi  dengan tepat pada situasi khusus, dan penggunaan label seperti tercantum dalam maksud dan tujuan.

  1. Meningkatkan Komunikasi yang Efektif a. Standar SKP 2

Rumah  sakit  menerapkan  proses  untuk  meningkatkan efektivitas komunikasi lisan dan/atau telepon di antara para profesional pemberi asuhan (PPA), proses pelaporan hasil kritis pada pemeriksaan diagnostic   termasuk   POCT dan proses komunikasi saat serah terima (hand over) .

  1. Maksud dan Tujuan SKP 2

Komunikasi  efektif     adalah  komunikasi  yang  tepat  waktu, akurat, lengkap, jelas, dan dipahami oleh resipien/penerima pesan   akan mengurangi potensi terjadinya kesalahan serta meningkatkan keselamatan pasien. Komunikasi dapat dilakukan secara lisan,  tertulis dan elektronik.

Komunikasi yang paling banyak memiliki potensi terjadinya kesalahan adalah pemberian instruksi secara lisan atau melalui telpon, pelaporan hasil kritis   dan saat serah terima.. Latar belakang suara, gangguan,   nama obat yang mirip dan istilah yang tidak umum sering kali menjadi masalah.

Metode, formulir dan alat bantu ditetapkan sesuai dengan jenis komunikasi agar dapat dilakukan secara konsisten dan lengkap.

1)     Metode komunikasi saat menerima instruksi melalui telpon adalah: “menulis/menginput ke komputer – membacakan – konfirmasi kembali” (writedown, read back, confirmation) kepada pemberi    instruksi    misalnya    kepada    DPJP. Konfirmasi harus dilakukan saat itu juga melalui telpon untuk menanyakan apakah “yang dibacakan” sudah sesuai dengan instruksi yang diberikan. Sedangkan metode komunikasi saat melaporkan kondisi pasien kepada DPJP dapat menggunakan metode misalnya Situation background assessment recommendation (SBAR).

2)     Metode    komunikasi    saat    melaporkan    nilai    kritis pemeriksaan diagnostik melalui telpon   juga dapat dengan: “menulis/menginput ke   komputer   –   membacakan   – konfirmasi kembali” (writedown, read back). Hasil kritis didefinisikan           sebagai  varian  dari  rentang  normal  yang menunjukkan adanya kondisi patofisiologis yang berisiko tinggi atau mengancam nyawa, yang dianggap gawat atau darurat, dan mungkin memerlukan tindakan medis segera untuk menyelamatkan nyawa atau mencegah kejadian yang tidak   diinginkan.   Hasil   kritis   dapat   dijumpai   pada pemeriksaan  pasien  rawat  jalan  maupun  rawat  inap. Rumah sakit menentukan mekanisme pelaporan hasil kritis di rawat jalan dan rawat inap. Pemeriksaan diagnostik mencakup            semua   pemeriksaan   seperti   laboratorium, pencitraan/radiologi, diagnostik jantung juga    pada hasil pemeriksaan yang dilakukan di tempat tidur pasien (point- of-care testing (POCT). Pada pasien rawat inap pelaporan hasil  kritis  dapat  dilaporkan  melalui  perawat yang akan meneruskan                 laporan    kepada    DPJP    yang    meminta pemeriksaan.            Rentang   waktu   pelaporan   hasil   kritis ditentukan kurang dari 30 menit sejak hasil di verifikasi oleh PPA yang berwenang di unit pemeriksaan penunjang diagnostik.

3)     Metode komunikasi saat serah terima distandardisasi pada jenis serah terima yang sama misalnya serah terima antar ruangan di rawat inap. Untuk jenis serah terima yang berbeda maka dapat menggunakan metode, formulir dan alat yang berbeda. Misalnya serah terima dari IGD ke ruang rawat inap dapat berbeda dengan serah terima dari kamar operasi ke unit intensif;

Jenis  serah  terima  (handover)  di  dalam  rumah  sakit  dapat mencakup:

1)     antara PPA (misalnya, antar dokter, dari dokter ke perawat, antar perawat, dan seterusnya);

2)    antara unit perawatan yang berbeda di dalam rumah sakit

(misalnya saat pasien dipindahkan dari ruang perawatan

intensif ke ruang perawatan atau dari instalasi gawat darurat ke ruang operasi); dan

3)     dari ruang perawatan pasien ke unit  layanan diagnostik seperti radiologi atau fisioterapi.

Formulir serah terima antara PPA, tidak perlu dimasukkan ke dalam rekam   medis. Namun demikian, rumah sakit harus memastikan bahwa proses serah terima telah dilakukan. misalnya  PPA  mencatat  serah  terima  telah  dilakukan  dan kepada siapa tanggung jawab pelayanan diserahterimakan, kemudian dapat dibubuhkan tanda tangan, tanggal dan waktu pencatatan).

  1. Elemen Penilaian SKP 2

1)     Rumah sakit telah menerapkan komunikasi saat menerima instruksi melalui telepon: menulis/menginput ke komputer – membacakan – konfirmasi kembali” (writedown, read back, confirmation dan SBAR saat melaporkan kondisi pasien kepada DPJP serta di dokumentasikan dalam rekam medik.

2)     Rumah sakit telah menerapkan komunikasi saat pelaporan hasil kritis  pemeriksaan  penunjang  diagnostic  melalui telepon: menulis/menginput ke komputer – membacakan – konfirmasi kembali” (writedown, read back, confirmation dan di dokumentasikan dalam rekam medik.

3)     Rumah  sakit  telah  menerapkan  komunikasi  saat  serah terima sesuai dengan jenis serah terima meliputi poin 1) – 3) dalam maksud dan tujuan.

  1. Meningkatkan Keamanan Obat-Obatan yang Harus Diwaspadai a. Standar SKP 3

Rumah  sakit  menerapkan  proses  untuk  meningkatkan keamanan penggunaan obat yang memerlukan kewaspadaan tinggi (high alert medication) termasuk obat Look – Alike Sound Alike (LASA).

  1. Standar SKP 3.1

Rumah  sakit  menerapkan  proses  untuk  meningkatkan keamanan penggunaan elektrolit konsentrat

  1. Maksud dan Tujuan SKP 3 dan SKP 3.1

Obat-obatan  yang  perlu  diwaspadai  (high-alert   medications)

adalah obat-obatan yang memiliki risiko menyebabkan cedera serius pada pasien jika digunakan dengan tidak tepat.

Obat high alert mencakup:

1)     Obat risiko tinggi, yaitu obat dengan zat aktif yang dapat menimbulkan                          kematian   atau   kecacatan   bila   terjadi kesalahan (error) dalam penggunaannya (contoh: insulin, heparin atau sitostatika).

2)     Obat yang terlihat mirip dan kedengarannya mirip (Nama Obat Rupa dan Ucapan Mirip/NORUM, atau Look Alike Sound Alike/LASA)

3)     Elektrolit   konsentrat   contoh:   kalium   klorida   dengan konsentrasi  sama  atau  lebih  dari  1  mEq/ml,  natrium klorida dengan konsentrasi lebih dari 0,9% dan magnesium sulfat injeksi dengan konsentrasi sama atau lebih dari 50%

Rumah sakit harus menetapkan dan menerapkan strategi untuk mengurangi  risiko  dan  cedera  akibat  kesalahan  penggunaan obat high alert, antara lain: penataan penyimpanan, pelabelan yang jelas, penerapan double checking, pembatasan akses, penerapan panduan penggunaan obat high alert.

Rumah sakit perlu membuat daftar obat-obatan berisiko tinggi berdasarkan pola penggunaan obat-obatan yang berisiko dari data internalnya sendiri tentang laporan inisiden keselamatan pasien. Daftar ini sebaiknya diperbarui setiap tahun. Daftar ini dapat diperbarui secara sementara jika ada penambahan atau perubahan pada layanan rumah sakit.

Obat dengan nama dan rupa yang mirip (look-alike/sound-alike, LASA)  adalah  obat  yang  memiliki  tampilan  dan  nama  yang serupa dengan obat lain, baik saat ditulis maupun diucapkan secara lisan. Obat dengan kemasan serupa (look-alike packaging) adalah obat dengan wadah atau kemasan yang mirip dengan obat lainnya. Obat-obatan yang berisiko terjadinya kesalahan terkait LASA, atau obat dengan kemasan produk yang serupa, dapat            menyebabkan  terjadinya  kesalahan  pengobatan  yang berpotensi cedera. Terdapat banyak nama obat yang terdengar serupa dengan nama obat lainnya, sebagai contoh, dopamin dan dobutamin. Hal  lain  yang  sering  dimasukkan  dalam  isu  keamanan  obat adalah kesalahan dalam pemberian elektrolit konsentrat yang tidak   disengaja   (misalnya,   kalium/potasium   klorida   [sama dengan  1  mEq/ml  atau  yang  lebih  pekat),  kalium/potasium fosfat [(sama dengan atau lebih besar dari 3 mmol/ml)], natrium/sodium klorida [lebih pekat dari 0.9%], dan magnesium sulfat [sama dengan 50% atau lebih pekat]. Kesalahan ini dapat terjadi apabila staf tidak mendapatkan orientasi dengan baik di unit asuhan pasien, bila perawat kontrak tidak diorientasikan sebagaimana mestinya terhadap unit asuhan pasien, atau pada keadaan  gawat  darurat/emergensi.  Cara  yang  paling  efektif untuk mengurangi atau mengeliminasi kejadian tersebut adalah dengan menerapkan proses pengelolaan obat-obat yang perlu diwaspadai termasuk penyimpanan elektrolit konsentrat di unit farmasi di rumah sakit.

Penyimpanan elektrolit konsentrat di luar Instalasi Farmasi diperbolehkan  hanya  dalam  situasi  klinis  yang  berisiko  dan harus memenuhi persyaratan yaitu staf yang dapat mengakes dan   memberikan   elektrolit   konsentrat   adalah   staf   yang kompeten   dan   terlatih,   disimpan   terpisah  dari  obat   lain, diberikan pelabelan secara jelas, lengkap dengan peringatan kewaspadaan.

  1. Elemen Penilaian SKP 3

1)    Rumah sakit menetapkan daftar obat kewaspadaan tinggi

(High Alert) termasuk obat Look -Alike Sound Alike (LASA).

2)     Rumah sakit menerapkan pengelolaan obat kewaspadaan tinggi (High Alert) termasuk obat Look -Alike Sound Alike (LASA) secara seragam di seluruh area rumah sakit untuk mengurangi risiko dan cedera

3)     Rumah sakit mengevaluasi dan memperbaharui daftar obat High-Alert  dan obat Look -Alike Sound  Alike  (LASA) yang sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun sekali berdasarkan laporan insiden lokal, nasional dan internasional.

  1. Elemen Penilaian SKP 3.1

1)     Rumah  sakit  menerapkan  proses  penyimpanan  elektrolit konsentrat tertentu hanya di Instalasi Farmasi, kecuali di unit        pelayanan    dengan    pertimbangan    klinis    untuk

mengurangi risiko dan cedera pada penggunaan elektrolit konsentrat.

2)     Penyimpanan elektrolit konsentrat di luar Instalasi Farmasi diperbolehkan hanya dalam untuk situasi yang ditentukan sesuai dalam maksud dan tujuan.

3)     Rumah sakit menetapkan dan menerapkan protokol koreksi hipokalemia, hiponatremia, hipofosfatemia.

  1. Memastikan Sisi yang Benar, Prosedur yang Benar, Pasien yang

Benar Pada Pembedahan/Tindakan Invasif a.    Standar SKP 4

Rumah sakit menetapkan proses untuk melaksanakan verifikasi pra opearsi, penandaan lokasi operasi dan proses time-out yang dilaksanakan sesaat sebelum tindakan pembedahan/invasif dimulai  serta proses sign-out yang dilakukan setelah tindakan selesai.

  1. Maksud dan Tujuan SKP 4

Salah-sisi, salah-prosedur, salah-pasien operasi, adalah kejadian yang  mengkhawatirkan  dan  dapat  terjadi  di  rumah  sakit. Kesalahan  ini  terjadi  akibat  adanya  komunikasi  yang  tidak efektif atau tidak adekuat antara anggota tim bedah, kurangnya keterlibatan pasien di dalam penandaan lokasi (site marking), serta tidak adanya prosedur untuk memverifikasi sisi operasi. Rumah     sakit     memerlukan     upaya     kolaboratif     untuk mengembangkan proses  dalam mengeliminasi masalah ini. Tindakan  operasi  dan  invasif  meliputi  semua  tindakan  yang melibatkan insisi atau pungsi, termasuk, tetapi tidak terbatas pada, operasi terbuka, aspirasi perkutan, injeksi obat tertentu, biopsi, tindakan intervensi atau diagnostik vaskuler dan kardiak perkutan,  laparoskopi,  dan  endoskopi.  Rumah  sakit  perlu mengidentifikasi semua area  di rumah sakit mana operasi dan tindakan invasif dilakukan

Protokol umum (universal protocol) untuk pencegahan salah sisi, salah prosedur dan salah pasien pembedahan meliputi:

1)    Proses verifikasi sebelum operasi.

2)    Penandaan sisi operasi.

3)    Time-out dilakukan sesaat sebelum memulai tindakan.

  1. Proses Verifikasi Praoperasi

Verifikasi praoperasi merupakan proses pengumpulan informasi dan konfirmasi secara terus-menerus. Tujuan dari proses verifikasi praoperasi adalah:

1)     melakukan  verifikasi  terhadap  sisi  yang  benar,  prosedur yang benar dan pasien yang benar;

2)     memastikan  bahwa  semua  dokumen,  foto  hasil  radiologi atau pencitraan, dan pemeriksaan yang terkait operasi telah tersedia, sudah diberi label dan di siapkan;

3)     melakukan verifikasi bahwa produk darah, peralatan medis khusus dan/atau implan yang diperlukan sudah tersedia.

Di dalam proses verifikasi praoperasi terdapat beberapa elemen yang dapat dilengkapi sebelum pasien tiba di area praoperasi. seperti memastikan bahwa dokumen, foto hasil radiologi, dan hasil  pemeriksaan  sudah  tersedia,  di  beri  label  dan  sesuai dengan penanda identitas pasien.

Menunggu sampai pada saat proses time-out untuk melengkapi proses  verifikasi  praoperasi  dapat  menyebabkan  penundaan yang tidak perlu. Beberapa proses verifikasi praoperasi dapat dilakukan lebih dari sekali dan tidak hanya di satu tempat saja. Misalnya persetujuan tindakan bedah dapat diambil di ruang periksa dokter spesialis bedah dan verifikasi kelengkapannya dapat dilakukan di area tunggu praoperasi.

  1. Penandaan Lokasi

Penandaan  sisi  operasi  dilakukan  dengan  melibatkan  pasien serta dengan tanda yang tidak memiliki arti ganda serta segera dapat   dikenali.   Tanda   tersebut   harus   digunakan   secara konsisten di dalam rumah sakit; dan harus dibuat oleh PPA yang akan melakukan tindakan; harus dibuat saat pasien terjaga dan sadar  jika  memungkinkan,  dan  harus  terlihat sampai pasien disiapkan. Penandaan sisi operasi hanya ditandai pada semua kasus yang memiliki dua sisi kiri dan kanan (lateralisasi), struktur multipel (jari tangan, jari kaki, lesi), atau multiple level (tulang belakang).

Penandaan   lokasi   operasi   harus   melibatkan   pasien   dan dilakukan dengan tanda yang langsung dapat dikenali dan tidak bermakna ganda. Tanda “X” tidak digunakan sebagai penanda

karena dapat diartikan sebagai “bukan di sini” atau “salah sisi” serta dapat berpotensi menyebabkan kesalahan dalam penandaan lokasi operasi. Tanda yang dibuat harus seragam dan konsisten digunakan di  rumah sakit. Dalam semua kasus yang  melibatkan  lateralitas,  struktur  ganda  (jari  tangan,  jari kaki, lesi), atau tingkatan berlapis (tulang belakang), lokasi operasi harus ditandai.

Penandaan lokasi tindakan operasi/invasif dilakukan oleh PPA yang akan melakukan tindakan tersebut. PPA tersebut akan melakukan seluruh prosedur operasi/invasif dan tetap berada dengan pasien selama tindakan berlangsung. Pada tindakan operasi, DPJP bedah pada umumnya   yang akan melakukan operasi dan kemudian melakukan penandaan lokasi.. Untuk tindakan invasif non-operasi, penandaan dapat dilakukan oleh dokter yang akan melakukan tindakan, dan dapat dilakukan di area  di  luar  area  kamar  operasi.    Terdapat  situasi  di  mana peserta didik (trainee) dapat melakukan penandaan lokasi, misalnya ketika peserta didik akan melakukan keseluruhan tindakan,   tidak   memerlukan   supervisi   atau   memerlukan supervisi minimal dari operator/dokter penanggung jawab. Pada situasi tersebut, peserta didik dapat menandai lokasi operasi. Ketika  seorang  peserta  didik  menjadi  asisten  dari operator/dokter penanggung jawab, hanya operator/dokter penanggung jawab yang dapat melakukan penandaan lokasi. Penandaan lokasi dapat terjadi kapan saja sebelum tindakan operasi/invasif selama pasien terlibat secara aktif dalam proses penandaan lokasi jika memungkinkan dan tanda tersebut harus tetap dapat terlihat walaupun setelah pasien dipersiapkan dan telah ditutup kain. Contoh keadaan di mana partisipasi pasien tidak memungkinkan meliputi : kasus di mana pasien tidak kompeten untuk membuat keputusan perawatan, pasien anak, dan pasien yang memerlukan operasi darurat.

  1. Time-Out

Time-out  dilakukan  sesaat  sebelum  tindakan  dimulai  dan dihadiri semua anggota tim yang akan melaksanakan tindakan operasi. Selama time-out, tim menyetujui komponen sebagai berikut:

1)    Benar identitas pasien.

2)    Benar prosedur yang akan dilakukan.

3)    Benar sisi operasi/tindakan invasif.

Time-out dilakukan di tempat di mana tindakan akan dilakukan dan melibatkan secara aktif   seluruh tim bedah. Pasien tidak berpartisipasi dalam time-out. Keseluruhan proses time-out didokumentasikan dan meliputi tanggal serta jam time-out selesai. Rumah sakit menentukan bagaimana proses time-out didokumentasikan.

  1. Sign-Out

Sign out yang dilakukan di area tempat tindakan berlangsung sebelum   pasien   meninggalkan   ruangan.   Pada   umumnya, perawat sebagai anggota tim melakukan konfirmasi secara lisan untuk komponen sign-out sebagai berikut:

1)    Nama tindakan operasi/invasif yang dicatat/ditulis.

2)     Kelengkapan perhitungan instrumen, kasa dan jarum (bila ada).

3)     Pelabelan   spesimen   (ketika   terdapat   spesimen   selama proses  sign-out,  label  dibacakan  dengan  jelas,  meliputi nama pasien, tanggal lahir).

4)    Masalah peralatan yang perlu ditangani (bila ada).

Rumah sakit dapat menggunakan Daftar tilik keselamatan operasi (Surgical Safety Checklist dari WHO terkini)

  1. Elemen Penilaian SKP 4

1)     Rumah  sakit  telah  melaksanakan  proses  verifikasi  pra operasi dengan daftar tilik untuk memastikan benar pasien, benar tindakan dan benar sisi.

2)     Rumah  sakit  telah  menetapkan  dan  menerapkan  tanda yang seragam, mudah dikenali dan tidak bermakna ganda untuk mengidentifikasi sisi operasi atau tindakan invasif.

3)     Rumah sakit telah menerapkan penandaan sisi operasi atau tindakan                 invasif   (site   marking)   dilakukan  oleh  dokter operator/dokter asisten yang melakukan operasi atau tindakan invasif dengan melibatkan pasien bila memungkinkan.

4)    Rumah    sakit    telah    menerapkan    proses    Time-Out menggunakan “surgical check list” (Surgical Safety Checklist dari WHO terkini pada tindakan operasi termasuk tindakan medis invasif.

  1. Mengurangi Risiko Infeksi Akibat Perawatan Kesehatan a. Standar SKP 5

Rumah  sakit  menerapkan  kebersihan  tangan  (hand  hygiene) untuk menurunkan risiko infeksi terkait layanan kesehatan.

  1. Maksud dan Tujuan SKP 5

Pencegahan dan pengendalian infeksi merupakan tantangan praktisi dalam tatanan pelayanan kesehatan, dan peningkatan biaya untuk mengatasi infeksi yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan merupakan hal yang sangat membebani pasien serta profesional pemberi asuhan (PPA) pada pelayanan kesehatan. Infeksi umumnya dijumpai dalam semua bentuk pelayanan kesehatan termasuk infeksi saluran kemih-terkait kateter, infeksi aliran darah (blood stream infections) dan pneumonia (sering kali dihubungkan dengan ventilasi mekanis). Kegiatan utama dari upaya eliminasi infeksi ini maupun infeksi lainnya adalah dengan melakukan tindakan cuci tangan (hand hygiene) yang tepat. Pedoman hand hygiene yang berlaku secara internasional dapat diperoleh di situs web WHO. Rumah sakit harus memiliki proses kolaboratif untuk mengembangkan kebijakan dan/atau prosedur yang menyesuaikan atau mengadopsi pedoman hand hygiene yang diterima secara luas untuk implementasinya di rumah sakit.

  1. Elemen Penilaian SKP 5

1)     Rumah sakit telah menerapkan kebersihan tangan (hand hygiene) yang mengacu pada standar WHO terkini.

2)     Terdapat  proses  evaluasi  terhadap  pelaksanaan  program kebersihan tangan di rumah sakit serta upaya perbaikan yang dilakukan untuk meningkatkan pelaksanaan program.

  1. Mengurangi Risiko Cedera Pasien Akibat Jatuh a. Standar SKP 6

Rumah  sakit  menerapkan  proses  untuk  mengurangi  risiko cedera pasien akibat jatuh di rawat jalan.

  1. Standar SKP 6.1

Rumah sakit   menerapkan proses untuk mengurangi risiko cedera  pasien  akibat jatuh di rawat inap.

  1. Maksud dan Tujuan SKP 6 dan 6.1

Risiko jatuh pada pasien rawat jalan berhubungan dengan kondisi pasien, situasi, dan/atau lokasi di rumah sakit. Di unit rawat jalan, dilakukan skrining risiko jatuh pada pasien dengan kondisi, diagnosis, situasi, dan/atau lokasi yang menyebabkan risiko jatuh. Jika hasil skrining pasien berisiko jatuh, maka harus  dilakukan  intervensi  untuk  mengurangi  risiko  jatuh pasien tersebut. Skrining risiko jatuh di rawat jalan meliputi:

1)     kondisi pasien misalnya pasien geriatri, dizziness, vertigo, gangguan                     keseimbangan,     gangguan     penglihatan, penggunaan obat, sedasi, status kesadaran dan atau kejiwaan, konsumsi alkohol.

2)    diagnosis,  misalnya  pasien  dengan  diagnosis  penyakit

Parkinson.

3)     situasi misalnya pasien yang mendapatkan sedasi atau pasien dengan riwayat tirah baring/perawatan yang lama yang  akan  dipindahkan  untuk  pemeriksaan penunjang dari ambulans, perubahan posisi akan meningkatkan risiko jatuh.

4)     lokasi  misalnya  area-area  yang  berisiko  pasien  jatuh, yaitu tangga, area yang penerangannya kurang atau mempunyai  unit  pelayanan  dengan  peralatan  parallel bars, freestanding staircases seperti unit rehabilitasi medis. Ketika suatu lokasi tertentu diidentifikasi sebagai area    risiko   tinggi   yang   lebih   rumah   sakit   dapat menentukan bahwa semua pasien yang mengunjungi lokasi                tersebut   akan   dianggap   berisiko   jatuh   dan menerapkan langkah-langkah untuk mengurangi risiko jatuh yang berlaku untuk semua pasien.

Skrining umumnya berupa evaluasi sederhana meliputi pertanyaan dengan jawaban sederhana: ya/tidak, atau metode lain meliputi pemberian nilai/skor untuk setiap respons pasien. Rumah sakit dapat menentukan bagaimana proses skrining dilakukan. Misalnya skrining dapat dilakukan oleh petugas registrasi,   atau   pasien   dapat   melakukan   skrining   secara

mandiri,  seperti  di  anjungan  mandiri  untuk  skrining  di  unit rawat jalan.

Contoh pertanyaan skrining sederhana dapat meliputi:

1)     Apakah  Anda  merasa  tidak  stabil  ketika  berdiri  atau berjalan?;

2)    Apakah Anda khawatir akan jatuh?;

3)    Apakah Anda pernah jatuh dalam setahun terakhir?

Rumah sakit dapat menentukan pasien rawat jalan mana yang akan dilakukan skrining risiko jatuh. Misalnya, semua pasien di unit rehabilitasi medis, semua pasien dalam perawatan lama/tirah baring lama datang dengan ambulans untuk pemeriksaan rawat jalan, pasien yang dijadwalkan untuk operasi rawat jalan dengan tindakan anestesi atau sedasi, pasien dengan gangguan keseimbangan, pasien dengan gangguan penglihatan, pasien anak di bawah usia 2 (dua) tahun, dan seterusnya.

Untuk  semua  pasien  rawat  inap  baik  dewasa  maupun  anak harus dilakukan pengkajian risiko jatuh menggunakan metode pengkajian yang baku sesuai ketentuan rumah sakit. Kriteria risiko jatuh dan intervensi yang dilakukan harus didokumentasikan dalam rekam medis pasien. Pasien yang sebelumnya  risiko  rendah  jatuh  dapat  meningkat  risikonya secara mendadak menjadi risiko tinggi jatuh. Perubahan risiko ini dapat diakibatkan, namun tidak terbatas pada tindakan pembedahan dan/atau anestesi, perubahan mendadak pada kondisi pasien, dan penyesuaian obat-obatan yang diberikan sehingga pasien memerlukan pengkajian ulang jatuh selama dirawat inap dan paska pembedahan.

  1. Elemen Penilaian SKP 6

1)     Rumah  sakit  telah  melaksanakan  skrining  pasien  rawat jalan pada kondisi, diagnosis, situasi atau lokasi yang dapat menyebabkan pasien berisiko jatuh, dengan menggunakan alat bantu/metode skrining yang ditetapkan rumah sakit

2)     Tindakan dan/atau intervensi dilakukan untuk mengurangi risiko jatuh pada pasien jika hasil skrining menunjukkan adanya risiko jatuh dan hasil skrining serta intervensi didokumentasikan.

  1. Elemen Penilaian SKP 6.1

1)     Rumah  sakit  telah  melakukan  pengkajian  risiko  jatuh untuk semua pasien rawat inap baik dewasa maupun anak menggunakan metode pengkajian yang baku sesuai dengan ketentuan rumah sakit.

2)     Rumah sakit telah melaksanakan pengkajian ulang risiko jatuh pada pasien rawat inap karena adanya perubahan kondisi, atau memang sudah mempunyai risiko jatuh dari hasil pengkajian.

3)     Tindakan  dan/atau  intervensi  untuk  mengurangi  risiko jatuh            pada   pasien   rawat   inap   telah   dilakukan   dan didokumentasikan.

  1. Program Nasional

Gambaran Umum

Pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) bidang kesehatan telah ditentukan prioritas pelayanan kesehatan dengan target yang harus dicapai. Salah satu fungsi rumah sakit adalah melaksanakan program pemerintah dan mendukung tercapainya target target pembangunan nasional. Pada standar akreditasi ini Program Nasional (Prognas) meliputi:

  1. Peningkatnan kesehatan ibu dan bayi.
  1. Penurunan angka kesakitan Tuberkulosis/TBC.
  1. Penurunan angka kesakitan HIV/AIDS.
  1. Penurunan prevalensi stunting dan wasting.
  1. Pelayanan Keluarga Berencana Rumah Sakit.

Pelaksanaan program nasional oleh rumah sakit diharapkan mampu meningkatkan akselerasi pencapaian target RPJMN bidang kesehatan sehingga upaya mingkatkan derajat kesehatan masyarakat meningkat segera terwujud.

  1. Peningkatan Kesehatan Ibu dan Bayi a. Standar Prognas 1

Rumah  sakit  melaksanakan  program  PONEK  24  jam  dan  7 (tujuh) hari seminggu.

  1. Maksud dan Tujuan Prognas 1

Rumah  sakit  melaksanakan  program  PONEK  sesuai  dengan pedoman PONEK yang berlaku dengan langkah langkah sebagai berikut:

1)     Melaksanakan    dan    menerapkan    standar    pelayanan perlindungan ibu dan bayi secara terpadu.

2)     Mengembangkan kebijakan dan standar pelayanan ibu dan bayi.

3)    Meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan ibu dan bayi.

4)     Meningkatkan kesiapan rumah sakit dalam melaksanakan fungsi              pelayanan    obstetric    dan    neonates    termasuk pelayanan kegawatdaruratan (PONEK 24 jam).

5)     Meningkatkan  fungsi  rumah  sakit  sebagai  model  dan Pembina teknis dalam pelaksanaan IMD dan ASI Eksklusif serta Perawatan Metode Kanguru (PMK) pada BBLR

6)     Meningkatkan fungsi rumah sakit sebagai pusat rujukan pelayanan kesehatan ibu dan bayi bagi sarana pelayanan kesehatan lainnya.

7)     Melaksanakan   pemantauan   dan   evaluasi   pelaksanaan program RSSIB 10 langkah menyusui dan peningkatan kesehatan ibu

8)    Melakukan pemantauan dan analisis yang meliputi:

  1. a) Angka keterlambatan operasi section caesaria b) Angka kematian ibu dan anak
  2. c) Kejadian tidak  dilakukannya  inisiasi  menyusui  dini

(IMD) pada bayi baru lahir

  1. Elemen Penilaian Prognas 1

1)    Rumah  sakit  menetapkan  regulasi  tentang  pelaksanaan

PONEK 24 jam.

2)     Terdapat  Tim  PONEK  yang  ditetapkan  oleh  rumah  sakit dengan rincian tugas dan tanggungjawabnya.

3)     Terdapat   program   kerja   yang   menjadi   acuan   dalam pelaksanaan program PONEK Rumah Sakit sesuai maksud dan tujuan.

4)    Terdapat bukti pelaksanaan program PONEK Rumah Sakit.

5)     Program  PONEK  Rumah  Sakit  dipantau  dan  dievaluasi secara rutin.

  1. Standar Prognas 1.1

Untuk meningkatkan efektifitas sistem rujukan maka Rumah

sakit melakukan pembinaan kepada jejaring fasilitas Kesehatan rujukan yang ada.

  1. Maksud dan Tujuan Prognas 1.1

Salah satu tugas dari rumah sakit dengan kemampuan PONEK adalah melakukan pembinaan kepada jejaring rujukan seperti Puskesmas, Klinik bersalin, praktek perseorangan dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya. Pembinaan jejaring rujukan dapat dilakukan dengan mengadakan pelatihan kepada fasilitas kesehatan jejaring,  berbagi  pengalaman  dalam pelayanan ibu dan anak serta peningkatanan kompetensi jejaring rujukan secara berkala. Rumah sakit memetakan jejaring rujukan yang ada dan membuat program pembinaan setiap tahun.

  1. Elemen Penilaian Standar Prognas 1.1
1)Rumah  sakit  menetapkanprogram  pembinaanjejaring
 rujukan rumah sakit.  
2)Rumah  sakit  melakukanpembinaan  terhadapjejaring
 secara berkala.  
3)Telah   dilakukan   evaluasiprogram   pembinaanjejaring
 rujukan.  
  1. Penurunan Angka Kesakitan Tuberkulosis/TBC
  1. Standar Prognas 2

Rumah sakit melaksanakan program penanggulangan tuberkulosis.

  1. Maksud dan Tujuan Prognas 2

Pemerintah mengeluarkan kebijakan penanggulangan tuberkulosis  berupa  upaya  kesehatan  yang  mengutamakan aspek promotif, preventif, tanpa mengabaikan aspek kuratif dan rehabilitatif yang ditujukan untuk melindungi kesehatan masyarakat, menurunkan angka kesakitan, kecatatan atau kematian, memutuskan penularan mencegah resistensi obat dan mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan akibat tuberkulosis.

Rumah sakit dalam melaksanakan penanggulangan tubekulosis melakukan kegiatan yang meliputi:

1)     Promosi  kesehatan  yang  diarahkan  untuk  meningkatkan pengetahuan   yang   benar   dan   komprehensif   mengenai

pencegahan penularan, penobatan, pola hidup bersih dan sehat (PHBS) sehingga terjadi perubahan sikap dan perilaku sasaran yaitu pasien dan keluarga, pengunjung serta staf rumah sakit.

2)     Surveilans tuberkulosis, merupakan kegiatan memperoleh data epidemiologi yang diperlukan dalam sistem informasi program penanggulangan tuberkulosis, seperti pencatatan dan pelaporan tuberkulosis sensitif obat, pencatatan dan pelaporan tuberkulosis resistensi obat.

3)     Pengendalian  faktor  risiko  tuberkulosis,  ditujukan  untuk mencegah, mengurangi penularan dan kejadian penyakit tuberkulosis, yang pelaksanaannya sesuai dengan pedoman pengendalian pencegahan infeksi tuberkulosis di rumah sakit pengendalian faktor risiko tuberkulosis, ditujukan untuk mencegah, mengurangi penularan dan kejadian penyakit tuberkulosis, yang pelaksanaannya sesuai dengan pedoman pengendalian pencegahan infeksi tuberkulosis di rumah sakit.

4)    Penemuan dan penanganan kasus tuberkulosis.

Penemuan kasus tuberkulosis dilakukan melalui pasien yang  datang  kerumah  sakit,  setelah  pemeriksaan, penegakan diagnosis, penetapan klarifikasi dan tipe pasien tuberkulosis. Sedangkan untuk penanganan kasus dilaksanakan sesuai tata laksana pada pedoman nasional pelayanan kedokteran tuberkulosis dan standar lainnya sesuai dengan peraturan perundang- undangan.

5)    Pemberian kekebalan

Pemberian kekebalan dilakukan melalui pemberian imunisasi  BCG  terhadap  bayi  dalam  upaya  penurunan risiko tingkat pemahaman tuberkulosis sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

6)    Pemberian obat pencegahan.

Pemberian obat pencegahan selama 6 (enam) bulan yang ditujukan pada anak usia dibawah 5 (lima) tahun yang kontak erat dengan pasien tuberkulosis aktif; orang dengan HIV dan AIDS (ODHA) yang tidak terdiagnosis tuberkulosis; populasi  tertentu  lainnya  sesuai  peraturan  perundang- undangan.

Untuk menjalankan kegiatan tersebut maka rumah sakit dapat membentuk tim/panitia pelaksana program TB Paru Rumah Sakit.

  1. Elemen Penilaian Prognas 2

1)     Rumah  sakit  menerapkan  regulasi  tentang  pelaksanaan penanggulangan tuberkulosis di rumah sakit.

2)     Direktur  menetapkan  tim  TB  Paru  Rumah  sakit  beserta program kerjanya.

3)      Ada bukti pelaksanaan promosi kesehatan, surveilans dan upaya pencegahan tuberkulosis

4)    Tersedianya laporan pelaksanaan promosi Kesehatan.

  1. Standar Prognas 2.1

Rumah sakit menyediakan sarana dan prasarana pelayanan tuberkulosis sesuai peraturan perundang-undangan.

  1. Maksud dan Tujuan Prognas 2.1

Dalam melaksanakan pelayanan kepada penderita TB Paru dan program TB Paru di rumah sakit, maka harus tersedia sarana dan prasarana yang memenuhi syarat pelayanan TB Paru sesuai dengan Pedoman Pelayanan TB Paru.

  1. Elemen Penilaian Prognas 2.1

1)     Tersedia  ruang  pelayanan  rawat  jalan  yang  memenuhi pedoman  pencegahan  dan  pengendalian  infeksi tuberkulosis.

2)     Bila rumah sakit memberikan pelayanan rawat inap bagi pasien tuberkulosis paru dewasa maka rumah sakit harus memiliki   ruang  rawat  inap  yang  memenuhi  pedoman pencegahan danpengendalian infeksi tuberkulosis.

3)     Tersedia   ruang   pengambilan   spesimen   sputum   yang memenuhi pedoman pencegahan dan pengendalian infeksi tuberkulosis.

  1. Standar Prognas 2.2

Rumah sakit telah melaksanakan pelayanan tuberkulosis dan upaya pengendalian faktor risiko tuberkulosis sesuai peraturan perundang-undangan.

  1. Elemen Penilaian Prognas 2.2

1)     Rumah  sakit  telah  menerapkan  kepatuhan  staf  medis terhadap panduan praktik klinis tuberkulosis.

2)    Rumah sakit merencanakan dan mengadakan penyediaan

Obat Anti Tuberkulosis.

3)     Rumah  sakit  melaksanakan  pelayanan  TB  MDR  (bagi rumah sakit rujukan TB MDR).

4)     Rumah  sakit  melaksanakan  pencatatan  dan  pelaporan kasus TB Paru sesuai ketentuan.

  1. Penurunan Angka Kesakitan HIV/AIDS
  1. Standar Prognas 3

Rumah sakit melaksanakan penanggulangan HIV/AIDS sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

  1. Maksud dan Tujuan Prognas 3

Rumah sakit dalam melaksanakan penanggulangan HIV/AIDS sesuai standar pelayanan bagi rujukan orang dengan HIV/AIDS (ODHA) dan satelitnya dengan langkah-langkah sebagai berikut:

1)    Meningkatkan fungsi pelayanan Voluntary Counseling and

Testing (VCT).

2)    Meningkatkan fungsi pelayanan Antiretroviral Therapy (ART)

atau bekerja sama dengan rumah sakit yang ditunjuk.

3)    Meningkatkan fungsi pelayanan Infeksi Oportunistik (IO).

4)     Meningkatkan fungsi pelayanan pada ODHA dengan factor risiko Injection Drug Use (IDU).

5)     Meningkatkan fungsi pelayanan penunjang yang meliputi pelayanan gizi, laboratorium dan radiologi, pencatatan dan pelaporan.

  1. Elemen Penilaian Prognas 3

1)     Rumah   sakit   telah   melaksanakan   kebijakan   program penanggulangan HIV/AIDS sesuai ketentuan perundangan.

2)    Rumah sakit telah menerapkan fungsi rujukan HIV/AIDS

pada rumah sakit sesuai dengan kebijakan yang berlaku.

3)    Rumah sakit melaksanakan pelayanan PITC dan PMTC.

4)     Rumah sakit memberikan pelayanan ODHA dengan faktor risiko IO.

5)    Rumah sakit merencanakan dan mengadakan penyediaan

ART.

6)     Rumah sakit melakukan pemantauan dan evaluasi program penanggulangan HIV/AIDS.

  1. Penurunan Prevalensi Stunting dan Wasting
  1. Standar Prognas 4

Rumah  Sakit  melaksanakan  program  penurunan  prevalensi

stunting dan wasting.

  1. Standar Prognas 4.1

Rumah Sakit melakukan edukasi, pendampingan intervensi dan pengelolaan  gizi  serta  penguatan  jejaring  rujukan  kepada rumah sakit kelas di bawahnya dan FKTP di wilayahnya serta rujukan masalah gizi.

  1. Maksud dan Tujuan Prognas 4 dan Prognas 4.1

Tersedia regulasi penyelenggaraan program penurunan prevalensi stunting dan prevalensi wasting di rumah sakit yang meliputi:

1)    Program  penurunan  prevalensi  stunting  dan  prevalensi

wasting.

2)    Panduan tata laksana.

3)     Organisasi pelaksana program terdiri dari tenaga kesehatan yang kompeten dari unsur:

  1. a) Staf Medis.
  1. b) Staf Keperawatan.
  1. c) Staf Instalasi Farmasi. d)    Staf Instalasi Gizi.
  2. e) Tim Tumbuh Kembang.
  1. f) Tim Humas Rumah Sakit.

Organisasi   program   penurunan   prevalensi   stunting   dan wasting dipimpin oleh staf medis atau dokter spesialis anak. Rumah sakit menyusun program penurunan prevalensi stunting dan wasting di rumah sakit terdiri dari:

1)     Peningkatan  pemahaman  dan  kesadaran  seluruh  staf, pasien dan keluarga tentang masalah stunting dan wasting;

2)    Intervensi spesifik di rumah sakit;

3)    Penerapan Rumah Sakit Sayang Ibu Bayi;

4)    Rumah  sakit  sebagai  pusat  rujukan kasus stunting  dan

wasting;

5)     Rumah sakit sebagai pendamping klinis dan manajemen serta merupakan jejaring rujukan

6)    Program pemantauan dan evaluasi.

Penurunan   prevalensi   stunting    dan   prevalensi   wasting

meliputi:

1)     Kegiatan sosialisasi dan pelatihan staf tenaga kesehatan rumah sakit tentang Program Penurunan Stunting dan Wasting.

2)     Peningkatan efektifitas intervensi spesifik. a)       Program 1000 HPK.

  1. b) Suplementasi Tablet Besi Folat pada ibu hamil.
  1. c) Pemberian Makanan Tambahan (PMT) pada ibu hamil. d)    Promosi dan konseling IMD dan ASI Eksklusif.
  2. e) Pemberian Makanan Bayi dan Anak (PMBA).
  1. f) Pemantauan    Pertumbuhan    (Pelayanan    Tumbuh

Kembang bayi dan balita). g)    Pemberian Imunisasi.

  1. h) Pemberian Makanan Tambahan Balita Gizi Kurang. i)     Pemberian Vitamin A.
  2. j) Pemberian taburia pada Baduta (0-23 bulan). k)    Pemberian obat cacing pada ibu hamil.

3)    Penguatan sistem surveilans gizi

  1. a) Tata laksana tim asuhan gizi meliputi Tata laksana Gizi Stunting, Tata Laksana Gizi Kurang, Tata Laksana Gizi Buruk (Pedoman Pencegahan dan Tata Laksana Gizi Buruk pada Balita).
  2. b) Pencatatan dan Pelaporan kasus masalah gizi melalui aplikasi ePPGBM (Aplikasi Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat).
  3. c) Melakukan evaluasi pelayanan, audit kesakitan dan kematian, pencatatan dan pelaporan gizi buruk dan stunting dalam Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS).

Rumah sakit melaksanakan pelayanan sebagai pusat rujukan kasus   stunting   dan   kasus   wasting   dengan   menyiapkan

sebagai:

1)     Rumah sakit sebagai pusat rujukan kasus stunting untuk memastikan kasus, penyebab dan tata laksana lanjut oleh dokter spesialis anak.

2)     Rumah sakit sebagai pusat rujukan balita gizi buruk dengan komplikasi medis.

3)     Rumah sakit dapat melaksanakan pendampingan klinis dan manajemen serta penguatan jejaring rujukan kepada rumah sakit dengan kelas di bawahnya dan Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) di wilayahnya dalam tata laksana stunting dan gizi buruk.

  1. Elemen Penilaian Prognas 4

1)     Rumah   sakit   telah   menetapkan   kebijakan   tentang pelaksanaan program gizi.

2)     Terdapat   tim   untuk   program   penurunan   prevalensi stunting dan wasting di rumah sakit.

3)     Rumah  sakit  telah  menetapkan  sistem  rujukan  untuk kasus gangguan gizi yang perlu penanganan lanjut.

  1. Elemen Penilaian Prognas 4.1

1)     Rumah      sakit      membuktikan      telah      melakukan pendampingan                           intervensi   dan   pengelolaan   gizi   serta penguatan jejaring rujukan kepada rumah sakit kelas di bawahnya dan FKTP di wilayahnya serta rujukan masalah gizi.

2)     Rumah sakit telah menerapkan sistem pemantauan dan evaluasi, bukti pelaporan, dan analisis.

  1. Pelayanan Keluarga Berencana Rumah Sakit a. Standar Prognas 5

Rumah sakit melaksanakan program pelayanan keluarga berencana dan kesehatan reproduksi di rumah sakit beserta pemantauan dan evaluasinya.

  1. Standar Prognas 5.1

Rumah sakit menyiapkan sumber daya untuk penyelenggaraan pelayanan keluarga dan kesehatan reproduksi.

  1. Maksud dan Tujuan Prognas 5 dan Prognas 5.1

Pelayanan   Keluarga   Berencana   di   Rumah   Sakit   (PKBRS)

merupakan bagian dari program keluarga berencana (KB), yang sangat berperan dalam menurunkan angka kematian ibu dan percepatan penurunan stunting. Kunci keberhasilan PKBRS adalah ketersediaan alat dan obat kontrasepsi, sarana penunjang pelayanan kontrasepsi dan tenaga kesehatan yang sesuai kompetensi serta manjemen yang handal. Rumah sakit dalam  melaksanakan  PKBRS  sesuai  dengan  pedoman pelayanan KB yang berlaku, dengan langkah-langkah pelaksanaan sebagai berikut:

1)    Melaksanakan  dan  menerapkan  standar  pelayanaan  KB

secara terpadu dan paripurna.

2)     Mengembangkan     kebijakan     dan     Standar     Prosedur Operasional                      (SPO)   pelayanan   KB   dan   meningkatkan kualitas pelayanan KB.

3)     Meningkatkan kesiapan rumah sakit dalam melaksanakan PKBRS termasuk pelayanan KB Pasca Persalinan dan Pasca Keguguran.

4)     Meningkatkan  fungsi  rumah  sakit  sebagai  model  dan pembinaan teknis dalam melaksanakan PKBRS.

5)     Meningkatkan fungsi rumah sakit sebagai pusat rujukan pelayanan KB bagi sarana pelayanan kesehatan lainnya.

6)     Melaksanakan     sistem     pemantauan     dan     evaluasi pelaksanaan PKBRS.

7)     Adanya regulasi rumah sakit yang menjamin pelaksanaan PKBRS, meliputi SPO pelayanan KB per metode kontrasepsi termasuk pelayanan KB Pasca Persalinan dan Pasca Keguguran.

8)    Upaya peningkatan PKBRS masuk dalam rencana strategis

(Renstra) dan rencana kerja anggaran (RKA) rumah sakit.

9)     Tersedia  ruang  pelayanan  yang  memenuhi  persyaratan untuk            PKBRS  antara  lain  ruang  konseling  dan  ruang pelayanan KB.

10) Pembentukan tim PKBR serta program kerja dan bukti pelaksanaanya.

11) Terselenggara  kegiatan  peningkatan  kapasitas  untuk meningkatkan  kemampuan  pelayanan  PKBRS,  termasuk KB Pasca Persalinan dan Pasca Keguguran.

12)  Pelaksanaan rujukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan.

13)  Pelaporan dan analisis meliputi:

  1. a) Ketersediaan semua  jenis  alat  dan  obat  kontrasepsi sesuai dengan kapasitas rumah sakit dan kebutuhan pelayanan KB.
  2. b) Ketersediaan sarana penunjang pelayanan KB.
  1. c) Ketersediaan  tenaga   kesehatan   yang   memberikan pelayanan KB.
  2. d) Angka capaian pelayanan KB per metode kontrasepsi, baik Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) dan Non MKJP.
  3. e) Angka  capaian  pelayanan  KB  Pasca  Persalinan  dan Pasca Keguguran.
  1. f) Kejadian tidak dilakukannya KB Pasca Persalinan pada ibu baru bersalin dan KB Pasca Keguguran pada Ibu pasca keguguran.
  2. Elemen Penilaian Prognas 5

1)     Rumah    sakit    telah    menetapkan    kebijakan    tentang pelaksanaan PKBRS.

2)     Terdapat tim PKBRS yang ditetapkan oleh direktur disertai program kerjanya.

3)    Rumah   sakit   telah   melaksanakan  program  KB  Pasca

Persalinan dan Pasca Keguguran.

4)     Rumah sakit telah melakukan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan PKBRS.

  1. Elemen Penilaian Prognas 5.1

1)     Rumah sakit telah menyediakan alat dan obat kontrasepsi dan sarana penunjang pelayanan KB.

2)     Rumah sakit menyediakan layanan konseling bagi peserta dan calon peserta program KB.

3)     Rumah  sakit  telah  merancang  dan  menyediakan  ruang pelayanan KB yang memadai.

 

BAB IV PENUTUP

Penyelenggaraan akreditasi rumah sakit sesuai dengan standar dilaksanakan agar tercapainya peningkatan mutu pelayanan kesehatan dan keselamatan pasien serta tata kelola rumah sakit yang baik, sehingga terwujudnya penyelenggaraan pelayanan kesehatan di rumah sakit yang bermutu, profesional, dan bertangggung jawab.

Dengan disusunnya standar akreditasi rumah sakit, diharapkan semua pihak baik rumah sakit, lembaga penyelenggara akreditasi rumah sakit, pemerintah pusat, pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah kabupaten/kota, tenaga kesehatan, maupun pemangku kepentingan lainnya dapat melaksanakan akreditasi rumah sakit dengan efektif, efisien dan berkelanjutan.

 

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

BUDI G. SADIKIN

Login to your account below

Fill the forms bellow to register

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.